Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH AGAMA

HADIST/SUNNAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM

KELOMPOK 2-TK1 1B

ANGGOTA KELOMPOK :

1. Farel Septa Rahabib


2. Farentino Tesmi
3. Muhammad Nauval

Dosen
Dr. Yan Fajri, M. Ag

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG


POLTEKKES KEMENKES PADANG
TAHUN AJARAN 2023/ 2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang maha atas berkat rahmat dan
karunianNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul " Hadis/Sunnah dan
kedudukannya dalam Islam " sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami
susun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama.Dengan tersusunya makalah ini,
kami sadar bahwa dalam menyusunnya, penulis mendapat banyak bantuan dan bimbingan
dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yan Fajri, M. Ag selaku dosen mata kuliah Agama yang telah memberikan tugas
makalah ini dan memberi pengarahan kepada kami.
2. Teman-teman kelompok 2 TK 1B D3 Keperawatan Padang yang telah membantu dan
memberikan dorongan untuk menyusun makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu
kami meminta maaf kepada para pembaca dan mengharapkan kritik dan saran ataupun
masukan dari para pembaca. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.

Padang, 9 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI......................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................... 4

A. LATAR BELAKANG............................................................................................................ 4
B. TUJUAN.................................................................................................................................. 5

BAB II TINJAUAN TEORI…………………………………………………………………………6

BAB III. PEMBAHASAN.................................................................................................................... 8

A. PENGERTIAN HADIST/SUNNAH……………………………………............................ 8
B. MACAM-MACAM HADIST/SUNNAH………................................................................ 10
C. FUNGSI DAN PERAN HADIST/SUNNAH…………………………………………….11
D. PERBEDAAN AL-QURAAN DENGAN HADIST/SUNNAH………………………....15
E. TINGKATAN HADIST/SUNNAH………………………………………………………..
F. PENELITIAN HADIST/SUNNAH………………………………………………………..

BAB. IV. KESIMPULAN................................................................................................................... 16

A. KESIMPULAN...................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................... 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh tata kehidupan umat Islam dalam segala aspeknya telah diatur
oleh al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ketika suatu ajaran yang terdapat dalam
alQur‟an itu masih bersifat global, as-Sunnah menjelaskan ajaran-ajaran
tersebut secara spesifik dan terperinci. Selain al-Qur‟an, kaum muslimin, sejak
masa Rasulullah saw. sampai sekarang, mematuhi as-Sunnah dan tetap
menjadikannya sebagai sumber hukum dan penuntun akhlak di samping
alQur‟an. 1

Sebagaimana perintah Allah dalam al-Qur‟an diwajibkan bagi mereka


(Shahabat) untuk mengikuti Rasul dan mentaatinya selama hidupnya, maka
wajib pula atas mereka dan atas orang-orang muslim sesudah mereka itu
untuk mengikuti sunnahnya setelah beliau wafat. Sebab nas-nas yang
mewajibkan taat kepadanya itu bersifat umum, tanpa terkait dengan masa
hidupnya, dan tanpa dibatasi hanya kepada Shahabatnya saja, yang lain tidak.
Juga karena dasar hukum („illah) perintah taat itu berlaku untuk mereka dan
generasi sesudah mereka yaitu dasar bahwa mereka semua itu adalah para
pengikut Nabi dengan mencontoh dan mentaatinya. Dasar hukum itu juga
meliputi masa hidup dan wafatnya, sebab sabda, hukum dan perbuatannya itu
timbul dari seorang penetap syari‟at yang bebas dari kesalahan (ma‟shum) yang diperintah
Allah untuk ditaati.2 Sebagian hukum yang terdapat dalam as-Sunnah sama dengan hukum
yang terdapat dalam al-Qur‟an. As-Sunnah menafsirkan yang mubham, memerinci yang
mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, serta menjelaskan hukum-
hukum (al-Qur‟an) dan sasarannya. AsSunnah juga mengemukakan hukum-hukum yang
belum ditegaskan oleh alQur‟an. Dalam kenyataannya, as-Sunnah merupakan praktik nyata

4
dari apa yang terdapat di dalam al-Qur‟an, suatu praktik yang muncul dalam bentuk yang
berbeda-beda. 3

Selanjutnya mengenai definisi sunnah, secara etimologi, sunnah berarti tata cara.
Menurut pengarang kitab Lisan al-„Arab mengutip pendapat Syammar sunnah pada
mulanya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang didahului orang-orang dahulu kemudian
diikuti oleh orang-orang belakangan.4

Dalam prakteknya, sunnah merupakan tafsir al-Qur‟an dan suri tauladan bagi umat
Islam. Sementara, Nabi saw, adalah penafsir al-Qur‟an dan Islam berdasarkan yang
dilakukannya.5

Sedangkan sunnah menurut istilah (terminologi) Ahli-ahli Hadits, sunnah adalah


sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi
Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya. Dengan arti ini, menurut
mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadits.6

Sunnah pada dasarnya sama dengan hadits, namun dapat dibedakan dalam pemaknaannya,
seperti yang diungkapkan oleh M. M. Azami bahwa sunnah berarti model kehidupan Nabi saw.,
sedangkan hadits adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi saw, tersebut.7

Sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur‟an, hadits (sunnah) tidak dapat dipisahkan
antara satu sama lain. Jika al-Qur‟an berisi ajaran-ajaran yang masih bersifat global atau umum,
maka hadits berfungsi untuk memberikan penjelasan, keterangan, serta perincian terhadap hal-hal
yang belum jelas di dalam al-Qur‟an.8

B. TUJUAN
Setiap bentuk penelitian pasti dituntut manfaat yang dihasilkan dari proses penelitian
tersebut, begitu pula dalam penelitian ini. Adapun kegunaan yang diharapkan dapat diambil
dari penelitian ini antara lain:
1. Secara teoritis, kajian ini dapat berguna dalam pengembangan kajian atau khasanah
ilmu hadits
2. Secara praktis, kajian ini dapat berguna bagi semua sivitas akademika (baik siswa
maupun mahasiswa) tentang analisa terkait masalah posisi sunnah n dapat dijadikan
sebagai pijakan terhadap penelitian-penelitian berikutnya

5
BAB II
TINJAUAN TEORI
Diawali dengan penelitian Nabia Abbott dalam bukunya ‚Studies in Arabic Literary Papyri, II
Qur`anic Commentary and Tradition‛. 71 Dia mengoreksi dan mengkritisi pandangan Ignaz
Goldziher tentang beberapa sebab terjadinya gerakan pemalsuan hadis dalam skala besar
yang membuat Goldziher meragukan autentisitasnya. Abbot adalah salah satu dari orang
yang mendukung metode dan kesimpulan Fuat Sezgin. 72 Dia menyatakan bahwa praktek
penulisan hadis sudah berlangsung sejak awal dan berkesinambungan. Abbot mengawali
bukunya dengan pentingnya manuskrip, kemudian dilanjutkan dengan perkembangan
penulisan hadis sejak masa awal Islam yang terus berkembang dan dapat menjadi bukti
kelangsungan serta autentitas hadis, dan diakhiri dengan mengemukakan dokumendokumen
naskah tertulis dalam empat periode penting yaitu sejak masa hidup Nabi Muhammad SAW,
kemudian setelah wafatnya Nabi, dan periode Bani Umayyah serta berbagai koleksi hadis
yang terkodifikasi. Kemudian Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla
alTadwīn, 73 juga menyanggah pendapat Goldziher dan orang yang sependapat denganya
bahwa banyak terjadi pemalsuan hadis karena tidak tertulis sejak masa awal, dan
menyanggah pendapat Goldziher mengenai Ibn Shihāb al-Zuhrī dan posisinya dalam
periwayatan hadis. MM Azami dalam ‚Dirāsāt fi al-Hadith al-Nabawi wa tārihi Tadwīnihi‛. 74
Menjelaskan arti kata sunnah dalam Islam sebagai sanggahan atas pendapat Goldziher yang
mengatakan bahwa sunnah adalah istilah jahiliyyah dan baru dikhususkan sebagai sunnah
nabi sebagaimana pendapat Schacht dan Ali Hasan Abdul Qodir setelah masa al-Shafi’i. 75
Selain itu dijelaskan pula argumen-argumen lain dalam rangka menyanggah temuan
Goldziher yang lain. Selanjutnya Azami juga menulis ‚On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence‛. 76 Buku ini adalah sanggahan atas Schacht dalam bukunya ‚The Origins of
Muhammadan Jurisprudence‛. Azami menyanggah pandangan Schacht yang menganggap
adanya perbaikan sanad oleh para penyusun kitab hadis, dan menyanggah tentang sanad
keluarga yang dianggap palsu. Dalam kesimpulannya Azami mengatakan bahwa sebenarnya
Schacht telah gagal dalam memeriksa sebagian literatur yang paling relevan dan salah dalam
memahami teks-teks yang dikutipnya, contoh-contoh yang digunakanya sering bertentangan
dengan poin yang sedang diupayakan. Dalam bukunya itu, Azami mengemukakan contoh-
contoh yang diberikan oleh Schacht dan memberikan penjelasan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan Schacht atas contoh-contoh tersebut. keperawatan Selanjutnya Muhammad

