Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KELOMPOK 1

SEJARAH PEREMBANGAN ILMU TAUHID


Untuk memenuhi Tugas Kelompok Ilmu Tauhid

DOSEN PEMBIMBING :
M.Rozi Indrafuddin , M.Fil.I
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 1 :
1. Aniza dwiari Safitri (301200029)
2.Yoggie Duta Mahendra (301200022)
3. Rosyid Thoat Amirul Hakim (301200013)
MATA KULIAH :
ILMU TAUHID
TANGGAL :
20 April 2021
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
IAIN PONOROGO
APRIL 2021

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah yang menghadiahkan taufik dan hidayah kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Sejarah Ilmu Tauhid" ini. Atas
dukungan spiritual dan material yang diberikan dalam penyusunan artikel ini, kami
sangat berterima kasih kepada bapak M.Rozi Indrafuddin , M.Fil.I
Ilmu tauhid merupakan salah satu ilmu keislaman terpenting yang harus
dipahami oleh setiap muslim, bahkan lebih penting dari ilmu keislaman yang lain,
karena ilmu yang membahas tentang masalah keimanan, dan keimanan Islam adalah
inti dan fondasi agama. Tanpa pengetahuan yang cukup, seseorang akan mudah jatuh
ke jurang kesalahan dan dosa yang tak terampuni. Ada beberapa sebutan lain untuk
ilmu tauhid yang didasarkan pada berbagai aspek pembahasan, seperti ilmu karam,
ilmu usuruddin, dll. Sumber pengetahuan tahuid adalah Alquran dan Hadis, yang
dikembangkan berdasarkan dalil-dalil rasional dan dibina oleh filsafat dan faktor-
faktor lain.
Kami telah mengedit dokumen ini sepenuhnya dan telah menerima bantuan
dari semua pihak untuk memfasilitasi penulisan dokumen ini. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada semua anggota tim yang telah berkontribusi dalam
penulisan artikel ini.
Dalam penyusunan artikel ini, kami menyadari bahwa artikel ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami berharap para pembaca bersedia memberikan saran
dan kritik untuk memperbaiki kekurangan yang terdapat pada artikel ini. Terima kasih

April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar ……………………………………………………………………..2


Daftar Isi……………………………………………………………………………3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………………….4
Rumusan Masalah…………………………………………………………………4
BAB II
PEMBAHASAN
Lahirnya Ilmu Tauhid……………………………………………………………..4
Ketauhidan Dari Masa Kemasa…………………………………………………..5
 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ilmu Tauhid Menjadi Ilmu
Kalam…………………………………………………………………………9
Sistem Mutakallimin Dalam Membahas Permasalahan Islam………………..10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan………………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..11

3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai salah satu kajian pemikiran Islam, ilmu tauhid memiliki kedudukan
yang mulia dalam tradisi Islam. Hal ini dikarenakan ilmu tauhid menjadi dasar
pemahaman prinsip-prinsip yang paling mendasar dari ajaran Islam, yaitu simpul
keimanan, keunikan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Di Indonesia, khususnya
dalam sistem pengajaran pesantren dan pesantren, pembelajaran ilmu tauhid tidak bisa
diabaikan.
Kita sebagai umat Islam sangatlah perlu mengetahui berbagai macam ilmu
agama, seperti Ilmu Tauhid yang bisa disebut juga dengan Aqidah, Ilmu Kalam dan
Ilmu Ushuluddin. Dan disini kita akan membahas tentang sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Ilmu Tauhid dari masa kemasa, sehingga pemuda Islam dapat
mengetahui sejarahnya.

