Anda di halaman 1dari 17

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS

DALAM ISLAM

Disusun Oleh :
Kelompok 1
 Muhammad Alfian (19101020027)
 Riva’I Hanim Rofi’I (19101020028)
 Ramdhan Shabbah A. (19101020033)
 Abdullah Majid (19101020034)
 Safira Rohmatal Uula (19101020040)

Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

2019
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT. yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah dengan judul ‘Kedudukan dan Fungsi Hadis dalam Islam’.

Makalah ini kami susun dengan pertolongan berbagai pihak sehingga bisa
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang sudah berkontribusi didalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami terbuka menerima masukan dan kritikan yang bersifat membangun dari
pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan di kesempatan berikutnya.

Akhir kata kami meminta semoga makalah tentang ‘Kedudukan dan Fungsi
Hadis dalam Islam’ dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca.

Yogyakarta, November 2019

Penyusun

2
BAB I : Pendahuluan

A . Latar Belakang

Islam, agama yang dibawa oleh Muhammad SAW ditandai dengan turunnya
al-Quran sebagai kitab petunjuk umat manusia. Al-Qur’an merupakan sumber hukum
utama dalam ajaran agama islam. Di dalamnya terdapat perintah / larangan, informasi
dan konfirmasi atas temuan akal manusia. Al-Qur’an mencakup tentang semua
pengetahuan yang terdapat di alam dunia ini, akan tetapi tidak dijelaskan secara
terperinci dan terkadang berbentuk abstrak. Oleh karena itu Allah mengutus
Muhammad SAW sebagai petunjuk dalam mengamalkan wahyu dari Allah itu yang
kemudian petunjuk dari Muhammad SAW disebut dengan as-Sunnah.

As-Sunnah dapat juga disebut dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW selama masih hidup. Kebiasaan tersebut yang juga menjadi
pedoman bagi pengikutnya. Sunnah-sunnah Rasulullah itu kemudian dituliskan
sehingga menjadi sesuatu yang disebut dengan Hadist. Dengan demikian Sunnah dan
Hadist merupakan hal berbeda. Sunnah / Hadist dari Rasulullah SAW juga
merupakan sumber hukum dari ajaran agama Islam yang kedudukannya tentu berbeda
dengan al-Qur’an.

B . Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah


sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari Sunnah dan Hadist?


2. Apa perbedaan Sunnah dan Hadist?
3. Bagaimana kedudukan Hadist dalam Islam?
4. Apa fungsi Hadist dalam Islam?

3
BAB II : Pembahasan

1 . Pengertian Sunnah dan Hadis

A . Sunnah

Menurut bahasa, sunnah berarti jalan, aturan, cara berbuat. Al-Jurjani


mengartikan sunnah secara bahasa sebagai jalan yang diridhai atau yang tidak
diridhai, dan berarti pula kebiasaan1.

Menurut istilah, sunnah ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Muihammad
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupum berupa taqrir, pengajaran, sifat,
kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum maupun sesudah Nabi
Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Menurut Fazlur Rahman,
sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi
ke generasi selanjutnya memperoleh status normative dan menjadi sunnah. Sunnah
adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan
masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek
yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normative dari masyarakat tersebut2.

B . Hadist

Menurut bahasa, al-hadist artinya al-jadid (baru) lawan kata dari al-qodim
(sesuatu yang lama), al-khabar (berita), pesan keagamaan, pembicaraan.

Dalam ilmu hadis, al-hadits adalah pembicaraan yang diriwayatkan atau


diasosiasikan kepada Nabi Muhammad Saw. Ringkasnya, segala sesuatu yang
berupa berita yang dikatakan berasal dari Nabi disebut al-Hadits. Boleh jadi berita
itu berwujud ucapan, tidakan, pembiaran (taqrir), keadaan, kebiasaan, dan lain-
lain3.

1
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis (Sleman: Aswaja Pressindo, 2012) , hlm. 3.
2
Ibid., hlm. 4.
3
Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003), hlm. 1.

4
2 . Perbedaan Hadits dan Sunnah

Perbedaan antara Hadits dan sunnah: Hadits terbatas pada perkataan,


perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi Saw, sedangkan Sunnah segala yang
bersumber dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi
pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi
Nabi dan Rasul4.

Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat dalam hal membedakan hadis
dan sunnah. Setidaknya terdapat tiga pendapat sebagaimana berikut:

 Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa hadis jika tidak dikaitkan dengan lafad
lain berarti segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw, baik
perkataan, perbuatan, maupun pengakuannya. Sedangkan sunnah jika tidak
dikaitkan dengan lafad lain berarti tradisi yang berulangkali dilakukan oleh
masyrakat, baik dipandang ibadah maupun tidak.
 Taufiq Shidqi berpandangan bahwa hadis adalah pembicaraan yang
diriwayatkan satu atau dua orang kemudian hanya mereka saja yang
mengetahuinya. Sedangkan sunnah adalah suatu jalan yang dipaktekkan Nabi
Muhammad Saw secara terus menerus dan diikuti oleh sahabat beliau.
 Abdul Kadir Hasan berpandangan bahwa hadis adalah sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw berupa ilmu pengetahuan teori
(teoritis). Sedangkan sunnah adalah suatu tradisi yang sudah kerap dikerjakan
oleh Nabi Muhammad Saw berupa perkara yang bersifat amalan (praktis).

Pada umumnya orang Islam tidak memandang penting bahwa antara Hadits
dan Sunnah harus dibedakan. Sebab, untuk mengetahui Sunnah kita harus membaca
buku-buku hadits. Dari membaca informasi buku hadits itulah diperoleh Sunnah
Rasul. Tetapi paling tidak, perlu diketahui duduk persoalan, mengapa ia disebut
Hadits dan mengapa pula disebut dengan Sunnah.

Pada akhirnya hadis dan sunnah dapat dikatakan sama sekaligus berbeda.
Persamaannya, hadis dan sunnah sama-sama bersumber dari Nabi Muhammad Saw.
Hal ini agaknya yang mendasari ulama hadis berpendapat bahwa hadis identik dengan
sunnah5.

4
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis (Sleman: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 6.
5
Muhammad Azkiya Khikmatiar, “Jangan Salah! Ini Perbedaan Hadis dan Sunnah”
(https://islami.co/jangan-salah-ini-perbedaan-hadis-dan-sunnah/, Diakses pada 3 November 2017).

5
3 . Kedudukan Hadits

Hadits atau as- Sunnah merupakan sumber hukum islam yang berada ditingkat
setelah al-Qur’an, artinya apabila suatu perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-
Qur’an maka sandaran hukum setelahnya haruslah hadits atau as-Sunnah
sebagaimana firman allah dalam Q.S . al- Hasyr/59:7

Artinya :

“..dan apa saja yang diberikan rosul padamu maka terimalah ia. Dan apa saja yang
dilarangnya, maka tinggalkanlah”

Demikian juga firman allah dalam ayat lain, yakni pada Q.S an-Nisa: 80

Artinya :

“barang siapa yang menaati rosul (muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati
Allah SWT, dan barang siapa yang berpaling darinya maka ketahuilah kami tidak
mengutusmu (muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas


hukum dalam al-Qur’an atau menetapkan hukum sendiri diluar apa yang ditentukan
Allah dalam al-Qur’an. Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits berkedudukan
sebagai sumber atau dalil kedua setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk
diaati serta mengikat untuk semua umat islam.

Dalam Q.S an-Nisa: 80, dijelaskan pula bahwa hadits juga merupakan wahyu
yang mana apabila wahyu mempunyai kekuatan dalil hukum maka hadits juga
mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum
ditentukan dari 2 segi, yakni:

1. segi kebenaran materinya


2. segi kekuatan penunjukkannya terhadap hukum.

6
Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang tertingkat, yakni mutawatir, masyhur dan had.

Untuk membuktikan kebenaran hadits sebagai sumber hukum islam, para


ulama hadits mengemukakan beberapa dalil atau argumentasi baik dilihat dari segi
rasional dan teologis, al-Quran, sunnah, maupun ijma’. Yang penjelasannya adalah
sebagai berikut:

a. Dalil Rasional dan Teologis

Kehujjahan hadits dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan teologis


sekaligus. Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang
harus diyakini oleh setiap muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam
al-Qur’an agar manusia beriman dan menaati Nabi Saw. Dengan demikian,
menerima menerima hadits sebagai hujjah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari keimanan seseorang. Apabila ia tidak menerima hadits sebagai hujjah, maka
sama halnya ia tidak beriman kepada Rasulullah, maka ia kafir karena tidak
memenuhi salah satu dari enam rukun iman6.

b. Dalil dari Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwasanya Nabi Muhammad memiliki peran


sangat penting dalam kaitannya dengan agama.

