HUKUM
(Dalil Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’)
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Hadits
MAKALAH
بسم هللا الرمحن الرحمي امحلدهلل رب العاملني الصالة والسالم عىل ارصف ا ألنبياء واملرسلني وعىل اهل وحصبه ومن تبعه اىل يوم ادلين
Segala puji atas kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Baginsa Rasul
Muhammad SAW., yang menjadi lentera dikala dunia gelap gulita. Shalawat dan salam juga
semoga tercurah limpahkan kepada keluarganya, sahabatnya serta Tabi’in Tabi’atnya dan
semoga sampai kepada kita ummatnya.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Didih Syakir Munandar, M.Pd.I.
atas tugas yang telah diberikan. Dengan tugas ini, ada banyak hal yang bisa kami pelajari
melalui penelitian dalam makalah ini. Dan juga kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat memenuhi fungsinya sebagai
khazanah Ilmu Pengetahuan. Penulis menyadari pula bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
sangat diharapkan, guna menjadi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Penulis tak lupa
menyampaikan permohonan maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekeliruan
dan kekurangan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
A. Dalil Al-Qur’an
B. Dalil Hadits
C. Ijtihad ‘Ulama
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh Umat Islam telah menerima paham bahwa Hadits Rasulullah SAW., adalah
sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak
ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan
menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak di khususkan menurut petunjuk ayat yang masih
mutlak dalam Al-Qur’an hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Andaikan usaha ini
mengalami kegagalan.
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima
oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di kalangan
Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komunitas
muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.
Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan
panutan oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebihlebih jika diyakini bahwa Nabi
selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti
membawa jaminan teologis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja dalil Al-Qur’an yang menetapkan kedudukan Hadits sebagai sumber
hukum?
2. Apa saja hadits yang menetapkan tentang kedudukan Hadits sebagai sumber hukum?
3. Bagaimana pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an?
C. Tujuan
A. Dalil Al-Qur’an
Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat yang secara
tegas memerintahkan umat islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya,
diantaranya dikemukakan sebagai berikut:
)٧َ:َوَمَااتكَمََالرَسَوَلََفَخَذَوَهََوَمَاَنھَاكَمََعَنَ َهَفَأنَتَھَوَاَ(الحشر
Artinya: “Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang
dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr : 7)
Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah dan
larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang- orang yang beriman.
Dengan demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena
itu kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang.
Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah
satu tolak ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa indikasi
yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati dan larangan yang
wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah.
Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi panutan yang
baik bagi umat islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan :
َ)٢١َ:ََ(االحزاب.َلَقَدََكَانََلَكَمََفَيََرَسَوَلََللاََاَسَوَةََحَسَنة
Artinya: “Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu.”ََ(Al-Ahzab :
21)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi orang-
orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka cara
meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak sezaman
dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami dam mengikuti
berbagai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya.
Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber
ajaran Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam,
berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-Qur’an. Walaupun demikian, tetap saja ada orang
yang menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam baik di kalangan orang Islam maupun orientalis.
Mereka umumnya memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh
al-Qur’an tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau di luar al-Qur’an.
Namun demikian ada juga orientalis yang menolak pandangan semacam itu, misalnya DS.
Margoliout, Ia berpendapat bahwa bagaimanapun juga dalam al-Qur’an Nabi selalu disebut
bergandengan dengan Tuhan. Hal demikian, hanya menunjuk pada konteks al-Qur’an sendiri
bahwa otoritas Tuhan dan otoritas Nabi Muhammad sebagi instrumen kemanusiaan bagi wahyu
Ilahiah sehingga tidak dapat dibedakan satu sama lain dan hanya ada al-Qur’an sebagi satu-
satunya rujukan. Pada titik ini dapat dimengerti bahwa Muhammad tidak memiliki sunnah ekstra
Qur’anik yang dapat direkam dalam hadits.
