KELOMPOK (4)
FAUZI A (69)
MUNIRI
IKHLASSUNNIYAH
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Al Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedua" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Usul Fiqih. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang perkembangan ilmu pendidikan agama islam bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hafid M.Pd selaku dosen Mata
Pelajaran Usul Fiqih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh umat islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber
ajaran islam. Ia mempati kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti
hadits bagi umat islam, baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya
dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hai ini karena, hadits merupakan mubayyin
bagi Al-qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-qur`an tanpa
dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits
tanpa Al-qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadits dengan Al-
qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri-sendiri.
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, hadits selalu
menjadi rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian
keislaman. Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan
sebuah hadits. sehingga hal tersebut memunculkan sebagian kelompok meragukan
dan mengingkari akan kebenaran hadits sebagai sumber hukum.
Banyak al-qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu
merupkan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam
bentuk perintah, maupun larangan nya.
Namun mengapa para pengingkar sunnah tetap meragukannya? Berikut
makalah ini akan memaparkan sedikit tentang kedudukan hadits terhadap al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Hadits ?
2. Bagaimana kedudukan Hadits sebagai sumber kedua dalam islam ?
3. Bagaimana fungsi Hadits terhadap Al Qur’an ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hadits
2. Untuk mengetahui kedudukan Hadits
3. Untuk mengetahui fungsi Hadits terhadap Al Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits
Kata hadis, bentuk jama’nya al-hadith arti bahasanyasesuai yang baru,
sinonim dari al-qadim. Kata al-hadith juga mengandung arti kebahasaan yaitu khabar
atau baik kisah- kisah pendek (singkat) atau panjang. Kata al-hadith dalama bahasa
arab, secara literal, bermakna komunikasi, cerita, perbincangan religius atau sekuler,
historis atau kekinian. Pada masa jahiliyah pengucapan kata al-hadith yang bermakna
khabar sudah sangat terkenal yaitu ketika menyebutkan ayyam mereka
dengan nama al-hadith. Kemudian penggunaan kata al-hadith semakin luas adalah
sesudah wafatnya Rasulullah, yaitu meliputi perkataan dan perbuatan serta apa yang
dapat diterima dari Rasulullah. Oleh karena itu, kata al-hadit h menjadi
suatu istilah tersendiri di kalagan muhaddithin dan para ulama, ialah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi saw., baik berupa ucapan, perbuatan, pengakuan
atau sifat.
Hadits menurut ulama ahli hadits (muhadditsin) adalah segala ucapan,
perbuatan, taqrir (peneguhan/mendiamkan sebagai tanda membolehkan atau
persetujuan), dan sifat-sifat Nabi Muhammad Rosulullah saw.
Namun ulama ushul fiqih mendefinisikan hadits lebih sempit lagi, yaitu
terbatas pada ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Rosulullah saw, yang
berkaitan dengan hukum.
Hadits juga disebut sunnah, atsar, dan kabar. Namun sebagian ulama
berpendapat bahwa ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda dengan
hadits.
Atsar : lebih sering digunakan untuk sebutan bagi ucapan sahabat Nabi
Muhammad Rosulullah saw.
Kabar (berita) : lazimnya selain disandarkan pada sahabat juga disandarkan
kepada tabi’in (generasi setelah sahabat). Jadi kabar lebih umum dari hadits,
karena di dalamnya termasuk semua riwayat yang bukan dari Nabi Muhammad
Rosulullah saw.3
Hukum taat kepada Rasul sama dengan taat kepada Allah, hal ini
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (Q.S. 4: 80)
ِ َِّف ْي ِه ٰا ٰي ٌۢتٌ َب ِي ٰنتٌ َّم َقا ُم ِاب ْٰر ِهي َْم ەۚ َو َم ْن َد َخ َلهٗ َكانَ ٰا ِمنًا ۗ َو ِ ّّٰلِلِ َعلَى الن
ِ اس ِح ُّج ْال َب ْي
ت َم ِن
َي َع ِن ْال ٰعلَ ِميْن ّٰ سبِي ًًْل ۗ َو َم ْن َكفَ َر فَا َِّن
ٌّ ِّٰللاَ َغن َ ع اِلَ ْي ِه
َ طا َ َا ْست
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah . Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam”. (QS. Ali ‘Imran (3): 97)
2. Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur'an yang masih bersifat
global (mujmal). Atau dengan kata lain adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat
yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat
mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian
(tafshil).