Pertama, Nabi diberi tugas untuk menjelaskan al-Qur’an sebagaimana firman


Allah dalam surah an-Nahl ayat 44 :

Artinyan :

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.

Kedua, Nabi sebagai suri tauladan yang wajib diikuti oleh umat Islam. Allah
berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 21 :

6
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis (Sleman: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 12.

7
Artinya :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Ketiga, Nabi wajib ditaati oleh segenap umat Islam sebagaimana dijelaskan
dalam surah al-Anfal ayat 20:\

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-
perintahnya).”

Ketaatan kepada Rasulullah hanya dapat diwujudkan melalui ketaatan


terhadap segala yang dibawanya, yaitu ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-
Qur’an dan hadits Nabi. Dengan demikian, ketaatan kepada ketentuan-ketentuan
hadits merupakan suatu keniscayaan7.

c. Dalil dari Sunnah

Kehujjahan hadits dapat diketahui pula melalui pernyataan Rasulullah sendiri


melalui hadits-haditsnya. Banyak hadits yang menggambarkan tentang keharusan
taat kepada Nabi Muhammad. Di antaranya, pesan tentang keharusan menjadikan
hadits sebagai pedoman hidup di samping al-Qur’an agar manusia tidak tersesat.
Nabi bersabda:

Artinya:

7
Ibid., hlm. 13.

8
“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jiak kalian berpegang pada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya”
(HR. al-Hakim al-Nisaburi).

Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur’an dan sunnah Nabi
merupakan pedoman hidup yang dapat menuntun manusia menjalani kehidupan
yang lurus dan benar, bukan jalan yang salah dan sesat. Keduanya merupakan
peninggalan Rasulullah yang diperuntukkan bagi umat muslim agar
mempedomaninya8.

d. Dalil Ijma’

Mengamalkan sunnah Rasulullah wajib menurut ijma’ para sahabat. Tidak


seorangpum di antara mereka yang menolak tentang wajibnya taat kepada
Rasulullah. Bahkan, umat Islam telah bersepakat mengenai kewajiban mengikuti
sunnah ini dikuatkan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.

Ijma’ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak
zaman Nabi, para al-Khulafa al-Rasyidun, dan para pengikut mereka. Banyak
contoh yang bias menjelaskan betapa para sahabat sangat mengagumi Rasulullah
dan melakukan apa yang dilakukannya. Di antaranya Abu Bakar pernah berkata:
“Aku tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dilakukan Rasulullah, maka pasti
aku melakukannya…”9.

4 . Fungsi Hadits

Dilihat dari segi posisinya, al-qur’an dan hadist merupakan pedoman hidup
dan sumber ajaran islam, antara keduanya tidak dapat di pisahkan, al-qur’an sebagai
sumber yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu di
jelaskan dan terperinci, disinilah hadis berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Adapun
fungsi hadits tersebut adalah sebagai berikut10:

a. Bayan al-Taqrir

Disebut juga bayan al itsbat, yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang
telah diterangkan dalam al qur’an. Istilah bayan al-taqrir atau bayan al’kid ini di
sebut pula dengan bayan minvafiq li nash al-kitab. Kerena munculnya hadist hadist
itu sealur atau sesuai dengan nash al-quran.

8
Ibid., hlm. 14.
9
Ibid., hlm. 15.
10
Ibid.

9
Contoh : “sholat orang yang berhadas tidak di terima kecuali setelah ia berwudhu”

Artinya :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallambersabda, “Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara
kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” Ahdatsa berarti muncul hadats
yaitu sesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan atau pembatal wudhu
lainnya. (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225).

Hadits tersebut sejalan dan memperkuat ketentuan al-Qur’an bahwa orang


yang hendak mendirikan shalat harus berwudhu terlebih dahulu yang termaktub
dalam surah al-Maidah ayat 6.

