Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERANAN HADITS DALAM KOMUNIKASI DAN


DAKWAH ISLAM

Dosen Pembimbing:
DISUSUN
O
L
E
H

M. Juli Nawawi
221007020

PASCASARJANA
PROGRAM KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AR-RANIRY
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang Ilmu Munasabah. Selanjutnya
Shalawat dan Salam kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, berkat petunjuk dari
beliau manusia menjadi tercerahkan.
Dalam penyusunan makalah ilmiah ini, seluruh tenaga telah penyusun
kerahkan dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
makalah ini dapat tersusun dengan rapi. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini, terutama kepada Dosen Pembimbing yang tidak pernah bosan-bosannya
mengarahkan kami.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini bermanfaat dan dapat
memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Banda Aceh, 11 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1

B. Rumusan masalah............................................................................................2

C. Tujuan..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Kedudukan dan Keabsahan Hadits dalam Islam.............................................3

B. Pengertian Komunikasi Islam..........................................................................6

C. Pengertian Dakwah..........................................................................................7

D. Peranan Hadits dalam Komunikasi dan Dakwah Islam..................................8

BAB III PENUTUP...............................................................................................14

A. kesimpulan.....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, hadits selalu menjadi
rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian
keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan
sebuah hadits. sehingga hal tersebut memuncul kan sebagian kelompok meragukan
dan mengingkari akan kebenaran hadits sebagai sumber hukum. Al-Qur’an dan
hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum islam
selain al-qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk perintah, maupun larangan
nya. Namun mengapa para pengingkar sunnah tetap meragukannya
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa banyak perubahan
bagi masyarakat, baik secara berfikir, sikap, maupun tingkah laku. segala persoalan
kemasyarakatan yang semakin rumit dan kompleks yang dihadapi oleh umat manusia
adalah masalah yang harus dihadapi dan diatasi oleh para pendukung dan pelaksana
dakwah. Dakwah menjadi tugas yang harus diemban oleh setiap muslim, dengan
penuh kesadaran dan tanggung jawab, bahkan dakwah itu menjadi tugas rutin, dan
kesinambungan dari masa ke masa sampai kelak di kemudian hari.
Islam sebagai agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, memberikan
petunjuk melalui dua sumber utama, yaitu Al-Quran dan Hadits. Hadits, sebagai
perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Muhammad SAW, memiliki peran
krusial dalam membentuk komunikasi dalam konteks Islam. Dalam makalah ini, kita
akan menggali lebih dalam tentang peranan hadits dalam komunikasi Islam,
mengidentifikasi konsep-konsep utama, dan mengeksplorasi bagaimana hadits
membentuk pandangan Islam terhadap komunikasi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan dan keabsahan Hadits dalam Islam?
2. Apa pengertian komunikasi Islam?
3. Apa pengertian dakwah?
4. Bagaimana peranan Hadits dalam Komunikasi dan Dakwah Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan dan keabsahan Hadits dalam Islam.
2. Untuk mengetahui pengertian komunikasi Islam.
3. Untuk mengetahui pengetian Dakwah.
4. Untuk mengetahui peranan Hadits dalam Komunikasi dan Dakwah Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Keabsahan Hadits dalam Islam


Dalam menyikapi masalah kedudukan hadits, Yusuf Qardhawi mengungkapkan
bahwa Rasulullah adalah merupakan sumber hukum kedua bagi islam setelah al-
Qur’an. Al-Qur’an merupakan undang-undang yang membuat pokok-pokok dan
kaidah-kaidah mendasar bagi Islam, yang mencakup bidang akidah, akhlak,
muamalah, dan adab sopan santun. Selanjutnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan
bahwa sunah (hadits) merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh
sebab itu, kita harus mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan
yang diberikan oleh sunah Rasulullah saw., menaati perintah Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita mentaati apa yang disampaikan al-Qur’an.

Hadits merupakan mubayyin (pelengkap) bagi al-Qur’an yaang karenany,


siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’antanpa dengan memahami dan
menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa al-Qur’an, akan
kehilanggan arah, karena al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang
didalamnya berisi garis-garis besar syariat Islam. Dengan demikian, antara al-Qur’an
dah hadits memiliki hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.1

a. Dalil-dalil dari Al-Qur’an


Al-Qur’an telah mewajibkan kaum muslimin untuk mentaati Rasulullah SAW.,
disamping menaati Allah. Dalam surat an-Nisa’ (Q.S. 4: 59) Allah berfirman:

... ‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّلِذْيَن ٰاَمُنْٓو ا َاِط ْيُعوا الّٰل َه َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)...”.

