Anda di halaman 1dari 23

SEJARAH HADIS DAN SEJARAH KODIFIKASI HADIS

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Ulumul Hadis

Dosen Pengampu: Nur Wahid, S.H.,M.H

Disusun Oleh Kelompok 5:

1. Dika Nur Akila Rizki ( 224110402248 )


2. Latifah Sukma Wati ( 224110402265 )
3. Rahmat Wiwa Zulqarnain ( 224110402276 )
4. Rizki Nur Afriani ( 224110402278 )
5. Lantyka Ajeng Sepriani ( 224110402263 ) ( Mengulang )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM PROF. K.H. SAIFUDIN ZUHRI

PURWOKERTO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita
karunia nya dan memberikan kami nikmat sehat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini tepat waktu. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadis, makalah
ini akan membahas tentang “Sejarah Hadis dan Kodifikasi Hadis.”

Masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini untuk itu kami mohon maaf atas
kesalahan yang masih ada dalam makalah ini. Besar harapan kami makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pembaca dan dapat dijadikan referensi bagi yang sedang mencari
materi.

Purwokerto, 31 Maret 2023

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................................................. 1

BAB II ....................................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2

A. Evolusi Konsep Sunnah ke Hadis ..................................................................................... 2

B. Sejarah Hadis Pada Masa Nabi .......................................................................................... 4

C. Sejarah Hadis Pada Masa Sahabat ..................................................................................... 8

D. Sejarah Sunnah dan Hadis Era-Kodifikasi ...................................................................... 13

KESIMPULAN ...................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengalaman umat dari
generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui oleh hadis sejak masa
lahirnya di masa Rasulullah SAW meneliti hadis serta segala hal yang mempengaruhi hadis
tersebut.

Sunnah atau bisa disebut al-Hadis merupakan perkataan atau perbuatan atau persetujuan
Rasulullah SAW. Dalam syari‟at hukum islam juga disebut sumber hukum islam kedua di
dalam agama islam, karena itu urgennya kedudukan sunnah dalam syari‟at islam sehingga
perlu sebuah usaha untuk dapat melestarikannya agar sumber kedua agama islam tidak hilang
begitu saja. Pada masa sahabat penyusunan hadis tidak mendapat respon dikarenakan sahabat
lebih terfokus pada penyusunan al-Qur‟an dan juga ditakutkan akan bercampurnya antara
ayat- ayat al-Qur‟an dan al-Hadis. Di samping itu juga masih banyaknya para sahabat yang
masih menghafal hadis-hadis tersebut sehingga bentuk penyebarannya hanya dalam bentuk
lisan saja.

Dalam makalah ini juga akan mengulas tentang al-Kutub al-Sittah yaitu Sahih Muslim,
Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Nasa‟i, Sunan Al-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam
kitab ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu kitab sahih dan sunan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana metode nabi dalam penyampaian sunnah dan hadis?


2. Bagaimana cara sahabat menjaga sunnah/hadis?
3. Apa saja al-Kitab al-Sittah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadis pada masa nabi dan sahabat
2. Untuk mengetahui cara sahabat menjaga sunnah/hadis
3. Untuk mengetahui kitab apa saja yang terdapat dalam al-Kitab al-Sittah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Evolusi Konsep Sunnah ke Hadis

1. Pengertian Sunnah dan Hadis

Menurut bahasa sunnah berarti “jalan yang yang dilalui, baik atau buruk. "Jalan yang di
tempuh kemudian diikuti orang lain.” Arti lain lagi adalah arah, peraturan, mode atau cara
tentang tindakan atau sikap hidup.1

Pengertian sunnah secara istilah menurut jumhur ulama sama dengan pengertian hadis,
yaitu segala yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun takrir dari sifat-sifat beliau (berupa perilaku, pengajaran, dan perjalanan hidup), baik
sebelum maupun setelah diutus menjadi Rasul. Akan tetapi, sebagian ulama ada yang
memasukan takrir ( pengakuan Nabi Muhammad SAW ) ke dalam pengertian sunnah.2

Sunnah berarti perilaku (sirah), jalan (thariqah), kebiasaan atau ketentuan. Sunnah dalam
pengertian ini bisa mencakup sunnah yang baik (sunnah hasanah) maupun sunnah yang buruk
(sunnah qabihah). Dalam pengertian ini al-Qur‟an menyebutnya dengan sunnah al-Awwalin,
yakni sunnah yang telah diturunkan oleh Allah kepada orang-orang terdahulu (Al-Anfal:38).
Isitilah sunnah juga terdapat dalam teks hadis, yang mencakup pengertian sunnah yang baik
dan sunnah yang buruk.3

Jadi, menurut pendapat diatas dapat kita simpulkan arti sunnah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuan
(terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditunjuk sebagi syari‟at bagi umat
ini.

Pengertian hadis menurut bahasa mempunyai beberapa arti yaitu : 1) Jaded (sesuatu yang
baru ) lawan dari kata al-Qadim sesuatu yang lama. 2) Qarib “dekat” yaitu tidak lama lagi
akan terjadi. Sedangkan lawannya adalah ba‟id “jauh”. 3) Khabar “berita” itu sesuai yang
diberitakan, diperbincangkan , dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.4

1
Muh. Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: Tiara Wacana 2003), hal 5
2
Alfatih Suryadilaga,dkk, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013), hal 22
3
Hairillah, Kedudukan as sunnah dan tantangannya dalam hal aktualisasi hukum islam, Jurnal pemikiran
hukum islam, Vol.XIV, No.2, 2015, hal 193
4
Nur Kholis, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Multipresindo 2013), hal 1