سا ٓ ًء فَ ْوقَ ٱثْنَتَي ِْن َ ٱّلِلُ ِف ٓى أَ ْو ٰلَ ِد ُك ْم ۖ ِللذَّ َك ِر ِمثْ ُل َح ِظ ْٱْلُنثَ َيي ِْن ۚ فَإِن ُك َّن ِن
َّ وصي ُك ُم ِ ُي
ُس
ُ سد ُّ ف ۚ َو ِْلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل ٰ َو ِح ٍد ِم ْن ُه َما ٱل ُ ص ْ فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما تَ َركَ ۖ َوإِن َكان
ْ َِت ٰ َو ِح َدةً فَلَ َها ٱلن
َث ۚ فَإِن َكان ُ ُِم َّما تَ َركَ ِإن َكانَ لَهُۥ َولَدٌ ۚ فَإِن لَّ ْم يَ ُكن لَّهُۥ َولَدٌ َو َو ِرثَهُۥٓ أَبَ َواهُ فَ ِِل ُ ِم ِه ٱلثُّل
وصى ِب َها ٓ أَ ْو َدي ٍْن ۗ َءا َبا ٓ ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ٓ ُؤ ُك ْم َِل ِ ُصيَّ ٍة يِ ُس ۚ ِم ٌۢن َب ْع ِد َو ُ سد ُّ لَهُۥٓ إِ ْخ َوة ٌ فَ ِِل ُ ِم ِه ٱل
ٱّلِل َكانَ َع ِلي ًما َح ِكي ًما ِ َّ َضةً ِمن
َ َّ ٱّلِل ۗ إِ َّن َ ب لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري ُ تَد ُْرونَ أَيُّ ُه ْم أَ ْق َر
b. Taqyid al-mutlaq. Seperti kemutlakan kata al-Zulm dalam surat al-An’am ayat
82 Allah berfirman:
3. Bayan Tashri’, adalah hadis yang menetapkan hukum yang secara eksplisit tidak
disebutkan oleh al-Qur’an. Seperti:
a. Haram memakan hewan yang mempunyai taring tajam, burung yang berkuku
tajam dan hewan yang jinak. Seperti sabda Nabi:
”Dari Ibn ’Abbas berkata: Rasulullah saw. melarang makan dari setiap
hewan yang memiliki kuku tajam dari binatang buas, dan memakan setiap
burung yang berkuku tajam”.
b. Haram mengawini perempuan yang masih ada hubungan rada’. Seperti sabda
Nabi saw.:
”Dari ’Aishah sesungguhnya ia telah memberitahukan bahwa
pamannya yang bernama Aflah adalah saudara rada’ah (sesusuan), ia
mengijinkan untuk menghalanginya, kemudian hal itu saya sampaikan
Rasulullah SAW. Kemudian beliau mejawab padanya jangan halangi dia,
sesungguhnya keharaman sesusuan itu sama dengan keharaman dari
keturunan”.
c. Haram mengumpulkan perempuan dan bibinya dalam satu ikatan perkawinan.
Seperti sabda Nabi saw.:
”Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jangan kamu
mengumpulkan (kawini) wanita dengan pamannya (dimadu), dan juga jangan
mengumpulkan (dimadu) wanita dengan bibinya”
Al-Shafi’i dalam al-Risalah mengatakan bahwa hukum-hukum yang
dihasilkan dari hadis itu pada dasarnya, juga bersumber dari al-Qur’an, baik
disebut dengan jelas maupun tidak. Pendapat ini diikuti oleh al-Shat}ibi dalam
kitab al-Muwafaqat. Ia mendasarkan pada pemahamannya pada al-Qur’an
surat al-Nahl:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Maksudnya bahwa tidak akan dijumpai hukum yang hanya ada dalam hadis saja,
melainkan atas dasar al-Qur’an yang telah merujuknya, baik secara global maupun
terperinci.
Bagi yang mempertahankan pendapat bayan tashri’ beralasan, bahwa Rasul
itu tidak mempunyai wewenang untuk menjelaskan hukum, maka tidak mungkin
diperintahkan mengikutinya. Sedang dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ disebutkan:
ً س ْل ٰنكَ َعلَ ْي ِه ْم َح ِف ْي
ۗ ظا َ ّٰللاَ ۚ َو َم ْن تَ َولّٰى فَ َما ٓ ا َ ْر
ّٰ ع َ َس ْو َل فَقَ ْد ا
َ طا َّ َم ْن ي ُِّط ِع
ُ الر
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. al-Nisa>’ (4): 80)
A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan berbagai pemaparan, bisa disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam dalam dalam al-Qur’an mempunyai
kedudukan yang tinggi, di antaranya: a) hadis sebagai sumber kedua hukum
Islam dengan dalil yang jelas, b) hadis mempunyai fungsi sebagai penjelas
kegelobalan dan keumuman ayat al-Qur’an dengan dalil yang tjelasdan terinci.
Tidak semua ayat-ayat yang termuat dalam al-Qur’an dijelaskan oleh Nabi saw
secara rinci seperti dalam haadis, akan tetapi sebagian besar telah dijelaskan
oleh Nabi melalui hadisnya.
2. Fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam terhadap al-Qur’an tidak terlepas
dari tiga hal:
a. hadis yang menjelaskan pada ayat yang telah dijelaskan al-Qur’an,
b. hadis menjelaskan ayat yang global dan umum,
c. hadis menjelaskan sesuatu yang belum ada ketentuannya dalam al-Qur’an.
3. Hadis sebagai sumber hukum Islam memberi penjelasan terhadap al-Qur’an,
ada empat macam, yaitu hadis sebagai:
a. Bayan al-Mujmal,
b. Bayan Taqyid al-Mutlaq,
c. BayanTakhsis al-‘Am,
d. Bayan Tawdih al-Mushkil.
DAFTAR PUSTAKA
’Abd al-Muttalib, Rif’at Fawzi. Tawthiq al-Sunnah fi al-Qur’an al-Thani al-Hijri. Mesir:
Asqallany, Ibn Hajar al-’. Tahdhib al-Tahdhib. Vol. 1. Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1994.
Azami, Muhammad Mustafa ‘, dan A. Yamin. Metodologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996.
Bayumy, ’Abbas. Dirasah fi al- Hadith al-Nabawy. Iskandariyah: Mu’assasah Shubbab al-
Jai’ah, 1986.