Rumusan Masalah.
1.  Bagaimanakah sejarah lahirnya Ilmu Tauhid?
2.   Bagaimanakah sejarah ketauhidan dari masa kemasa?
3. Apa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Ilmu Tauhid menjadi Ilmu Kalam?
4.  Bagaimanakah sistem mutakallimin dalam membahas permasalahan-
permasalahan Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
Lahirnya Ilmu Tauhid.
Ilmu tauhid berawal dari suatu peristiwa seperti yang dijelaskan pada hadits
berikut ini:
َ َ‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد قَا َل َح َّدثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل بْنُ ِإ ْب َرا ِهي َم َأ ْخبَ َرنَا َأبُو َحيَّانَ التَّ ْي ِم ُّي ع َْن َأبِي ُزرْ َعةَ ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ ق‬
‫ال‬
‫ال اِإْل ي َمانُ َأ ْن تُْؤ ِمنَ بِاهَّلل ِ َو َماَل ِئ َكتِ ِه‬ َ َ‫اس فََأتَاهُ ِجب ِْري ُل فَق‬
َ َ‫ َما اِإْل ي َمانُ ق‬ ‫ال‬ ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ب‬
ِ َّ‫ار ًزا يَوْ ًما لِلن‬ َ ‫َكانَ النَّبِ ُّي‬
]1[‫ث‬ ِ ‫َو ُكتُبِ ِه َوبِلِقَاِئ ِه َو ُر ُسلِ ِه َوتُْؤ ِمنَ بِ ْالبَ ْع‬

4
Pada suatu hari Nabi SAW muncul atau tampak dikalangan orang-orang ketika
itu datang kepadanya malaikat Jibril menjelma menjadi seorang laki-laki yang putih
bajunya, rambutnya hitam, tak ada tanda-tanda dia seorang musafir, dan tak ada yang
mengenalnya. Lantas duduk didekat Nabi dan lututnya dekat dengan lutut Nabi, serta
tangannya diletakkan dipaha Nabi SAW, dan bertanya kepada Nabi:”Apakah yang
disebut iman?” Maka Nabi berkata: “Iman adalah percaya kepada Allah dan kepada
malaikat-Nya dan kepada Kitab-kitab-Nya dan kepada Rasul-Rasul-Nya dan percaya
kepada kepada Qadar baik dan buruknya. Dan laki-laki itu berkata: “Benarlah
engkau.”[2]

Ketauhidan Dari Masa Kemasa.


a)      Tauhid pada masa Rasulullah.
Periode pertama ialah periode Makah dimana Nabi SAW menyeru kepada
kaumnya selama tiga tahun secara individu kepada tauhid. Nabi SAW menghadapkan
pandangan kaumnya kepada alam dan Penciptanya. Sesudah tiga tahun lamanya
barulah Nabi SAW mendapat wahyu untuk mendakwahkan agama secara terang-
terangan di hadapan umum. Allah berfirman:
  
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al
Hijr: 94)[3]
Tiga belas tahun lamanya Nabi SAW menanamkan tauhid dan aqidah ke
dalam jiwa umat, karena aqidah adalah dasar tegaknya bangunan agama. Hanya
sedikit saja hukum-hukum yang disyari’atkan dalam periode Makkah ini. Dan Al
Qur’an yang diturunkan dalam periode inipun kurang dari 2/3 jumlah seluruhnya.
Karena itu dalam surat Makkiyah tidak terdapat ayat-ayat hukum seperti surat Yunus,
Ar Ra’du, Ya Sin dan Al Furqan. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah berisikan
hal-hal yang mengenai aqidah kepercayaan, akhlaq dan sejarah.
Pada periode kedua ialah di Madinah, yakni masa Nabi telah berhijrah ke
Madinah, dan Nabi menetap di Madinah selama 10 tahun dari mulai Hijrah sampai
wafatnya.
Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya
terus menerus bertambah. Mulailah Nabi membentuk suatu masyarakat Islam yang
menpunyai souvereignity yang gilang gemilang. Karena itu timbullah keperluan untuk