Hukum taat kepada Rasul sama dengan taat kepada Allah, hal ini sebagaimana
tersebut dalam firman Allah (Q.S. 4: 80):

ۚ‫َمْن ُّيِط ِع الَّر ُسْو َل َفَقْد َاَطاَع الّٰل َه‬

1
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal.35
3
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah
menaati Allah.”

b. Dalil dari Hadits Rasul


Selain berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diatas, kedudukan hadits ini juga
dilihat melalui hadits-haditsNabi SAW. banyak hadits yang menggambarkan urgensi
ketaatan kepada perinyahnya. Dalam kaitan ini, Nabi bersabda :
‫ْك ِفيُك َأ ِن َل َتِض ُّلوا ا َمَتَّس ْك ُت ِهِب ا ِكَتا الَّلِه َّنَة َنِبِّيِه‬
‫ْم َم َب َو ُس‬ ‫َم‬ ‫َتَر ُت ْم ْم َر ْي ْن‬
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamnya, selagi
kamu berpegang teguh kepada keduannya, yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunah
nabinya (al-Hadits)”.

Hadits yang lainnya, yaitu diriwayatkan oleh Al-Irbadh bin sariyah r.a
sebagai berikut:

, ‫وعظنا رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون‬
, ‫ قال – أوصيكم بتقوى اهلل عزوجل‬, ‫فقلنا يا رسول اهلل كأهنا موعظة مودٍع فأوصنا‬
. ‫ فإنه من يعش منكم فسريى اختالفًا كث ريًا‬, ‫والسمع والطاع ة وإن تأمر عليك عبد‬
‫ وإياكم وحمدثات‬, ‫فعليكم بسنيت وسنة اخللفاء الراشدين املهدّيني عضوا عليها بالنواجذ‬
‫األمور فإن كل بدعة ضاللة‬
“Rasulullah SAW. Menasehati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan
membuat air mata menetes. Maka kami berkata, “wahai Rasulullah sepertinya ini
nasihat yang terakhir, maka berikan wasiat kepada kami.” Rasulullah bersabda;
“aku wasiatkan kepadamu agar kalian bertakwa lepada Allah, mendengar dan
mentaati, sekalipun kalian dipimpin oleh seorang budak. Sesungguhnya barang siapa
diantara kamu yang diberi umur panjang, maka dia akan lihat berbagai macam
perselisihan, Oleh sebab itu, pegang eratlah sunahku dan sunah khulafaur rasyidin
yang telah mendapat petunjuk, berpegang tegulah kepadanya dan gigiitlah dengan
gerahammu. Jauhilah masalah-masalah bid’ah, karena sesungguhnya setiap bid’ah
adalah sesat.”
Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa Nabi SAW diberi al-kitab an sunah
seperti mengambil apa yang aa pada al-kitab. Rasul juga tidak cukup hanya

4
memerintahkan berpegang teguh pada sunahnya, tetapi juga mencela orang yang
meninggalkannya karena bertumpu pada apa yang ada dalam al-Qur’an saja.2

c. Dalil dari Ijma (kesepakatan Ulama)

Umat Islam telah mengambil keputusa bersama untuk mengamalkan sunah.


Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT,
Rasulnya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima sunah seperti mereka
menerima al-Qur’an, karena berdasarkan kesaksian dari Allah, sunah merupakan
salah satu sumber syariat. Dalam hal berpengetahuan umat kapada sunah tidak
terhitung jumlahnya. Hal ini diberikan contoh oleh ‘Ajaj al Khatib, yaitu sebagai
berikut.3

1. Tatkala Abu bakar ash-shidiq masih memegang tampuk khalifah, Fatima az-
Zahra binti Rasulullah SAW datang kepadanya menerima bagian rasulullah
SAW. namun, kemudian Abu Bakar menjawab, Sesungguhnya saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jallah, Bila memberi sesuap makana kepada


seorang nabi itu diambil (wafat), Dia akan menjadikannnya untuk orang yang
menggantikan posisinya sesudahnya.”
Karena itu menurut ‘Ajaj al-Khatib, Abu Bakar mengembalikannya kepada
kaum muslimin. Mendengar jawaban itu, Fatimah berkata, “terhadap engkau dan
apa yang engkau dengar dari Rasulullah SAW, itu saya dapat mengerti.4