2
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan induk terdapat pula
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya, ulama hadis mengatakan hadis ialah segala
ucapan, perbuartan, takrir ( pengakuan), dan segala keadaan yang ada pada Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan ulama ushul mengatakan hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan
takrir Nabi Muhammad SAW yang bersangkutan dengan hukum islam. Sebagian ulama,
antara lain at-Thiby, sebagai mana dikutip M. Syuhudi Ismail, mengatakan bahwa hadis
adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan tabiin. Perbedaan-
perbedaan ini dalam memberikan definisi ini dikarenakan perbedaan cara peninjauan semata.
Ulama hadis misalnya, meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad SAW itu adalah sebagai
uswatun hasanah (teladan baik) sehingga apa yang berasal dari beliau, baik berupa biografi
akhlak, berita, perkataan dan perbuatanya, yang ada hubunganya dengan hukum atau tidak,
dikategorikan sebagai hadis. Sedangkan ulama meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad
SAW adalah sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada di dalam al-Qur‟an)
yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan
menjelaskan kepada umat islam.5

2. Perbedaan dan Persamaan antara Hadis dan Sunnah

Persamaan dan perbedaan pangertian antara istilah hadis dan sunnah, yaitu yang pertama,
apabila ditinjau dari segi subjek yang menjadi sumber asalnya, maka pengertian hadis dan
pengertian sunnah adalah sama, yakni sama-sama berasal atau bersumber dari Rasulullah
SAW. Dengan dasar inilah, maka jumhur ulama ahli hadis berpendapat bahwa hadis identik
dengan sunnah. Kedua, apabila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatnya maka
hadis berada di bawah sunnah. Sebab, hadis merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Walaupun hanya sekali saja beliau
mengerjakanya dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Sedangkan sunnah,
merupakan suatu amaliyah yang terus menerus dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW
beserta para sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya
sampai kepada kita. Kemudian jika ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, maka hadis berada
dibawah sunnah, oleh karena itu apabila lafaz hadis sengaja dipisah dari sunnah, kemudian
urutan kronologis tentang sumber hukum islam. Maka urut-urutanya adalah 1) Al-Qur‟an, 2)
Sunnah, dan Hadis. Sedangkan istilah hadis tidak dipisahkan dari sunnah maka urutan
kronologisnya adalah 1). Al-Qur‟an, dan 2). Sunnah (hadis).6

5
Alfatih Suryadilaga, dkk., Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013), hal 21
6
Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013) hal
3
B. Sejarah Hadis Pada Masa Nabi

1. Pro-Kontra Seputar Penulisan Hadis

Penyebaran hadis-hadis pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke mulut
(secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadis,
tetapi juga karena nabi melarang untuk menulis hadis. Beliau khawatir hadis akan bercampur
dengan ayat-ayat al-Quran. Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadis melarang
penulisan hadis, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudri, Abu Hurairah,
dan Zaid ibn Tsabit. Namun yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadis
Abu Sa‟id al-Khudri.

Nabi melarang para sahabat menulis hadis, tetapi cukup dengan menghafalnya. Beliau
membolehkan meriwayatkan hadis dengan disertai ancaman bagi orang yang berbuat bohong.
Dan hadis tersebut merupakan satu satunya hadis yang shahih tentang larangan menulis hadis.
Menurut Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadis dan atsar yang semakna
dengan hadis larangan tersebut, semua hadis itu tidak lepas dari cacat yang menjadi
pembicaraan di kalangan para ahli hadis.

Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang


penulisan dan pembukuan hadis adalah :

a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Rasul bagi orang-orang
yang baru masuk islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadis tanpa diucapkan atau ditela‟ah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadis saja. (Hasan Sulaiaman Abbas Alwi,
1995:16)7
Pelarangan nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit menunjukkan adanya
kekhawatiran dari nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur baur dengan catatan ayat-
ayat al-Qur‟an. Meskipun demikian, ada juga riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada
masa Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi
tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberi
nama al-Sahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara langsung dari
Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya dipercaya kebenarannya.

7
Nur Kholis, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Multipresindo 2013) hal 40

4
Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik, keduanya sama-sama memiliki
catatan hadis. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul tentang penulisan
hadis, namun karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan
para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang
Abdullah ibn Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari
Rasulullah, karena menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga
ucapannya tidak termasuk ajaran syar‟i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau
bersabda: “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada ditangan-
Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”8

Pada umumnya pemerhati hadis berpendapat bahwa larangan menulis hadis itu tidak lepas
dari kekhawatiran salah dan pencampuran dengan al-Qur‟an. Orang yang pandai menulis
seperti Abdullah bin Umar bin al-„Ash diizinkan menulis hadis karena tidak ada
kekhawatiran salah tulis. Karena itu setelah kekhawatiran seperti itu hilang penulisan hadis
tidak lagi menjadipersoalan kalangan umat islam kendati melanggar larangan “jangan menulis
dariku selain al-Qur‟an”.9

2. Metode Nabi Menyampaikan Hadis

Substansi ajaran islam adalah al-Qur‟an dan al-Hadis. Sebagai Rasul, Muhammad SAW
berkepentingan menyebarkan islam pada umat manusia. Al-Hadis tersiar bersama penyiaran
islam itu dengan sendirinya.