5
mengadakan syariat dan peraturan-peraturan, karena masyarakat membutuhkannya,
untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya, baik
dalam masa damai atau perang.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat Al Baqarah, Ali Imran, An
Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab, banyak mengandung
ayat-ayat hukum di samping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-
lain.[4]
b)      Tauhid pada masa Khulafa al-Rasyidin.
Upaya Nabi dalam berjihad dan aktif mengembangkan masyarakat yang baru
dibentuknya di pusat kota Madinah diteruskan oleh para penggantinya, yaitu Khulafa’
al-Rasyidin yang memandang posisi dan jabatan kenegaraan sebagai medan paling
mulia untuk beramal saleh demi kejayaan agama dan umat manusia, bukan untuk
kepentingan pribadi dan golongan ataupun keluarga. Kepentingan agama dan umat
manusia di atas segalanya. Dan lebih utama lagi pada periode Madinah ini (Nabi dan
Khulafa’ al-Rasyidin) dijiwai oleh ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan
Sunnah, sehingga Al Qur’an dikaji secara langsung dan dihayati, maka pemikiran dan
pengamalan Islam berkembang secara harmonis, yakni terjadinya perkembangan
secara serentak antara iman, Islam dan ihsan. Iman memancarkan cahaya Islam dan
ihsan secara bersama. Pengamalan Islam dilandasi oleh keyaqinan agama dan
pancaran moralitas Islam (ihsan). Namun setelah pemerintahan pindah ke Damaskus,
Cordova, kemudian Bagdad terjadi perkembangan pemikiran Islam yang berat
sebelah, yaitu mulai tumbuh pemikiran murni yang melepaskan diri dari perasaan
keagamaan ke arah pengutamaan legalisme dan formalisme yang memunculkan Ilmu
Kalam dan Fiqh. Sehingga pemahaman agama berubah menjadi “parsial”. Mungkin
orang mengetahui Fiqh, namun tidak mengetahui Ilmu Kalam, Tasawuf, atau
sebaliknya.[5]
c)      Tauhid pada masa Bani Umaiyah.
Mulai pemerintahan Mu’awiyah hingga awal abad kedua hijriyah adalah masa
sahabat kecil dan tabi’in besar. Masa ini dimulai dari tahun jamaah, yakni tahun 41 H
yang pada tahun ini umat Islam bersatu (kecuali Khawarij dan Syi’ah) untuk
mengakui khalifah Mu’awiyah, setelah Hasan dengan ikhlas turun dari pewaris tahta
kekhalifahan, dengan demikian tegaklah Daulah Umawiyah, Bani Umayyah.[6]
Pada masa ini muncul ide untuk membukukan hadits yang sebenarnya telah
menjadi pikiran Umar ibn Khattab diwaktu beliau memegang kendali khalifah. Akan

