FAKULTAS EKONOMI
PRODI MANAJEMEN
UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA AL-WASHLIYAH
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah
kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
”Sumber Agama Islam (Menurut Hadits)”
Dalam penyusunan makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih
pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehinggga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penyusun sendiri maupun kepada pembaca umumnya. Kami mohon maaf apabila ada
kekurangan maupun kesalahan pada penulisan makalah ini untuk itu kami berterimakasih
apabila pembaca memberi saran atau kritikan kepada kami.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Pengertian Hadits...............................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................2
A. Pengertian Al-Hadits..........................................................................................................2
BAB III.....................................................................................................................................10
PENUTUP.................................................................................................................................10
A. Kesimpulan.......................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam (The Lord of the world and The
Creator of insan) Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan karunianya kepada
kita semua, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak ibadah kita.
Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Saw.
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum
Islam al-Quran, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan
mengikuti al-Quran. Karena tanpa keduanya orang islam tidak mungkin dapat memahami
islam secara mendalam. Seorang mujahid dan seorang alim tidak diperbolehkan hanya
mengambil dari salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al Quran dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan
sumber hukum Islam selain al Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun
larangannya. Di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber
hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
B.RUMUSAN MASALAH
1.pengertian dasar-dasar kehujaan hadist.
2.kedudukan hadis sebagai sumber ajaran islam.
3.funfsi hadist terhadap al quran.
4.kemandirian sunnah dan penetapan hukum.
5.perbandingan hadist nabawi, hadist qudsi, dan al quran
C. TUJUAN PENULISAN.
1. Mengerti dasar-dasar hadist.
2. Memahami kedudukan hadis.
3. Memahami fungsi hadist terhadap al quran
1
BAB II
PEMBAHASAN
3
saw. Sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi
saw. Tak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Asy Syathiby (dalam Al Muwafaqat 4: 7-8) menerangkan
bahwa rutbah (kedudukan) As Sunnah di bawah rutbah Al-Qur’an sebagai sumber ajaran
agama dengan alasan sebagai berikut:
a) Al Qur’an diterima dengan jalan yang yakin (maqthu’bihi), sedangkan As Sunnah
diterima dengan jalan dhan (madhnun bihi). Keyakinan kita kepdada sunnah hanyalah secara
global saja; bukan secara detail. Al-Qur’an global dan detailnya diterima dengan cara
meyakinkan.
b) As Sunnah adakala, menerangkan (membayankan) sesuatu yang diijmalkan
(diringkaskan uraiannya) oleh Al-Qur’an, adakala mensyarahkan Al-Qur’an, dan adakala
mendatangkan yang belum didatangkan Al-Qur’an. Maka jika As Sunnah itu bersifat
penerang (bayan), atau syarah, tentulah keadaannya (statusnya) tidak sama dengan dengan
derajat pokok (yang diberikan penjelasannya) Nash yang bersifat pokok, dipandang asas.
Nash yang bersifat syarah, dipandang cabang.
Jika bersifat mendatangkan yang didatangkan Al-Qur’an, tiadalah diterima, kalau
berlawanan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Diterimanya, kalau yang didatangkan
itu, tak ada dalam Al-Qur’an. Dan beriukut diuraikan dalil-dalil yang menjelaskan kedudukan
hadis sebagai sumber ajaran Islam:
a. Al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT
merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan demikian Allah
akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron 17 dan An Nisa’ 36. Selain
Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan
agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang di bawahnya.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imron[3]: 32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah
dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang kafir".
Disamping banyak ayat yang menyebutkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya
secara bersama-sama, banyak ayat yang memerintahkan untuk mentaati Rasul yang
berarti juga sama dengan ketaatan kepada Allah sebagaiman Firman Allah dalm Q.S.
AnNisa’ [4]: 80. “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati
Allah”.
Dalam firman-Nya Q.S. Al Hasyr [59]: 7“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah”.
Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah juga menyebutkan secara eksplisit
di dalam Al-Qur’an kewajiban mengamalkan sunnah yang menunjukkan bahwa hadis
dijadikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
4
b. Hadis Nabi SAW
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan
hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau
bersabda:
)َتَر كْـُت ِفـْیُك ْم َأْمَر ْیِن َل ْن َتِض ُّلْو ا َم ا َتَم َّسـْكُتْم ِبِھمَا ِك ـَتاَب ِهللا َو ُس ـَّنَة َنِبِّیِھ (رواه مالك
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya”.
“Wajib bagi sekalian berpegangan teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa
arRasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian
dengannya.”
(HR. Abu Daud dan Ibn Majah) Hadis-hadis tersebut diatas menunjukkan kepada kita
bahwa berpegang teguh kepada hadis/menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman
hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.
Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah
selayaknya segala peraturan dan perunda-undangan serta inisiatif beliau, baik yang
beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai
sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada
Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan
5
segala ketentuan yang beliau sampaikan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis
merupakan salah satu sumber hukum dan
sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah AlQur’an. Sedangkan bila
diliahat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukumzhanny, kecuali hadis yang
mutawatir.
B.FUNGSI HADIS TERHADAP AL QURAN
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl[16]: 44.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami
oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadishadisnya.
Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu
bermacam-macam. Imam Malik bin Anas menyebut lima macam fungsi, yaitubayan al-taqrir,
bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan altasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan
lima fungsi, yaitu bayan al-tafshil, bayan attakhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, dan
bayanal-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid,
bayan al-tafsir, bayan altasyri’, dan bayan al-takhshish. Untuk lebih jelas berikut akan
diuraikan beberapa hal mengenai fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
1. Bayan at-Taqrir Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat.
Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah
diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar,
yang berbunyi sebagai berikut:
) َفِإَذ ا َر َأْیـُتُم اْلِھَالَل َفُصْو ُم ْو ا َوِإَذ ا َر َأْیـُتُم ْو ُه َفَأْفِط ُرْو ا (رواه مسلم
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah)
itu maka berbukalah.”
(HR. Muslim) Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilahbayan al-
muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai)
dengan nas al-Qur’an.
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang
memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayatayatmujmal, mutlaq,
6
dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan
penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikantakhsis terhadap ayat-
ayat yang masih umum.
a. Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global) Sebagai
contoh hadis berikut:
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari) Hadis ini
menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak
menjelaskan secara rinci.
Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah: “Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-
Baqoroh[2]: 43)
b. Men-taqyid
ayat-ayat yang mutlaq Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat
kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun
sifatnya. Mentaqyiddan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat,
keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
(HR. Muslim) Hadith di atas men-taqyid ayat al-Qur’an berikut: “Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al
Maidah [5]: 38)
c. Men-takhsis
ayat yang ‘am Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna,
dalam jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang
menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang
‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada
bagianbagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat
apabilamukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal,
keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu
yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya.[9] Sebagai contoh:
Hadith tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu.
7
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan...”
3. Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaranajaran
yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan
ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id ‘ala alkitab al-kariim” (tambahan
terhadap nash al-Qur’an).
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis
tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan
bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan
hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah,
sebagai berikut:
َأَّن َر ُسوَل َّهللاِ َص َّلى َّهللاُ َع َلْیِھ َو َس َّلَم َفَر َض َزَكاَة اْلِفْطِر ِم ْن َر َم َض اَن َع َلى الَّناِس َص اًعا ِم ْن َتْم ٍر َأْو َص اًعا ِم ْن َش ِع یٍر
َع َلى ُك ِّل ُحٍّر َأْو َع ْبٍد َذ َك ٍر َأْو ُأْنَثى ِم ْن اْلُم ْس ِلِم یَن
“Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)
Ibnu al- Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan
terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh
menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-
Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4. Bayan al-Nasakh
Pada bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada
yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum
Al-Qur’an dan ada yang juga yang menolaknya. Kata nasakh secara bahasa berarti
ibthal (membatalkan), izalah(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir
(mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui
pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifnya. Menurut ulama mutaqoddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena
adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena
telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’i
(pembuat sayari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-
lamanya (temporal).
