Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH INGKARU SUNNAH DAN BANTAHAN TERHADAP NYA

Makalah ini di tujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

ULUMUL HADIST

Dosen pembimbing :

H.Muhammad Iqbal Lutfi, MM

Di susun oleh :

Muhammad Asro

Siti Nurida

Adelia

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

( TARBIYAH )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL - HIKMAH

JAKARTA SELATAN 2019


Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tentang sejarah ingkarul Sunnah dan bantahan
terhadap nyal ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai bagaimana sejarah peradaban Islam dinasti Abbasiyah, Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan ulasan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya .

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... ........ i

KATA PENGANTAR........................................................................................ ...... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................... ........ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Rumusan masalah............................................................................. 1

B. Tujuan............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ingkar al- Sunnah............................................................. .............. 2

B. Sejarah Ingkar al- Sunnah................................................................. .............. 3

C. Argumentasi dan Bantahan Para Ulama Terhadap Ingkar al- Sunnah........... 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................... ....... 10

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber utama ajaran Islam. Islam berfungsi sebagai petunjuk ke
jalan yang benar untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Isra’ “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.” (QS. Isra`:9)

Petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global
sehingga memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan
cara-cara pelaksanaannya dibebankan oleh Allah kepada Rasulullah melalui hadits-hadits atau
sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa “tidak akan ada sunnah
tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an tidak akan dapat dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan
sunnah”.
Atas dasar hal tersebut maka sunnah menempati posisi strategis sebagai sumber hukum ajaran
Islam yang kedua setelah al-Qur’an yang wajib dijadikan pegangan dan diamalkan oleh umat Islam.

Disadari bahwa terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara hadits dan al-Qur’an baik dari
segi redaksi dan cara penyampaiannya atau penerimaannya. Dari segi redaksi diyakini bahwa al-Qur’an
disusun langsung oleh Allah dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad kemudian
disampaikan Nabi kepada umatnya dan selanjutnya dari generasi ke generasi. Sehingga redaksi ayat-ayat
al-Qur`an dapat dipastikan tidak ada perubahan karena sejak diterima oleh Rasul, al-Qur`an ditulis dan
dihafal para sahabat kemudian disampaikan secara mutawatir. Dengan demikian kehujjahan al-Quran
menjadi qath’iy al-wurud. Sedangkan hadits kehujjahannya zhanny al-wurud, hal ini disebabkan hadits
tidak semuanya persis sama dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi kecuali hadits mutawatir tetapi
ada yang periwayatannya secara maknawi.

Meskipun dari segi otensitasnya hadits bersifat zhanny al-wurud kecuali hadits mutawatir tidak
berarti harus diragukan karena banyak faktor yang mendukung keabsahannya dan tidak mungkin para
ulama sepakat untuk berdusta.

Dalam perkembangan sejarah Islam, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an mendapat
tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas sunnah sebagai sumber hukum
Islam baik secara total, sebahagian maupun sebahagian kecil. Kelompok yang mengingkari sunnah ini
disebut dengan inkar al- sunnah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari inkar al-Sunnah?

2. Bagaimana sejarah awal kemunculan dan perkembangan inkar al-Sunnah?

3. Bagaimana klasifikasi inkar al-Sunnah dan argumennya?

4. Bagaimana inkar al-Sunnah di Indonesia?

5. Bagaimana kritik ulama terhadap pengingkar Sunnah?

6. Apa contohnya dari mengingkari al-Sunnah?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian inkar al-Sunnah

2. Mengetahui sejarah awal kemunculan dan perkembangan inkar al-Sunnah

3. Mengetahui klasifikasi inkar al-Sunnah dan argumennya


4. Mengetahui inkar al-Sunnah di Indonesia

5. Mengetahui kritik ahli terhadap pengingkar Sunnah

6. Mengetahui contoh inkar al-Sunnah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Inkar Sunnah

Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata “Ingkar” berasal dari
akar kata arab ‫ اَ ْن َك َر يُ ْنك ُر ا ْن َك َر‬yang mempunyai beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak
menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak
tergambarkan dalam hati.[1]

Menerut pendapat lain, Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan
sunnah. Menurut bahasa inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan
atau tidak mengakui dan orangnya disebut dengan mungkir”. Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti
“penolakan hati terhadap hal-hal yang tidak tergambar olehnya, baik berupa penolakan dengan lidah
sebagai ungkapan hati ( kebodohan ), maupun penolakan dengan lidah sedangkan hati mengakui.”