6
tetapi beliau tidak melaksanakan ide itu. Pada masa ini pembukuan hadits oleh Umar
ibn Abdul Aziz (101 H) dimulai. Ini disebabkan karena pada masa beliau ini banyak
tersebar hadits-hadits maudlu’ sedang para sahabat dan para tabiin telah tersebar
keberbagai kota Islam. Maka pada masa akhir pemerintahannya kira-kira 1 tahun
sebelum beliau wafat, timbullah ide mengumpulkan Al Hadits dalam sebuah kitab dan
membagi naskah-naskah kitab itu keberbagai kota Islam, agar dapat dihindari
perselisihan atau anggapan mengecilkannya.
Beliau menyuruh Abu Bakar ibn Ham, gubernur Madinah untuk melaksanakan
cita-citanya itu. Beliau berkata:
‫َاب ْال ُعلَ َما ِء‬
َ ‫س ْال ِع ْل ِم َو ِذه‬ ُ ‫ث َرسُوْ ُل هللاِ ص م َأوْ ُسنَّتِ ِه فَا ْكتُ ْبهُ فَاِنِّى ِخ ْف‬
َ ْ‫ت ُدرُو‬ ِ ‫اُ ْنظُرْ َما كاَنَ ِم ْن َح ِد ْي‬
“ Perhatikan hadits-hadits Rasulullah atau sunnahnya lalu tuliskanlah karena
aku khawatir akan hilangnya ilmu dan meninggalnya para ulama’.”  
Akan tetapi sebelum ide ini dapat dilaksanakan dengan baik, beliau telah
kembali ke rahmatullah. Khalifah-khalifah penggantinya tidak meneruskan ide ini.[7]
Lalu pada masa ini muncul kelompok-kelompok Islam dan madzhab kalamiyah. Salah
satu faktor munculnya kelompok-kelompok Islam dan madzhab kalamiyah adalah
gerakan penerjemahan. Sesungguhnya tarjamah mempunyai pengaruh yang besar
dalam menyebarkan pemikiran filsafat pada seperempat pemerintahan Islam. Dan dari
gerakan tarjamah lalu muncul kelompok-kelompok Islam yang terpengaruh oleh
filsafat yang masuk ke dalam Islam.
Gerakan tarjamah dimulai pada zaman Raja Mubakir oleh orang-orang ahli
tarjamah dari negara Nasroni yang didatangkan oleh Kholid ibn Yazid ibn Mu’awiyah
yang terjadi pada seperempat kurun pertama hijriyah. Lalu tarjamah berlangsung dan
terus menjadi bentuk yang tidak disusun sampai zaman Bani Abbasiyah yang
mungkin memperhatikan tarjamah.[8]
d)      Tauhid pada masa bani Abbasiyah
Khalifah-khalifah Abbasiyah yang bertindak atas nama agama dan untuk
agama, menganjurkan kepada para ulama’ supaya menyusun kitab. Karena itu
bergeraklah para ulama mengumpulkan hadits, membahas sanadnya, meneliti riwayat-
riwayatnya, sebagaimana mereka berusaha membukukan fiqh (hukum Islam),
ushulnya, tafsir, qira’at, ilmu kalam, ilmu balaghah, falsafah dan mantiq. Dan pada
ketika itu pesatlah usaha terjemah. Bahkan dimasa itu para ulama mempelajari pula
agama-agama lain.[9]

7
Daulat Abbasiyah mengerti akan jasa-jasa dan pengorbanan yang diberikan
oleh bangsa Persia dalam menegakkan kerajaan mereka dan menggulingkan kerajaan
Bani Umaiyah. Untuk itu mereka menyediakan jabatan-jabatan tinggi bagi orang-
orang Persia, di antaranya jabatan Mentri dan jabatan Wakil Mentri, walaupun
kebanyakan orang-orang Persia itu tidak mengerti masalah-masalah agama. Di antara
orang-orang Persia yang diberi kedudukan atau jabatan-jabatan tinggi itu, terdapat
pengikut-pengikut madzhab al-Manawy dan Yazidiyah, serta orang-orang yang tidak
menganut agama sama sekali. Dengan kedudukan dan jabatan yang mereka pegang,
orang-orang Persia itu mendapat kesempatan luas dan leluasa untuk menghembuskan
buah pikiran mereka, baik dangan cara halus atau terus terang, agar orang tertarik
dengan buah pikiran mereka, dan kemudian mengekor kepadanya. Akibatnya lahirlah
kekafiran dan muncullah tokoh-tokoh kaum zindik (sesat), hingga datang pula
Khalifah al-Mansur, yang memerintahkan supaya menerbitkan buku-buku baru guna
membukakan tabir kegelapan itu dan membatalkan segala pendapat yang
diindoktrinasikan selama ini.
Sekitar masa inilah tumbuhlah Ilmu Tauhid, tetapi belum begitu sempurna
berkembang dan belum begitu tinggi mutunya. Dan mulailah pembicaraan tentang
Ilmu Kalam, yakni dengan menghubungkannya dengan pokok pemikiran tentang
kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al Qur’an tentang hal itu. Kemudian
timbullah masalah yang menimbulkan bencana (fitnah), yaitu masalah tentang
kejadian Al Qur’an. Apakah Al Qur’an itu makhluk atau barang yang azali yang tidak
ada permulaan.
Pendirian yang pertama dikuatkan oleh segolongan dari khalifah-khalifah
Abbasiyah (Al Makmun dan Muktazilah), sedang keyakinan yang kedua, yakni yang
mengatakan bahwa Al Qur’an itu azali, dipegang teguh oleh kelompok-kelompok
yang bersandar kepada nas-nas Al Qur’an dan Sunnah Rasul, atau oleh mereka yang
menjaga dirinya untuk berbicara tentang hal-hal yang mugkin membawa bid’ah
(termasuk Imam Ahmad Ibn Hambal). Oleh karena perbedaan pendapat yang seperti
itu, mengalir pulalah darah dengan cara yang tidak wajar dan banyak pulalah ahli-ahli
ilmu dan orang-orang yang takwa mendapat bencana. Begitulah keadaannya, orang-
orang melanggar batas-batas agama dengan memakai nama agama itu sendiri.[10]
e)      Tauhid pasca Bani Abbasiyah
Pada khalifah Al Mutawakkil (234 H) membatalkan pernyataan bahwa Al
Qur’an adalah makhluk dan melawan muktazilah. Maka terbebaslah para ahli Hadits,

