Anda di halaman 1dari 8

KALAM KHOBAR DAN KALAM INSYA’ DALAM AYAT Al-QUR’AN

A. Khabar
a. Pengertian
Khabar ialah pembicaraan yang mengandung kemungkinan benar atau
bohong semata-mata dilihat dari pembicaraannya itu sendiri. Jika seseorang
mengucapkan suatu kalimat (kalâm) yang mempunyai pengertian yang sempurna,
setelah itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah maka kita
bisa menetapkan bahwa kalimat tersebut merupakan
kalâm khabar. Dikatakan benar jika maknanya sesuai dengan realita, dan
dikatakan dusta (kadzb) jika maknanya bertentangan dengan realita.
b. Pembagian Khabar
Secara fungsi khabar terbagi menjadi 2 macam, yaitu jumlah fi’liyah dan
jumlah ismiyah.
 Jumlah Fi’liyah
Pada jumlah fi’liyah, kalâm khabar berfungsi al-tajaddud wa al-huduts, yaitu
menunjukkan pekerjaan yang berubah-ubah sesuai dengan waktunya (madly,
haal, dan istiqbaal) tanpa disertai sebab yang mempengaruhinya seperti
perkataan :

‫الشمس‬
ّ ‫إشرتقت‬
“matahari telah bersinar”
 Jumlah Ismiyah
Pada jumlah ismiyah, kalâm khabar berfungsi al-tsubut wa al-dawam, yaitu
menunjukkan pengertian yang kekal dan tetap. Seperti perkataan:

‫الشمس مضيئة‬
“matahari adalah sesuatu yang bersinar”. Perkataan itu memberikan
pengertian bahwa menyinari hanya terdapat secara kekal pada matahari.

 Namun terkadang berfungsi : istimrar wa al-dawam, jika khabar-nya tidak


terdiri dari fi’il mudlori’. seperti firman Allah:

‫وإنك لعلى خلق عظيم‬


“dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S.
68:4)
c. Tujuan kalâm khabar
Setiap ungkapan yang dituturkan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan
tertentu. Suatu kalâm khabari biasanya mempunyai dua tujuan, yaitu fâidah
alkhabar dan lâzim al-faidah.
1) Fâidah al-khabar adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang belum tahu sama sekali isi perkataan itu. Contoh,

‫ﻛﺎﻥ ﻋﻤﺮﻭﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻻ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ ﺍﻤﻟﺎﻝ ﺷﻴﺄ ﻭﻻ ﺠﻳﺰﻱ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻲﺀ ﺩﺭﻤﻫﺎ‬
Pada kalimat di atas mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhâthab
bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun harta dari baitul
mal. Mutakallim berpraduga bahwa mukhâthab tidak mengetahui hukum yang
ada pada kalimat tersebut.
2) Lâzim al-fâidah adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang sudah mengetahui isi dari pembicaraan tersebut, dengan tujuan agar orang
itu tidak mengira bahwa si pembicara tidak tahu. Seperti perkataan: 

‫أنت حضرت أمس‬  


“engkau datang kemarin”. Dalam hal itu, mutakallim telah mengetahui
kedatangannya.
d. Jenis-jenis kalâm khabar
Kalâm Khabari adalah kalimat yang diungkapkan untuk memberitahu
sesuatu atau beberapa hal kepada mukhâthab. Untuk efektifitas penyampaikan
suatu pesan perlu dipertimbangkan kondisi mukhâthab.
Ada tiga keadaan mukhâthab yang perlu dipertimbangkan dalam
mengungkapkan kalâm khabari. Ketiga keadaan tersebut adalah sbb:
1) Mukhâthab yang belum tahu apa-apa ( ‫) ﺧﺎﻟﻰ ﺍﻟﺬﻫﻦ‬
Mukhâthab khâlidzdzihni adalah keadaan mukhâthab yang belum tahu
sedikit pun tentang informasi yang disampaikan. Mukhâthab diperkirakan akan
menerima dan tidak ragu-ragu tentang informasi yang akan disampaikan. Oleh
karena itu tidak diperlukan taukîd dalam pengungkapannya. Bentuk kalâm
khabari pada model pertama ini dinamakan kalâm khabari ibtidâî .
Contoh,
‫ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﺳﺎﻗﻄﺔ ﻲﻓ ﺍﻟﻮﺍﺩﻱ‬
2) Mukhâthab ragu-ragu ( ‫) ﻣﺘﺮﺩﺩ ﺍﻟﺬﻫﻦ‬
Jika mukhâthab diperkirakan ragu-ragu dengan informasi yang akan kita
sampaikan maka perlu diperkuat dengan taukîd. Keraguan mukhâthab bisa
disebabkan dia mempunyai informasi lain yang berbeda dengan informasi yang
kita sampaikan, atau karena keadaan mutakallim yang kurang meyakinkan.
َّ
Untuk menghadapi mukhâthab jenis ini diperlukan adat taukîd seperti ‘- ‫ﺇﻥ‬
‫’ – ﺃﻥ ﻗﺪ – ﻝ‬. Bentuk kalâm ini dinamakan kalâm khabari thalabi ‫ ﺧﺒﺮ‬. ‫ﻃﻠﺒﻲ‬
Contoh,