Berarti orang yang melakukan inkar sunnah ia tidak mengakui, dan menolak Sunnah rosul, baik
sebagian maupun seluruhnya. Orang yang mengingkari sunnah rosul walaupun hanya sebagiannya saja
itu tetep dikatakan mengingkari Sunnah.

Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang
dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik.
Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang
menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti
pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sunnah
merupakan sumber ajaran Islam yang ke-2 setelah Al-Qur'an

Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah secara terminology antara lain disebut dalam
Ensiklopedi Islam yaitu “orang-orang yang menolak sunnah atau hadits Rasulullah SAW sebagai hujjah
dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”

Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah adalah paham yang menolak sunnah atau hadits
sebagai ajaran Islam di samping al-Qur`an. Pendapat lain, dikemukakan oleh Edi Safri bahwa inkar al-
sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau
sumber ajaran agama yang wajib ditaati dan diamalkan”.
Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud inkar al-sunnah ialah pengingkaran karena adanya
keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi
melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong.

Sementara itu Lukmanul Hakim mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah gerakan dari
kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah sebagai hukum atau sumber
ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.[2]

Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran, golongan
dan paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam atau hujjah yang wajib ditaati
dan diamalkan umat Islam. Maksudnya keraguan yang lahir menjadi penolakan terhadap keberadaan
sunnah atau hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.

B. Sejarah dan Perkembangan Inkar al-Sunnah

Setelah Rasulullah wafat, terjadi kesepakatan dikalangan umat Islam untuk menempatkan hadits
sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Kesepakatan tersebut dapat bertahan dan terpelihara
dengan baik sampai pada masa Khalifah al-Rasyidin dan Bani Umayah (41 H/661M – 133 H/750 M). Hal
ini dapat dimaklumi karena di samping masa hidup sahabat masih terbilang dekat dengan masa hidup
Nabi, keimanan mereka terhadap Nabi juga masih tinggi, sehingga tidak mungkin mengingkari sunnah
Nabi. Setiap kali mereka mendapat kalimat dari Nabi maka kalimat tersebut lansung menjadi pegangan
dan menjelma dalam perilaku mereka.

Sejarah perkembangan faham ingkar sunnah hanya terjadi dalam dua periode, yaitu periode
klasik dan periode modern. Menurut Prof. M. Mushthofa Al-Azhami sejarah ingkar sunnah klasik terjadi
pada masa Imam Asy- Syafi’I (abad 2H/7M). kemudian menghilang dari peredarannya selama beberapa
abad. Kemudian pada abad modern (abad 13H/19M) kembali muncul di India dan Mesir sampai pada
masa sekarang.[3]

Imam Syafi’i banyak berhadapan dengan para pengingkar sunnah dan termasuk orang yang paling
berjasa dalam membela hadits dari gerakan-gerakan kaum yang berkeinginan untuk menghilangkan
hadits dari aturan-aturan hukum Islam. Mereka semua menolak keberadaan hadits dan sunnah dari Nabi
untuk dijadikan sumber hukum Islam.

Ini sebabnya mengapa kemudian oleh ahli sejarah Islam menamakan mereka sebagai inkar al-
sunnah, tidak dengan nama ingkar hadits. Mereka tidak mengingkari adanya hadits sebagai perkataan,
perbuatan dan ketetapan yang bersumber dari Nabi saw. Mereka hanya mengingkari kopetensinya
dalam hukum Islam. Hal itu disebabkan dari dulu mereka sudah meragukan metodologi kodifikasi yang
tidak menjamin kebenaran hadits yang beredar di kalangan umat Islam sampai saat ini benar dari Nabi.

a. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik


Ingkar sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy- Syafi’I (wafat 204 H). Dalam kitabnya Al-Umm Imam
Syafi’i menguraikan perdebatan beliau dengan seseorang pengingkar sunnah. Menurut Muhammad Al-
Khudhari Beik, bahwa seseorang yang berdebat denga Imam Asy-Syafi’I tersebut dari kelompok
Mu’tazilah karena dinyatakan bahwa orang tersebut berasal dari bashrah, sementara bashrah pada saat
itu merupakan pusat teologi mu’tazilah.