8
para ulama dan umat Islam dari penyiksaan yang dilakukan oleh khalifah Al Makmun
dan Muktazilah. Lalu pada tahun 334 H muncullah Aqidah Al Asy’ariyah yang
dipeloori oleh Abu Hasan Al Asy’ari.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok
yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi) dalam sistem ajaran
Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalam (teologi) yang
terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan
tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional,
yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama oleh Al-Asy’ari.
Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam
(teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang
dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah
yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya
merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu
Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang
mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yang absah, tepat untuk
menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap ilmu kalam
(teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam sistem ajaran
Islam.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ilmu Tauhid Menjadi Ilmu


Kalam.
Ilmu Tauhid dinamakan juga dengan Ilmu Kalam karena adakalanya masalah
yang paling mashur dan banyak menimbulkan pebedaan pendapat di antara ulama-
ulama kurun pertama, yaitu: “apakah Kalam Allah (wahyu) yang dibacakan
itu baru atau kadim?”. Dan adakalanya karena Ilmu Tauhid itu dibina oleh dalil akal
(rasio), di mana bekasnya nyata kelihatan dari perkataan setiap para ahli yang turut
berbicara tentang ilu itu. Namun begitu amat sedikit sekali orang yang mendasarkan
pendapatnya kepada dalil naqal (Al Qur’an dan Sunnah Rasul), kecuali setelah ada
ketetapan pokok pertama ilmu itu, kemudian orang berpindah dari sana kepada

9
membicarakan masalah yang lebih menyerupai cabang (furu’), sekalipun cabang itu
oleh orang yang datang kemudian telah dianggap pula sebagai suatu masalah pokok.
Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan Ilmu Tauhid
dinamakan dengan Ilmu Kalam, ialah karena dalam memberikan dalil tentang pokok
(usul) agama lebih menyerupai logika (mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh
para ahli pikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendiriannya. Kemudian
diganti orang Mantiq dengan Ilmu Kalam, karena pada hakikatnya adalah berbeda.
[11]

Sistem Mutakallimin Dalam Membahas Permasalahan Islam.


