Anda di halaman 1dari 38

HADITS SUMBER AJARAN ISLAM

Penyusun :
Muhammad Dzikril Alnawa
Ali Muzaki
Muhammad Rahmatullah
Bagas Saputra

Ustadzah halimatussadiyah

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang
“Hadits Sumber Ajaran Islam”

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh
karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.Kami berharap semoga makalah yang kami
susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Bogor, 15 november 2023

Penulis, Umar 2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sumber ajaran Islam yang pokok adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun
terdapat perbedaan dari segi penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama
sepakat bahwa keduanya harus dijadikan rujukan. Dari keduanya ajaran Islam
diambil dan dijadikan pedoman utama. Oleh karena itu, kajiankajian terhadapnya
tidak pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring dengan
kebutuhan umat Islam.

Akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar antara alQur’an dan Hadis.
Untuk al-Qur’an, semua periwayatan ayatayatnya berlangsung secara mutawatir,
sedangkan untuk Hadis sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir
dan sebagian berlangsung secara ahad.

Selain itu al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Rasulullah saw dan
dilakukan oleh sekretaris resmi yang di tugaskan langsung oleh Rasulullah.
Sedangkan, secara keseluruhan hadis belum ditulis di zaman Nabi Muhammad
saw, bahkan beliau dalam suatu kesempatan melarang sahabat yang menulis hadis.
Namun, upaya sahabat dalam menulis hadis sudah ada sejak masa Rasulullah saw.
Hadis, yaitu ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan nabi. Tidak diragukan lagi
bahwa nabi adalah manusia yang paling baik dalam memahami maksud-maksud
Kitab suci. Dia dapat secara tepat menafsirkan ayat-ayat tersebut dan bertindak
sesuai dengan apa yang diperintahkannya. Dia juga seorang petunjuk par
excellence bagi umat Islam. Umat Islam akan datang kepada nabi dan bertanya
tentang perbagai persoalan dan mencari petunjuk di hampir semua masalah. Nabi
memberikan petunjuk langsung kepada mereka, atau menunggu wahyu dari Allah.
Ketika dia berkata atau bertindak sesuatu, hal itu secara hati-hati dicatat dan kata-
katanya dihafal untuk disampaikan kepada orang lain.

Perjalanan panjang pembukuan hadis dan adanya beberapa kecenderungan


yang mewabah di dunia Islam menyebabkan tidak di pungkiri adanya pemalsuan
hadis, berangkat dari kondisi obyektif tersebut maka para ulama muslim
termotivasi untuk melakukan usaha-usaha penelitian guna menyaring dan
membersihkan hadis dari segala usaha pemalsuan. Pada masa Nabi, pemalsuan
hadis belum pernah terjadi dan pemalsuan ini baru terjadi pada zaman khalifah Ali
bin abi Thalib (w.40H/661M). Hal-hal diatas merupakan sebagian dari factor-
faktor penting yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis. Faktor-faktor
penting lainnya adalah proses penghimpunan hadis kedalam kitab-kitab hadis
yang memakan waktu cukup lama sesudah Nabi wafat, jumlah hadis yang begitu
banyak dengan metode penyusunan beragam, dan telah terjadinya periwayatan
hadis secara makna.

Untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam


syari’at Islam. Seharusnya hadis Nabi dipahami dengan cara yang tepat, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan hadis. Indikasi-indikasi
yang meliputi matan hadis akan memberikan kejelasan dalam pemaknaan hadis,
apakah suatu hadis akan dimaknai secara tekstual ataukah kontekstual dan apakah
ajaran Islam yang terkandung di balik teks bersifat universal, temporal atau lokal.

Memahami hadis dengan langkah Ma’ᾱni al-Ḥadiṡ merupakan langkah awal


dalam menyikapi wacana-wacana keislaman yang merujuk pada hadis-hadis Nabi
yang tersebar di berbagai literatur Islam, yang selalu dikutip tanpa
mempertimbangkan makna matan hadis. Pemahaman seseorang dari generasi satu
ke generasi berikutnya selalu mengalami banyak perubahan dari segi sosio-
kultural, sehingga menuntut untuk melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks
hadis sesuai dengan realitas yang ada saat ini. Dari sini akan memberikan
pemahaman apakah hadis-hadis tersebut relevan untuk dilaksanakan atau tidak.
B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah pokok
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

 bagaimana peran hadits dalam sumber ajaran islam ?


 bagaimana proses penulisan dan pembukuan hadits ?