B. Dalil Hadits
Dalam Islam, hadits memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai sumber hukum.
Hadits digunakan untuk menjelaskan dan memperjelas ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat
dalam Al-Quran. Hadits juga memberikan petunjuk praktis dalam menjalankan ibadah dan
menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Hadits sebagai sumber hukum memiliki beberapa kriteria untuk dijadikan acuan.
Pertama, hadits harus memiliki sanad (rantai periwayatan) yang shahih atau kuat. Hal ini berarti
bahwa setiap perawi dalam rantai periwayatan harus memiliki integritas dan keandalan yang
tinggi. Kedua, hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran, karena Al-Quran merupakan
sumber hukum utama dalam Islam. Ketiga, hadits harus sesuai dengan akal sehat dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Dalam praktiknya, para ulama dan cendekiawan agama menggunakan metode ilmiah
untuk meneliti dan menguji keotentikan hadits. Mereka mempelajari sanad hadits, mengkaji
kehidupan perawi, serta membandingkan hadits dengan sumber-sumber lainnya untuk
memastikan keabsahan dan keandalannya.
Berikut adalah beberapa dalil hadits yang menerangkan bahwa Hadits adalah sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an :
a) Hadits Jibril: Hadits ini merupakan salah satu hadits yang paling terkenal dan penting
dalam Islam. Dalam hadits ini, Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk
seorang laki-laki untuk mengajarkan ajaran agama Islam secara lengkap. Salah satu
pertanyaan yang diajukan oleh Jibril adalah tentang iman, Islam, dan ihsan. Dalam
menjawab pertanyaan tersebut, Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa iman
meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-
Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Sedangkan Islam meliputi lima rukun
Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadan, dan haji. Terakhir, ihsan adalah
beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya.
b) Hadits Shahih Bukhari: Kitab Shahih Bukhari merupakan salah satu kitab hadits yang
paling diakui keotentikannya oleh umat Muslim. Di dalamnya terdapat banyak hadits
yang membahas tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum. Salah satu contoh
hadits yang relevan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini
(agama Islam) sesuatu yang bukan darinya, maka amalannya tertolak."
c) Hadits Shahih Muslim: Kitab Shahih Muslim juga merupakan salah satu kitab hadits
yang dianggap sangat penting dan sahih oleh umat Muslim. Di dalamnya terdapat banyak
hadits yang membahas tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum. Salah satu
contoh hadits yang relevan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin
Al-As, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diberi Al-Quran dan
yang serupa dengannya bersamanya. Apakah kamu akan berpegang teguh kepada
keduanya?"
Para ulama telah bersepakat menetapkan wajibu`i-ittiba` terhadap Al-Hadits, baik pada
masa Rasulullah masih hidup maupun telah wafat. Di waktu hayat Rasulullah saw, para sahabat
sama konsekuen melaksanakan hukum-hukum Rasulullah saw, mematuhi peraturan-peraturan
dan meninggalkan larangan-larangannya. Sepeninggal Rasulullah saw, para sahabat apa bila
tidak menjumpai ketentuan dalam Al-Qur`an tentang suatu perkara, mereka sama menanyakan
bagaimana ketentuan dalam hadits. Abu Bakar sendiri kalau tidak ingat akan ketentuan dalam
Hadits Nabi saw, menanyakan kepada siapa yang masih mengingatnya.` Umar dan para sahabat
lainpun meniru tindakan Abu Bakar tesebut. Tindakan para Khulafaur-Rasyidin, tidak ada
seorangpun dari sahabat dan tabi`in yang mengingkarinya. Karenanya hal sedemikian itu
merupakan suatu ijma.
Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an:
a) al-Qur’an dengan sifat yang qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan diyakini)
sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis. Dimana status hadis
(kecuali yang mutawatir) adalah dzanni al-wurud.
b) Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an. Maksudnya, yang
dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih tinggi. Maka eksistensi dan
keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada eksistensi al-Qur’an.
c) Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu jika bermaksud
mencari jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-Qur’an tidak ditemukan maka
mereka merujuk kepada Sunnah yang mereka ketahui, atau bisa menanyakan kepada
sahabat yang lain.
d) Hadis Muadz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-Qur’an dan Sunnah.