2. Suatu ketika Umar bin Khattab r.a. berdiri di sudut ka’bah di hadapan hajar
aswad, kemudian berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwa kamu
adalah batu. Seandainya aku tidak melihat kekasihku Nabi SAW menciummu
atau mengusapmu, maka aku tidak akan mengusap dan tidak pula menciummu.5

2
Munzier Saputra, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hal. 53
3
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1996), hal. 25
4
Abuddin Nata, Al-qur`an Dan Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), hal. 23
5
Munzier Saputra, Ilmu Hadits, hal. 52
5
3. Sa’id bin Al-Musayyab berkata, Saya melihat utsman duduk disuatu tempat
duduk, lalu ia meminta makanannya. Kemudian ia berdiri untuk melakukan
shalat, kemudian Utsman berkata “ Saya duduk ditempat duduk Rasulullah SAW
dan saya shalat, (seperti) shalat Rasulullah SAW.

Seperti itulah sikap seluruh sahabat tabiin dan generasi sesudah mereka juga
menempuh cara yang ditempuh sahabat dalam menjaga mempraktekkan dan
mengagungkan sunah (hadits). Disamping itu, Para ulama Islam telah melakukan
upaya besar untuk mengumpulkan, memverifikasi, dan mengklasifikasikan hadits.
Hadits yang diakui sebagai sahih (tepercaya) memberikan dasar yang kokoh untuk
pembentukan pemahaman Islam yang benar. Proses ini menjaga keabsahan hadits
sebagai panduan hidup umat Islam.

B. Pengertian Komunikasi Islam


Komunikasi adalah bercakap, mengirimka pesan, berita, ide, perasaan, pemikiran,
serta pendapat dari tindakan seseorang kepada orang lain dengan mengharapkan
jawaban, tanggapan, atau timbal balik (feedback).6 Komunikasi juga berarti memilih
cara serta menggunakan sarana yang terbaik dengan tujuan mengalihkan kabar,
makna, rasa, dan gagasan kepada pihak lain juga memengaruhi pemikiran mereka
serta meyakinkan mereka terhadap apa yang kita kehendaki baik dengan bahasa
ataupun yang lainnya.7 Sederhananya, komunikasi adalah penyampaian informasi dari
pihak ke pihak yang lainnya.
Seringkali komunikasi dipautkan dengan dakwah sebab dalam kegiatan dakwah
tentu melalui proses yang komunikasi di dalamnya. Perlu adanya penjelasan keilmuan
untuk membedakannya. Komunikasi bersumber dari bahasa Inggris, to communicate
yang memiliki arti menyampaikan, sedangkan dakwah berasal dari bahasa Arab da’a,
yad’u, da’watan, dengan arti memanggil atau mengajak. “Menyampaikan” dan
“mengajak” tidaklah sama. Komunikasi menitik beratkan analisisnya pada fenomena
menyampaikan pesan agar terjadi perubahan dengan adanya pesan tersebut, sedangkan

6
Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: PT remaja Rosdakarya, 2001), hal. 36.
7
Harjani Hefni, Komunikasi Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hal. 3.
6
dakwah menitik beratkan analisisnya pada fenomena memanggil atau mengajak untuk
melakukan perubahan.8
Ilmu komunikasi Islam mempunyai objek formal pesan-pesan yang disampaikan
oleh pengirim pesan (komunikan) dengan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, sehingga pesan tersebut tidak melanggar etika dan nilai-nilai Islam.
Sedangkan sanksi bagi pelanggar etika berlaku baik di dunia maupun di akhirat.
Komunikasi juga memiliki etika, akan tetapi etika tersebut berdasarkan filsafat yang
merupakan hasil dari pemikiran manusia dan sanksinya hanya berlaku di dunia.9
Berdasarkan informasi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ditemukan bahwa
komunikasi Islam adalah komunikasi yang berupaya untuk membangun hubungan
dengan diri sendiri, dengan Sang Pencipta, serta dengan sesama untuk menciptakan
kedamaian, keramahan, dan keselamatan untuk diri dan lingkungan dengan cara
tunduk pada perintah Allah dan Rasul-Nya.10 Maka dari itu, komunikasi Islam bukan
sekadar pelabelan Islam untuk komunikasi. Lebih dari itu, Islam sangat peduli dengan
komunikasi yang menyelamatkan umat baik di dunia maupun di akhirat.