6
Muṣṭafā al-Sibā’ī, dalam ‚al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamī‛. 77 Dalam buku ini
al-Sibā’i> menyanggah semua pendapat Goldziher tentang pemalsuan hadis dengan
mengungkapkan upaya para ulama’ masa awal untuk memerangi pemalsuan hadis, dan juga
tentang al-Zuhrī secara panjang lebar. Dia juga menjelaskan semua hadis yang dianggap
Goldziher telah dipalsukan oleh al-Zuhrī dan memberikan argumen yang mantap atasnya.
AlSiba>’i> mengungkapkan metodologi ahli hadis seperti kebiasaan rihlah dalam mencari
hadis, pengusutan sanad, mencari pembanding atau saksi sebuah riwayat, dan ilmu kritik
rawi (ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l). selain itu al-Sibā’i> juga menyanggah pendapat Abu Rāyah
tentang Abu Hurairah yang dianggap tidak jelas olehnya karena namanya dan nasabnya yang
berbeda-beda, sebab abu Hurairah menemani Nabi, dan terbelakangnya dia masuk Islam
tapi meriwayatkan hadis paling banyak. Tesis ini juga sebagai sanggahan argumen esilentio
Schacht dengan mengungkapkan kedudukan hadis dalam umat Islam sejak awal. Wahyudin
Darmalaksana, dalam buku Hadis di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher
dan Josep Schacht 78 buku ini mulanya adalah sebuah skripsi membahas tentang
permasalahan dalam studi hadis, otentisitas hadis dan masalah Orientalisme, pandangan
Ignaz Goldziher dan joseph Schacht tentang otentisitas hadis dan hukum Islam serta kritik
terhadap tesis keduanya dengan mengutip pandangan Nabia Abbot, Fazlur Rahman dan
Mustafa Azami. Dalam kesimpulanya. Wahyudin menyatakan bahwa tesis golziher dan
Schacht mengandung tendensi kedengkian dan lebih merupakan arogansi self-nya Barat
yang selalu ingin mendistorsikan realitas Islam sebagai others sebagaimana wacana
orientalisme79 menurut pandangan Edward Said. Jadi penelitian ini pijakannya adalah
tujuan orientalis dalam mengkaji Islam dan tidak terfokus pada sanggahan atas pendapat
mereka. Ali Masrur, dalam Teory common Link Juynboll: Melacak akar kesejarahan Hadis
Nabi. 80 Dalam buku ini dijelaskan tentang kronologi, sumber dan kepengarangan hadis,
kajian atas peran para kadi (hakim) Islam awal yang menurut Juynboll sangat mudah
memalsukan hadis, kajian hadis mutawatir, konsep mutawatir, dimana kemutawatiran hadis
tidak menjamin kesejarahanya, dan kajian terhadap berbagai aspek ilmu rijal menurut
pandangan Juynboll. Dalam penutupnya Masrur melakukan verifikasi kebenaran teori
Juynboll dengan menerapkannya pada hadis-hadis shahadat dan rukun Islam dan dia
menawarkan penafsiran baru tentang fenomena common link. Berikutnya Kamaruddin Amin
dalam buku Analisis isnad cum matan. 81 Ini adalah disertasinya di Bonn Jerman. Dalam
penelitiannya ini, hadis shawm pertama diuji dengan kritik atau penanggalan hadis sarjana
muslim, kemudian diuji dengan metode kritik atau penanggalan Juynboll dan terakhir diuji
dengan metode isnad cum matan. Kemudian dalam buku Menguji Kembali Keakuratan

7
Metode Kritik Hadis, 82 Kamaruddin Amin menyajikan secara runtut bagaimana mengkaji
hadis dari sisi metodologi, pemikiran dan polemik antara penelitian yang dilakukan sarjana
Muslim dan sarjana Barat. Kamaruddin juga mempertanyakan keseragaman penggunaan
istilah periwayatan dan konsistensi penerapanya oleh ulama hadis dalam kitab mereka, dan
penelitian hadis yang dikritik al-Bani dalam Ṣahih Muslim dengan metode kritik isnad cum
matan. Kesimpulan besar buku ini adalah bahwa pertama Kritik isnad mendapat perhatian
lebih ketimbang kritik matan di kalangan ulama’. Kedua Informasi yang disajikan para ulama
abad ketiga dan keempat tentang ulama hadis awal memiliki nilai untuk konstruksi sejarah.
Ketiga Dalam meneliti ilmu hadis pada masa awal Islam, analisis matan sama pentingnya
dengan analisis isnad, analisis isnad saja tidak cukup karena dapat membawa pada
penyandaran yang salah sebuah riwayat kepada perawi tertentu seperti kasus hadis Said bin
Mina dan Said al-Maqbury yang secara salah telah disandarkan kepada Saīd Ibn al-Musayyab
oleh M.M. Azami. uku ‚Otentisitas Hadis menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi‛. 83 Kesimpulan
dari buku ini adalah bahwa akurasi metodologi yang diterapkan oleh ahli hadis membuat
tidak sembarang orang bisa meriwayatkan hadis. Berbeda dengan kaum sufi yang bisa
menṣahihkan suatu hadis dengan jalan mimpi bertemu Nabi dan ṭariq al-Kashf, dan
menganggap hadis mereka lebih sahih dari metode kritik ahli hadis. Penelitian ini berusaha
mencari titik temu dan pembeda antara metode penentuan kesahihan hadis Nabi menurut
ahli hadis dan kaum sufi yang bukan ahli hadis. Titik temu itu adalah teori ‘adalah dan
kesalihan dalam diri seorang perawi hadis yang sama dalam substansinya. Harald Motzki,
dalam Analisyng Muslim Tradions: Studies in Legal, Exegetical and Maghazi Hadith. 84 Buku
ini adalah ulasan dan bantahan atas beberapa kesimpulan Joseph Schacht dan GHA Juynboll
dalam studi hadis. Harald Motzki sebagai penulis dan editor mengomentari pandangan
Juynboll atas al-Zuhrī dan a>fi’ mawla Ibn ‘Umar secara lugas dan menunjukkan beberapa
kesalahan Schacht dan Juynboll dalam penelitiannya, mulai dari pengambilan referensi dan
proses generalisasi yang dilakukan. Dia mengambil sampel murid-murid al-Zuhrī selain Malik
bin Anas aitu Ma’mar Ibn Rāshid (w.153/770) dan ‘Abd al-Malik ibn Juraij (w.150/767) yang
terdapat dalam Mus}annaf Abd al-Razzāq al-San’ānī (w. 211 H) serta membandingkanya
dalam rangka rekonstruksi kritik terhadap doktrin dan hadis riwayat al-Zuhrī. Kemudian
berkenaan dengan a>fi’ Motzki meneliti hadis tentang zakat fitrah yang diriwayatkan oleh
beberapa perawi. Buku ini menjadi salah satu sumber rujukan peneliti dalam melihat
beberapa permasalahan mengenai a>fi’. Dengan melihat berbagai aspek yang diungkap
Juynboll dan dibantah oleh Motzki, penelitian ini memposisikan diri diantara mereka.

BAB III
8
PEMBAHASAN

 Pengertian Hadis/Sunnah
Dari segi bahasa, hadis (arab : hadits) bila di gunakan sebagai kata sifat memiliki arti
“ yang baru”, ia merupakan kebalikan dari kata Qadim yang berarti dahulu. Namun kaang
kata hadis di pakai pula untuk makna ikhbar (pemberitaan).
Sejumlah ulama mensinyalir bahwa arti “baru” bagi makna hadits di atas, di
kehendaki sebagai bandingan dari kitab allah SWT yang Qadim. Dalam Syarah Shohib
Bukhori Ibnu Haar mengatakan : “ yang di maksud dengan hadits menurut pengertian syara’
ialah apa yang disandarkan kepada nabi Saw. Dan hal itu seakan-akan di maksudkan sebagai
bandingan dari Al-Qur’an, sebab ia bersifat Qadim.
Kata hadits – dalam tinjauan Abul Baqo’ – adalah isim dari kata tahdits yang berarti
ikhbar (pemberitaan), kemudian didefinisikan sebagai sabda, perbuatan atau penetapanyang
di nisbatkankepada Nabi SAW. Bentuk jamak dari kata hadits adalahahadits dengan tidak
mengikuti prosedur qiyasi. Hal senada di ungkapkan oleh Al-Farro’, yang menilai bahwa :
“mufrod (bentuk tunggal) dari kata ahadits adalah utdutsah(bahan pembicaraan) kemudian
orang-orang menjadikannya sebagai jamak dari kata hadits. Mereka tidak mengatakan
uhdutsatun Nabi SAW (tetapi ahadisun Nabi SAW)
Devinisi hadis versi jumhur muhaddisin (para ahli hadits) ialah sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, atau yang lain,
misalnya berkenaan demngan sifat fisik budi pekerti dan sebagainya
Hadits dalam terminology mahaddisin berbeda debgab pengertian hadits menurut ahli
hokum (fuqoha’ atau ushuliyyin). Ini karena tinjauan serta objek kajian mereka berbeda
dangandisiplin ilmu masing-masing. Ulama ushul fiqh misalnya tidak memasukan sifat-sifat
nabi SAW atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan hokum kedalam definisi hadits.
Hadits memiliki beberapa makna misalnya:
1. Al-jiddah = baru, dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada. Lawan dari kata al-
qadim = terdahulu
2. Ath-thari = lunak, lembut dan baru.
3. Al-khabar = berita pembicaraan dan perkataan, oleh karena itu ungkapan pemberitaan
hadits yang di ungkapkan oleh para perowi yang menyampaikan periwayatanya jika
bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan = memberitakan kepada kami atau