C. Tujuan

Tujuan dari adanya penelitian ini, diantaranya:

1. untuk mengetahui kualitas hadits sebagai sumber penelitian


2. untuk mengetahui peran hadits dalam ajaran islam
3. untuk mengetahui proses penulisan dan pengumpulan hadits
4. periode hadits
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hadits
Dalam menyikapi
masalah kedudukan
hadits, Yusuf
Qardhawi
mengungkapkan bahwa
Rasulullah adalah
merupakan sumber
hukum kedua bagi
islam setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
undang-undang yang
membuat pokok-
pokok dan kaidah-
kaidah mendasar bagi
Islam, yang mencakup
bidang akidah,
akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.
Selanjutnya, Yusuf
Qardhawi
mengemukakan bahwa
sunah (hadits)
merupakan penjelasan
teoritis dan praktis bagi
al-Qur’an. Oleh sebab
itu, kita harus
mengikuti dan
mengamalkan hukum-
hukum dan
pengarahan yang
diberikan oleh
sunah Rasulullah saw.,
menaati perintah
Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita
mentaati apa yang
disampaikan al-Qur’an.
Hadits merupakan
mubayyin (pelengkap)
bagi al-Qur’an yaang
karenany,
siapapun tidak akan
bisa memahami al-
Qur’antanpa dengan
memahami dan
menguasai hadits.
Begitu pula halnya
menggunakan hadits
tanpa al-Qur’an, akan
kehilanggan arah,
karena al-Qur’an
merupakan dasar
hukum pertama, yang
didalamnya berisi garis-
garis besar syariat Islam.
Dengan demikian, antara
al-Qur’an
dah hadits memiliki
hubungan timbal balik
yang tidak dapat
dipisahkan
A. Kedudukan Hadits
Dalam menyikapi
masalah kedudukan
hadits, Yusuf
Qardhawi
mengungkapkan bahwa
Rasulullah adalah
merupakan sumber
hukum kedua bagi
islam setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
undang-undang yang
membuat pokok-
pokok dan kaidah-
kaidah mendasar bagi
Islam, yang mencakup
bidang akidah,
akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.
Selanjutnya, Yusuf
Qardhawi
mengemukakan bahwa
sunah (hadits)
merupakan penjelasan
teoritis dan praktis bagi
al-Qur’an. Oleh sebab
itu, kita harus
mengikuti dan
mengamalkan hukum-
hukum dan
pengarahan yang
diberikan oleh
sunah Rasulullah saw.,
menaati perintah
Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita
mentaati apa yang
disampaikan al-Qur’an.
Hadits merupakan
mubayyin (pelengkap)
bagi al-Qur’an yaang
karenany,
siapapun tidak akan
bisa memahami al-
Qur’antanpa dengan
memahami dan
menguasai hadits.
Begitu pula halnya
menggunakan hadits
tanpa al-Qur’an, akan
kehilanggan arah,
karena al-Qur’an
merupakan dasar
hukum pertama, yang
didalamnya berisi garis-
garis besar syariat Islam.
Dengan demikian, antara
al-Qur’an
dah hadits memiliki
hubungan timbal balik
yang tidak dapat
dipisahkan
A. Kedudukan Hadits
Dalam menyikapi
masalah kedudukan
hadits, Yusuf
Qardhawi
mengungkapkan bahwa
Rasulullah adalah
merupakan sumber
hukum kedua bagi
islam setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
undang-undang yang
membuat pokok-
pokok dan kaidah-
kaidah mendasar bagi
Islam, yang mencakup
bidang akidah,
akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.
Selanjutnya, Yusuf
Qardhawi
mengemukakan bahwa
sunah (hadits)
merupakan penjelasan
teoritis dan praktis bagi
al-Qur’an. Oleh sebab
itu, kita harus
mengikuti dan
mengamalkan hukum-
hukum dan
pengarahan yang
diberikan oleh
sunah Rasulullah saw.,
menaati perintah
Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita
mentaati apa yang
disampaikan al-Qur’an.
Hadits merupakan
mubayyin (pelengkap)
bagi al-Qur’an yaang
karenany,
siapapun tidak akan
bisa memahami al-
Qur’antanpa dengan
memahami dan
menguasai hadits.
Begitu pula halnya
menggunakan hadits
tanpa al-Qur’an, akan
kehilanggan arah,
karena al-Qur’an
merupakan dasar
hukum pertama, yang
didalamnya berisi garis-
garis besar syariat Islam.
Dengan demikian, antara
al-Qur’an
dah hadits memiliki
hubungan timbal balik
yang tidak dapat
dipisahkan
A. Kedudukan Hadits

Dalam menyikapi masalah kedudukan hadits, Yusuf Qardhawi


mengungkapkan bahwa Rasulullah adalah merupakan sumber hukum kedua
bagiislam setelah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan undang-undang yang membuat
pokok-pokok dan kaidah-kaidah mendasar bagi Islam, yang mencakup bidang
akidah,akhlak, muamalah, dan adab sopan santun.

Selanjutnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa sunah


(hadits)merupakan penjelasan teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita
harusmengikuti dan mengamalkan hukum-hukum dan pengarahan yang
diberikan olehsunah Rasulullah saw.,menaati perintah Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita mentaati apa yang disampaikan al-Qur’an.

Hadits merupakan mubayyin (pelengkap) bagi al-Qur’an yaang


karenany,siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’antanpa dengan memahami
danmenguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa al-Qur’an,
akankehilanggan arah, karena al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama,
yang didalamnya berisi garis-garis besar syariat Islam. Dengan demikian, antara al-
Qur’andah hadits memiliki hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.

B. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam


Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits
merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Alquran. Alquran akan sulit
dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Alquran tanpa mengambil hadits
sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin,
karena Alquran akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadits. Kaitannya dengan
kedudukan hadits di samping Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-
Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadits merupakan sumber kedua.
Bahkan sulit dipisahkan antara Al-Qur’an dan hadits karena keduanya adalah
wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matlu (wahyu yang dibacakan
oleh Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad SAW
dengan menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu ghoiru matlu ( wahyu yang
tidak dibacakan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara langsung,
melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad SAW. Ditinjau
dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu
tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’i baik
secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath’i secara global
dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai
manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi
Muhammad SAW tidak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia.
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi
pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat
petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah
petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang
berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan
Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada
beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau
sendiri.

C. Penulisan dan pengumpulan hadits


 Penulisan hadits

Bersama Alquran, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk


kehidupan. Apa yang tidak dijelaskan secara teperinci dalam Alquran, maka hal
itu akan diuraikan dengan gamblang dalam sebuah hadis. Karena pada dasarnya
hadis merupakan perkataan, ajaran serta perbuatan Rasulullah SAW.

Berbeda dengan Alquran yang telah ditulis pada masa Nabi Muhammad
SAW, hadis lebih banyak dihafal daripada ditulis. Bahkan ada pendapat yang
menyatakan bahwa Nabi SAW sendiri pernah melarang para sahabat untuk
mencatat hadis-hadis, sebagaimana riwayat yang diterima dari Abu Sa’id al-
Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit yang tercantum dalam Taqyid al-Ilm,
karya Ibnu Abdul Barr.

Namun larangan ini, menurut sebagian ulama, tidak ditujukan kepada


semua sahabat, tetapi khusus kepada para penulis wahyu, karena kekhawatiran
bercampurnya ayat-ayat Alquran dan hadis. Karena pada keterangan lainnya
disebutkan bahwa Nabi SAW mengizinkan menulis hadis, sebagaimana riwayat
tentang Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib.

Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis
beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-
2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah
(717-720 M).

Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-


angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para
penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke
berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang.

Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz


memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin
Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti
Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya
ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam
meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar). Di samping itu, Khalifah
Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan
hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan
Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang
membukukan hadis.

Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan,
dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal
beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin
Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan
Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan
Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah;
Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam
(Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di
Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di
Mesir.

 Pengumpulan hadits

Periode Pertama

Periode pertama berlangsung selama rentang hidup Nabi Muhammad SAW


hingga sepanjang abad pertama Hijriah. Pada masa ini, Rasulullah hidup, bergaul
dan berbicara dengan masyarakat dan para sahabat, baik di masjid, rumah, pasar,
maupun saat berjumpa dengan musafir. Apa yang disampaikan oleh Nabi SAW
senantiasaa diperhatikan secara saksama oleh para sahabat yang menjadi
periwayat hadis kendati masih berupa hafalan. Beberapa penghafal hadis terkenal
pada periode ini adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah ash-
Shiddiqah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, dan lain-lain.

Periode Kedua

Periode ini dimulai sekitar pertengahan abad kedua Hijriah. Selama periode
ini, sejumlah besar tabi’in menghimpun karya mereka dalam bentuk buku.
Beberapa penghimpun hadis pada periode ini adalah Muhammad bin Syihab az-
Zuhri (ia dianggap sebagai ulama hadis terbesar di zamannya), Abdul Malik bin
Juraij, Mu’ammar bin Rasyid, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Hammad bin
Salamah, Abdullah bin al- Mubarak, dan Malik bin Anas (w. 179 H). Di antara
karya tulis pada periode ini adalah Al- Muwaththa’ karya Imam Malik.