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadith terhadap al-Qur’an
juga berbeda pendapat dalam macam hadith yang dapat dipakai untuk me-nasakhnya.
Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadith, meskipun
dengan hadith Ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama
mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadith tersebut harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah. Ketiga, ulama yang
membolehkan me-nasakh dengan Hadith masyhur, tanpa harus dengan hadith
mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.
8
Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul SAW dari
Abu Umamah al-Bahili, yang berbunyi:
)إن هللا قد اعطى كل ذي حق حقھ فال وصیة لوارث (رواه أحمد واألربعة االالنسائ
Hadis di atas dinilai Hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi. Hadith ini menurut mereka
menasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
Menurut Prof. Dr. Muhaimin mengatakan Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur'an sebagai
berikut :
"Maka jauhilah olehmu berhala-hala yang najis itu dan jauhilah perkataan-
perkataan dusta .(Qs. Al-Hajj: 30).
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat AL-Qur'an yang masih
mujmal/Global(bayan al-mujmal),memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih
belum terbatas di dalam Al-Qur'an (Taqyiq al-mutlaq) memberikan kekhususan
(Takhsish)ayat-ayat Al-Qur'an yang bersifat umum (takhshish al-a'mm), dan
memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-Qur'an
(tawdih al-musykil).
D. KEMANDIRIAN SUNAH DALAM MENETAPKAN HUKUM
Imam syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW
melaksanakannya sebagaiman isi nash tersebut. kedua, yang diturunkan Allah SWT
didalam Al-Qur`an secara keseluruhan, maka Rasulullah SAW menjelaskan maksud
sebenarnya yang terkandung dalam firman Allah tersebut; ketiga; sesuatu yang dilakukan
sendiri oleh Rasulullah SAW tentang hal-hal yang tidak terdapat nashnya dalam Al-
Qur`an.
Untuk kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk
menerimanya, namun mereka berselisih untuk kategori yang ketiga, yaitu yang
9
menyangkut kemandirian sunnah dalam menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam
nash Al-Qur’an. Sehingga para ulama yang menanggapi masalah ini menjadi dua
kelompok. Pertama, ulama menyetujui semua fungsi hadis seperti yang sudah
disampaikan Imam Syafi’i. Kedua, ulama yang tidak menyetujui adanya kewenangan
hadis dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada nash Al-Qur’an.
Untuk kelompok yang kedua berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi
sebagai penjelas (mubayyin) terhadap Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana firman Allah
SWT dalam Q.S. al-Nahl[16]: 44 sebagaima yang telah disampaikan pada pembahasan
fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
Sementara itu, untuk kelompok yang pertama berpandangan bahwa sunnah
mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada
nashnya dalam Al-Qur’an berargumentasi untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah
SAW sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Seperti
dalam QS. Al-Nisa’[4]: 80 Allah berfirman; “Barang siapa yang mentaati Rasul, maka
sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”
Disisi lain ada yang mengatakan : Al-Qur’an telah menunjuk kepada setiap apa
yang disebutkan dalam Hadis, baik secara global maupun terperinci. Tapi perlu diingat
bahwa Rasulullah SAW sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang tidak terkait
dengan pokoknya yang terdapat dalam al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an Allah
memerintahkan ketaatan kepad Rasulullah SAW dan mengingatkan orang yang
menyalahinya. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi dari Al-
Qur’an dan apa yang beliau perintahkan dalam sunnah beliau sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri. Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 63; “Maka hendaklah orangorang
yang menyalahi perintahnya takut akan tertimpa cobaan atau terkena adzab yang pedih”.
Melalui firman Allah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah menerima
kekhususan kepada Nabi SAW sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh
didurhakai. Sesuatu itu adalah sunnahnya yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-
Qur’an.