Adapun faktor yang mendukung percepatan penyiaran hadis di masa nabi adalah :

a. Rasulullah SAW sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.


b. Karakter ajaran islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di
lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya
secara otomatis tersebar ke orang lain secara bersinambungan.
c. Peranan para istri nabi amat besar dalam penyiaran islam, hadis termasuk di dalamnya.
Terdapat kasus-kasus yang ditanyakan oleh kaum wanita tentang ajaran islam yang berlaku
bagi mereka. Persoalan yang dipandang oleh mereka amat rahasia tidak ditanyakan
langsung kepada nabi, tetapi melalui perantaraan istri-istri beliau.10

8
Leni Andariati, Ulumul Hadis, Jurnal ilmu hadis hal 153
9
Muh. Zuhri, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana 2003) hal 34
10
Muh. Zuhri Ulumul Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana 2003) hal 29

5
d. Tangkas dan trengginasnya para sahabat dalam memperoleh, menghafal, dan menyebarkan
hadis kepada orang lain.
e. Sahabat-sahabat wanitapun tidak kecil andilnya dalam mempercepat tersebarnya hadis.
Wanita shahabiyyah ini sangat bergairah untuk untuk menghadiri majlis ta‟lim nabi,
sampai-sampai meminta waktu khusus untuk mereka. Melalui majlis ta‟lim inilah hadis
tertular dari mulut ke mulut, dari hafalan ke hafalan.

Adanya beberapa orang yang diutus nabi ke berbagai daerah. Kabilah-kabilah yang jauh
tidak perlu bersusah payah datang ke Madinah, sebab nabi mengutus beberapa sahabatnya
untuk menjadi mubaligh. Mu‟adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy‟ari pernah dikirim rasul ke
Yaman dan juga delegasi-delegasi Rasul yang dikirim ke berbagai kerajaan juga telah ikut
mempercepat tersiarnya hadis.11

Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai
sumber hadis. Tempat yang dijadikan nabi dalam menyampaikan hadis sangat fleksibel,
terkadang hadis disampaikan ketika nabi bertemu dengan sahabatnya di masjid, pasar, ketika
dalam perjalanan, dan terkadang juga di rumah nabi sendiri. Selain itu, ada beberapa cara
Rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu: pertama, melalui majlis
ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina para
jamaah. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika hadis
yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis
tersebut disampaikan melalui istri-istri nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, misalnya ketika haji wada‟ dan fath al-Makkah.

Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H, nabi menyampaikan khatbah yang sangat
bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya
terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi
kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Selain
itu juga adanya larangan dari nabi untuk menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan
juga perintah untuk menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang
teguh pada al-Qur‟an dan hadis.12

11
Dailamy, Hadis semenjak disabdakan (Purwokerto: Stain Purwokerto press, 2010) hal 83
12
Leni Andariati Hadis dan sejarah perkembangannya, Jural ilmu hadis, hal 156

6
Selaku pengajar hadis, menurut Azami, Nabi Muhammad SAW memiliki metode-metode
khusus yaitu :

1. Pengajaran secara lisan; tentang hal ini al-Khatib pernah menegaskan bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah guru atas sunnah-sunnahnya. Dalam hal pengajaran, Nabi
Muhammad SAW bisa mengulangi inti masalah sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan
agar materi yang disampaikan betul-betul dipahami oleh para sahabat.
Pengajaran tertulis; pada situasi tertentu, Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat
kepada para raja atau penguasa. Hamidullah mengatakan bahwa isi surat beliau bisa jadi
merangkum masalah muamalah atau ibadah. Materi surat biasanya didiktekan kepada para
sahabat, seperti perintah beliau untuk mengirim naskah khotbah kepada penguasa Yaman,
Abu Shah. Hal ini mengindikasikan bahwa pengajaran hadis dilakukan dengan media
tulisan.
2. Demontrasi Nabi Muhammad SAW secara praktis; dalam konteks ini Nabi Muhammad
SAW memberikan contoh dengan instruksi yang jelas. Beliau bersabda: “Shalatlah kalian
seperti kalian melihatku shalat.” Hadis yang lain: “Pelajarilah ritual-ritual haji.” Pada
hakikatnya, perilaku Nabi Muhammad SAW adalah tauladan bagi umat islam.13

3. Penjagaan Hadis Pada Masa Nabi


Hadis-hadis yang telah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada juga yang
dicatat. Sahabat yang menghafal hadis nabi misalnya adalah Abu Hurairah. Sedangkan sahabat
Nabi yang mencatat hadis diantaranya yaitu Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar
al-„Ash, dan Abdullah bin Abbas. Dengan demikian, penulisan hadis sudah dilakukan sejak
masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, hanya saja penulisan ini masih bersifat individual,
bukan masal (kodifikasi).

Selain penulisan dan penghafalan, usaha pemeliharaan hadis juga terjadi dikala nabi
Muhammad SAW mengutus para sahabat ke berbagai daerah, baik untuk berdakwah atau
untuk memangku jabatan. Hal ini juga ditengarai menjadi salah satu faktor utama tersebarnya
hadis ke berbagai daerah. Dengan tersebarnya hadis ke berbagai tempat, maka semakin
bertambah pula periwayatanyang terjadi di dalamnya.

13
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013), hal 47

7
Oleh karena itu, apabila terjadi pemalsuan, maka hadis-hadis shahih yang lain dapat
dijadikan sebagai pembanding dan patokan. Dengan demikian semakin banyak hadis yang
tersebar, maka akan semakin kecil kemungkinan tidak diketahuinya pemalsuan hadis.

Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang hadis ialah
sebagai berikut :

a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampai-


kan dan menyebarkan hadis-hadis. Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi
kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis. Pertama, karena kegiatan menghafal
merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra islam dan mereka terkenal
kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya.
Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis
dan menyampaikannya kepada orang lain.
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadisnya.14

C. Sejarah Hadis Pada Masa Sahabat

1. Kebutuhan Sahabat Terhadap Hadis dan Cara Sahabat Meriwayatkan Hadis


Para sahabat adalah penyambung lidah Rasulullah SAW. Untuk melaksanakan tugas itu
mereka mengerahkan seluruh kemampuan manusiawinya, dengan tetap tidak melalaikan suatu
perkara yang sangat mulia, yaitu memelihara peninggalan beliau dari berbagai perubahan.
Faktor pendukung pemeliharaan hadis sebagaimana telah disebutkan di muka merupakan mu
kjizat yang menjadikan pemeliharaan mereka tangguh dalam menghadapi berbagai peristiwa
dan mengarungi laut kehidupan yang pasang surut, sehingga hadis nabi terselamatkan dari
berbagai kebatilan yang hendak menyerangnya dari berbagai penjuru. Faktor-faktor tersebut
mengandung kebaikan yang telah ditunjukkan kepada mereka dan menjadi pedoman bagi
para ulama tentang cara memelihara peninggalan nabi itu.