Dalam membahas masalah metode berfikir keislaman, harus berpangkal dari
awal perkembangan Islam itu sendiri, sehingga dapat memberikan gambaran
dibandingkan dengan masa-masa sesudahnya yang senantiasa timbul permasalahan
baru yang belum terdapat masa Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, jika timbul permasalahan baik
soal ibadah maupun sosial, langsung dapat dinyatakan kepada Nabi tentang cara
mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam keadaan demikian biasanya turun wahyu,
jika tidak turun wahyu Nabi menyelesaikannya dengan pendapatnya, dan kadang
dimusyawarahkan dengan para sahabatbya.
Setelah Nabi wafat, jika timbul permasalahan baru, maka para sahabat yang
menjadi panutan umat mencari penyelesaian dalam Al Qur’an dan Hadits yang
memiliki otoritas dan menjadi pegangan kaum muslimin.
Apabila dalam Al Qur’an ataupun Hadits tidak ditemukan penyelesaiannya
maka maka sahabat melakukan ijtihad. Ijtihad pada masa Nabi memang belum
berkembang, namun Nabi tidak melarang atas jawaban Mu’adz ibn Jabal ketika akan
diutus ke Yaman untuk memberikan hukum yang mengatakan dengan ijtihad (ajtahidu
bi al-ra’yu) jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits. Hal ini
menunjukkan jawaban atas berbagai masalah yang timbul sesuai dengan kondisi dan
situasi yang berkembang merupakan tuntutan agama, termasuk dalam rangka
pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam ayat-ayat Al Qur’an sering
menggunakan ungkapan “apakah kamu tidak berfikir?”, “apakah kamu tidak
berakal?”, “apakah kamu tidak memperhatikan?”, dan sebagainya.
Masalah ijtihad, mulai berkembang dan sangat diperlukan pada masa Khulafa
al-Rasyidin, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti

10
Nabi, juga ketika Abu Bakar memutuskan untuk memerangi umat Islam yang tidak
mau membayar zakat, Umar ketika memutuskan tidak memotong tangan bagi seorang
pencuri dan sebagainya. Kemudian pada masa pemerintahan Bani Umayyah, karena
adanya kebutuhan-kebutuhan riil untuk mengatasi persoalan-persoalan umat makin
menyuburkan perkembangan ijtihad dan lebih subur lagi pada zaman kebesaran Bani
Abbasiyah dengan ibu kota kerajaannya di Baghdad. Bahkan di kerajaan Islam di
wilayah barat, yaitu Cordova juga menjadi pusat munculnya ulama mujtahid
sebagaimana di Baghdad.
Maka apabila timbul permasalahan di kalangan kaum muslimin, baik
permasalahan ibadah maupun sosial, mereka menyelesaikannya berdasarkan Al
Qur’an dan Hadits. Tetapi apabila penyelesaiannya tidak terdapat pada kedua sumber
itu, maka mereka menggunakan ra’yu (ijtihad).[12]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Sejarah lahirnya Ilmu Tauhid dari zaman Nabi Adam as. sampai pada Nabi
Muhammad adalah ilmu yang berisi tentang keesaan Allah SWT. Ilmu Tauhid
bersumber dari Al Qur’an dan Hadits sebagai rujukan bila terjadi permasalahan terjadi
persoalan pada umat Islam.
            Dalam mempelajari sejarah Ilmu Tauhid ini kita tidak hanya membahas Ilmu
Tauhid saja, karena sesungguhnya Ilmu Tauhid adalah cabang ilmu dari Syara’, yang
mencakup Aqidah, Ahkam dan Akhlaq. Maka untuk mengetahui perkembangan Ilmu
Tauhid kita juga harus mempelajari sejarah perkembangan Syara’ agar tidak menemui
sejarah yang buntu.

DAFTAR PUSTAKA

H. Ghazali Munir M.A. Dr., Ilmu Kalam Pemikiran dan Kehidupan, Semarang:


Rasail, 2008.

11
Syekh Muhammad Abduh, terjemah K.H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
M. hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
……, Al ‘Aqidah Wal Akhlaq 3, Departemen Agama RI, 1998-1999.
Syekh Imam Khafid Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Al
Mughirah Al  Bukhari, Fathul Bari Li Ibn Hajar (Maktabah Syamilah).
H. Abu Bakar J. Seluk Beluk Agama 1, Medan: Saiful, 1971

12

Anda mungkin juga menyukai