Surah al-Maidah ayat 6 tersebut menjelaskan tentang keharusan berwudhu


bagi orang yang hendak mendirikan shalat, orang yang mendirikan shalat tanpa
wudhu dinilai tidak sah karena wudhu merupakan salah satu dari syarat sah shalat.
Hadits yang disabdakan oleh Nabi memperkuat pernyataan yang terkandung dalam
ayat tersebut bahwa shalat dapat diterima oleh Allah jika dilakukan dengan wudhu
terlebih dahulu.

b. Bayan Tafshil

Berarti penjelasan dengan memerinci kandungan ayat ayat yang mujmal,


yakni ayat ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau
bahkan tidak jelas kecuali ada penjelasannya ataupun perincian, dengan kata lain
ungkapan ayat itu masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.

Contoh : “berpuasalah karena melihat hilal dan berbuka (berhari raya)-lah karena
melihat hilal”

10
Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

Artinya :

“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan jika melihatnya kembali, maka
berbukalah (berhari Raya ‘Ied). Lalu, jika kalian terhalangi (tidak dapat
melihatnya), maka ukurlah”. (HR. Bukhori No. 1906).

Hadits tersebut menjelaskan tentang tata cara berpuasa Ramadhan yang


dimulai dan diakhiri dengan melihat hilal, sebagai penjelasan dari keumuman ayat
tentang puasa yaitu pada QS. Al-Baqarah ayat 183:

Ayat di atas hanya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman diwajibkan


untuk berpuasa. Namun kata al-Shiyam yang berarti puasa tidak dijelaskan kapan
waktunya, meskipun pada ayat berikutnya dinyatakan pada bulan Ramadhan,
tetapi sejak kapan memulai dan mengakhiri puasa itu tidak diterangkan secara
rinci. Maka, hadits Nabi menjelaskan bahwa awal dan akhir Ramadhan dapat
diketahui melalui melihat hilal.

c. Bayan Taqyid

Adalah penjelasan hadist dengan cara membatasi ayat ayat yang bersifat
mutlak dengan sifat ,keadaan,atau ayat tertentu. Kata mutlak artinya kata yang
menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang jumlah atau
sifatnya.

Contoh : “tangan pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih”

11
Artinya :

“Tangan pencuri dipotong jika curiannya senilai seperempat dinar”. (HR. Bukhari,
No. 6790). Hadis ini diriwayatkan juga oleh Al-Nasa’i dan Abu Daud.

Hadits ini membatasi kadar curian yang menyebabkan pelakunya terkena


hukuman potong tangan yang tidak dijelaskan dalam ayat tentang ini yang bersifat
mutlak, yaitu dalam surah al-Maidah ayat 38:

Ayat di atas tidak menjelaskan berapa kadar curian sehingga pelakunya


dikenai hukuman potong tangn. Secara normatif ayat tersebut hanya
mengharuskan hukuman potong tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan
tanpa adanya dispensasi. Kemudian hadits dating dengan menjelaskan bahwa yang
wajib dikenai hukuman potong tangan adalah pencuri yang mencuri barang senilai
seperempat dinar atau lebih.

d. Bayan Takhshis

Adalah penjelasan nabi dengan cara membatasi atau mengkhususkan ayat-


ayat al-quran yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian bagian
tertentu yang mendapat perkecualian .

Contoh : “kami (para nabi) tidak meninggalkan warisan , sesuatu yang kami
tinggalkan menjadi sedekah”.

Artinya :

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan


kepada kami Maalik, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu
Hurairah radliyalaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “”Warisanku tidaklah dibagi-bagi baik berupa dinar maupun
dirham. Apa yang aku tinggalkan selain berupa nafkah buat istri-istriku dan para
pekerjaku, semuanya adalah sebagai shadaqah“[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 2776. Lihat juga no. 3096 dan 6729].

12
Hadits tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat al-Qur’an yang
menjelaskan tentang disyariatkannya waris bagi umat Islam. Ayat al-Qur’an yang
dimaksud adalah:

Dalam potongan surah an-Nisa ayat 11 di atas, Allah mensyariatkan kepada


umat Islam agar membagi warisan kepada ahli waris; di mana anak laki-laki
mendapatkan satu bagian dan anak perempuan separuhnya. Syariat waris itu tidak
berlaku khusus pada para nabi, sehingga keumuman ayat tersebut dikhususkan
oleh hadits di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta peninggalan
wajib kecuali para nabi yang tidak mempunyai kewajiban untuk itu.

e. Bayan Tasyri’

Adalah penjelasan hadist yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan
syar’i yang tidak di dapati nashnya dalam al-qur’an. Dalam hal ini rasullullah
menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu pada
sabdanya sendiri, tanpa berdasarkan pada ketentuan ayat ayat al-quran.