Berikut ini beberapa strategi syariat dalam menetapkan dasar-dasar periwayatan dan
kaidah-kaidah ilmu periwayatan yang sahih yang harus ditempuh sebagai pedoman yang dapat
dikuti. Allah berfirman tentang keharusan berhati-hati:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.

14
Nuril Qomariyah Sejarah perkembangan hadis, makalah ilmu hadis hal 153

8
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (QS Al-Israa [17]: 36)

Dari ayat di atas dapat diambil prinsip-prinsip kaidah periwayatan yang menopang
kelangsungan pemeliharaan hadis. Pada waktu itu manusia berada pada puncak keadilannya,
sehingga tidak membutuhkan jarh wa ta'dil karena waktu itu adalah periode sahabat yang
semuanya adalah orang-orang adil dan karenanya tidak dibutuhkan banyak kecurigaan.

Oleh karena itu, mereka menggunakan kaidah periwayatan hadis yang sangat sederhana,
sesuai dengan kebutuhan waktu itu untuk memastikan kesahihan riwayat dan menjauhi
kesalahan. Kemudian kaidah ini senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan zaman
hingga mencapai puncaknya.

Pedoman periwayatan hadis yang terpenting pada masa sahabat adalah sebagai berikut :

1) Pengurangan Riwayat dari Rasulullah SAW Ini karena adanya kekhawatiran bahwa
orang- orang yang banyak meriwayatkan hadis mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang
pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasulullah tanpa disadari. Lebih-lebih pada
waktu itu mereka sangat besar perhatiannya dalam menghafal al-Quran dan tidak ingin
perhatian itu terganggu oleh urusan lain, sehingga Abu Bakar dan Umar r.a. sangat ketat
dalam menerima hadis, rata-rata sahabat menempuh jalan ini sehingga masyhurlah hadis
berikut, baik diriwayatkan secara marfuk atau mauquf.

2) Pengurangan riwayat dari Rasulullah SAW Ini karena adanya kekhawatiran bahwa orang-
orang yang banyak meriwayatkan hadis mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang pada
gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasulullah tanpa disadari. Lebih-lebih pada waktu
itu mereka sangat besar perhatiannya dalam menghafal al-Quran dan tidak ingin perhatian itu
terganggu oleh urusan lain, sehingga Abu Bakar dan Umar r.a. sangat ketat dalam menerima
hadis, rata-rata sahabat menempuh jalan ini sehingga masyhurlah hadis berikut, baik
diriwayatkan secara marfuk atau mauquf.

3) Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadis al-Dzahabi menjelaskan


sehubungan dengan biografi Abu Bakar Shiddiq r.a. "Ia adalah orang pertama yang berhati-
hati dalam menerima hadis. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab dan Qabishah bin Dzuaib bahwa
seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar meminta penjelasan tentang hak warisnya.
Beliau berkata, tidak saya dapatkan suatu keterangan pun dalam al-Quran tentang hakmu dan

9
saya tidak tahu apakah Rasulullah SAW pernah menentukan masalah seumpama ini.
Kemudian beliau bertanya kepada para sahabat. Maka berdirilah Mughirah seraya berkata,
'Saya melihat Rasulullah memberi hak (nenek) sebesar seperenam.' Abu Bakar bertanya,
'Adakah selain kamu yang turut menyaksikannya? Muhammad bin Maslamah menyaksikan
hal yang sama. Lalu Abu Bakar menentukan haknya yang seperenam."

Dalam menjelaskan biografi Umar bin al-Khathab, al-Dzahabi menyatakan, "la adalah
orang yang merintis ketelitian dalam menerima hadis dan sering kali ia tawaquf (tidak
menerima dan tidak menolak) terhadap hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang apabila ia
ragu. Diriwayatkan oleh al-Jurairi yakni Said bin Iyas dan Abu Nadhrah dari Abu Said bahwa
Abu Musa pernah mengucapkan salam tiga kali di depan pintu rumah Umar, tetapi ia tidak
mendapat jawaban. Lantas ia pulang. Lalu Umar mengejarnya dan bertanya: 'Mengapa kamu
pulang? Abu Musa menjawab: 'Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Jika kamu memberi salam sebanyak tiga kali, lalu tidak mendapatkan jawaban, maka
pulanglah.”

Umar berkata, 'Harus kau datangkan saksi atau kau akan kuhajar. Kemudian Abu Musa
datang kepada kami dengan wajah pucat ketika kami sedang duduk-duduk. Kami bertanya,
'Apa gerangan yang terjadi?' Lalu ia menceritakannya pada kami seraya bertanya, 'Adakah di
antara kalian yang juga pernah mendengar hadis tersebut? Kami menjawab, 'Betul, kami pernah
mendengarnya. Kemudian kami mengutus seseorang di antara kami untuk menjadi saksi di
hadapan Umar."