9
sesamanya seperti mengkhabarkan kepada kami yang menceritakan kepada kami. Hadits
disini diartikan sama dengan al-khabar dan an-naba’.
Secara etimologis hadits adalah berita yang datang dari nabi , sedang makna pertama
dalam konteks teologis bukan kontek hadits. Dari segi terminology, banyak para ahli hadits
memberikan definisi yang berbeda redaksi tetapi maknanya sama, di antaranya Mahmud Ath-
Thahan ( guru besar hadits di fakultas Syari’ah dan dirasah islamiah di Universitas Kuwait)
mendefinisikan sesuatu yang dating dari nabi saw baik berupa perkataan atau perbuatan dan
atau persetujuan.
Adapun menurut hadits yang komprehensif menurut istilah yaitu:
Segala sesuatu yang dinisbuhkan kepada Nabi SAW baik ucapan perbuatan ketetapan
sifat diri atau sifat pribadi atau yang di nisbahkan kepada sahabat atau tabi’in ( Nuruddin Itr ;
Uluml Haditss I, 1994;90)Veritivity artinya kebenaran. Veritivity menurut Roy adalah ada
hal yang benar absolut. Veritivity menurut Roy dalam Budiana adalah prinsip alamiah
manusia yang mempertegas tujuan umum keberadaan manusia.
Empat prinsip veritivity yaitu
1) Tujuan eksistensi manusia,
2) Gabungan dari beberapa tujuan peradaban manusia,
3) Aktifitas dan kreatifitas untuk kebaikankebaikan umum, serta
4) Nilai dan arti kehidupan (Budiana, 2016).

 Pengertian Sunnah
Arti bahasa : Jalan yang di tempuh
Arti istilah : Ada tiga versi yakni :
 Sama dengan pengertian hadits di atas (murodif). Demikian versi mayoritas ahli hadits
 Berbeda dengan pengertian hadits di atas, yakni istilah sunnah penggunaanya khusus
untuk aktifitas Nabi SAW yang di laksanakan terus menerus dan di lestarikan oleh para
sahabat / generasi berikutnya (ma’tsur)
Sunnah menurut etimologi berarti cara yang bias di tempuh (inisiatif) baik ataupun
buruk, sebagaimana sabda Nabi SAW :
‫َنة‬I‫َن س‬I‫ ومن س‬,‫يء‬I‫ورهم ش‬I‫َم ْن َس َّن ِفي ْا ال ْس َال ِم ُسَنًة َحَس َنًة َفَلُه آ ْخ ُر َم ْن َع ِمَل َبْع َد ُه ِم ْن َغْيِر َآ ْن َيْنُقَص ِم ْن ُآ خ‬
) ‫سيئة كان عليه وزره ووزر من عمل بها من بعده من غيران ينقص من اوزارهم شيئ ( رواه مسلم‬
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala orang-orang
yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang ; dan barang siapa membuat

10
inisiatif yang jelek ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakannya
sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang” (HR. Muslim)
Ulama’ hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang di hubungkan
kepada nabi SAW. Tetapi, menurut sebagian ahli hadits sunnah itu termasuk segala sesuatu
yang di hubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
ataupun sifat-sifatnya.
Menurut ulama’ ushul fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi
SAW, selain Al-qur’an, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, yang dapat menjadi dalil-dalil
hukum syara’.
Ulama’ fiqih sunnah mendefinisikan, sunnah adalah apa saja yang benar dari nabi
SAW dalam urusan agama, yang berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang di dalamnya
terkandung unsur memfardhukan atau mewajibkan.
Sedang ulama’ yang bergelut di bidang dakwah mendefinisikan sunnah ialah apa saja
yang bukan bid’ah.
Di katakan dalam buku lain Sunnah menurut bahasa banyak artinya di antaranya suatu
perjalanan yang di ikuti, baik di nilai perjalanan baik atau perjalanan buruk. Missal sabda
nabi: barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah) kebaikan, kemudian di ikuti orang
maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang membuat suatu jalan (sunnah)
yang buruk, kemudian di ikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya,
tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. At-tirmidzi)
Sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama’, di
antaranya sebagai berikut:
a. Menurut ulama ahli hadits, sunnah sinonim hadits sama dengan definisi hadits
di atas. Di antara ulama’ ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat: segala
perkataan nabi SAW, perbuatannya dan segala tingkah lakunya
b. Menurut ulama’ Ushul Fiqih ( ushuliyun) segala sesuatu yang di riwayat kan
dari Nabi SAW baik yang bukan Alquran baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan
pengakuan yang patut di jadikan dalil hokum syara. Sunnah menurut Ulama’ ushul fiqih
hanya perbuatan yang dapat di jadikan dasar hokum islam. Jika suatu perbuatan Nabi tida di
jadikan dasar hokum seperti makan, minum, tidur, berjalan, meludah, menelan ludah, buang
air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunnah.
c. Menurut ulama’ Fiqih (fuqaha) suatu ketetapan yang datang dari Rasululloh
dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat syara’
11
yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak di siksa bagi yang meninggalkannya.
Menurut ulama’ fiqih, sunnah dilihat dari segi hokum sesuatu yang dating dari nabi tetapi
hukumnya tidak wajib, di beri pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak di siksa bagi yang
ditinggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan lain-lain.
d. Menurut ulama’ maw’izhah (‘Ulama Al-waz’hi wa al- irsyad) sesuatu yang
menjadi lawan dari bid’ah. Sebagaimana dalamhadits nabi yang artinya aku wasiatkan
kepadamu dengan takwa kepada Allah, mendengar, dan taat sekalipun di pimpin seorang
hamba yang hitam (etiopia). Maka sesungguhnya barang siapa di antara kalian akan melihat
berbagai perpecahan. Takutlah dari hal-hal yang baru, sesungguhnya ia sesat. Barang siapa di
antara kalian mendapati, maka hendaklah berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin yang medapat petunjuk, gigitlah dia degan gigi gerahammu. (HR- At-tirmidzi)

Hadis atau sunnah merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Quran.
Berikut adalah pengertian hadis atau sunnah dari beberapa sumber yang relevan:
1. Hadis adalah berita atau kabar tentang peristiwa yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW. Sementara itu, sunnah merupakan perbuatan yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW.
2. Sunnah adalah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan sifat Rasulullah SAW.
3. Hadis adalah penuturan dan perilaku Rasulullah, sedangkan sunnah adalah hukum
yang disimpulkan dari penuturan tersebut[1].
4. Sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah Saw, baik itu ucapan, perbuatan
atau pengakuan (Taqrir), sedangkan hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.
5. Secara sederhana, sunnah adalah isi (substansi, kandungan) dari hadis. Sementara
hadis tak lain adalah redaksional yang merekam segala yang dilakukan, dikatakan, atau
diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam Islam, hadis atau sunnah memiliki peran penting sebagai sumber hukum kedua
setelah Al-Quran. Hadis atau sunnah digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan ibadah
dan kehidupan sehari-hari umat Islam. Hadis atau sunnah juga menjadi acuan dalam
menentukan hukum-hukum Islam yang belum terdapat dalam Al-Quran.
JENIS-JENIS SUNNAH
1. Sunnah Qauliyah
12
Sunnah Qauliyah adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw., yang berisi berbagai tuntungan dan petunjuk syarak, peristiwa-peristiwa,
baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.Dengan kata lain sunnah
qauliyah yaitu sunnah Nabi Saw, yang hanya berupa ucapan saja baik dalam bentuk
pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan.
Yang dimaksud dengan pernyataan Nabi saw, disini adalah sabda nabi saw, dalam
merespon keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kini dan masa depan, kadang-kadang
dalam bentuk dialog dengan para sahabat atau jawaban yang diajukan oleh sahabat atau
bentuk-bentuk ‘ain seperti khutbah,periwayatan sunnah secara qouliyaholeh nabi dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu Pertama, sabda nabi disampaikan dihadapan orang banyak,baik
melalui majelis ilmu, ceramah dan sebagainya. Sunnah disampaikan secara lisan dimuka
orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki melalui pengajian rutin dikalangan mereka dan
juga melalui pengajian dikalangan wanita. Kedua, sabda Nabi dikemukakan didepan seorang
atau beberapa orang saja. Sunnah qauliyah disampaikan oleh Nabi di depan salah seorang
sahabat baik yang berisi jawaban atas pertanyaan yang dilakukan sahabat itu maupun tidak.
Pada bagian sunnah ini cakupan informasinya lebih cenderung pada persoalan yang
berkaitan dengan pembinaan hukum agama atau bisa juga berupa penjelasan tentang makna-
makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
Dilihat dari tingkatan sunnah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti
kualitasnya lebih tinggi dari kualitas sunnah fi’liyah maupun taqririyah.
Contoh sunnah qauliyah :
Hadist tentang doa Nabi Muhammad saw, kepada orang yang mendengar, menghafal
dan menyampaikan ilmu.

