Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AL HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Usul Fiqih
Yang Diampu Oleh :Bpk. Hafid, M.Pd

KELOMPOK (4)

FAUZI A (69)
MUNIRI
IKHLASSUNNIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HAMIDIYAH


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEN ASEN KONANG BANGKALAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Al Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedua" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Usul Fiqih. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang perkembangan ilmu pendidikan agama islam bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hafid M.Pd selaku dosen Mata
Pelajaran Usul Fiqih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bangkalan, 10 September 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Seluruh umat islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber
ajaran islam. Ia mempati kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti
hadits bagi umat islam, baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya
dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hai ini karena, hadits merupakan mubayyin
bagi Al-qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-qur`an tanpa
dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits
tanpa Al-qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadits dengan Al-
qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri-sendiri.
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, hadits selalu
menjadi rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian
keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan
sebuah hadits. sehingga hal tersebut memunculkan sebagian kelompok meragukan
dan mengingkari akan kebenaran hadits sebagai sumber hukum.
Banyak al-qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu
merupkan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam
bentuk perintah, maupun larangan nya.
Namun mengapa para pengingkar sunnah tetap meragukannya? Berikut
makalah ini akan memaparkan sedikit tentang kedudukan hadits terhadap al-qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Hadits ?
2. Bagaimana kedudukan Hadits sebagai sumber kedua dalam islam ?
3. Bagaimana fungsi Hadits terhadap Al Qur’an ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hadits
2. Untuk mengetahui kedudukan Hadits
3. Untuk mengetahui fungsi Hadits terhadap Al Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hadits
Kata hadis, bentuk jama’nya al-hadith arti bahasanyasesuai yang baru,
sinonim dari al-qadim. Kata al-hadith juga mengandung arti kebahasaan yaitu khabar
atau baik kisah- kisah pendek (singkat) atau panjang. Kata al-hadith dalama bahasa
arab, secara literal, bermakna komunikasi, cerita, perbincangan religius atau sekuler,
historis atau kekinian. Pada masa jahiliyah pengucapan kata al-hadith yang bermakna
khabar sudah sangat terkenal yaitu ketika menyebutkan ayyam mereka
dengan nama al-hadith. Kemudian penggunaan kata al-hadith semakin luas adalah
sesudah wafatnya Rasulullah, yaitu meliputi perkataan dan perbuatan serta apa yang
dapat diterima dari Rasulullah. Oleh karena itu, kata al-hadit h menjadi
suatu istilah tersendiri di kalagan muhaddithin dan para ulama, ialah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi saw., baik berupa ucapan, perbuatan, pengakuan
atau sifat.
Hadits menurut ulama ahli hadits (muhadditsin) adalah segala ucapan,
perbuatan, taqrir (peneguhan/mendiamkan sebagai tanda membolehkan atau
persetujuan), dan sifat-sifat Nabi Muhammad Rosulullah saw.
Namun ulama ushul fiqih mendefinisikan hadits lebih sempit lagi, yaitu
terbatas pada ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Rosulullah saw, yang
berkaitan dengan hukum.
Hadits juga disebut sunnah, atsar, dan kabar. Namun sebagian ulama
berpendapat bahwa ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda dengan
hadits.

 Sunnah : lebih luas cakupannya dibandingkan dengan hadits. Sebab sunnah


tidak terbatas pada ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Rosulullah
saw., melainkan juga meliputi sifat kelakuan, dan perjalanan hidup beliau baik
sebelum maupun setelah diangkat menjadi Rosulullah (utusan Allah SWT)

 Atsar : lebih sering digunakan untuk sebutan bagi ucapan sahabat Nabi
Muhammad Rosulullah saw.
 Kabar (berita) : lazimnya selain disandarkan pada sahabat juga disandarkan
kepada tabi’in (generasi setelah sahabat). Jadi kabar lebih umum dari hadits,
karena di dalamnya termasuk semua riwayat yang bukan dari Nabi Muhammad
Rosulullah saw.3

B. Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam


Sebagaimana Al-Qur’an, hadits juga merupakan sumber hukum Islam.
Derajatnya menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini merupakan ketentuan
Allah swt. Sebagaimana firman-Nya :

)٧( َ ‫س ْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما ن َٰه ُك ْم‬


‫ع ْنهُ فَا ْنت َ ُه ْوا‬ َّ ‫َو َمآ َءا ٰت ُك ُم‬
ُ ‫الر‬
Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)”.
Selanjutnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa sunah (hadits)
merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita harus
mengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang diberikan oleh
sunah Rasulullah saw., mentaati perintah Rasulullah adalah wajib, sebagaimana
kita mentaati apa yang disampaikan al-Qur’an.
Hadits merupakan mubayyin (pelengkap) bagi al-Qur’an yang karenanya,
siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’an tanpa dengan memahami dan
menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa al-Qur’an, akan
kehilangan arah, karena al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang
didalamnya berisi garis-garis besar syari’at Islam.
Dengan demikian, antara al-Qur’an dan hadits memiliki hubungan timbal
balik yang tidak dapat dipisahkan.

Hukum taat kepada Rasul sama dengan taat kepada Allah, hal ini
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (Q.S. 4: 80)

Artinya : Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah


menaati Allah...
Ada tiga peranan Al-Hadits disamping Al Qur’an sebagai sumber agama
dan ajaran Islam, yakni sebagai berikut :
1. Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Al Qur’an. Misalnya
dalam Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara
pelaksanaannya dijelaskan oleh Nabi.
2. Sebagai penjelasan isi Al Qur’an. Di dalam Al Qur’an Allah memerintahkan
manusia mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan
banyaknya raka’at, cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabi lah yang
menyebut sambil mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan
syarat mendirikan shalat.
3. Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar
ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi menikahi
seorang perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan
-larangan perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah
larangan itu jelas bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya
hubungan silaturrahim antara dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama
Islam.

Mengingat hadits adalah sumber ajaran Islam kedua, maka hukum


mempelajari hadits adalah wajib. Berikut ini penulis paparkan pendapat beberapa
ulama tentang kewajiban mempelajari hadits dan mengamalkannya.
1. Al-Hakim menegaskan, "Seandainya tidak banyak orang yang menghafal sanad
hadits, niscaya menara Islam akan roboh. Juga niscaya para ahli bid`ah berupaya
membuat hadits maudhu dan memutar-balikkan sanad."
2. Imam Sufyan Sauri menyatakan, "Saya tidak mengenal ilmu yang utama bagi
orang yang berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah, selain ilmu
hadits. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini sampai pada masalah-masalah
kecil tentang tata cara makan dan minum. Mempelajari hadits lebih utama
dibandingkan dengan sholat (sunnah) dan puasa (sunnah), karena mempelajari
ilmu ini adalah fardhu kifayah.
3. Imam Syafi`i menuturkan, "Ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling
kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak gemar menyiarkannya, kecuali
orang-orang yang jujur dan takwa. Dan tidak dibenci memberitakannya selain
oleh orang-orang munafik lagi celaka.
C. Fungsi Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam

Abd. Halim Mahmud, mantan shaykh al-Azhar, dalam bukunya al-hadith


fiMakanatiha wa fi Tarikhiha menulis, bahwa al-hadith mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum
shara’. Dengan merujuk kepada pendapat al-Shafi’i dalam al-Risalah, Abd Halim
Mahmud menegaskan bahwa dalam kaitanyya dengan al-Qur’an, ada 2 (dua) fungsi
hadis yang tidak diperdebatkan yaitu apa yang yang diistilahkan oleh sementara
ulama’ dengan bayan ta’kiddan bayan tafsir.
1. Bayan at-Taqrir
Bayan ta'kid disebut juga dengan bayan taqrir atau bayan itsbat. Yang di
maksud bayan ta'kid adalah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan dalam
Al Qur'an. Bayan al-Ta’kid, yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan al-
Qur’an. Dengan demikian hukum yang dikeluarkan mempunyai dua sumber hukum,
yaitu al-Qur’an dan hadis. Seperti ayat tentang salat dan zakat, haji, dan puasa:

‫الر ِك ِع ۡي‬ َّ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا‬


ّٰ ‫الز ٰكوةَ َو ۡار َكعُ ۡوا َم َع‬ َّ ‫َواَقِ ۡي ُموا ال‬
Artinya; ”Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang yang ruku’ “QS (Al-Baqarah; 2; 43)

ِ ّٰ ‫ِل ْنفُ ِس ُك ْم ِم ْن َخي ٍْر ت َ ِجد ُْوهُ ِع ْن َد‬


‫ّٰللا ۗ ا َِّن‬ َّ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا‬
َ ِ ‫الز ٰكوة َ ۗ َو َما تُقَ ِد ُم ْوا‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬
ِ َ‫ّٰللا بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬
‫صيْر‬ َ ّٰ “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa
saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-
Baqarah (2): 110)

ِ َّ‫ِف ْي ِه ٰا ٰي ٌۢتٌ َب ِي ٰنتٌ َّم َقا ُم ِاب ْٰر ِهي َْم ەۚ َو َم ْن َد َخ َلهٗ َكانَ ٰا ِمنًا ۗ َو ِ ّّٰلِلِ َعلَى الن‬
ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬
‫ت َم ِن‬
َ‫ي َع ِن ْال ٰعلَ ِميْن‬ ّٰ ‫سبِي ًًْل ۗ َو َم ْن َكفَ َر فَا َِّن‬
ٌّ ِ‫ّٰللاَ َغن‬ َ ‫ع اِلَ ْي ِه‬
َ ‫طا‬ َ َ‫ا ْست‬
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah . Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam”. (QS. Ali ‘Imran (3): 97)

2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur'an yang masih bersifat
global (mujmal). Atau dengan kata lain adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat
yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat
mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian
(tafshil).

‫سا ٓ ًء فَ ْوقَ ٱثْنَتَي ِْن‬ َ ‫ٱّلِلُ ِف ٓى أَ ْو ٰلَ ِد ُك ْم ۖ ِللذَّ َك ِر ِمثْ ُل َح ِظ ْٱْلُنثَ َيي ِْن ۚ فَإِن ُك َّن ِن‬
َّ ‫وصي ُك ُم‬ ِ ُ‫ي‬
‫ُس‬
ُ ‫سد‬ ُّ ‫ف ۚ َو ِْلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل ٰ َو ِح ٍد ِم ْن ُه َما ٱل‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما تَ َركَ ۖ َوإِن َكان‬
ْ ِ‫َت ٰ َو ِح َدةً فَلَ َها ٱلن‬
َ‫ث ۚ فَإِن َكان‬ ُ ُ‫ِم َّما تَ َركَ ِإن َكانَ لَهُۥ َولَدٌ ۚ فَإِن لَّ ْم يَ ُكن لَّهُۥ َولَدٌ َو َو ِرثَهُۥٓ أَبَ َواهُ فَ ِِل ُ ِم ِه ٱلثُّل‬
‫وصى ِب َها ٓ أَ ْو َدي ٍْن ۗ َءا َبا ٓ ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ٓ ُؤ ُك ْم َِل‬ ِ ُ‫صيَّ ٍة ي‬ِ ‫ُس ۚ ِم ٌۢن َب ْع ِد َو‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫لَهُۥٓ إِ ْخ َوة ٌ فَ ِِل ُ ِم ِه ٱل‬
‫ٱّلِل َكانَ َع ِلي ًما َح ِكي ًما‬ ِ َّ َ‫ضةً ِمن‬
َ َّ ‫ٱّلِل ۗ إِ َّن‬ َ ‫ب لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري‬ ُ ‫تَد ُْرونَ أَيُّ ُه ْم أَ ْق َر‬