Al-Dzahabi menyatakan sehubungan dengan penjelasan biografi Ali r.a. : "Ia adalah seorang
imam yang alim dan teliti dalam menerima hadis sehingga mengambil sumpah dari setiap orang
yang meriwayatkan hadis kepadanya."
Pengujian terhadap setiap riwayat. Hal ini mereka lakukan dengan cara membandingkan
setiap riwayat yang diterima dengan nash dan kaidah agama. Apabila ia menyalahi salah satu
dari nash, maka mereka akan segera menolaknya. Umar bin al-Khathab r.a., menurut suatu
riwayat dalam Shahih Muslim) mendengar hadis dari Fathimah binti Qais yang ditalak
suaminya dengan talak tiga Fathimah mengaku bahwa Rasulullah SAW tidak menetapkan
baginya tempat tinggal dan nafkah (selama iddah). Lalu Umar berkata. "Tidak akan kami
tinggalkan kitab Allah dan sunnah nabi karena pernyataan seorang perempuan yang tidak
diketahui apakah ia hafal atau lupa.

10
Perlu dijelaskan di sini bahwa mereka melakukan koreksi terhadap hadis itu tiada lain demi
kehati-hatian dalam menetapkan hadis dan sama sekali bukan karena saling mencurigai atau
buruk sangka di antara mereka. Umar bin al-Khathab berkata, "Sesungguhnya saya tidak
mencurigaimu (hai Abu Musa), melainkan saya ingin mendapatkan kepastian." Demikian pula
penolakan atas sebagian hadis sering kali mereka lakukan, karena berdasarkan hasil ijtihad
mereka, ia bertentangan dengan al-Qu‟ran. Karena itu, kadang-kadang ada sebagian sahabat
dan orang-orang setelahnya yang kita dapati mengamalkan hadis yang pernah ditolak
pengamalannya oleh sebagian sahabat lain. Hal ini disebabkan karena mereka berijtihad bahwa
hadis itu tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang terkait.15

2. Cara Sahabat Menjaga Hadis Nabi

Pada akhir pemerintahan Utsman timbullah bencana besar di kalangan umat islam hingga
mengakibatkan terbunuhnya al-Imam al-Syahid Utsman bin Affan dan al-Imam al-Husain r.a.
Beberapa kelompok penyeleweng muncul, dan orang-orang ahli bidah pun membuat sanad-
sanad semaunya untuk menyandarkan sejumlah teks hadis yang mereka pegangi untuk
membela bidahnya. Kemudian mereka membuat hadis-hadis yang tidak pernah diucapkan
Rasulullah SAW. Periode itu kemudian dikenal sebagai awal munculnya pemalsuan hadis.

Pada akhir pemerintahan Utsman timbullah bencana besar di kalangan umat islam hingga
mengakibatkan terbunuhnya al-Imam al-Syahid Utsman bin Affan dan al-Imam al-Husain r.a.
Beberapa kelompok penyeleweng muncul, dan orang-orang ahli bidah pun membuat sanad-
sanad semaunya untuk menyandarkan sejumlah teks hadis yang mereka pegangi untuk
membela bidahnya. Kemudian mereka membuat hadis-hadis yang tidak pernah diucapkan
Rasulullah SAW. Periode itu kemudian dikenal sebagai awal munculnya pemalsuan hadis.
Karenanya para sahabat terpanggil untuk memelihara hadis, lalu mengadakan penelitian dan
pembahasan dengan amat cermat. Di antara usaha mereka yaitu sebagai berikut:

1) Mencari sanad hadis dan meneliti karakteristik para rawinya, padahal sebelum itu mereka
saling percaya dalam menerima hadis.
2) Mengimbau agar setiap orang berhati-hati dalam menerima hadis dan tidak menerimanya
kecuali dari orang yang dapat dipercaya keagamaannya, ke-wara'annya, hafalannya, dan
ketepatannya.

15
Nuruddin, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, (Bandung : Dar al-fikr Damaskus, 2012), hal.40-45

11
3) Mengimbau agar setiap orang berhati-hati dalam menerima hadis dan tidak menerimanya
kecuali dari orang yang dapat dipercaya keagamaannya, ke-wara'annya, hafalannya, dan
ketepatannya.

4) Mereka menempuh jalan jauh sekadar untuk mendengar hadis tertentu dari orang yang
mendengarnya langsung dari Rasulullah dan untuk mengetahui karakteristik rawi yang
bersangkutan.

5) Mereka membandingkan setiap hadis yang diriwayatkan dengan hadis riwayat orang lain
yang dikenal lebih kuat hafalannya dan lebih dapat dipercaya, demi mengetahui kepalsuan atau
kelemahannya. Apabila didapati bahwa hadis mereka bertentangan dengan hadis riwayat orang
yang lebih kuat hafalan dan lebih dipercaya, maka serta-merta mereka yakin menolak atau
meninggalkannya.

Demikian juga ada usaha-usaha lain yang mereka tempuh untuk membedakan mana hadis
yang sahih dan mana yang cacat, yang orisinal dan yang telah berubah. Oleh karena itu,
sebelum abad pertama Hijriah berakhir, sebenarnya telah lahir sejumlah cabang ilmu hadis
sebagai berikut:

a. Hadis marfuk

b. Hadis mau'quf

c. Hadis maqthu'

d. Hadis muttashil

e. Hadis mursal

f. Hadis munqathi‟

g. Hadis mudallas

Dan masing-masing jenis hadis ini terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Magbud, yaitu hadis yang pada perkembangan berikutnya disebut dengan hadis sahih dan
hadis hasan.

2. Mardud, yaitu hadis yang pada perkembangan selanjutnya disebut dengan hadis dhaif
dengan berbagai tingkatannya.16

16
Nuruddin, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, (Bandung : Dar al-fikr Damaskus, 2012), hal.45-48

12
D. Sejarah Sunnah dan Hadis Era-Kodifikasi

1. Faktor Yang Melatarbelakangi

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi adanya pengkodifikasian hadis di masa ini.
Menurut Muhammad al-Zafzaf kodifikasi hadis pada masa ini dilakukan karena:

a. Para ulama hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang
bersama wafatnya para ulama hadis.
b. Banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku pembuat hadis yang berupa hadis-hadis
palsu.