Periode Ketiga

Dimulai pada abad ke-2 H hingga akhir abad ke-4 H, ketika hadis-hadis
Nabi, atsar sahabat, dan aqwal (ucapan) tabi’in dikategorisasikan, dipisahkan, dan
dibedakan. Selain itu, riwayat-riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara
terpisah dan buku-buku dari periode kedua diperiksa kembali untuk
diautentifikasi.

Pada periode ini pula, hadis-hadis dipelihara dan dijaga. Hal itu diwujudkan
para ulama dengan memformulasikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis
(lebih dari 100 ilmu) hingga menghasilkan ribuan buku mengenai hadis. Salah
satu penyusun hadis yang berasal dari periode ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal
(164-241 H). Ia menyusun kitab Musnad Ahmad yang berisi 30 ribu hadis dalam
24 juz.
Periode Keempat

Periode ini dimulai pada abad kelima hingga hari ini. Karya-karya yang
dihasilkan dalam periode ini, antara lain penjelasan (syarh), catatan kaki
(hasyiah), dan penerjemahan buku-buku hadis ke dalam berbagai bahasa. Pada
periode ini pula, para ulama menyusun kitab hadis dengan mencuplik dari kitab-
kitab yang pernah ditulis dan disusun pada abad ketiga.

Ulama hadis selanjutnya lalu menyusun syarh atau penjelasan dari buku-
buku penjelasan hadis di atas. Misalnya, Muhammad Ismail ash- Shon’ani (wafat
1182 H) menulis kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram yang berisi
penjelasan kitab karya Ibnu Hajar al-Asqolani itu, atau Nailul Awthar karya Qadhi
asy-Syaukani yang memuat penjelasan dari kitab Muntaqa al-Akhbar.

D. Periode perkembangan hadits

1. Periode pertama : perkembangan hadits pada masa Rasulullah

2. Periode kedua : perkembangan hadits pada masa khulafaur rasyidin

3. Periode ketiga : perkembangan hadits pada masa sahabat kecil dan


tabi’in

4. Periode keempat : perkembangan hadits pada abad II dan III H

5. Periode kelima : masa mentashihkan hadits penyusunan dan kaidah-


kaidahnya

6. Periode keenam : dari abad IV hingga tahun 656 H

7. Periode ketujuh : 656 – sekarang


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadits dan al-quran sangat penting dan berperan aktif dalam sumber ajaran
islam di karenakan begitu banyak pembahasan mengenai apa yang harus di
lakukan oleh seorang muslim, dan proses pengumpulannya pun memiliki history
yang begitu Panjang yang mengakibatkan al-quran dan hadits begitu sangat
istimewa dikarenakan kehati-hatian dalam menuliskan dan mengumpulkannya

B. Saran

Di dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dalam


pengetikkannya diharapkan bagi pembaca untuk memberikan saran dan kritik
terbaiknya mengenai makalah ini
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits
Dalam menyikapi
masalah kedudukan
hadits, Yusuf Qardhawi
mengungkapkan bahwa
Rasulullah adalah
merupakan sumber
hukum kedua bagi
islam setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
undang-undang yang
membuat pokok-
pokok dan kaidah-
kaidah mendasar bagi
Islam, yang mencakup
bidang akidah,
akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.
Selanjutnya, Yusuf
Qardhawi mengemukakan
bahwa sunah (hadits)
merupakan penjelasan
teoritis dan praktis bagi al-
Qur’an. Oleh sebab itu,
kita harus
mengikuti dan
mengamalkan hukum-
hukum dan pengarahan
yang diberikan oleh
sunah Rasulullah saw.,
menaati perintah
Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita
mentaati apa yang
disampaikan al-Qur’an.
Hadits merupakan
mubayyin (pelengkap)
bagi al-Qur’an yaang
karenany,
siapapun tidak akan
bisa memahami al-
Qur’antanpa dengan
memahami dan
menguasai hadits. Begitu
pula halnya
menggunakan hadits
tanpa al-Qur’an, akan
kehilanggan arah, karena
al-Qur’an merupakan
dasar hukum pertama,
yang
didalamnya berisi garis-
garis besar syariat Islam.
Dengan demikian, antara
al-Qur’an
dah hadits memiliki
hubungan timbal balik
yang tidak dapat
3
dipisahkan.
a. Dalil-dalil dari Al-
Qur’an
Al-Qur’an telah
mewajibkan kaum
muslimin untuk mentaati
Rasulullah SAW.,
disamping menaati
Allah. Dalam surat an-
Nisa’
(Q.S. 4: 59) Allah
berfirman:
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah
Rasul (Nya)...
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits
Dalam menyikapi
masalah kedudukan
hadits, Yusuf Qardhawi
mengungkapkan bahwa
Rasulullah adalah
merupakan sumber
hukum kedua bagi
islam setelah al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan
undang-undang yang
membuat pokok-
pokok dan kaidah-
kaidah mendasar bagi
Islam, yang mencakup
bidang akidah,
akhlak, muamalah, dan
adab sopan santun.
Selanjutnya, Yusuf
Qardhawi mengemukakan
bahwa sunah (hadits)
merupakan penjelasan
teoritis dan praktis bagi al-
Qur’an. Oleh sebab itu,
kita harus
mengikuti dan
mengamalkan hukum-
hukum dan pengarahan
yang diberikan oleh
sunah Rasulullah saw.,
menaati perintah
Rasulullah adalah wajib,
sebagaimana kita
mentaati apa yang
disampaikan al-Qur’an.
Hadits merupakan
mubayyin (pelengkap)
bagi al-Qur’an yaang
karenany,
siapapun tidak akan
bisa memahami al-
Qur’antanpa dengan
memahami dan
menguasai hadits. Begitu
pula halnya
menggunakan hadits
tanpa al-Qur’an, akan
kehilanggan arah, karena
al-Qur’an merupakan
dasar hukum pertama,
yang
didalamnya berisi garis-
garis besar syariat Islam.
Dengan demikian, antara
al-Qur’an
dah hadits memiliki
hubungan timbal balik
yang tidak dapat
3
dipisahkan.
a. Dalil-dalil dari Al-
Qur’an
Al-Qur’an telah
mewajibkan kaum
muslimin untuk mentaati
Rasulullah SAW.,
disamping menaati
Allah. Dalam surat an-
Nisa’
(Q.S. 4: 59) Allah
berfirman:
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah
Rasul (Nya)...