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-
Nisa’ (4): 11)
Bayan hadis terhadap al-Qur’an, Abbas Bayumi mrmbagi bayan menjadi 3
(tiga) macam:
1. Bayan ma‘na al-lafzi, yaitu menjelaskan arti kata atau bacaan dalam al-Qur’an,
atau penjelasan yang berhubungan dengan bahasa.
2. Bayan al-ma‘ani atau izhar al-maqsud, bayan semacam ini sama dengan bayan
tafsir yang terdiri dari:
a. Takhsis al-‘am. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri, dalam surat al-
Ma’idah ayat 38 Allah berfirman:

ُ‫ٱّلِل‬ ِ َّ َ‫سبَا نَ ٰ َك ًًل ِمن‬


َّ ‫ٱّلِل ۗ َو‬ َ ‫طعُ ٓو ۟ا أَ ْي ِديَ ُه َما َجزَ آ ٌۢ ًء بِ َما َك‬
َ ‫َّارقَةُ فَٱ ْق‬
ِ ‫َّار ُق َوٱلس‬ِ ‫َوٱلس‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ٌ ‫َع ِز‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(QS. al-Ma’idah (5): 38)

Ayat ini masih menunjukkan pengertian yang bersifat umum,


maka fungsi hadis adalah men-takhsis ayat tesebut,24 yaitu menjelaskan
pencuri yang dipotong tangannya apabila mencapai seperempat dinar, dan
batas potongan tangan adalah pergelangan tangan.

b. Taqyid al-mutlaq. Seperti kemutlakan kata al-Zulm dalam surat al-An’am ayat
82 Allah berfirman:

َ‫ظ ْل ٍم أ ُ ۟و ٰ َٓلئِكَ لَ ُه ُم ْٱْل َ ْمنُ َوهُم ُّم ْهتَدُون‬


ُ ‫س ٓو ۟ا ِإي ٰ َمنَ ُهم ِب‬ ۟ ُ‫ٱلَّذِينَ َءا َمن‬
ُ ‫وا َولَ ْم َي ْل ِب‬

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman


mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. al-An’a>m
(6): 82)
Kemudian ayat ini dijelaskan dalam hadith Nabi, bahwa yang
dimaksud ka “al-Zulm dalam ayat itu adalah al-shirk. Seperti sabda Nabi
SAW.:
“Dari Abdullah r.a berkata: ketika turun ayat tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman (syirik), berkata para sahabatnya: dimana
kami tidak syirik, maka turun ayat: sesungguhnya syirik itu benar-benar dosa
besar”.

c. Tawdih al-Mujmal, seperti ayat yang menerangkan meng-qasar salat, dalam


surat al-Nisa’ ayat 101 Allah berfirman:

‫صلَ ٰوةِ إِ ْن‬


َّ ‫وا ِمنَ ٱل‬ ۟ ‫ص ُر‬ ُ ‫ح أَن تَ ْق‬ ٌ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا‬ َ ‫ض فَلَي‬ ِ ‫ض َر ْبت ُ ْم فِى ْٱْل َ ْر‬َ ‫َوإِذَا‬
۟ ُ‫ِخ ْفت ُ ْم أَن يَ ْفتِنَ ُك ُم ٱلَّذِينَ َكفَ ُر ٓو ۟ا ۚ ِإ َّن ْٱل ٰ َك ِف ِرينَ َكان‬
َ ‫وا لَ ُك ْم‬
‫عد ًُّوا ُّم ِبينً ا‬

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa


kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
(QS. al-Nisa’ (4): 101).
Ayat ini masih bersifat mujmal, kemudian Nabi menjelaskan ayat
tersebut dengan hadis:

“Dari ‘Aishah, sesungguhnya dia berkata: Sesungguhnya permulaan


salat itu di-fardu-kan dua rakaat, kemudian yang dua rakaat itu ditetapkan bagi
yang dalam bepergian/perjalanan) dan disempurnakan salat hadar (tidak
dalam bepergian).

d. Bayan ’amali, Nabi melakukan kebiasaan ibadah di hadapan para sahabat,


kemudian mereka melakukan seperti yang diperbuat oleh Nabi, dan
menyampaikan kepada sahabat yang lain.