Ada juga faktor yang melatarbelakangi mengapa ada pengkodifikasian hadis pada masa ini
yakni karena pada masa tadwin sebelumnya belum dipisahkan mana yang memang betul-betul
sabda nabi atau fatwa-fatwa baik dari sahabat atau tabi‟in, mana yang tergolong hadis marfu‟,
mauquf dan maqthu‟. Pada masa ini juga dibuatkan dan dimunculkan beberapa kaidah-kaidah
dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu hadis itu tergolong sahih dan dhaif. Selain
itu para periwayat hadis juga di teiliti baik dari segi kejujuran, kekuatan hafalan nya. Ulama
hadis pada masa ini hanya menulis dan mengumpulkan hadis nabi yang disusun dalam kitab-
kitab musnad yang masih tercampur antara hadis yang sahih, hasan, maupun dha‟if.17

Sedangkan menurut Syahrur terdapat faktor kekacauan di dalam pengkodifikasian ini yakni
faktor politik. Dampaknya munculnya titik tolak pemikiran ideologis setelah berakhirnya masa
al-Khulafa al-Rasyidin dan setelah munculnya dinasti Umayah. Banyak kelompok dan
golongan muncul di dalam dunia Islam yang masing-masing dipicu oleh motivasi politik.
Dikhawatirkan juga munculnya hadis-hadis palsu untuk kepentingan politik.18 Maka dari itu
pada masa ini dilakukan pengkodifikasian pada hadis maupun sunnah. Faktor lain yang
melatarbelakangi kodifikasi ini yaitu faktor eksternal dan internal.

Faktor eksternal:

a. Penyebaran islam dan semakin meluasnya kekuasaan islam

17
Muhamad Risqillah Masykur Pengaruh pembukuan hadis terhadap fikih, Jurnal Al Makrifat, Vol 4, No. 1 April
2019
18
Nurul Hakim, Sunnah perspektif Muhammad Syahrur, Jurnal kebudayaan dan keagamaan. Vol 15 N0. 1
(2020) hal. 11

13
b. Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan oleh perbedaan politik dan
aliran

Faktor internal:

a. Untuk keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat

b. Sebagai jalan untuk umat muslim agar tidak tersesat selamanya

c. Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu

d. Para penghafal dan periwayat hadis semakin berkurang

e. Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis nabi dengan menghafal dan kemudian
meriwayatkannya.19

2. Kodifikasi Hadis Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang wara‟ dan dekat dengan ulama, bahkan
ia seorang pengumpul dan penghafal hadis. Pada masa kekuasaanya hanya dilakukan selama
30 bulan untuk mengumpulkan hadis secara resmi. Di samping kesungguhan tabi‟in dalam
bidang hadis disamping itu juga umat Islam (tabi‟in) mulai membolehkan penulisan hadis
dikarenakan tidak ada lagi sebab-sebab ke khawatiran. Dan tidak mungkin juga Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan pengumpulan sunnah Rasulullah Saw. jika para ulama
melarangnya. Jika pada saat itu para ulama itu tidak setuju dengan pengumpilan hadis pastilah
mereka tidak akan mengikuti seruan sang khalifah.20 Namun Umar bin Abdul Aziz
mengkodifikasikan hadis secara resmi, bisa dikatakan resmi karena dalam kegiatan
penghimpunan hadis tersebut merupakan kebijakan dari kepala negara dan dikatakan massal
karena perintah kepala negara tersebut ditunjukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis
pada zamannya. Adapun faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk mengkodifikasi
hadis adalah :

a. Sebelumnya hadis tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing sahabat. Ahli hadis
menyerahkan semua yang berurusan tentang penulisan hadis kepadahafalan para sahabat yang

19
Nuril Qomariyah, Sejarah perkembangan hadis, Makalah studi hadis IAIN Madura 2018, hal. 20
20
Muhamad Iskandar, Periodesasi penulisan hadis Nabi saw, hal. 62

14
lafadz nya mereka terima dari nabi, namun ada juga sahabat yang hanya tahu maknanya dan
tidak pada lafadznya

b. Penulisan dan penyebaran hadis yang terjadi dari masa nabi sampai masa sahabat masih
bersifat kolektif individual dan juga ada perbedaan para sahabat dalam menerima hadis.
Dengan kondisi yang seperti itu dikhawatirkan akan terjadi penambahan dan pengurangan pada
lafadz hadis yang diriwayatkan

c. Semakin meluasnya kekuasaan islam ke berbagai negara yang kemudian memiliki pengaruh
besar terhadap tiga benua. Dengan demikian juga menjadikan para sahabat menjadi tersebar ke
negara-negara tersebut. Dari situ muncul berbagai masalah yang berbeda yang dihadapi para
sahabat, belum lagi banyak sahabat yang meninggal di medan perang untuk membela panji-
panji keislaman.

d. Banyak bermunculan hadis-hadis palsu terutama setelah wafat nya khalifah Ali bin Abi
Thalib sampai masa dinasti Umayah yang membuat umat islam terpecah belah menjadi
beberapa golongan.21