‫َع ْن َزْيِد ْبِن َثاِبٍت َقاَل َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيُقوُل َنَّض َر ُهَّللا اْمَر ًأ َسِمَع ِم َّنا َحِد يًثا َفَح ِفَظُه َح َّتى ُيَبِّلَغُه‬
‫(َفُرَّب َح اِم ِل ِفْقٍه ِإَلى َم ْن ُهَو َأْفَقُه ِم ْنُه َو ُرَّب َح اِم ِل ِفْقٍه َلْيَس ِبَفِقيٍه)َر َو اهُ َاُبْو َداُوَد‬

“Dari Zaid bin sabit ia berkata, “saya mendengarkan Rasulullah saw, bersabda :
“Semoga Allah memperindah orang yang mendengar hadist dariku lalu menghafal dan
menyampaikannya kepada orang lain, berupa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada
orang yang lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu.”(HR. Abu
Dawud).

2. Sunnah Fi’liyah
13
Sunnah Fi’liyah adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw, kualitas Sunnah Fi’liyah menduduki tingkat kedua setelah sunnah qauliyah. Sunnah
fi’liyah juga dapat dimaknakan sunnah Nabi saw, yang berupa perbuatan Nabi yang diberikan
oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat
manasik haji dan lain-lain.
Contoh sunnahfi’liyah :
Hadits tentang tata cara shalat diatas kendaraan
‫َع ْن َج اِبِر ْبِن َع ْبِد ِهَّللا َقاَل َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ُيَص ِّلي َع َلى َر اِح َلِتِه َح ْيُث َتَو َّج َهْت َفِإَذ ا َأَر اَد اْلَفِريَض َة‬
‫(َنَز َل َفاْسَتْقَبَل اْلِقْبَلَة)ُم َتَفٌق َع َلْيِه‬
“Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, Rasulullah Saw, shalat diatas tunggangannya
menghadap kemana arah tunggangan nya menghadap. Jika beliau hendak melaksanakan
shalat yang fardhu, maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat.(HR. Al-Bukhari dan
Muslim).

3. Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah adalah sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad saw,
terhadap apa yang datang atau dilakukan para sahabatnya. Dengan kata lain sunnah
taqririyah, yaitu sunnah nabi saw. Yang berupa penetapan nabi saw. Terhadap perbuatan para
sahabat yang diketahui Nabi saw, tidak menegornya bakhkan Nabi saw, cenderung
mendiamkannya. Beliau membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa
memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau menyalahkan.
Contoh sunnah taqririyah :
a. Hadits tentang daging dzab (sejenis biawak)
Pada Suatu hari Nabi Muhammad Saw, disuguhi makanan diantaranya daging dzab.
Beliau tidak memakannya, sehingga Khalid bin walid bertanya, “Apakah daging itu haram ya
rasulullah?”. Beliau menjawab :
‫ َفاْج َتَر ْر ُت ُه َفَأَك ْلُت ُه َو َر ُس وُل ِهللا َص َلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫ َق اَل َخ اِل ٌد‬.‫ َو َلِكْن َلْم َيُك ْن ِب َأْر ِض َق ْو ِم ي َفَأِج ُد ِني َأَعاُف ُه‬،‫َال‬
‫(َيْنُظُر ِإَلَّي )ُم َتَفٌق َع َلْيِه‬
“Tidak, akan tetapi daging itu tidak terdapat di negeri kaumku, karena itu aku tidak
memakannya.” Khalid bin walid berkata,lalu aku pun menarik dan memakannya. Sementara
rasulullah saw, melihat ke arahku. (Muttafaqun ‘alaih).
b. Hadis tentang Tayamum

14
‫َع ْن َأِبي َسِع يٍد اْلُخْد ِر ِّي َقاَل َخ َر َج َر ُج اَل ِن ِفي َس َفٍر َفَحَضَر ْتُهَم ا الَّص اَل ُة َو َلْيَس َم َع ُهَم ا َم اٌء َفَتَيَّم َم ا َصِع يًدا َطِّيًب ا َفَص َّلَيا‬
‫ُثَّم َو َج َدا اْلَم اَء َبْعُد ِفي اْلَو ْقِت َفَأَعاَد َأَح ُدُهَم ا الَّص اَل َة ِبُو ُضوٍء َو َلْم ُيِع ْد اآْل َخُر ُثَّم َأَتَيا َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َف َذ َك َر ا َذ ِل َك‬
‫(َفَقاَل ِلَّلِذ ي َلْم ُيِع ْد َأَص ْبَت الُّس َّنَة َو َأْج َز ْتَك َص اَل ُتَك َو َقاَل ِلَّلِذ ي َتَو َّض َأ َو َأَعاَد َلَك اَأْلْج ُر َم َّرَتْيِن )َر َو اهُ َالَداَرِمْى‬
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata: “Pernah ada dua orang bepergian dalam
sebuah perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air, lalu
mereka berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, kemudian
keduanya mendapati air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya
mengulangi shalatnya dengan air wudhu dan yang satunya tidak mengulangi. Mereka
menemui Rasulullah Saw, dan menceritakan hal itu. Maka beliau berkata kepada orang yang
tidak mengulangi shalatnya: ‘Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah cukup’. Dan
beliau juga berkata kepada yang berwudhu dan mengulangi shalatnya: ‘Bagimu pahala dua
kali’ (HR. ad-Darimi).

4. Sunnah Hammiyah
Sunnah Hammiyah adalah suatu yang dikehendaki Nabi saw, tetapi belum dikerjakan.
Sebagian ulama hadist ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan sunnah
hammiyah. Karena dalam diri nabi saw, terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah
(hasrat untuk melakukan sesuatu). Dalam riwayat disebutkan beberapa sifat beliau seperti,
“bahwa Nabi saw, selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak
pula kasar, tidak suka berteriak, tidak suka berbicara kotor, tidak suka mencela…” juga
mengenai sifat jasmaniah beliau yang suka dilukiskan sahabat Anas ra. Sebegai berikut :