Inkar sunnah pada masa klasik ini diawali akibat konflik internal umat islam yang dikobarkan oleh
sebagian kaum sindiq yang berkedok pada sekte-sekte tertentu dalam islam, kemudian diikuti oleh para
pendukungnya dengan mencacimaki para sahabat. Secara umum dapat dikatakan semua umat islam
mengakui kehujahan sunnah sebagai dasar hukum, hanya saja terdapat perbedaan dalam memberikan
kriteria persyaratan kualitas sunnah tersebut.

Berikut pandangan beberapa sekte dalam Islam terhadap sunnah Rasul.

a. Khawarij

Secara umum, khawarij dan berbagai sempalannya berpendapat bahwa semua sahabat yang
terlibat dalam fitnah perang jamal dan gencatan senjata (tahkim) serta yang ridho akan hal tersebut
dinilai kafir. Sehingga mereka menolak seluruh sunnah yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat
setelah dua peristiwa tersebut. Mereka hanya menerima sunnah yang diriwayatkan dari beberapa
sahabat yang tidak terlibat dalam dua peristiwa tersebut.

b. Syi’ah

Kelompok syiah menerima sunnah dan mengamalkannya seperti ahlussunnah, hanya mereka
berbeda dalam menerima dan menetapkan kriterianya. Mereka berpendapat bahwa mayoritas sahabat
setelah rosulullah wafat adalah murtad kecuali beberapa orang saja. Sehingga mereka tidak mau
menerima sunnah yang diriwayatkan dari mayoritas sahabat tersebut, kecuali dari kalangan ahlul bait
(keluarga Nabi Saw). Mereka mensyaratkan penuturan sebuahhadits harus dari jalur para imam, karena
menurut mereka hanya imam merekalah yang bersifat Ma’sum (terpelihara dari dosa).

c. Mu’tazilah

Menurut kesimpulan al-siba’iy, bahwa sikap mu’tazilah tidak menentu apakah menolak sunnah
atau menerima seluruhnya atau menolak sunnah ahad saja. Namun secara umum dapat dikatakan
bahwa mu’tazilah dengan ushul khamsah-nya (falsafah madzhab mu’tazilah) dan konsep-konsep yang
bermuara daripadanya merupakan kaidah yang dipatuhi oleh teks al-qur’an dan sunnah. Ayat yang
kontradiksi denga logika ditakwilkan dan sunnah yang kontradiktif dengan rasio ditolak. Harun nasution
mengungkapkan bahwa kaum mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi,
bukan tidak percaya pada sunnah atau tradisi nabi dan para sahabat akan tetapi mereka ragu akan
keorisinalan hadits yang mengandung sunnah tersebut.[4]

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa mu’tazilah pada perinsipnya menerima kehujjahan
sunnah. Namun mereka mengkritik sejumlah sunnah yang kontra dengan falsafah madzhab mereka.
b. Ingkar As-Sunnah Modern

Apabila ingkar as-sunnah klasik muncul di Basrah, akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap
fungsi dan kedudukan hadist, ingkar as-sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat adanya pengaruh
pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia islam. Antara lain tokoh-tokoh ingkar as-sunnah
modern, yaitu :

1. Taufiq Shidqi ( w. 1920 m)

Tokoh ini berasal dari Mesir, dia menolak Hadits Nabi saw, dan menyatakan bahwa al-Qur'an
adalah satu-satunya sumber ajaran Islam. Menurutnya "al-Islam huwa al-Qur'an" (Islam itu adalah al-
Qur'an itu sendiri). Dia juga menyatakan bahwa tidak ada satu pun Hadits Nabi saw yang dicatat pada
masa beliau masih hidup, dan baru di catat jauh hari setelah Nabi wafat. Karena itu menurutnya,
memberikan peluang yang lebar kepada manusia untuk merusak dan mengada-ngadakan Hadits
sebagaimana yang sempat terjadi (Irsyadunnas, 94). Namun ketika memasuki dunia senja, tokoh ini
meninggalkan pandangannya dan kembali menerima otoritas kehujjahan Hadits Nabi saw.