3. Bayan Tashri’, adalah hadis yang menetapkan hukum yang secara eksplisit tidak
disebutkan oleh al-Qur’an. Seperti:
a. Haram memakan hewan yang mempunyai taring tajam, burung yang berkuku
tajam dan hewan yang jinak. Seperti sabda Nabi:
”Dari Ibn ’Abbas berkata: Rasulullah saw. melarang makan dari setiap
hewan yang memiliki kuku tajam dari binatang buas, dan memakan setiap
burung yang berkuku tajam”.
b. Haram mengawini perempuan yang masih ada hubungan rada’. Seperti sabda
Nabi saw.:
”Dari ’Aishah sesungguhnya ia telah memberitahukan bahwa
pamannya yang bernama Aflah adalah saudara rada’ah (sesusuan), ia
mengijinkan untuk menghalanginya, kemudian hal itu saya sampaikan
Rasulullah SAW. Kemudian beliau mejawab padanya jangan halangi dia,
sesungguhnya keharaman sesusuan itu sama dengan keharaman dari
keturunan”.
c. Haram mengumpulkan perempuan dan bibinya dalam satu ikatan perkawinan.
Seperti sabda Nabi saw.:
”Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jangan kamu
mengumpulkan (kawini) wanita dengan pamannya (dimadu), dan juga jangan
mengumpulkan (dimadu) wanita dengan bibinya”
Al-Shafi’i dalam al-Risalah mengatakan bahwa hukum-hukum yang
dihasilkan dari hadis itu pada dasarnya, juga bersumber dari al-Qur’an, baik
disebut dengan jelas maupun tidak. Pendapat ini diikuti oleh al-Shat}ibi dalam
kitab al-Muwafaqat. Ia mendasarkan pada pemahamannya pada al-Qur’an
surat al-Nahl:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Maksudnya bahwa tidak akan dijumpai hukum yang hanya ada dalam hadis saja,
melainkan atas dasar al-Qur’an yang telah merujuknya, baik secara global maupun
terperinci.
Bagi yang mempertahankan pendapat bayan tashri’ beralasan, bahwa Rasul
itu tidak mempunyai wewenang untuk menjelaskan hukum, maka tidak mungkin
diperintahkan mengikutinya. Sedang dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ disebutkan:
ً ‫س ْل ٰنكَ َعلَ ْي ِه ْم َح ِف ْي‬
ۗ ‫ظا‬ َ ‫ّٰللاَ ۚ َو َم ْن تَ َولّٰى فَ َما ٓ ا َ ْر‬
ّٰ ‫ع‬ َ َ‫س ْو َل فَقَ ْد ا‬
َ ‫طا‬ َّ ‫َم ْن ي ُِّط ِع‬
ُ ‫الر‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. al-Nisa>’ (4): 80)