‫َع ْن َر ِبيَع َة ْبِن َأِبي َع ْبِد الَّرْح َمِن َقاَل َسِم ْع ُت َأَنَس ْبَن َم اِلٍك َيِص ُف الَّنِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َك اَن َر ْبَع ًة ِم ْن اْلَقْو ِم‬
‫(َلْيَس ِبالَّطِو يِل َو اَل ِباْلَقِص يِر َأْز َهَر الَّلْو ِن َلْيَس ِبَأْبَيَض َأْمَهَق َو اَل آَد َم َلْيَس ِبَج ْع ٍد َقَطٍط َو اَل َس ْبٍط َر ِجٍل ) َر َو اهً اْلُبَخ اِر ْى‬
“Dari Rabi’ah bin Abu ‘Abdur Rahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra.,
sedang menceritakan sifat-sifat Nabi saw., katanya, “beliau adalah seorang laki-laki dari
suatu kaum yang tidak tinggi dan juga tidak pendek. Kulitnya terang tidak terlalu putih dan
tidak pula terlalu kecoklatan.Rambut beliau tidak terlalu keriting dan tidak lurus.” (HR.
Bukhari).
Termasuk juga dalam hal ini adalah silsilah dan nama-nama serta tahun kelahiran
beliau. Adapun himmah (hasrat) beliau misalnya ketika beliau hendak menjalankan puasa
pada tanggal 9 ‘Assyura, sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abbas ra :
‫ ِح يَن َص اَم َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيْو َم َعاُش وَر اَء َو َأَم َر‬: ‫ َيُقوُل‬، ‫َسِم ْع ُت َع ْبَد ِهَّللا ْبَن َعَّباٍس َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُهَم ا‬
‫ ” َف ِإَذ ا َك اَن اْلَع اُم‬: ‫ َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬، ‫ ِإَّنُه َيْو ٌم ُتَع ِّظُم ُه اْلَيُهوُد َو الَّنَص اَر ى‬، ‫ َيا َر ُسوَل ِهَّللا‬: ‫ َقاُلوا‬، ‫ِبِصَياِمِه‬
15
‫ َح َّتى ُت ُو ِّفَي َر ُس وُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه‬، ‫ َفَلْم َي ْأِت اْلَع اُم اْلُم ْقِب ُل‬: ‫ َق اَل‬، ” ‫ ُص ْم َنا اْلَي ْو َم الَّتاِس َع‬، ‫اْلُم ْقِب ُل ِإْن َش اَء ُهَّللا‬
‫( َو َس َّلَم )َر َو اُهُم ْس ِلُم‬
“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah saw, berpuasa pada
hari Asyura dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; para sahabat berkata,
“wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum yahudi dan nasrani.”
Maka Rasulullah saw, bersabda : “Pada tahun depan insya allah, kita akan berpuasa pada hari
kesembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah Saw.
(HR. Muslim).
Menurut Imam Syafi’I dan rekan-rekannya hal ini termasuk sunnah hammiyah.
Sementara menurut Asy Syaukani tidak demikian, karena hammiyah ini hanya kehendak hati
yang tidak termasuk perintah syari’at untuk dilakukan atau ditinggalkan.
Dari sifat-sifat, keadaan-keadaan serta himmah tersebut yang paling bisa dijadikan
sandaran hukum sebagai sunnah adalah hamm. Sehinnga kemudian sebagian ulama fiqh
mengambil menjadi sunnah hammiyah.
B. Macam-macam Sunnah
Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan dalil hokum Islam kedua, dibedakan atas 3
(tiga) macam:
1. Sunnah Fi’liyyah
Adalah perbuatan yg dilakukan Nabi SAW yg dilihat, diketahui dan disampaikan para
sahabat kepada orang lain. Misal: tata cara shalat yg ditunjukkan Rasulullah SAW Kemudian
disampaikan sahabat yg melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
2. Sunnah Qauliyyah
Adalah ucapan Nabi Saw. yg didengar oleh dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat
kepada orang lain. Misal, sabda rasulullah yg diriwayatkan Abu Hurairah:
◦ Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah. (HR. Bukhari-
Muslim)
3. Sunnah Taqririyyah
Adalah perbuatan atau ucapan sahabat yg dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi
Saw. Tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah dari
Nabi Saw menunjukkan persetujuan (taqriri) Nabi Saw terhadap perbuatan sahabat tersebut.

C. FUNGSI DAN PERAN HADIST/SUNNAH


 Kedudukan Hadist terhadap Hukum Islam

16
Kedudukan hadist atau sunnah mendekati Al-Quran. Hadist adalah berfungsi
menafsirkan nashnya, menjelaskan pengertiannya, men-takhsish yang amm men-taqyid
yang muthlag, menjelaskan yang musyikil, menjelaskan yang muhham, dan menjelaskan
hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikuti Al-Quran.
Dengan demikian sangat jelaslah kedudukan hadist didalam Islam sangat tinggi dan penting,
dan terlebih lagi dalam pengambilan hukum yang tepat yang dapat diterapkan dalam
kehidupan umat Islam.

Imam Ahmad berkata, "mencari hukum dalam Al-Quran haruslah melalui hadist,
demikian pula halnya dengan mencari Agama. Jalan yang dibentang untuk mempelajari fiqh
Islam sesuai syariat ialah melalui hadist atau sunnah". Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa para ulama sepakat dalam menetapkan bahwa hadist berkedudukan sebagai
pensyarah dan penjelas bagi Al-Quran. Dalam hal ini Al-Quran kerap kali membawa
keterangan-keterangan yang bersifat tidak terinci dan ada juga yang bersifat umum atau
tidak dibatasi.

1. Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam

Kedudukan sunnah (hadist) dalam Islam sebagai sumber hukum. Para Ulama juga telah
berkonsensus bahwa dasar hukum Islam adalah Al- Quran dan sunnah (hadist) menjadi
dasar hukum Islam (tasyri iyyah) kedua setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena
beberapa alasan sebagai berikut:

a. Fungsi sunnah (hadist) sebagai penjelas terhadap Al-Quran

Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al- Quran. Tentunya pihak
penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Quran sebagai
pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan
demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari Al-Quran.

b. Mayoritas sunnah relatif kebenarannya

Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya dinwayatkan
secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan). Maka ia memberi
faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian diantaranya ada yang memberi petunjuk
makna secara tegas dan pasti dan secara relatif petunjuknya. Sedangkan sunnah (hadist),
diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan faedah absolut kebenarannya, dan
diantara bahkan yang mayoritas ahad (periwayatannya secara individual) memberikan
faedah relatif kebenarannya bahwa ia dari Nabi sekalipun secara umum dapat dikatakan
absolut kebenarannya.

17
2. Dalil-Dalil Kehujahan Hadist

Ada beberapa dalil yang menunjukan atas kehujahan hadist dijadikan sebagai sumber
hukum Islam, yaitu sebagai berikut:

a. Dalil Al-Quran

Dalam Al-Quran banyak tendapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti
Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti Rasul-Nya, seperti firman Allah
berikut ini:

‫ٰٓي َاُّيَه ا اَّلِذْي َن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َف ِاْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء َف ُرُّدْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم‬
٥٩ ࣖ ‫ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخ ْيٌر َّو َاْح َس ُن َت ْأِو ْي اًل‬

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan Ulil amri di
antara kamu Kemudian Jika Kamu berlaman pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibamya"
(QS. An-Nisa: 59)

b. Dalil Hadist Dalam suatu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan
menjadikan hadist sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran sebagai pedoman
utamanya. Beliau bersabda:
‫َع ن أبي هريرة رضي هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َت َر ْك ُتميُك م أمرين َلن َت ِض ُّلوا َم ا َت َم شُكُته بهما‬
)‫كتاب هللا وسنة نبيه (اإلمام مالك‬

"Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, bahwa Rasulullah bersabda: "Telah Aku tinggalkan
pada diri kamu sekalian du perkara sehingga kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang
teguh kepadanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R. Malik)

Hadist tersebut menunjukan bahwa Nabi SAW diberi Al-Kitab dan sunnah, dan mewajibkan
kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil apa yang ada pada sunnah seperti
mengambil pada Al-Kitab. Masih banyak Hadist-Hadist lainnya yang menegaskan kewajiban
tentang mengikuti perintah dan tuntunan Nabi SAW. Dalil Ijma Ulama

Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal dari
Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai landasan untuk
menjalankan agama. Tidak seorangpun diantara mereka menolak tentang kewajiban untuk
menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah. Kewajiban untuk menaati sunnah rasul
dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan para
sahabat selanjutnya diikuti oleh para tabi'in, tabi' tubi 'in dan generasi berikutnya hingga
sampai saat ini.

Banyak peristiwa menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadist sebagai sumber


hukum Islam, antara lain.. dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini:

18
1. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata "Saya tidak meninggalkan
sedikit pun sesuatu yang diamalkan dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
tersesat bila meninggalkan perintahnya":

2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata "Saya tahu bahwa engkau adalah
batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu".

3. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-
Quran. Ibnu Umar menjawab: "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada
kita dan kita tidak mengetahui sesuat Sesungguhnya kamu berbuat sebagaimana duduknya
Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana Rasulullah dan saya shalat sebagaimana
shalatnya Rasul".

4. Diceritakan dari Said bun Musayyab bahwa Usman bin "Affan berkata: "Saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah,
dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul"

Dalil Akal (Rasio) Maksud dari dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan
pendekatan akal untuk menjelaskan kedudukan hadist. Hampir tidak dapat dibayangkan
betapa seorang manusia tidak akan bisa menjalankan praktik Ubudiyah maupun praktik
Mu'amalah dengan benar bila mengambil pijakan langsung dari Al-Quran tanpa mengetahui
keterangan dan penjabaran dari hadist terhadap ayat-ayat mengenai hal-hal tersebut.

Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu kadang- kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas insiatif sendiri
dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawa hasil ijtihad
semata-mata mengenai sauatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak
dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang
menasakhnya.

Fungsi Hadist terhadap Al-Quran

Secara global, sunnah sejalan dengan Al-Quran, menjelaskan yang muham (yang tidak jelas),
merinci yang mujmal (yang umum), membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum
dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan- tujuannya, disamping membawa hukum-
hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Quran yang isinya sejalan dengan
kaidah-kaidahnya yang merupakan ralisasi dari tujuan dan sasarannya.

Imam Asy-Syatibi menjelaskan beberapa fungsi hadist terhadap Al-Quran adalah 1)


Memberikan tafsil, perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mujmal. 2)
Memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mutlaq. 3)
Memberikan takhshish (penentuan khusus) terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum.

19
4) Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan Al-Quran dan 5) Menetapkan hukum-
hukum yang tidak detetapkan dalam Al-Quran.