DAFTAR ISI

Kata pengantar i

Daftar isi ii

Bab I pendahuluan 1

A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan 2

Bab II pembahasan 3

A. Kedudukan hadits 3
B. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam 4
C. Penulisan dan pengumpulan hadits 5
D. Periode perkembangan hadits 8

Bab III penutup 9

A. Kesimpulan 9
B. Saran 9

Bab IV daftar Pustaka 10

DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/search?
q=kesimpulan+dari+hadits+sumber+ajaran+islam&oq=kesimpulan+dari+hadits+s
umber+ajaran+&gs_lcrp=EgZjaHJvbWUqBwgBECEYoAEyBggAEEUYOTIHC
AEQIRigATIHCAIQIRigATIHCAMQIRigATIHCAQQIRigATIHCAUQIRigATI
KCAYQIRgWGB0YHjIKCAcQIRgWGB0YHjIKCAgQIRgWGB0YHtIBCjE0N
zMyajFqMTWoAgCwAgA&sourceid=chrome&ie=UTF-8
https://www.academia.edu/23509106/
MAKALAH_Hadits_sebagai_Sumber_Ajaran_Islam

https://www.google.com/search?
q=pengumpulan+hadits&sca_esv=582892981&sxsrf=AM9HkKkRuXE1Za8NLM
LY_XXk6ob8cLgyHA
%3A1700113464885&ei=OKxVZcbTNd2UseMPhpSksAY&oq=pengumpulan+&
gs_lp=Egxnd3Mtd2l6LXNlcnAiDHBlbmd1bXB1bGFuICoCCAAyBxAjGIoFGC
cyCxAAGIAEGLEDGIMBMgUQABiABDIFEAAYgAQyBRAAGIAEMgUQA
BiABDIFEAAYgAQyBRAAGIAEMgUQABiABDIFEAAYgARIwDpQ3wRYsj
BwAngBkAEFmAGXAqAB4SKqAQcxOC4xNS40uAEByAEA-
AEBqAIUwgIKEAAYRxjWBBiwA8ICBhAAGBYYHsICBxAjGOoCGCfCAhY
QABgDGI8BGOUCGOoCGLQCGIwD2AEBwgIWEC4YAxiPARjlAhjqAhi0Ahi
MA9gBAcICBBAjGCfCAgwQIxiKBRgTGIAEGCfCAg4QABiKBRixAxiDARi
RAsICCBAAGIoFGJECwgIIEC4YgAQYsQPCAgsQABiKBRixAxiDAcICCBA
uGLEDGIAEwgILEC4YigUYsQMYgwHCAgUQLhiABMICCBAAGIAEGLED
wgIIEC4YywEYgATCAggQABjLARiABMICBBAAGAPiAwQYACBBiAYBkA
YGugYGCAEQARgL&sclient=gws-wiz-serp

https://iqra.republika.co.id/berita/p3039u313/4-periode-pengumpulan-hadis

Anda mungkin juga menyukai