Komentar tentang bayan al-tashri’, menurut Ibn Hazm dalam bukunya


al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, berpendapat: “Ketika menjelaskan bahwa
sesungguhnya al-Qur’an adalah pokok yang menjadi rujukan hukum-hukum
shar‘iy, kita renungkan apa yang ada di dalamnya, kemudian kita jumpai
kewajiban taat kepada perintah Rasul. Maka dengan demikian dapatlah kita
simpulkan bahwa wahyu yang datang dari Allah pada Rasul-Nya dibagi menjadi
dua macam. Pertama, wahyu yang dibacakan yang tersusun dan menjadi mu’jizat,
yaitu al-Qur’an. Kedua, wahyu yang diriwayatkan yang dinukil, tidak tersusun
tapi bukan merupakan mu’jizat, tidak dianggap ibadah bagi orang yang
membacanya, yaitu berita yang datang dari Rasulullah.
Komentar dan analisis serta dasar-dasar yang diikuti oleh para ulama’
menggambarkan bahwa korelasi antara hadis dengan al-Qur’an dapat berfungsi
sebagai bayan tashri’, sebab Nabi SAW. dapat merumuskan hukum shar’i
tersendiri yang tidak tersurat dalam al-Qur’an secara sarih (jelas). Namun
demikian tidak terlepas dari prinsip-prinsip umum yang ada dalam al-Qur’an.
Seperti sifat Nabi melarang seorang suami mengawini bibi isterinya sendiri
dengan cara dimadu, diharamkannya makan daging himar piaraan dan binatang
buas. Larangan ini oleh sebagian usuliyyun secara zahir nass adalah bersumber
dari Nabi SAW.
demikian oleh ulama’ lain dilihat bukan sbagai sumber semata dari
Nabi . tanpa mafhum dari al-Qur’an.
Alasan mereka bahwa Nabi. Memahami persoalan-persoalan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Qur’an, meskipun tidak disebutkan secara
jelas dalam nass al-Qur’an. Sehingga betapa itu disebut sebagai ijtihad Nabi
SAW., tetapi semata bersifat interpretatif atas nass-nass al-Qur’an, baik qat’i
ataupun zanni. Teori ini juga dipegangi oleh ulama’ hadis, hanya saja mereka
tidak bersikap sangat kritis sebagaimana ulama’ usul.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan berbagai pemaparan, bisa disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam dalam dalam al-Qur’an mempunyai
kedudukan yang tinggi, di antaranya: a) hadis sebagai sumber kedua hukum
Islam dengan dalil yang jelas, b) hadis mempunyai fungsi sebagai penjelas
kegelobalan dan keumuman ayat al-Qur’an dengan dalil yang tjelasdan terinci.
Tidak semua ayat-ayat yang termuat dalam al-Qur’an dijelaskan oleh Nabi saw
secara rinci seperti dalam haadis, akan tetapi sebagian besar telah dijelaskan
oleh Nabi melalui hadisnya.
2. Fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam terhadap al-Qur’an tidak terlepas
dari tiga hal:
a. hadis yang menjelaskan pada ayat yang telah dijelaskan al-Qur’an,
b. hadis menjelaskan ayat yang global dan umum,
c. hadis menjelaskan sesuatu yang belum ada ketentuannya dalam al-Qur’an.
3. Hadis sebagai sumber hukum Islam memberi penjelasan terhadap al-Qur’an,
ada empat macam, yaitu hadis sebagai:
a. Bayan al-Mujmal,
b. Bayan Taqyid al-Mutlaq,
c. BayanTakhsis al-‘Am,
d. Bayan Tawdih al-Mushkil.
DAFTAR PUSTAKA

’Abd al-Muttalib, Rif’at Fawzi. Tawthiq al-Sunnah fi al-Qur’an al-Thani al-Hijri. Mesir:

Maktabah al-Khanajy H{alaby, 1981.

Al-Shatiby. Al-Muwafaqat. Vol. 6. Mesir: Al-Maktabah al-Salafiyyah, t.t.

Asqallany, Ibn Hajar al-’. Tahdhib al-Tahdhib. Vol. 1. Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1994.

Azami, Muhammad Mustafa ‘, dan A. Yamin. Metodologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka

Hidayah, 1996.

Baghdady, al-Khatib al-. Kitab al-Kifayah. Matba‘ah al-Sa‘adah, 1972.

Balazury, Yah}ya al-. Futuh al-Buldan. Kairo, 1956.

Bayumy, ’Abbas. Dirasah fi al- Hadith al-Nabawy. Iskandariyah: Mu’assasah Shubbab al-

Jai’ah, 1986.

Anda mungkin juga menyukai