Pada dasamya, Hadist memiliki fungsi utama menegaskan, memperjelas dan menguatkan
hukum-hukum dan hal lain yang ada di Al-Qur'an. Para ulama sepakat setiap umat islam
diwajibkan untuk mengikuti perintah yang terdapat pada hadist-hadist shahih, Dengan
berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Al-Hadist, niscaya hidup kita dijamin tidak akan
tersesat. Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (bayan) firman-firman Allah
SWT didalam Al-Qur'an. Secara lebih rinci dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam islam,
sebagai berikut

1. Bayan Al-Taqrir (Memperjelas isi Al Quran)

Fungsi Hadist sebagai bayan al-Taqrir berarti memperkuat atau memperjelas isi dari Al-
Qur'an. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh HR Bukhari dan Muslim terkait
perintah berwudhu, yakni:

"Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai

ia berwudhu" (HR. Bukhori dan Abu Hurairah)

Hadits diatas mentaqrir dari Surat Al-Maidah ayat 6 yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki" (QS.Al-Maidah:6)

2. Bayan At-Tafsir (Menafsirkan isi Al Quran)

Fungsi Hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi Al-
Qur'an yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan
(persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid). Contoh Hadist sebagai bayan At
tafsir adalah penjelasan Nabi Muhammad SAW mengenai hukum pencurian, yakni:

"Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong
tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan" Hadist diatas menafsirkan Surat Al-
Maidah ayat 38:

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah" (QS.Al-
Maidah:38)

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan
memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi Muhammad SAW
memberikan batasan bahwa yang dipotong dan pergelangan tangan.

20
3. Bayan at-Tasyri' (Memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di AI -Qur'an)

Hadist sebagai bayan At tasyri' ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran
islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an. Biasanya Al Qur'an hanya menerangkan pokok-
pokoknya saja. Sebagaimana contohnya Hadist mengenai zakat fitrah, dibawah ini:

"Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu
shakurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba laki-laki atau
perempuan "(HR. Muslim).

4. Bayan Nasakh (Mengganti ketentuan terdahulu)

Secara etimologi. An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir (mengubah), al-itbal
(membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau jalah (menghilangkan). Para ulama
mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok
dengan lingkungannya dan lebih luas. Salah satu contohnya yakni:

"Tidak ada wasiat hagi ahli waris"

Hadits ini menasakh Surat Al-Baqarah ayat 180:

"Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mand,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara
ma'ruf (ni adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa" (QS. Al-Baqarah:180)

Untuk fungsi Hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di kalangan ulama.
Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh Al- Qur'an dengan segala
hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan
hadist masyhur tanpa harus matawatir. Sedangkan para mu'tazilah membolehkan
memasakh dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat
Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist.

D. PERBEDAAN AL-QUR’AN DENGAN HADIST/SUNNAH

Alquran merupakan tulisan-tulisan suci keimanan Islam yang diwahyukan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan dikumpulkan dalam bentuk kitab.

Kata Alquran secara harfiah berarti bacaan, dan kitab ini adalah kompilasi dari apa yang
diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad. Alquran adalah cahaya terkemuka umat Islam
di seluruh dunia dan telah ada selama lebih dari seribu tahun untuk membantu penganut
Islam menjalani kehidupan yang baik dan suci sesuai dengan perintah Allah.
21
Kepatuhan terhadap perintah-perintah ini dalam kehidupan seseorang akan menuntun
mereka pada keselamatan. Dengan mengikuti prinsip-prinsip dari Alquran, maka dapat
memastikan kehidupan yang kaya dan bermanfaat di dunia.

Sedangkan Hadis adalah kumpulan ucapan dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam. Ini adalah sumber hukum dari agama Islam yang paling penting.

Hadis ini ditulis oleh ulama yang lahir setelah Nabi, sehingga Anda mungkin akan
menemukan ada perbedaan dalam ingatan, intelek dan interpretasi mereka tentang apa
yang dikatakan atau disetujui oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Hadis dianggap berasal dari Muhammad Saheb dan memainkan peran penting dalam
interpretasi hukum Islam. Hadis disusun pada abad ke-8 dan ke-9, tetapi dua aliran dalam
Islam, Syiah dan Sunni, memiliki interpretasi yang berbeda terhadap hadis yang sama.

Hadis menggambarkan tindakan, kebiasaan, pernyataan dan persetujuan dari Nabi


shallallahu alaihi wasallam terhadap tindakan atau perilaku orang lain di depannya.

Al-Qur'an dan hadits memiliki ketentuan dalam syariat atau wahyu Allah SWT dan sunah Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Meskipun keduanya memiliki ketentuan syariat dan wahyu dari
Allah SWT, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Berikut ini adalah perbedaan di antara keduanya.

1. Al-Qur'an adalah Sumber Utama Kehidupan

Dari pengertiannya, Al-Qur'an adalah sumber utama dari segala sumber hukum dalam
kehidupan. Al-Qur'an dapat dikatakan sebagai pedoman hidup, sehingga pemahaman
terhadap Al-Qur'an perlu dikaji dan bukan hanya sekedar materi. Sedangkan hadist ialah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, dan
sifat.

2. Hadits Memiliki 2 Jenis dengan Sifat yang Berbeda

Dalam buku dengan judul Ulumul Qur'an oleh Syaiful Arief, M. Ag., menjelaskan bahwa Al-
Qur'an adalah kalam Allah SWT yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, dan apabila membacanya merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Sedangkan hadits memiliki dua jenis yaitu hadits nabawi yang artinya apa saja yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Kemudian hadits qudsi yang dinisbahkan untuk
mengesankan rasa hormat. Maka dari itu, hadits qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Nabi SAW bahwa beliau meriwayatkan kalam Allah SWT.

3. Periwayatan Al-Qur'an Tidak Boleh Maknanya Saja

Dalam laman NU, perbedaan antara Al-Qur'an dan hadits ialah Al-Qur'an tidak boleh hanya
diriwayatkan maknanya saja, tetapi harus dihafalkan sebagaimana adanya. Sedangkan
hadits qudsi, dapat diriwayatkan secara makannya saja. Kemudian hadits tersebut bisa
dikritik secara sanad dan matan sebagaimana hadits lainnya.

22
4. Al-Qur'an adalah Risalah Allah SWT kepada Seluruh Manusia

Banyak nash yang menunjukan bahwa Al-Qur'an ditujukan untuk seluruh kehidupan.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-A'raf ayat 158 sebagai berikut:

‫ُقْل َٰٓي َأُّيَه ا ٱلَّن اُس ِإِّن ى َر ُسوُل ٱِهَّلل ِإَلْي ُك ْم َج ِميًع ا ٱَّلِذى َلُهۥ ُم ْلُك ٱلَّس َٰم َٰو ِت َو ٱَأْلْر ِض ۖ ٓاَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُه َو ُيْح ِىۦ َو ُيِميُت ۖ َفَٔـاِم ُن و۟ا ِبٱِهَّلل‬
‫َو َر ُسوِلِه ٱلَّن ِبِّى ٱُأْلِّمِّى ٱَّلِذى ُيْؤ ِمُن ِبٱِهَّلل َو َك ِلَٰم ِتِهۦ َو ٱَّت ِبُعوُه َلَع َّلُك ْم َتْهَتُد وَن‬

Artinya: "Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-
kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk"" (QS. Al-
A'raf: 158)

5. Hadits Sebagai Penetapan Hukum (Bayan At-Tasyri')

Melansir pada buku Al-Qur'an dan Hadis oleh H. Aminudin dan Harjan Syuhada,
hadits memiliki fungsi yang penting dalam menetapkan hukum secara terperinci
yang belum diatur dalam Al-Qur'an. Dinyatakan pula, hadis dalam bentuknya
memiliki tujuan untuk menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai
persoalan yang muncul dan tidak terdapat dalam Al-Qur'an.

Fungsi dari hadits tersebut dijelaskan dalam surah Al-Hasyr ayat 7 sebagai berikut:

ۚ ‫َو َم ٓا َء اَت ٰى ُك ُم ٱلَّر ُسوُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َن َه ٰى ُك ْم َع ْن ُه َفٱنَت ُهو۟ا ۚ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّلل ۖ ِإَّن ٱَهَّلل َش ِديُد ٱْلِع َقاِب‬

Artinya: "... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya." (QS. Al-Hasyr: 7)

6. Hadits sebagai Penjelasan dalam Al-Qur'an

Dalam sumber yang sama dengan sebelumnya yaitu Al-Qur'an Hadis dijelaskan
bahwa hadis memiliki fungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang masih
belum jelas, rinci, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mujmal (umum atau
global).