2. Rasyad Khalifa

Dia adalah seorang tokoh Ingkar Sunnah yang berasal dari Mesir kemudian menetap di Amerika.
Dia hanya mengakui al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang berakibat pada
penolakannya terhadap Hadits Nabi saw.

3. Ghulam Ahmad Parwes

Tokoh ini berasal dari India, dan juga pengikut setia Taupiq Shidqi. Pendapatnya yang terkenal
adalah: bahwa bagaimana pelaksanaan shalat terserah kepada para pemimpin Umat untuk
menentukannya secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan dan situasi masyarakat. Jadi menurut
kelompok ini tidak perlu ada Hadits Nabi saw. Anjuran taat kepada Rasul mereka pahami sebagai taat
kepada sistem/ide yang telah dipraktekkan oleh Nabi saw, bukan kepada Sunnah secara harfiah. Sebab
kata mereka, Sunnah itu tidak kekal, yang kekal itu sistem yang terkandung di dalam ajaran Islam.

4. Kasim Ahmad

Tokoh ini berasal dari Malaysia, dan seorang pengagum Rasyad Khalifa, karena itu pandangan-
pandangnnya pun tentang Hadits Nabi saw sejalan dengan tokoh yang dia kagumi. Lewat bukunya,
"Hadits Sebagai Suatu Penilaian Semua", Kasim Ahmad menyeru Umat Islam agar meninggalkan Hadits
Nabi saw, karena menurut penilaianya Hadits Nabi saw tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang
dikaitkan dengan Hadits Nabi saw. Lebih lanjut dia mengatakan "bahwa Hadits Nabi saw merupakan
sumber utama penyebab terjadinya perpecahan Umat Islam; kitab-kitab Hadits yag terkenal seperti
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab yang menghimpun Hadits-Hadits yang
berkualitas dhaif dan maudhu', dan juga Hadits yang termuat dalam kitab-kitab tersebut banyak
bertentangan dengan al-Qur'an dan logika.[5]
D. Klasifikasi Inkar al-Sunnah dan Argumennya

A. Menolak sunnah secara umum

Yaitu kelompok yang menolak hadits hadits Rasulullah SAW sebagai hujjah dalam ajaran Islam
secara keseluruhan, baik hadits mutawatir maupun hadits ahad, menurut mereka hanya al- Qur`an satu-
satunya sebagai sumber ajaran Islam. Argumentasinya adalah:

1. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang
baik, maka al-Qur’an dapat dipahami dengan baik, tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari hadis-
hadis Nabi saw. Sebagaimana dalam surat Firman Allah al- `Asyu`ra:

[24] ‫بِلِ َسا ٍن َع َربِ ٍّي ُّمبِي ٍن‬

”Al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS: Asyura:195)

2. Al-Qur’an sebagaimana disebutkan Allah SWT adalah penjelas segala sesuatu (QS. al-Nahl (16): 89).
Hal ini mengandung arti bahwa penjelasan al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang diperlukan
oleh umat manusia. Dengan demikian maka tidak perlu lagi penjelasan lain selain al-Qur’an. Sesuai surat
an-Nahl dan surat al-An’am:

“ …dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.16:89)

[26] ... َ‫َي ٍء ثُ َّم ِإلَى َربِّ ِه ْم يُحْ َشرُون‬


ْ ‫ب ِمن ش‬ ْ ‫َّما فَر‬
ِ ‫َّطنَا فِي ال ِكتَا‬

“ …Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (QS:6:38)

3. Hadis-hadis Nabi saw. sampai kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak terjamin
luput dari kekeliruan, kesalahan dan bahkan kedustaan terhadap Nabi saw.. Oleh karena itu, nilai
kebenarannya tidak meyakinkan (zhanny). Karena status ke-zhanny-annya ini, maka hadis tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Qur’an yang diyakini kebenarannya secara mutlak
(qat’i). Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah dalam surat al-Hijr :

[28] َ‫ِإنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوِإنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguh Kami benar-benar


memelirakannya.” (QS. 15:9)

4. Berdasarkan atas riwayat dari Nabi saw. yang artinya: “apa-apa yang sampai kepadamu dari Saya,
maka cocokkanlah dengan al-Qur’an. Jika sesuai dengan al-Qur’an maka Aku telah mengatakannya, dan
jika berbeda dengan al-Qur’an maka Aku tidak mengatakannya. Bagaimanakah Aku dapat berbeda
dengan al-Qur’an sedangkan dengannya Allah memberi petunjuk kepadaku”.
Riwayat tersebut dalam pandangan mereka berisi tuntutan untuk berpegang kepada al-Qur’an, tidak
kepada hadis Nabi saw.. Dengan demikian menurut riwayat tersebut, hadis tidaklah berstatus sebagai
sumber ajaran Islam.