Contoh : “seorang perempuan tidak boleh di poligami bersama bibinya dari pihak
ibu atau ayahnya”

Artinya :

“Tidak boleh menggabungkan antara seorang wanita dengan bibinya, baik bibi
dari ayah maupun dari ibu (dalam satu ikatan pernikahan yang sama).” (HR.
Bukhari 5109 dan Muslim 1408).

Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita


bersamaan dengan bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Memang, dalam
al-Qur’an dijelaskan beberapa kerabat (keluarga) dilarang dinikahi seperti ibu
kandung, saudara, anak, dan sebagainya, tetapi tidak ada larangan mempoligami
seorang perempuan bersama dengan bibinya. Dalam hal ini hadits menetapkan
hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan di atas.

13
f. Bayan Nasakh

Adalah penjelasan hadist yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat


dalam alquran, hadist yang datang setelah al-quran menghapus ketentuan-
ketentuan al-quran. Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat boleh tidaknya
hadist manaskh al-qur’an ulama yang membolehkan juga berbeda pendapat
tentang hadist apa yang boleh manaskh al-qur’an.

Contoh : “Ahli waris tidak dapat menerima wasiat”

Artinya : “Tidak boleh diberikan wasiat kepada ahli waris kecuali para ahli waris
lainnya menyetujui,” (HR. Ad Daruquthni)

hadist tersebut me-naskh ketentuan dalam ayat di surah al-baqarah ayat 120
yaitu:

Artinya:

“diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara


kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib
kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi ornag-orang yang
bertaqwa”

Menurut ulama yang menerima adanya nasakh hadits terhadap al-Qur’an,


hadits di atas menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli waris, yang dalam ayat di
atas dinyatakan wajib. Dengan demikian, seorang yang akan meninggal dunia
tidak wajib berwasiat unutk memberikan harta kepada ahli waris, karena ahli waris
itu akan mendapatkan bagian harta warisan yang ditinggalkan tersebut.

14
BAB III : Penutup

A . Kesimpulan

Menurut bahasa, sunnah berarti jalan, aturan, cara berbuat. Menurut istilah,
sunnah ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Muihammad SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupum berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan
hidup baik yang demikian itu sebelum maupun sesudah Nabi Muhammad SAW
diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Menurut bahasa, al-hadist artinya al-jadid (baru) lawan kata dari al-qodim
(sesuatu yang lama), al-khabar (berita), pesan keagamaan, pembicaraan. segala
sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari Nabi disebut al-Hadits. Boleh
jadi berita itu berwujud ucapan, tidakan, pembiaran (taqrir), keadaan, kebiasaan.

Perbedaan antara Hadits dan sunnah: Hadits terbatas pada perkataan,


perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi Saw, sedangkan Sunnah segala yang
bersumber dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi
pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi
Nabi dan Rasul.

Hadits atau as- Sunnah merupakan sumber hukum islam yang berada ditingkat
setelah al-Qur’an, artinya apabila suatu perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-
Qur’an maka sandaran hukum setelahnya haruslah hadits atau as-Sunnah. Yang dapat
dibuktikan bahwa hadits merupakan sumber hukum ajaran islam adalah dengan
melalui:

a. Dalil Rasional dan Teologis


b. Dalil dari al-Qur’an
c. Dalil dari Sunnah
d. Dalil Ijma

Hadits berfungsi sebagai penjelas (Bayan) al-qur’an. Adapun fungsi hadits


tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bayan al-Taqrir
b. Bayan Tafshil
c. Bayan Taqyid
d. Bayan Takhshish

15
e. Bayan Tasyri’
f. Bayan Nasakh

B . Saran

Demikian pokok bahasan makalah ini yang dapat kami paparkan. Besar
harapan kami makalah ini dapat bermanfaat. Karena keterbatasan pengetahuan dan
referensi, kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun
menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Khikmatiar, MA. 2019. “Jangan Salah! Ini Perbedaan Hadis dan Sunnah”,
https://islami.co/jangan-salah-ini-perbedaan-hadis-dan-sunnah/, diakses pada
3 November 2019 pukul 19.24

Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadis. Sleman: Aswaja Pressindo

Zuhri, M. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.

17

Anda mungkin juga menyukai