7. Al-Qur'an adalah Kitab Ilahi

Al-Qur'an berasal dari Allah SWT baik secara lafal maupun makna. Dalam buku yang
berjudul Ulumul Qur'an untuk Pemula oleh Syaiful Arief, M. Ag., Al-Qur'an diwahyukan oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah
SWT pada surah Huud ayat 1 sebagai berikut:
‫َٰت ُأ‬
‫آلر ۚ ِك ٌب ْح ِكَم ْت َء اَٰي ُتُهۥ ُث َّم ُفِّص َلْت ِمن َّلُدْن َح ِكيٍم َخ ِبيٍر‬
Artinya: "Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu." (QS. Huud: 1)

23
E. TINGKATAN HADIST/SUNNAH

 Tingkatan Hadits Berdasarkan Kualitasnya


Berdasarkan kualitas sanad dan perawinya, hadits dapat
digolongkan menjadi tiga tingkatan yakni shahih, hasan, dan dhaif.
Berikut penjelasan lengkapnya:
1. Hadits shahih
Hadis shahih adalah hadis musnad yang bersambung sanadnya,
dinukil oleh seorang yang adil dan dabit hingga akhir sanadnya,
tanpa ada kejanggalan dan cacat. Mengutip buku Al-Qur'an Hadits
Madrasah Aliyah Kelas X, sebuah hadits dikatakan shahih jika
memenuhi syarat berikut:
 Hadisnya musnad, yaitu disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW disertai sanad.
 Sanadnya bersambung. Artinya, antara rawi dari sanad hadits
tersebut pernah bertemu langsung dengan gurunya.
 Seluruh rawinya adil dan dabit. Maksud dari adil yaitu rawi yang
bertakwa dan menjaga kehormatan dirinya, serta dapat menjauhi
perbuatan buruk dan dosa besar seperti syirik, fasik, dan bid’ah.
Adapun yang dimaksud dengan dabit adalah kemampuan
seorang rawi dalam menghafal hadits.
 Tidak ada syadz. Artinya, hadits tersebut tidak bertentangan
dengan rawi lain yang lebih kuat darinya.
 Tidak ada ‘illah. Artinya, dalam hadits tersebut tidak ditemukan
cacat yang merusak kesahihan hadits.
Hukum memakai hadits sahih adalah wajib, sebagaimana
disepakati oleh ahli hadits dan para fuqaha. Sebab, hadits sahih
merupakan salah satu sumber hukum syariat, sehingga tidak ada
alasan untuk mengingkarinya.
2.Hadits Hasan
Kata hasan berasal dari kata al-husnu yang berarti kecantikan dan
keindahan. Secara istilah, Abu Isa at-Tirmidzi mengartikan hadits
hasan sebagai hadits yang dalam sanadnya tidak terdapat orang
yang tertuduh bohong, haditsnya tidak janggal, serta diriwayatkan
tidak hanya dalam satu jalur rawian.

24
Perbedaan antara hadits sahih dan hadits hasan memang sangat
tipis. Bahkan, sebagian ulama mengatakan bahwa antara hadits
sahih li gairihi dan hadits hasan li zatihi adalah sama.
Tingkatan hadits hasan berada di bawah level hadits sahih.
Meski begitu, para fuqaha tetap memakainya sebagai hujjah dan
sumber hukum. Adapun para fuqaha yang dimaksud yaitu al-
Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah sabda Rasulullah yang tidak memenuhi syarat
diterimanya suatu hadits dikarenakan hilangnya salah satu dari
beberapa syarat yang ada. Hadits jenis ini tingkatannya paling
lemah di antara jenis hadits lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam memandang kedudukan
hadits dha’if. Namun, mayoritas membolehkan mengambil hadits
dhaif sebagai hujjah, apabila terbatas pada masalah fadh’ilul 'amal.
(MSD)

F. PENELITIAN HADIST/SUNNAH

a) Pengertian Penelitian Hadis Untuk mengetahui pengertian penelitian Hadis, terlebih dahulu
dikemukakan pengertian sanad dan matan Hadis, demikian karena penelitian itu mencakup kritik
sanad dan matan Hadis, Sanad adalah jalan periwayatan yang dapatmenghubungkan matan Hadis
pada Nabi, dan matan adalah sesuatu (sabda Nabi) yang mengakhiri rangkaian sanad.7 Atau
pembicaraan (kalam) atau materi yang diakhiri oleh sanad yang terakhir. 8 Untuk itu pengertian yang
sederhana dapat dikemukakan : Penelitian Hadis dimaksud sebagai studi kritis atas sanad dan matan
Hadis yang dilakukan oleh para peneliti Hadis dengan tujuan mengetahui orisinalitas Hadis, apakah ia
berasal dari Nabi atau bukan, dengan menggunakan metoda-metoda tertentu.

b) Wilayah Kajian (Obyek) Penelitian Bagian-bagian Hadis yang menjadi objek penelitian, seperti
diungkap diatas ada dun macam yaitu rangakaian para periwayat yang menyampaikan riwayat Hadis

25
(sanad), dan materi atau matan Hadis itu sendiri. Ada bebrapa halyang penting berkenaan dengan
sanad dan matan Hadis tersebut yang perlu diketahui dan diperhatikan dalam penelitian ini.

1. Sanad Hadis Pandangan Ulama Tentang Sanad Begitu penting kedudukan sanad dalam
periwayatan Hadis, demikiankarena sanad sebagai rangkaian perawi yang menghubungkan Hadis
pada Nabi(sebagai sumber Hadis) Tanpanya suatu “berita” yang dinyatakan dari Nabi,bukan disebut
sebagai Hadis. Dalam hubungannya dengan pentingnya kedudukan sanad, Muhammad bin Sirrin
menyatakan bahwa, “Sesungguhnya pengetahuan Hadis adalah agama;maka perhatikanlah dari
siapa kamu mengambil agama itu”. kemudian Abdullah bin Mubarak (W.l8l H/797 M) menyatakan
bahwa “Sanad merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad Hadis tidak ada, niscaya siapa saja
akan bebasmenyatakan apa yang dikehendakinya”. Pandangandiatas mengandung dua pengertian:
(I) Dalam menerima atau menghadapi Hadis, kita harus meneliti para perawi yang terlibat dalam
sanad hadis tsb, (2) Sanad meruapakan bagian penting dalam periwayatan, dan karenanya
kedudukan suatu kitab Hadis ditentukan. Bagian-bagian Sanad yang Diteliti Sanad Hadis, yang secara
istilahi dikatakan sebagai rangkaian para perawiyang menyampaikan kita pada matan Hadis. 11
memiliki dua bagian penting: (1)Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan Hadis
bersangkutan, (2)Lambang-lambang periwayatan Hadis yang yang digunakan oleh para
perawibersangkutan, seperti: ( ‫ كن و ان‬, ‫ أخربين‬, ‫) مسعت‬

2. Matan Hadis

Seluruh matan Hadis berkait erat dengan sanadnya, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan, keberadaannya ditentukan oleh satu sama lainnya, keduanya memiliki hubungan
organis dalam periwayatan Hadis. Perlunya penelititan matan Hadis bukan hanya karena keberadan
matan tidak bisa dilepuskan dari sanad saja, akan tetapi juga karena dalam periwayatan matan Hadis
terjadi periwayatan secara makna. Sekalipun ulama-ulama ahli Hadis telahmenentukan syarat-syarat
periwayatan bilmakna, 12 tidak selamanya ketentuan-ketentuan itu dapat dipenuhi dengan baik.
Dengan adanya periwayatan secara makna, maka untuk penelitian matan Hadis tertentu (selain
Hadis tentang ibadah) sasaran penelitian pada umumnya tidak tertuju kepada kata perkata dalam
matan itu, tapi cukup pada kandungan berita yang bersangkutan. Dan bila main yang diteliti
mengandung ajaran ibadah tertentu seperti shalat, maka penelitian mesti kata perkata.13 adanya
periwayatan Hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik
tidak mudah dilakukun. Namun hal ini tidak herarti bahwa penelitian Hadis dengun pendekatan
bahasa tidek perlu dilakukan. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan akan sangat
membantu terhadap kegiatan peneltianyang berhubugnan dengan kandugan petunjuk dari matan
Hadis yang bersangkutan. Kesulitan penelitian matan disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:

26
(1) Adanya periwayatan secara makna,

(2) Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak semacam saja.

(3) Latar belakang timbulnya petunjuk Hadis tidak selalu mudah dapat diketahui,

(4) Adanya kandungan petunjuk Hadis yang berkaitan dengan halhal yang berdimensi “supra
rasional”, dan

(5) Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matn Hadis

Metoda Penelitian Hadis

Metoda atau cara-cara meneliti validitas Hadis sanad dan matan Hadis dalam bentuk langkah-
langkah penelitian Hadis, menurut pemahnman penulis terhadap buku “Metodologi Penelitian
Hadis” seperti yang dipaparkan oleh Syuhudi Ismail23 meliputi tiga pokok langkah-Iangkah
penelitian, yang masing-masing memiliki bagian langkah sebagai derivasi dari ketiga metode pokok
tadi, yang terdiri dari: Pertama, Melakukan Tahrijul Hadis (Sebagai Langkah awal kegaitan penelitian

Hadis) untuk mengetahui;

(I) Asal usul riwayat Hadis yang akan diteliti,

(2) Seluruh riwayat Hadis Hadis yang akan diteliti,

(3) Ada atau tidaknya syahid atau muttabi pada sanad yang akan diteliti. Adapun metoda24 yang
digunakan adalah metoda Takhrijul Hadis bil-Lafdzi dan metode Takhrijul-Hadis bil-maudhu‘. Kedua,
melakukan penelitian sanad Hadis ;

langkah-langkah yang ditempati dalam tahap ini adalah:

1. Melakukan I’tibar, yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain unluk suatu Hadis tertentu, yang
Hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya seorang perawi saja; dan dengan menyertakan
sanadsanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwaytan yang lain ataukah tidak
ada untuk bagian sanad dari sanad Hadis yang dimaksud. I’tibar ini dilakukan untuk menentukan ke-
ghariban suatu Hadis. 25hal ini dapat dilakukan dengan membuat skema Hadis.