Serupa dengan hal ini apa yang diperintahkan Allah kepada orang-orang mukmin,
agar mengembalikan pertikaian kepada Allah dan Rasulnya: Jika kalian berlainan tentang
sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian
memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (An-Nisa’:59).
Mengembalikan kepada Allah artinya kembali kepada alQur’an. Sedangkan kembali
kepada Rasul, tidak lain artinya kecuali kembali kepada sunnah, sesudah beliau wafat.
Tak seorang pun di antara ahli ilmu menentang bahwa mengamalkan apa yang
dibawa oleh sunnah juga berarti mengamalkan al-Qur’an. Karena, al-Qur’anlah yang
menunjukkan kewajiban mengamalkan sunnah. Karena al-Qur’anlah yang menunjukkan
kewajiban mengamalkan sunnah. Juga karena al-Qur’an lebih umum dan Hadis lebih
khusus. Yang lebih umum dengan sifat menyeluruhnya haruslah meliputi yang lebih
khusus. Kesesuaian apa pun yang ada di antara al-Qur’an dan Hadis pada pokok-
pokonya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian Hadis menetapkan hukum-
hukumnya atau penjelasannya, sampai pun dari pokok-pokok tersebut. Sebab, Allah
menjadikan Rasul-Nya sebagai imam, sunnahnya sebagai penuntun, dan petunjuk
10
kenabiannya sebagai teladan yang baik bagi orang yang mengharap pahala Allah dan
keselamatan pada Hari Kemudian.
Sejak dulu para ulama sudah mengatakan, dan mereka benar bahwa: “AlQur’an
menyisipkan satu tempat bagi sunnah. Dan sebaliknya, sunnah juga menyisihkan satu
tempat buat al-Qur’an.” Hal ini tidaklah aneh setelah kita menyimak firman Allah:
Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An-Nisa’:80).
E. PERBANDINGAN HADIST NABAWI,HADIST QUDSI, DAN AL QURAN
Hadis Qudsi ialah hadis yang Rasulullah sandarkan kepada Allah SWT. Menurut
kebanyakan ulama`, sebagaimana pendapat Abul Baqa` Al `Ukbari dalam kulliatnya
halaman 288 yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya Al Qur‘an itu adalah wahyu
yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan dengan wahyu yang terang.
Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari Rasulullah SAW. Dan ma`nanya
daripada Allah disampaikan dengan jalan ilham atau mimpi.
Disebut hadith, karena redaksinya disusun dari Nabi SAW sendiri, dan disebut
qudsi karena Hadith ini suci dan bersih (Ath-thaharah wa al-tanzih) dan datangnya dari
zat yang Maha Suci yaitu Allah Rabb al-‘Alamin. Sehingga ada yang menyebut Hadith
Ilahiyah atau Rabbiyah.
1. Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Hadis Nabawi maupun Hadis Qudsi memiliki kesamaan, yaitu pada dasarnya
keduanya bersumber dari wahyu Allah SWT. Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam
firman-Nya surat an-Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:
“(3) Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya (4)
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Selain itu redaksi keduanya baik hadits nabawi maupun hadith qudsi disusun oleh
Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi
sendiri.
Adapun yang membedakan antara Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi adalah;
pertama, dari sudut sandarannya hadith nabawi disandarkan kepada Nabi SAW,
sedangkan hadis qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SAW.
Dengan demikian maka dalam mengidentifikasinya, pada hadis qudsi terdapat kataa-
kata seperti: فیما یرویھ عن ربھ. م. قال رسول هللا ص
“Rasul SAW telah bersabda, sebagaimana yang diterima dari Tuhan-Nya.”
Atau kata-kata:
قال هللا عزوجل. م. قال رسول هللا ص
“Rasul SAW telah bersabda, Allah SWT berfirman.”
Kedua, dari sudut nisbahnya hadith nabawi dinisbahkan kepada Nabi SAW baik
redaksi maupun maknanya. Sedangakan hadith qudsi maknanya dinisbahkan kepada
Allah SAW dan redaksinya kepada Nabi.
Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah hadis qudsi jauh lebih sedikit daripada
hadis nabawi.
11
2. Perbandingan antara Hadis qudsi dengan al-Qur’an
Hadis qudsi dengan Al-Qur’an keduanya memiliki persamaan bahwa samasama
bersumber atau datang dari Allah SWT. Maka dalam periwayatkan atau
penyampaian keduanya sama-sama memakai ungkapan, seperti عزوجل هللا قال.
Adapaun perbedaan antara Hadis Qudsi dengan al-Qur’an; pertama, al-Qur’an
merupakan Mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, sedangkan hadithqudsi
bukan.
Kedua, al-Qur’an redaksi dan maknanyalangsung dari Allah SWT sedangkan
hadith qudsi bukan.
Ketiga, dalam salat al-Qur’an merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak
sah salat seorang kecuali dengan bacaan al-Qur’an. Hal ini tidak berlaku pada hadis
qudsi.
Keempat, menolak al-Qur’an merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan
penolakan hadis qudsi.
Kelima, al-Qur’an diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril sedangkan
hadis qudsi diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam, perlakuan atau sikap seseorang terhadap al-Qur’an diatur oleh beberapa
aturan, seperti keharusan bersuci dari hadats ketika memegang dan membacanya,
serta tidak boleh menyalin ke dalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini
tidak berlaku pad hadis qudsi.
Berikut contoh hadis qudsi:
) قال هللا تعال إن بیوتي في األرض الماسجُد وان ُز ّو ِر ي فیھاُع َّم اُرھا (رواه ابو نعیم. م. قل رسول هللا ص
“Rasul SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah-Ku di bumi,
adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang – orang
yang memakmurkannya.” (HR. Abu Nu’aim)
Adapun yang bisa digunakan sebagai sandaran hukum dari Nabi SAW adalah
segala sesuatu yang keluar dari beliau ketika sesudah Nabi menjadi Rasul.
Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa khabar-khabar yang mengenai Nabi
terdapat dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab sirah, kitab-kitab maghazi dan kitab-
kitab hadis. Namun demikian dikatakan kitab hadis, ialah kitab-kitab yang
menyebutkan apa yang Nabi kerjakan sesudah menerima Risalah. Hal-hal yang
terjadi sebelum Risalah bukanlah disebut untuk menjadi syariat. Yang menjadi
syariat hanyalah yang nabi kerjakan sesudah Risalah.
12
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang
menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila diliahat dari segi
kehujjahannya, hadis melahirkan hukum zhanny, kecuali hadis yang mutawatir.
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan
memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam AlQur’an; sebagai bayan al-
Tafsir(menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an);
sebagaibayan al-tasyri’ (mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja); sebagai bayan
alNasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang teradapat
dalam AlQur’an).
Hadis sebagai sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk menentukan
hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an para ulama’ mengalami perbedaan
pendapat, ada yang menyetujui dan dilain pihak tidak menerima kemandirian tersebut.
Al Qur`an itu adalah wahyu yang lafadh dan ma`nanya daripada Allah disampaikan
dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Qudsi, maka ialah yang lafadhnya dari
Rasulullah SAW. Sedangkan Hadis Nabawi ma’na dan lafadhnya dari Rasulullah
SAW baik dengan ilham dari Allah maupun ijtihadnya yang muncul setelah kenabian.
Sunnah Nabi yang dapat dijadikan sumber ajaran agama adalah adalah segala yang
Nabi SAW kerjakan ketika sesudah menerima Risalah atau diutus menjadi Rasul.
13
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://muhsinf4.blogspot.com/2012/04/kedudukan-hadits-sebagai-sumber-ajaran.html.
jam 11.50, hari selasa.
[2] http://kak-farih.blogspot.com/2011/10/hadits-sebagai-sumber-ajaran-islam.html. jam
12.09, hari selasa.
[3] http://mashurimas.blogspot.com/2011/01/hadist-sebagai-sumber-ajaran-islam.html. jam
12.05, hari selasa.
14