B. Menolak Sunnah yang Tidak Terdapat Prinsipnya dalam al- Qur`an

Yaitu mereka yang tidak mengakui otoritas hadits- hadits untuk menentukan hukum baru selain
yang ditentukan oleh al- Qur`an. Kelompok yang menolak hadis Nabi saw. menurut al-Syafi’i, pada
dasarnya adalah sama kelirunya dengan inkar al-sunnah kelompok pertama, yang menolak hadis Nabi
SAW secara keseluruhan. Argumnetasi yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini sama seperti yang
dikemukakan oleh kelompok pertama, yaitu bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang
berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Ini berarti bahwa menurut mereka hadis Nabi saw. tidak
punya otoritas untuk menentukan hukum di luar ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an.
Karenanya, dalam menghadapi suatu masalah, meskipun ada hadis yang membicarakannya atau
mengaturnya, mereka tetap tidak akan berpegang pada hadis tersebut jika tidak didukung oleh ayat al-
Qur’an.

C. Menolak Hadits Ahad dan Menerima Hadits Mutawatir

Hadits ahad adalah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang rawi
kepada satu atau dua orang rawi lainnya, yang adil dan tepercaya dan demikian selanjutnya. Sedangkan
hadits mutawatir adalah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi kepada
sejumlah rawi yang adil dan tepercaya dan demikian seterusnya.[29]

Mereka hanya menerima hadits- hadits yang mutawatir sebagai hujjah dan menolak hadits- hadits
ahad, walaupun hadits- hadits tersebut memenuhi persyaratan sebagai hadits shahih. Sebagai
argumennya mereka merujuk kepada Firman Allah al- Isra` :

[30] ... ‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم‬ َ ‫َوالَ تَ ْقفُ َما لَي‬


َ َ‫ْس ل‬

” Janganlah kamu mengikuti apa- apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.(QS: al-
Isra`:36)

Surat al- Nisa` :

ِّ ‫وا َعلَى هّللا ِ ِإالَّ ْال َح‬


[31] .... ‫ق‬ ْ ُ‫َوالَ تَقُول‬

” Janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” (QS:an-Nisa`:71)

C. Inkar al-Sunnah Indonesia

Pemikiran modern ingkar sunnah muncul di Indonesia secara terang-terangan sekitar tahun 1980-
an. Kemungkinan besarnya jauh sebelum itu telah ada penyebaran secara sembunyi-sembunyi.
Pemikiran inkar sunnah bergerak di beberapa tempat dan pada 1983-1985 mencapai puncaknya
sehingga menghebohkan masyarakat Islam dan memenuhi halaman surat kabar. Adapun penyebaran
kelompok inkar sunnah di Indonesia meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Tegal, dan Padang.[6]

Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut
PT. Galia Indonesia), Ir. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang
Panjang), Nazwar Syamsu, As’ad bin Ali Baisa, H. Endi Suradi. Para penginggkar sunnah di Indonesia
secara keseluruhan menolak sunnah sebagai sumber hukum dan mereka dari kalangan bukan orang
yang ahli agama dan masih dalam tahap belajar kemudian mengklaim dirinya ahli agama dan secara
eksklusif merasa paling benar dan yang lain salah.

D. Kritik Ahli Terhadap Pengingkar Sunnah

Paham inkar al-sunnah merupakan kekesatan yang nyata dan menyesatkan umat. Tujuan mereka
adalah untuk meruntuhkan ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama dengan gencar menolak
argumentasi mereka tidak logis dan dibuat-buat. Beberapa argumentasi para ahli terhadap pengingkar
sunnah:

Menurut Imam Syafi’i, dengan menguasai bahasa Arab maka orang lebih mengetahui bahwa al-
Qur’anlah yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah SAW. Mengikuti Rasulullah sama halnya
dengan perintah mengikuti al-Qur’an. Untuk mendukung argument Imam Syafi’i, ia mengemukakan dalil
al-Qur`an al-Jum`ah: ”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seoran Rasul diantara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.” (QS.62:2)”

Di samping ayat diatas juga dikemukakan surat al-Ahzab : “ Dan ingatlah apa yang dibacakan di
rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut
lagi Maha Mengetahui.”