Meskipun masa pemerintahan Umar bin Adul Aziz sangat singkat tetapi beliau telah
mempergunakan secara maksimal dan efektif untuk pemeliharaan hadis-hadis nabi yaitu
dengan mengeluarkan perintah secara resmi untuk pengumpulan dan pembukuan hadis. Atas
prakarsa beliau dan bantuan para ulama dan ahli hadis telah berhasil dikumpulkan dan
dibukukan hadis-hadis Nabi SAW. Karena prakarsa dan inisiatif pembukuan hadis ini secara
resmi lahir dari kebijakan Umar bin Abdul Aziz, maka pada umumnya para ulama hadis
menghubungkan permulaan pembukuan hadis dengan Umar bin Abdul Aziz dan memandang
bahwa pada masa pemerintahan beliau masa dilakukan nya pembukuan hadis secara resmi.22

3. Al-Kutub Al-Sittah

Al-Kutub Al-Sittah secara etimologi, berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti „Enam
Buku‟. Secara terminologi ini lazim dipergunakan dalam mengidentifikasi enam kitab hadis
standar/pokok dengan otoritas tinggi yang berlaku dalam Islam, karena disusun oleh para
pengumpul hadis yang handal, kurang lebih 200 tahun setelah Rasulullah SAW wafat.23
Berikut adalah Al-Kutub al-Sittah :

21
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangannya, Jurnal ilmu hadis 4.2, Maret 2020, hal 161
22
Nawir Yuslem, Ulumul hadis, IAIN 1996/1997 hal. 460
23
Amalia Taufik, Pendekatan historiografi dalam studi hadis, Jurnal Al-Irfani, Vol. 2, No. 2, 2021 hal. 80

15
1) Al-Jami‟ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa
Ayyamihi atau yang dikenal dengan sebutan Sahih al-Bukhari, merupakan kitab pertama
yang disusun berdasarkan hadis-hadis shahih. Kitab ini ditulis dalam jangka waktu 16 tahun
melalui proses penyaringan atau seleksi yang sangat ketat dari 600.000 hadis. Adapun
jumlah keseluruhan hadis sahih yang ada dalam kitab al-Bukhari ini menurut Ibn as-Salah
sebagaimana dikutip Dzulmani sebanyak 7275 buah hadis, termasuk hadis yang disebutkan
secara berulang, atau sebanyak 4000 hadis tanpa pengulangan. Menurut Ajjaj al-Khatib,
keseluruhan hadis disertai pengulangan sejumlah 9082 hadis.58 Menurut Fuad Abd al-
Baqi, jumlah total hadis dalam karya al-Bukhari disertai pengulangan sebanyak 7563 hadis,
sedangkan tanpa pengulangan sejumlah 2607 hadis.
2) Al-Jami‟ Al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi Naql al-„Adl „an al-„Adl „an
Rasulillah, atau dikenal dengan nama Shahih Muslim. Kitab ini ditulis dalam kurun waktu
lebih kurang 15 tahun melalui proses penyaringan yang sangat ketat dari 300.000 Hadis.
Menurut Ajjaj al-Khatib, jumlah hadis dalam Sahih Muslim sejumlah 3030 dengan tanpa
pengulangan dan jumlah hadis beserta pengulangannya sejumlah 7275 hadis. Jadi, jumlah
total hadis jika dihitung termasuk dengan pengulangan hadisnya maka jumlah hadisnya
sekitar 10.000an hadis. Angka yang berbeda disebutkan sahabat Imam Muslim sendiri,
Ahmad ibn Salamah, yang menyebutkan bahwa jumlah hadis yang terangkum dalam kitab
Sahih Imam Muslim berjumlah 12.000 hadis. Sebagaimana Imam al-Bukhari, Imam
Muslim hanya memasukkan hadis-hadis sahih saja ke dalam kitabnya. Namun, jika
dikomparasikan hadis-hadis sahih yang ada dalam kitab al-Bukhari dan Muslim, secara
hierarki otoritas, maka para ulama menilai bahwa kualitas hadis-hadis dalam Sahih Muslim
menempati urutan kedua setelah Sahih al-Bukhari.
3) Sunan Abu Dawud selesai ditulis pada tahun 275 H di Baghdad, sebelum Abu Dawud hijrah
ke Basrah. Penyusunan kitab ini dimaksudkan untuk menjadi referensi bagi Abu Dawud
sendiri dalam mengajarkan hadis. Sebelumnya, kitab ini juga pernah ditunjukkan Abu
Dawud kepada gurunya, Ahmad ibn Hanbal, yang menilai karya tersebut sebagai karya
yang sangat baik. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Ajjaj al-Khatib, hadis-hadis yang
tertuang dalam Sunan Abi Dawud ini merupakan terdiri atas 4800 buah hadis yang
merupakan hasil seleksi dari sekitar 500.000 hadis.
4) Al-Jami„ al-Mukhtasar min as-Sunan „an Rasulillah, atau yang dikenal dengan sebutan
Sunan at-Tirmidzi, merupakan kitab hadis yang ditulis oleh Imam at-Tirmidzi dengan
jumlah hadis sekitar 3956 hadis (yang tidak semuanya shahih) dan sedikit pengulangannya.
Penamaan Jami„ ini dikarenakan dalam karya at-Tirmizi ini tidak hanya memuat hadis-