C. Pengertian Dakwah
Secara etimologi bahasa perkataan da’wah berasal dari kata kerja da’a, yad’u,
da’watan, yang berarti mengajak, menyeru, memanggil, mengundang. 11 Sedangkan
secara terminologi, dakwah sebagai usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan
kepada perorangan manusia dan seluruh konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan
hidup manusia di dunia ini, yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai
macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya
dalam perikehidupan perseorangan, perikehidupan berumah tangga, perikehidupan
bermasyarakat dan perikehidupan bernegara.12
Istilah dakwah dalam buku Manajemen Dakwah karya Wahyu Ilaihi, dakwah
adalah sebuah aktifitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada
8
Asep Syaiful Muhtadi, Komunikasi Dakwah: Teori Pendekatan, dan Aplikasi, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2012), hal. 7.
9
Abdul Muis, Komun. Islam, hal. 34–35.
10
Hefni, Komun. Islam, hal. 14.
11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Ke-2,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 406.
12
Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 8.
7
orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam. Dakwah adalah suatu aktivitas yang
pelaksanaannya bisa dilakukan dengan berbagai cara atau metode.13
Secara umum dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik yang tentunya
dapat menggunakan wasilah (media) dan thariqah (metode). Dakwah merupakan
aktivitas yang sangat urgen dalam Islam. Dengan dakwah, Islam dapat tersebar dan
diterima oleh manusia. Hukum dakwah telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125 di samping memerintahkan kaum muslimin
untuk berdakwah sekaligus memberi tuntunan bagaimana cara-cara pelaksanaannya
yakni dengan cara yang baik dan sesuai dengan petunjuk agama.14

‫َل‬ ‫َا‬ ‫َّب‬ ‫َّن‬‫ُا ِاىٰل ِب ِل ِّب ِباِحْلْك ِة اْل ِعَظِة ا ِة اِد ِباَّل ِه َا ُۗن ِا‬
‫َو ُم‬‫ْع‬ ‫ُه‬ ‫َك‬ ‫َر‬ ‫َحْلَس َن َو َج ُهْلْم ْيِت َي ْح َس‬ ‫َم َو َمْو‬ ‫ْد ُع َس ْي َر َك‬
‫ِب ِد‬ ‫ِب ِل‬
‫َمِبْن َض َّل َعْن َس ْي ه َو ُه َو َاْع َلُم اْلُم ْه َت ْيَن‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik,
dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

D. Peranan Hadits dalam Komunikasi dan Dakwah Islam


1. Hadits sebagai Sarana Penyampaian Dakwah
Pedoman utama yang tidak dapat berubah serta dinamis adalah Alquran dan Sunnah
atau Hadits15, karena secara epistemologis Hadits dipandang oleh mayoritas umat
Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, sebab Hadits merupakan
bayân (penjelasan) terhadap ayat Alquran yang masih mujmal (global), ‘âmm (umum)
dan mutlaq atau tanpa batasan. Dapat disimpulkan bahwa Hadits dari Rasulullah
berfungsi sebagai pendukung dari firman Allah yang terkodifikasi di dalam Alquran.
Sehingga dari penjelasan tersebut Hadits dapat menjadi landasan metode dakwah.
Hal ini berdasarkan keterangan dari Allah SWT yang tertera di dalam Alquran surah
al-Ahzab ayat 21 yang menyatakan:

... ‫َلَقْد َك اَن َلُك ْم ْيِف َرُسْو ِل الّٰلِه ُاْس َو ٌة َح َس َنٌة‬

13
Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 21.
14
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 38.
15
Imam Zaidallah, Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khotib Profesional,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 72
8
“Sungguh terdapat di dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagimu...”
Setiap aktivitas dakwah harus dirancang serta dilakukan dengan sebaik-baiknya
dengan memperhatikan berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi, seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah dalam melaksanakan dakwah. Hadits juga tidak hanya
berfokus pada aspek hukum tetapi juga mencakup etika komunikasi. Rasulullah tidak
hanya memberikan hukum dan perintah, tetapi juga memberikan contoh cara
berkomunikasi yang baik dan efektif. Dalam banyak hadits, Rasulullah menunjukkan
kelembutan, kebijaksanaan, dan kesabaran dalam berkomunikasi dengan berbagai
lapisan masyarakat.
Hadits mengajarkan prinsip-prinsip etika berkomunikasi, seperti kejujuran,
kepedulian, dan penghargaan terhadap pendapat orang lain. Etika ini mencakup baik
komunikasi lisan maupun non-lisan, menciptakan lingkungan sosial yang penuh kasih
sayang dan saling pengertian.
2. Hadits sebagai Prinsip Etika Komunikasi
Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang mencakup perkataan, perbuatan, dan
persetujuan Rasulullah Muhammad SAW, memberikan landasan kuat untuk
mengembangkan prinsip etika komunikasi dalam Islam. Berikut adalah beberapa
aspek rinci tentang bagaimana hadits membentuk prinsip etika komunikasi:
a) Kejujuran dan Kepercayaan
Hadits mengajarkan pentingnya kejujuran dan kepercayaan dalam
berkomunikasi. Rasulullah dikenal sebagai Al-Amin (Orang yang dapat dipercaya)
sebelum menerima wahyu, dan kejujuran ini tetap menjadi prinsip utama dalam
komunikasi Islam. Hadits mengandung ajaran untuk selalu berbicara jujur, tidak
menyembunyikan fakta, dan menjauhi dusta. Prinsip komunikasi ini antara lain
dapat diperoleh dari hadis riwayat Muslim dalam kitab Shahihnya 16, sebagai
berikut:

: ‫ َق اَل َرُس ْو ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫َعْن َعْب ِد اِهلل بِن َمْس ُعْو د َر ِض َي اُهلل َعْن ُه َق اَل‬
‫ َو َم ا َيَز اُل‬، ‫ َو ِإَّن اْلَّرِب َيْه ِدْي ِإىَل اَجْلَّن ِة‬، ‫ َف ِإَّن الِّص ْدَق َيْه ِدْي ِإىَل اْلِّرِب‬، ‫َعَلْيُك ْم ِبالِّص ْد ِق‬
16
Imam Abi al-Husein Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 504.
9
‫ َفِإَّن‬، ‫ َو ِإَّياُك ْم َو اْلَك ِذَب‬، ‫الَّر ُج ُل َيْص ُد ُق َو َيَتَح َّر ى الِّص ْدَق َح ىَّت ُيْك َتَب ِعْنَد اِهلل ِص ِّد ْيًق ا‬
‫ِذ‬ ‫ِد‬ ‫ِد‬ ‫ِذ‬
‫ َو َم ا َيَز اُل الَّر ُج ُل َيْك ُب‬، ‫ َو ِإَّن اْلُف ُج ْو َر َيْه ْي ِإىَل الَّناِر‬، ‫اْلَك َب َيْه ْي ِإىَل اْلُف ُج ْو ِر‬
‫َو َيَتَح َّر ى اْلَك ِذَب َح ىَّت ُيْك َتَب ِعْنَد اِهلل َك َّذ اًبا‬
“Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur,
karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan
seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih
jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh
kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan
kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa
berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta
(pembohong)”.

Hadits di atas dapat dijadikan sebagai prinsip dasar bagi umat Islam ketika
berkomunikasi dengan orang lain. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan di sisi.
Pertama, karena keberhasilan komunikasi sangat ditentukan oleh kredibilitas para
partisipannya. Sedangkan kredibilitas partisipan komunikasi antara lain ditentukan
oleh kejujuran mereka. Kedua, kualitas dan kebermaknaan komunikasi sangat
ditentukan oleh bobot isi pesan komunikasi. Sedangkan bobot isi pesan
komunikasi antara lain ditentukan oleh seberapa bersih pesan komunikasi tersebut
terbebas dan unsur kebohongan.
Jujur dalam berkomunikasi sangat penting. Karena kejujuran akan
menumbuhkan sikap saling mempercayai di antara partisipan komunikasi.
Sebaliknya, bohong atau dusta harus dihindari dalam komunikasi. Karena ia bukan
hanya akan menyesatkan komunikasi, tetapi juga dapat membahayakan
komunikator sendiri. Satu kali saja seseorang melakukan kebohongan kemudian
terbongkar oleh orang lain, maka dapat berakibat fatal bagi orang tersebut. Ia
mungkin akan dicap sebagai pembohong, balikan mungkin akan disebut sebagai
penebar fitnah. Akibat yang lebih tragis mungkin ia akan kehilangan kepercayaan
dari masyarakat.
b) Penggunaan Bahasa yang Baik dan Bermanfaat
Hadits memberikan petunjuk tentang penggunaan bahasa yang baik, sopan,
dan bermanfaat. Rasulullah mengajarkan agar berbicara dengan kata-kata yang
10
tidak menyakiti perasaan orang lain, dan untuk menghindari kata-kata kasar atau
merendahkan. Prinsip ini menciptakan komunikasi yang membawa manfaat dan
membangun.Salah satu hadits yang dapat dipakai sebagai landasan normatif bagi
prinsip komunikasi ini antara lain hadits riwayat al-Bukhari17 sebagai berikut:

‫ من كان يؤمن‬: ‫عن اىب هريرة رضى اهلل عنه ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال‬
‫باهلل واليوم االخر فليقل خريا او ليصمت‬
“Dari Abu Hurairah ra, berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”

Hadits diatas menjelaskan bahwa komunikasi harus dilakukan dengan


menggunakan bahasa yang baik. Bahasa yang baik dalam kontek ini memiliki
beberapa makna. Pertama, bahasa yang mulia (qaul karim), yakni bahasa yang
bersih dan unsur-unsur yang dapat merendahkan martabat pemakainya seperti
perkataan kotor, jorok dan tidak senonoh. Kedua, bahasa yang lemah lembut dan
halus (qaul layin), lawannya adalah bahasa yang keras, kasar, dan sarkasme,
seperti membentak atau menghardik orang lain. Ketiga, bahasa yang mengenai
sasaran atau membekas (qaul baligh) yakni efektif untuk mempengaruhi
pandangan dan merubah sikap komunikan. Keempat, bahasa yang pantas (qaul
maisur), yakni bahasa yang disesuaikan dengan keadaan setiap mitra komunikasi.
c) Kritis terhadap Informasi dan Diksi yang Tepat
Rasulullah mendorong umat Islam untuk selalu bersikap kritis terhadap
informasi yang diterima. Hadits menekankan pentingnya verifikasi informasi
sebelum menyebarkannya. Rasulullah memberikan perhatian khusus terhadap
kebenaran dan ketepatan informasi untuk menghindari penyebaran berita palsu
atau fitnah.
Kemudian, Nabi SAW menganjurkan umatnya. untuk menggunakan simbol-
simbol kebahasaan yang tepat dalam berkomunikasi. Anjuran tersebut antara lain
tersirat dalam riwayat Imam al-Bukhary18 yang artinya:

17
Imam Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 15
18
Ibid, hal. 51
11
“Aisyah mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda: “seseorang di antara kalian
berkata “khabutsa nafsi (diriku jelek),” tetapi berkatalah “laqitsa nafsi (diriku
jelek).”
Kata khabutsa dan laqitsa secara bahasa memiliki arti yang sama, yakni
berarti “jelek”. Namun dalam hadits di atas Nabi melarang umat Islam
menggunakan kata khabutsa dan memerintahkan untuk menggunakan kata laqitsa.
Alasannya karena kata laqitsa dalam bahasa Arab lebih pantas digunakan
seseorang untuk menjelekkan diri sendiri dan mungkin juga untuk menjelekkan
orang lain daripada kata khabutsa. Dengan demikian, kata laqitsa bermakna
amelijoratif (nilai rasa bahasanya tinggi), lebih sopan dan elegan, sedangkan kata
khabutsa berniakna pejoratif (nilai rasa bahasanya rendah).
d) Santun dan Penuh Kasih Sayang
Rasulullah menunjukkan sikap santun dan kasih sayang dalam
berkomunikasi. Hadits memberikan contoh tentang bagaimana Rasulullah
berbicara dengan lemah lembut, memilih kata-kata dengan bijaksana, dan
memperlakukan orang dengan penuh kasih sayang. Sikap ini menciptakan
lingkungan komunikasi yang harmonis dan menghargai martabat setiap individu.
Komunikasi juga harus ramah lingkungan yaitu komunikasi harus memberikan
rasa nyaman, bebas dan segala yang berbau ancaman, atau yang dapat meresahkan
seluruh atau sebagian partisipan komunikasi. Ramah dalam berkomunikasi adalah
sangat penting. Karena ia dapat menciptakan suasana akrab, dapat mencairkan
kemarahan dan bahkan bisa mereduksi dendam kesumat mitra komunikasi.
Rasulullah dalam beberapa hadtisnya memerintahkan umatnya untuk bersikap
ramah dalam berkomunikasi. Misalnya, Rasul pernah melarang istrinya, ‘Aisyah
r.a., berkata pedas kepada sekelompok orang Yahudi yang datang ke rumah beliau
dengan sikap yang kurang bersahabat. Perintah bersikap ramah dalam komunikasi
tersebut antara lain dapat dicermati dari hadits yang artinya sebagai berikut:
“Dari Urwah bin Zubair, sesungguhnya ‘Aisyah r.a berkata:Sekelompok orang
Yahudi datang kepada Rasulullah SAW, mereka berkata al-sam ‘alaikum
(kematian untuk kalian), A’syah berkata: saya memahami perkataan Yahudi
tersebut, kemudian saya menjawab: wa’alaikum al-sam wa al-la’nat (dan untuk
kalian pula kematian dan laknat Allah). ‘Aisyah berkata: kemudian Rasulullah
bersabda: tenang ya ‘Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam
segala urusan. Kemudian saya (‘Aisyah) berkata: Ya Rasulullah, apakah engkau
12
tidak mendengar apa yang mereka katakan? Rasulullah bersabda saya menjawab
(salam Yahudi) wa’alaikum.”
Dari perbincangan Rasul dengan ‘Aisyah yang terdapat pada hadits diatas
dapat diketahui bahwa Islam menyuruh umatnya untuk mengembangkan sikap
ramah dalam berkomunikasi. Sikap ramah tersebut seperti tergambar dalam hadis
di atas bisa dilakukan dalam bentuk pemakaian kata-kata atau ungkapan yang
tidak pedas, tidak kasar, tidak berbau sarkasme (kecaman), dan kata-kata yang
dapat menyinggung perasaan mitra komunikasi lainnya. Prinsip keramahtamahan
ini sangat penting karena ikut menentukan keberhasilan komunikasi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

13
Secara umum dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik yang tentunya
dapat menggunakan wasilah (media) dan thariqah (metode). Dakwah merupakan
aktivitas yang sangat urgen dalam Islam. Dengan dakwah, Islam dapat tersebar dan
diterima oleh manusia. Hukum dakwah telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Komunikasi adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Karena itu tidak
satupun dari makhluk Allah yang satu ini terbebas dari persoalan tersebut pentingnya
komunikasi bagi manusia Juga diakui oleh Islam. Indikator mengenal adanya
pengakuan tersebut dapat dijumpai dari sejumlah statemen al- Qur'an maupun hadits.
Dalam hadits khususnya, Nabi SAW dalam banyak kesempatan menyuruh umat
Islam untuk berkata yang baik, atau diam kalau memang tidak bisa berkata yang baik,
menyuruh berkata Jujur dan menghindari perkataan bohong, menyuruh menggunakan
kata-kata yang tepat dan yang paling baik ketika berbicara, melarang menggunakan
kata-kata kasar, pedas dan yang dapat menyakitkan orang lain, dan sebagainya.
Statemen-statemen hadis tersebut dapat diformulasikan menjadi prinsip-prinsip
komunikasi yang akan menjadi acuan umat Islam dalam berkomuniasi dengan mitra-
mitra komunikasi mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Moh. Ali. 2016. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana.

14
Hefni, Harjani. 2015. Komunikasi Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Ilaihi, Wahyu. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta: Kencana.
Muhtadi, Asep Syaiful. 2012. Komunikasi Dakwah: Teori Pendekatan, dan Aplikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Muis, Abdul. 2001. Komunikasi Islam. Bandung: PT remaja Rosdakarya.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Edisi Ke-2. Surabaya: Pustaka Progresif.
Nata, Abuddin. 2000. Al-qur`an Dan Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadits. (akarta: Gaya Media Pratama.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Saputra, Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Shaleh, Rosyad. 1977. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Zaidallah, Imam. 2002. Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khotib
Profesional. Jakarta: Kalam Mulia.

15

Anda mungkin juga menyukai