“Sesungguhnya ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau
bertanya kepada Muadz, “Bagaiamana engkau memutuskan perkara jika diajukan
kepadamu?” Maka Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan kitab Allah
(al-Qur’an).” Rasul bertanya lagi, “Apabila engkau tidak menjumpai jawabannya di
dalam kitab Allah?” Muadz berkata, “Aku akan memutuskan dengan Sunnah.” Rasul
selanjutnya bertanya lagi, “Bagaiaman jika engkau tidak menemukan di dalam Sunnah
dan tidak di dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan
mempergunakan akalku.” Rasul saw menepuk dada Muadz seraya berkata,
“Alhamdulillah atas taufik yang telah dianugerahkan Allah kepada utusan Rasulnya.”
Untuk melaksanakan perintah tersebut haruslah dimulai dengan hal keimanan,
sebagaimana firman Allah swt;
Ayat di atas menunjukkan kewajiban taat kepada Rasul, wujud taat tersebut dengan
mematuhi beliau ketika masih ada dan mengamalkan serta memperdomani hadis (Sunnah) beliau
sesudah tiada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah firman Allah yang shalih likulli zaman wa fi kulli makan. Segala
perkara yang ada pada dasarnya kembali kepada al-Qur’an, sebagaimana sifat al-Qur’an yaitu
huda (petunjuk). Petunjuk yang benar akan memberikan jalan dan solusi yang benar. Meskipun
al-Qur’an hanya terdiri dari 30 juz, tetapi petunjuk yang ada didalmnya sangtalah lengkap dan
mencakup semua persoalan yang ada. Dengan demikian al-Qur’an menjelaskan hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya dengan cara yang umum, terperinci, dan sesuai pokok bahasan.
Barang siapa yang hendak memahami kandungan hukum dalam ayat al-Qur’an maka
wajib baginya untuk memahami sunnah Nabi, hal ini dikarenakan korelasi antara keduanya
sangatlah erat. Kedudukan sunnah menjadi sakral ketika al-Qur’an hanya menjelaskan hukum
secara umum, disini diperlukan peran sunnah Nabi sebagai perinci dari hukum yang umum. Dan
ketika al-Qur’an sudah mejelaskan hukum secara rinci maka kedudukan sunnah sebagai penguat
atau pemantapan dari penjelasan hukum tersebut. Sama halnya jika penjelasan al-Qur’an hanya
sebatas isyarat saja, maka sunnah Nabi hadir untuk melengkapi dan menyikap tabir dari isyarat
tersebut.
Al-Qur’an dan Hadis adalah sumber hukum yang sangat relevan dan saling berkaitan
antara satu dengan yang satunya dan akan terus eksis terjaga keotentikannya. Adanya hadis akan
terus sejalan dengan keberadannya kitab Al-Qur’an.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan pembaca. Kami menyadari jika dalam penulisan makalah di atas masih banyak
kesalahan, baik dalam ejaan penulisan kata ataupun kalimat yang kurang jelas. Oleh sebat itu,
kami mengharapkan kritik dan saran mengenai penyusunan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Fatchur Rahman. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits (1st ed.). PT. Al-Ma'arif.
AL-FIKR. (2010). Kedudukan Dan Fungsi Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. Kedudukan
Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World.
Oneworld Publications.
Motzki, H., & Schoeler, G. (Eds.). (2014). Analysing Muslim Traditions: Studies in Legal,
Ibn Hajar al-Asqalani. (1992). Nukhbat al-Fikr fi Mustalah Ahl al-Athar. Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah.
Irwansyah, Halimatus Adiah, Muhammad Sibawaih. (2022). METODE IJTIHAD IMAM ABU