16
hadis ahkam saja, tetapi seperti kitab Shahihain, di dalamnya ada juga hadis - hadis tentang
fada‟il al-a„mal, manaqib, fitnah, adab, dan sirah (sejarah hidup Nabi SAW). Kitab ini
disebut Sunan at-Tirmidzi disebabkan kitab yang disusun Imam at-Tirmizi ini tidak hanya
memuat hadis sahih tetapi memuat pula hadis-hadis da„if, meski at-Tirmizi selalu
menjelaskan sebab-sebab kedha„ifannya, meskipun kitab serta bab yang ada di dalamnya
memiliki kesamaan dengan Shahihain.
5) Sunan as-Sugra al-Mujtaba atau yang dikenal dengan sebutan as-Sunan an-Nasa‟i terdiri
atas sekitar 5761 hadis dan yang ditulis oleh Imam an-Nasa‟i untuk diberikan kepada
gubernur ar-Ramalah (di Palestina). Awalnya, an-Nasa‟I membuat dan mengirimkan kitab
as-Sunan al-Kubra, namun karena di dalamnya masih terdapat beberapa hadis yang belum
teridentifikasi sahih, hasan, dan dha„ifnya, maka sang Gubernur pun meminta Imam an-
Nasa‟i untuk memfilter kembali hadis-hadis tersebut dan hanya memasukkan hadis-hadis
yang sahih saja. Atas permintaan tersebut, kemudian an-Nasa‟I menyusun kitab as-Sunan
as-Sugra atau yang terkadang disebut juga dengan al-Mujtaba min as-Sunan atan Sunan an-
Nasa‟i. yang diklaim sebagai kitab yang memuat hadis dha„if yang paling sedikit setelah
Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Namun, Imam an-Nawawi mengatakan bahwa
mayoritas hadis-hadisnya memang berkualitas maqbul, baik shahihataupun hasan dan
hanya mencantumkan hadis-hadis marfu„ kalaupun hadis yang bersumber dari sahabat
(mauquf) dan tabi‟in (maqtu„) jumlahnya hanya sedikit.
6) Sunan Ibn Majah yang merupakan kumpulan hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul)
yang disusun oleh Ibn Majah dengan jumlah total 4341. Ia memanfaatkan muqaddimah
dalam kitabnya untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan hadis Nabi Saw. dan ilmu
hadis. Kualitas hadis yang ada dalam Sunan Ibn Majah juga tidak seluruhnya sama, ada
hadis yang berkualitas shahih, hasan, bahkan da„if, namun sayangnya Ibn Majah tidak
menjelaskan sebab-sebab kelemahan dari hadis dha„if yang dicantumkan dalam kitabnya.
Dalam menyeleksi para periwayat hadis pun Ibn Majah tergolong orang yang mutasahil
dan yang matruk seperti Muhammad ibn Said al-Maslub, Amr ibn Subh, al-Waqidi dan
lainnya.24

24
Amalia Taufik, Pendekatan historiografi dalam studi hadis, Jurnal Al-Irfani, Vol. 2, No. 2, 2021 hal. 80

17
KESIMPULAN

Dari makalah di atas bisa disimpulkan sebagai berikut:

1. Pada saat nabi masih hidup, hadis sebagai teks telah dicatat oleh beberapa sahabat namun
masihdalam hitungan kecil. Catatan hadis tersebut hanya bersifat untuk membantu penyebaran
lisan, oleh karena itu maka hadis belum ada pada masa nabi masih hidup, dan yang ada hanya
berupa sunnah

2. Setelah nabi wafat, sunnah berlanjut menjadi tradisi yang dipertahankan dalam kehidupan
sahabat serta tabi‟in

3. Saat persebaran wilayah islam semakin luas maka sunnah kemudian diformulasikan menjadi
pengikat pengetahuan sunnah.

Masa kodifikasi merupakan masa pembukuan hadis. Masa kodifikasi ini terjadi pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz yang merupakan penghafal hadis dan al-Kutub al-Sittah
merupakan enam buah kitab induk yang sumbernya berasal dari para pengumpul hadis awal.

18
DAFTAR PUSTAKA

Muh. Zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta: Tiara Wacana 2003), hal 5


Alfatih Suryadilaga,dkk, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013), hal 22
Hairillah, Kedudukan as sunnah dan tantangannya dalam hal aktualisasi hukum islam
Jurnal pemikiran hukum islam, Vol.XIV, No.2, 2015, hal 193
Nur Kholis, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Multipresindo 2013), hal 1
Alfatih Suryadilaga, dkk., Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013), hal 21
Alfatih Suryadilaga, dkk. Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013) hal 27
Nur Kholis, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Multipresindo 2013) hal 40
Leni Andariati, Ulumul Hadis, Jurnal ilmu hadis hal 153
Muh. Zuhri, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana 2003) hal 34
Muh. Zuhri Ulumul Hadis (Yogyakarta: Tiara Wacana 2003) hal 29
Dailamy, Hadis semenjak disabdakan (Purwokerto: Stain Purwokerto press
2010) hal 83
Leni Andariati Hadis dan sejarah perkembangannya, Jural ilmu hadis, hal 156
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Kalimedia 2013), hal 47
Nuril Qomariyah Sejarah perkembangan hadis, makalah ilmu hadis hal 153
Nuruddin, Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits, ( Bandung : Dar al-fikr Damaskus,
(2012), hal.40-45.
Muhamad Risqillah Masykur Pengaruh pembukuan hadis terhadap fikih, Jurnal Al Makrifat,
Vol 4, No. 1 April 2019
Nurul Hakim, Sunnah perspektif Muhammad Syahrur, Jurnal kebudayaan dan keagamaan. Vol
15 N0. 1 (2020) hal. 11
Nuril Qomariyah, Sejarah perkembangan hadis, Makalah studi hadis IAIN Madura 2018, hal.
20
Muhamad Iskandar, Periodesasi penulisan hadis Nabi saw, hal. 62
Leni Andariati, Hadis dan Sejarah Perkembangannya, Jurnal ilmu hadis 4.2, Maret 2020, hal
161
Dawir Yuslem, Ulumul hadis, IAIN 1996/1997 hal. 460
Amalia Taufik, Pendekatan historiografi dalam studi hadis, Jurnal Al-Irfani, Vol. 2, No. 2,
2021 hal. 80
Amalia Taufik, Pendekatan historiografi dalam studi hadis, Jurnal Al-Irfani, Vol. 2, No. 2,
2021 hal. 80

19
20

Anda mungkin juga menyukai