2. Meneliti pribadi periwayat dan metoda periwaytannya. Hal-hal yang perlu diperhalikan dalam
tahap ini.26

a. Menjadikan keshahihan sebagai acuan.

27
b. Melakukan penelitian segi-segi pribadi periwayat, meliputi;

(I) Kulaitas prihadi periwayat,

(2) kapasitas intelektual periwayat.

c. Persoalan sekitar Al-Jarh wat-ta’dil. Ada beberapa teori yang telah dikemukakan oleh ulama
dibidangnya, yang penting bagi penelitian. Antara lain

: 1. At-Ta’dil Muqaddamun ‘Ala Al-Jarh. Teori ini didukung oleh minoritas ulama Hadis, diantaranya,
An-Nasa’i (wafat 303H/915M).

2. Al-Jarh Muqaddamun ‘Ala A1-Ta ‘dil. Teori ini didukung oleh kalangan ulama Hadis: ulama fiqh
dan ulama ushul fiqh.

3. Idza Ta ’aradha al-jaarh al-Mu ’adilu fi al-Hukmu Li al-Mu 'adli illa idza Tsubita al-Jarhu al-
Mufassaru. Teori ini didukung oleh mayoritas ulama kritik Hadis

. 4. Idza Kana al-Jarhu Dha’ifan Fala Yuqbalu Jarhuhu Li al-Tsiqat. Pendukung teori ini mayoritas
ulama pengkritik Hadisyt

5. La Yuqbulu al-jarhu illa Ba’da alTsabuti Khasiyah al-Asybahi fi-il Majrukhin. Teori ini didukung oleh
kalangan ulama ahli Hadis d. Penelitian persambungan sanad, yang meliputi:

1. Identifikasi lambang-lambang metode periwayatan, sanad Hadis selain memuat nama-


nama perawi, juga menunjukkan metoda periwayatan yang digunakan oleh perawi masingmasing.
Identifikasi Iambang periwayatan dapat menentukan tingkat akurasi metoda periwayatan yang
digunakan periwayat yang tercantum dalam sanad,

2. Mengidentifikasi hubungan periwayat dengan metode periwayatannya. Secara mudah,


keadaan perawi dibagi menjadi yang tsiqah dan yang tidak tsiqah. Dalam hubungannya dengan
persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Artinya ketinggian lambang
periwaayatan tidak menentukan tingkat akurasi berita,jiku pembawanya tiduk (siqah. Namun
adajuga orang yang dinilai tsiqah oleh ulama ahli kritik Hadis, dengan syarat menggunakan lambang
periwayatan (hadasani atau sami’tu, sanadnya bersambung, Jika tidak, sanadnya terdapat tadlis
(penyembunyian cacat).

e. Meneliti Syudzudz dan lllat. Suatu sanad bisa mengandung syudzudz, bila sanad yang
diteliti lebih dari satu buah. Salah satu langkah penelitaian yang sangat penting untuk meneliti
kemungkinan adanya syudzudz suatu sanad Hadis ialah dengan membanding-bandingkan semua

28
sanad yang ada untuk matan yang tofik pembahasannya atau memiliki segi kesamaan. Adapun
langkah-langkah umuk meneliti keillatan suatu Hadis, menurut lbn al-Madini,29 ialah: 1.
Menghimpun dan meneliti seluruh sanad Hadis untuk mam yang semakna, bila Hadis tersebut
memikliki muttabi ataupun syahid. 2. Meneliti seluruh periwayatan dalam berbagai sanad
berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik Hadis

III. Penelitian Matan Hadis Langkah-langkah metodologis penelitian matan Hadis meliputi.30
1. meneliti matan dengan kualitas sanadnya. Penelitian ini meliputi langkah-langkah pemabahasan:
(1) Meneliti matan sesudah meneliti sanad, (2) Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kulitas
sanadnya, (3) Kaidah keshahihan matan sebagi acuan. 2. Meneliti susunan main yang semakna. Cara
ini ditempuh untuk dapat mengetahui terjadinya perbedaan lafal matan Hadis yang diakibatkan oleh
terjadinya periwayatan secara makna, dan untuk mengidentifikasi terjadinya jiyadah, idraj dan
sebagainya, yang disebabkan oleh adanya perbedaan lafal. Dalam tahap penelitian ini dapat
digunakan metode perbandingan (muqaranah) antara berbagai matan Hadis yang memiliki
kesamaan tema atau ada sagi kasamaan tema. 3. Meneliti kandungan matan. Untuk tahap ini
ditempuh melalui langkahlangkah: a. Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak
bertentangan.Untuk mengetahui ada atau tidaknya matan lain yang memiliki topikmasalah yang
sama, ditempuh dengan jalan Takhrijul Hadis bi alMaudhu’. Jika ada matan lain yang bertopik sama,
maka matan itu perluditeliti sanadnya. Jika sanad telah memenuhi syarat, maka
kegiatanmuqarannah kandugnan matan tersebut dapat dapat dilakukan. Jika hasilnyasama, maka
penelitian untuk tahap awal sudah selesai. Yang pada prakteknya penelitian ini dilanjutkan dengan
memeriksa penjelasan masingmasing matn diberbagai kitab syarah. Membandingkan kandungan
matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan.31 Dalam tahap ini, aksentuasi penelitian
diperuntukkanmengatasi Hadis-Hadis yang nampak kandungannya bertentangan (mukhtalifal-Hadis
atau Ta‘arud alHadis).metoda yang digunakan olehpara muhadditsin dalam hal ini, antara lain apa
yang dikemukakan olehIbnu Hajar AlAsqalani; (I) Al-jam‘u, (2) al-Nsikh WaalMansukh, (3) at-Tarjih,
dun (3) at-Tauqif

29
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Sunnah adalah pedoman hidup kaum Muslimin yang keduasetelah Al-Qur’an. Bagi
mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam dan sumber
ajaran islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber ajaran Islam,
bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri
telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits.
As-Sunnah adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari
NabiMuhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan

30
atauperbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. As-Sunnah
secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan, baik dalam
perkara kebaikan maupun kejelekan.
Adapun pengertian dalam istilah syari’ah adalah petunjuk dan jalan di
manaRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya berada di atasnya,
baikdalam hal ilmu, ‘aqidah, ucapan, ibadah, akhlaq maupun mu’amalah. Sunnah
dalammakna ini wajib untuk diikuti. Jadi, makna As-Sunnah di sini bukan seperti
dalampengertian ilmu fiqih, yaitu: suatu amalan yang apabila dikerjakan mendapat pahala,
danapabila ditinggalkan tidak berdosa

31
DAFTAR PUSTAKA

https://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241997686

https://islam.nu.or.id/ubudiyah/4-sumber-hukum-dalam-aswaja-rhoqE

Al-Maktabah Asy-Syamilah. Irsyadul Fuhul, As-Syaukani

Al-Qur’an Dan Terjemah, Juz 4, QS. Ali imron:164

1 M. Aja>j Al-Khati>b, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Cet. I,


(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 21
Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Hadith vol. 5 Mei 2007, p. 71-95.
Jurnal Islamica volume 7, Nomor 2, Maret 2013
Dipublikasikan dalam Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 1 (2004),
pp. 42-77
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6894095/surat-an-nisa-
ayat-59-arab-latin-arti-dan-tafsirnya

https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6552072/al-quran-dan-
hadits-ini-7-perbedaan-yang-perlu-diketahui

https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/
2326/2256
Mahmud Al-Thahan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, 1st edn (Semarang:
Bina Utama, 1995)
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Difa’u An Al-Sunnah (kairo:
Al-Azhar)
Muhammad Mustafa Azhami, Metodologi Kritik Hadits, L (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1992)
Muhammad Utsman Khasyat, Mafatih Ulum AlHadits Wa Turuq
Takhrijuhu, 3rd edn (kairo: Maktab Al Qur’an)
Nuruddin ’Itr, Al-MadkhalIla’Ulum Al-Hadit (Madinah: Maktabah al-
Ilmiyah, 1972)
Shalahuddin Ibn Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqdil Matan (Beirut: Dar
Al-Afaq AlJadidah, 1983) Shalih, Subhi, Ulum Al-Hadits Wa
Musthalahuhu (Beirut: Dar Al-Ilmu Li al-Malayin, 1977)
32
33

Anda mungkin juga menyukai