Menurut Imam Syafi`i, kedua ayat di atas harus difahami dengan dua hal yang berbeda. Jika yang
dimaksud dengan al- Kitab adalah al- Qur`an , maka al- Hikmah harus difahami sebagai ajaran- ajaran
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan ayat ke dua terkandung perintah Allah kepada dan
isteri- isteri Rasulullah agar mereka menyampaikan dua hal yang diajarkan Rasulullah ketika berada di
rumah mereka. Ke dua hal tersebut adalah ayat- ayat Allah dalam al-Qur`an dan al- Hikmah yakni
Hadits Rasulullah.

Berdasarkan pendapat imam Syafi`i tersebut, jelas bahwa Penginkar sunnah tidak pintar dalam
memahami bahasa Arab , dan tidak dapat membedakan makna- makna yang terdapat dalam al- Qur`an.
Nampaknya mereka menafsirkan ayat al- Qur`an hanya sesuai selera dan hawa nafsu semata. Alasan
mereka bahwa al- Qur`an tidak membutuhkan sunnah atau hadits, karena al- Qur`an sudah memuat
segala sesuatu secara terperinci tentang ajaran Islam. Pendapat mereka ini sangat bertentangan dengan
pendapat imam Syafi`i. Dimana menurut imam Syafi`i al- Qur`an hanya mengandung ajaran yang
bersifat global, serta banyak ajaran al- Qur`an yang bersifat umum yang tata cara pelaksanaannya
dibutuhkan penjelasan dari hadits – hadits Rasulullah untuk memahami petunjuk- petunjuk Allah.

Menurut Argumen yang dikemukakan oleh paham inkar al- sunnah bahwa hadits- hadits nabi
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena tidak terpelihara keautentikannya. Imam Syafi`i memberikan
penolakan bahwa pandangan mereka keliru dan tidak tepat karena kata “Azzikru” dalam surat al- Hijjr
ayat 9 mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi baik al- Qur`an maupun sunnah untuk
menjelaskan al- Qur`an.

Dari pendapat di atas jelas bahwa tidak diragukan lagi bahwa Allah menjamin sunnah Rasulullah
sebagaimana Allah menjamin kitabNya. Bukti sejarah juga menunjukkan dari perjuangan ulama yang
telah menghabiskan usianya untuk mempelajari dan meneliti serta menghafal dan menuliskan al-
Qur`an dan sunnah.

Anggapan para penginkar sunnah yang meragukan dan menolak autentitas penjelasan-
penjelasan Nabi yang merupakan sunnah disebabkan karena menurut mereka bahwa hadits- hadits
ditulis pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (99- 101 H), sehinggga keasliannya tidak terpelihara.
Pendapat ini muncul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadits yang secara resmi
dan penulisan hadits di zaman Rasulullah atas prakarsa perorangan. Beberapa naskah yang ditemukan
yang ditulis pada zaman Rasulullah adalah al- Shahifah al- Shahihah (Shahifah Humam) berisikan hadits-
hadits Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Al- Shahifah al-
shadiqah yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin Amir bin Ash, Shahifah Sumarah Ibnu Jundub,
Shahifah Jabir bin Abdullah yang berisikan masalah ibadah, haji, dan khutbah Rasulullah.

Memperhatikan penemuan- penemuan ilmiah terhadap naskah- naskah tersebut membuktikan


bahwa hadits- hadits Rasulullah telah ditulis atas prakarsa sahabat dan tabi`in jauh sebelum penulisan
hadits secara resmi. Atas dasar penjelaan dari al- Qur`an dan bukti autentik lainnya maka tidaklah pantas
diragukan kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al- Qur`an. Pada
dasarnya keraguan dan kekeliruan pengingkar sunnah terhadap kedudukan dan fungsi sunnah sebagai
hujjah dalam Islam timbul akibat dangkalnya pengetahuan mereka serta upaya untuk menghancurkan
Islam.

