2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah atas segala Rahmat serta Hidayah dari Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah ILMU PENDIDIKAN
ISLAM yang berjudul “ SUMBER AJARAN ISLAM“ dengan baik. Selain itu,
penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Djoko Rohadi Wibowo, M.Pd.
selaku dosen pengampu, yang senantiasa membimbing dan memberikan arahan
sehingga, penulis dapat menyelesaikan makalah penelitian ini dengan baik.
Makalah ini penulis buat dengan tujuan dapat memberikan pengetahuan kepada
para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat
dibutuhkan demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Sumber Ajaran Islam...........................................................................................3
B. Al-Quran..............................................................................................................3
1. Pengertian Al-Quran.........................................................................................3
2. Struktur dan Pembagian Al-Quran....................................................................4
3. Hubungan Al-Quran dengan Kitab-kitab Lain..................................................5
C. Hadist...................................................................................................................6
1. Pengertian Hadist..............................................................................................6
2. Struktur Hadist..................................................................................................7
3. Berdasarkan tingkat keaslian hadits..................................................................9
D. Ijtihad.................................................................................................................10
1. Pengertian Ijtihad............................................................................................10
2. Fungsi Ijtihad..................................................................................................11
3. Jenis-Jenis Ijtihad............................................................................................11
4. Sejarah Ijtihad.................................................................................................14
Kesimpulan............................................................................................................15
Daftar Pustaka........................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber dari
Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah.
Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah,
syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan akal pikiran manusia yang memenuhi
syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap
muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan
oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Menurut ayat diatas setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak
Rasul dan kehendak penguasa atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak
Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al-
Hadis, kehendak penguasa (ulil amri) tercantum dalam kitab-kitab hasil karya orang
yang memenuhi syarat karena mempunyai kekuasaan berupa ilmu pengetahuan.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam
adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda,
1
“ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat
selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan
sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah
satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sumber ajaran Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan
aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber ajaran islam
ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Sumber ajaran islam ada tiga, yakni Al-Quran, Hadist (As-sunnah), dan Ijtihad.
Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadist
merupakan ajaran Islam yang langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW,
sedang Ijtihad merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid
dengan tetap mengacu pada Al-Quran dan Hadist.
B. Al-Quran
1. Pengertian Al-Quran
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian
3
kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat
17 dan 18 Surah Al-Qiyamah :
)١٨( ُ)فَِإ َذا قَ َرْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ آنَه١٧( ُِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُرْ آنَه
Al-Qur’an terdiri atas 30 juz,114 surah dan 6236 ayat. Setiap surah akan terdiri
atas beberapa ayat, di mana surah terpanjang dengan 286 ayat adalah surah Al
Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr
dan Al-‘Așr. Surah-surah yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut
ruku’ yang membahas tema atau topik tertentu.
4
Al-Qur’an tidak turun sekaligus, ayat-ayat al-Qur’an turun secara berangsur-
angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Sedangkan menurut tempat diturunkannya,
setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah)
dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu
penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum
Rasulullah hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya
tergolong surat Madaniyah. Surat yang turun di Makkah berangsur selama 12 tahun
pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan
akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan surat yang turun di
Madinah berangsur selama 10 tahun pada umumnya suratnya panjang-panjang,
menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan
atau seseorang dengan lainnya (syari’ah). Ilmu Al-Qur’an yang membahas mengenai
latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan
disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).
5
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab
tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur’an yang tentunya menjadi doktrin bagi
ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur’an dengan kitab-kitab tersebut:
C. Hadits
1. Pengertian Hadits
6
diangkat sebagai Nabi (Arab: bi’tsah) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti
hadits di sini semakna dengan sunnah.
Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
2. Struktur Hadist
a) Sanad
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing
orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari,
7
Musaddad, Yahya, Syu’bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang
mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini
disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu
mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits
bersangkutan adalah
Al-Bukhari –> Musaddad –> Yahya –> Syu’bah –> Qatadah –> Anas –> Nabi
Muhammad
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang
bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah.
Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan
derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
Keutuhan sanadnya
Jumlahnya
Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadits. Sifat-sifat rawi yang
ideal adalah:
8
Tidak fasik
Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
Bukan ahli bid’ah
Kuat ingatannya (hafalannya)
Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadits pada jamannya.
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadits yang
semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadits pada masa-masa yang
berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya
dinamakan maj’hul, dan hadits yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.
b) Matan
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah:
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadits ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad
atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih
kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak
belakang).
9
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan
merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits
tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, dla’if dan maudlu’.
Hadits Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits
shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung (lihat Hadits Musnad di atas);
2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah,
berakhlak baik, tidak fasik, terjagamuruah(kehormatan)-nya, dan kuat
ingatannya.
3. Pada saat menerima hadits, masing-masing rawi telah cukup umur (baligh) dan
beragama Islam.
4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada
sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (’illat).
Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, namun ada sedikit
kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil
namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
Hadits Dhaif(lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa
hadits mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal),
atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau
mengandung kejanggalan atau cacat.
Hadits Maudlu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai
sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
D. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
10
Ijtihad (Arab: )اجتهادadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya
bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadits dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada
perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para
ahli agama Islam. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia
akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau
pada suatu waktu tertentu.
2. Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al
Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan
beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan
tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al
Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan
Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham
Al Quran dan Al Hadist.
3. Jenis-Jenis Ijtihad
1) Ijma’
11
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu
hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama
dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
2) Qiyas
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum
suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara
terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat,
bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya.
Beberapa definisi qiyâs (analogi)
3) Istihsan
12
tuntunan qiyas jail kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada
hukum istina’ (pengecualian) karena ada dahlil yang lebih kuat .
Jadi istihsan adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan atas dasar
prinsip-prinsip kebaikan, keadilan, dan kasih saying, dan sebagainya dari Al-quran
dan sunah.
4) Maslahah
Maslahah adalah cara untuk menetapkan hukum suatu masalah atau kejadian yang
tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-quran maupun dalam sunah tetapi
penetapan hukum ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat dan
kepentingan umum.
Maslahah al-dharuriyah
Maslahah al-hajjiyah
Maslahah al-tahsiniyah
Maslahah al-amma
Maslahah al-khashash
5) Istishab
13
Istihab menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang ada hubungannya. Menurut
istilah adalah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
4. Sejarah Ijtihad
Berdasarkan pendapat jumhur ulama, ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah
saw yaitu yang dilakukan oleh Mu’as bin Jabal, dan Rasulullah mengajukan tiga
pertanyaan kepadanya, “Wahai Mu’as dengan apa engkau menetapkan hukum?
Mu’as menjawab, dengan kitab Allah swt. Bila tidak didapati di dalam kitab? Mu’as
menjawab, maka dengan sunnah Rasulnya. Bila tidak didapati di dalam hadist
14
Rasulnya? Mu’as menjawab, aku akan menggunakan segenap kemampuan pikiranku
(Ijtihad). Kemudian Rasul menepuk bahu Mu’as dan berkata “ Alhamdulillahillazi
wafaqa rasula rasulihi” (segala puji bagi Allah yang telah menyetujui utusan dari
Rasulnya). Riwayat inilah yang dijadikan sebagai dasar bolehya menggunakan
Ijtihad.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap
muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan
oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder.
Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-sunnah (hadist),
sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad.
15
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus —Al-Qur’an, Sumber Hukum Islam yang
Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz
Abd. Rahman, Dkk. 2014. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum.
Padang: UNP Press.
16