E. Contoh Inkar al-Sunnah

Pengikut inkar al-Sunnah hanya berpegang teguh pada Al-Quran dan mengabaikan Sunnah dalam
kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa contoh yang diajarkan dalam inkar Sunnah yaitu:

a. Tentang Dua Kalimat Sahadat

Mereka tidak mengaku 2 kalimat syahadat karena tidak ada dalam Al-Qur’an.

b. Tentang Shalat Cara mereka mengerjakan shalat bermacam-macam, yaitu :


1. Ada yang mengerjakan shalat tiga kali sehari masing masing boleh empat rakaat atau dua rakaat.

2. Ada yang shalatnya rata-rata dua rakaat, tetapi bacaannya berbeda-beda ada yang seperti biasa,
bagian shalat yang tidak tertera dalam al-qur’an boleh dig anti.

3. Ada yang shalatnya sebanyak-banyaknya, selagi mampu dan tidak berlebihan

4. Shalat diwajibkan bagi yang faham al-qur’an.

c. Tentang Puasa Di Bulan Ramadhan.

Mereka hanya mengikuti wajibnya puasa saja. Adapun hari dan bulannya meraka mengingkari dengan
alasan tidak ditentukan dalam al-Qur’an makanya mereka tidak mengakui puasa Ramadhan karena tidak
ada keterangan ayat al-Qur’an.

d. Tentang Zakat

Pada umumnya mareka tidak memunaikan zakat. Yang mereka akui adalah perintah member kepada
fakir miskin.

e. Rukun islam

Rukun islam yang 5 tidak berfungsi apa-apa, yang terpenting adalah pemahaman al-qur’an[7]

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-quran, dimana kita diwajibkan mempercayai
hadits sebagaimana kita mempercayai al-quran.

Lahirnya kelompok Ingkar Sunnah dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya:
Pemahaman mereka yang tidak terlalu baik dan mendalam tentang Hadits/Sunnah Nabi saw,
kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, kepemilikan
pengetahuan yang kurang tentang bahasa Arab, sejarah Islam (kodifikasi Hadits), sejarah periwayatan,
pembinaan Hadits, metodologi penelitian Hadits, dan adanya statement al-Qur'an yang menyatakan
bahwa al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam
Dampak dari penolakan ini bisa mengakibatkan Umat Islam akan kehilangan satu panduan hidup
yang sangat berarti selain al-Qur'an; dan yang ekstrim bisa mengakibatkan seseorang kafir
(keluar/dianggap keluar) dari agama Islam.

B. Saran

Perlu ditekankan bahwa adanya Inkar Sunnah setidaknya mengharuskan dilakukannya suatu
pembelajaran kembali yang lebih matang mengenai tafsir Qur’an yang benar dan adanya peninjauan
kembali untuk menghadirkan analisa-analisa terhadap kebenaran-kebenaran penyampaian
hadits/sunnah yang tidak menekankan keterbukaan pemikiran yang sebenarnya dapat membantu
kehidupan. Sehingga hidup yang dilandaskan pada Al-Qur’an dapat benar-benar terrealisasikan tanpa
adanya kekakuan pemikiran yang tidak terbuka terhadap pemahaman Al-Qur’an itu sendiri, sebab di
dalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang memerlukan penjelasan dari penerima wahyu itu
sendiri.

Daftar Pustaka

Hakim, Lukmanul. 2004. Inkar Sunnah Priode Klasik. Jakarta: Hayfa Press

Khon, Abdul Majid. 2011. Pemikiran Modern Dalam Sunnah, Pendekatan Ilmu Hadits. Jakarta : Kencana

Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadits, Pengantar Studi Hadits Praktis. Malang : UIN Malang Press

Solahudin, M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Pustaka Setia

[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta; Bumi aksara, 2010), hal. 2

[2] Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode Klasik, (Jakarta: Hayfa Press, 2004), Cet. Ke 1, hal. 57

[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, Pengantar Studi Hadits Praktis, (Malang : UIN Malang Press, 2008)
[4] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana,
2011)

[5] M.Agus Solahudin, Agus Suyadi.,Ulumul Hadits, (Pustaka Setia, 2009),.hal.219-221

[6] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana,
2011)

[7] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana,
2011)

Anda mungkin juga menyukai