. ‫ﺇﻥ ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﺳﺎﻗﻄﺔ‬


3) Mukhâthab yang menolak (‫)ﺇﻧﻜﺎﺭﻯ‬
Kadang juga terjadi mukhâthab yang secara terang-terangan menolak
informasi yang kita sampaikan. Penolakan tersebut mungkin terjadi karena
informasi yang kita sampaikan bertentangan dengan informasi yang dimilikinya.
Hal ini juga bisa terjadi karena dia tidak mempercayai kepada kita. Untuk itu
diperlukan adat taukîd lebih dari satu untuk memperkuat pernyataannya. Jenis
kalâm model ini dinamakan kalâm khabari inkâri.
Contoh,

‫ﻭﺍﻪﻠﻟ ﺇﻥ ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﻟﺴﺎﻗﻄﺔ‬


B. Insya’
a. Pengertian
Kata ‘ ‫ﺇﻧﺸﺎﺀ‬ ‘ merupakan bentuk mashdar dari kata ‘ ‫ﺃﻧﺸﺄ‬ ‘. Secara     leksikal
kata tersebut bermakna membangun, memulai, kreasi, asli, menulis,           dan
menyusun. Insyâi sebagai kebalikan dari khabari merupakan bentuk kalimat yang
setelah kalimat        tersebut dituturkan kita tidak bisa menilai benar atau dusta.
Hal ini berbeda dengan sifat kalâm khabari yang bisa dinilai benar atau dusta.
Dalam terminologi ilmu ma’âni kalâm insyâ’I adalah,

               ‫ﻣﺎﻻ ﺤﻳﺘﻤﻞ ﺍﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻟﻜﺬﺏ‬


            Kalâm insyâi adalah suatu kalimat yang tidak bisa disebut benar atau
dusta            Jika seorang     mutakallim mengucapkan suatu kalâm insyâi,
mukhâthab tidak   bisa menilai bahwa      ucapan mutakallim itu benar atau dusta.
            Jika seorang berkata ‘‫ﺇﺳﻤﻊ‬ Artinya dengarkanlah, kita tidak bisa
mengatakan           bahwa ucapannya itu benar atau dusta. Setelah kalâm tersebut
diucapkan yang      mesti kita lakukan adalah menyimak ucapannya.
b. Macam-macam kalam insya’
Kalam insya’ terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Insya’ thalabi, yaitu insya’ yang menghendaki tuntutan (mathlub) yang tidak
tercapai ketika terjadi tuntutan itu sendiri.
Diantara macam-macam insya’thalabi yaitu:
a)    Amr. Yaitu menghendaki perbuatan dari tingkatan yang lebih
tinggi   (mutakallim) kepada yang lebih rendah (mukhatab), dengan
menggunakan empat bentuk, yaitu:
·      Fi’il amr, seperti :

‫خذ الكتاب بقوة‬


“ambillah al-kitab (taurat) itu dengansungguh-sungguh.” (QS,19:12)
·     Fi’il mudhari yang disertai lam amr, seperti:

‫لينفق ذوسعة من سعته‬


“hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut
kemampuannya”.          (QS.65:7)
·    Ism fi’il amr, seperti:

P‫حي على الصالة‬


  “mari mendirikan shalat”
·      Mashdar pengganti dari fi’il amr, seperti:

‫وبالوالدين إحسانا‬
  “dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS.2:83)
b)      Nahy, yaitu menghendaki tercegahnya perbuatan dari tingkatan yang lebih
tinggi (mutakallim) kepada yang lebih rendah (mukhathab), dengan
menggunakan bentuk fi’il mudlari’ yang ditambah la nahy.
c)      Istifham, yaitu menghendaki pengetahuan tentang sesuatu yang belum
diketahui dengan menggunakan huruf hamzah, kata hal, man, mata, ayyana,
kayfa, ayna, anna, kam, ayyun, dll.
d)     Tamanni, yaitu menghendaki sesuatu yang dicintai yang tidak mungkin
tercapai, karena mustahil atau jauh kemungkinannya.
e)      Nida’ (panggilan), yaitu menghendaki kedatangan (memanggil) mukhathab
dengan menggunakan huruf-huruf nida’ sebagai pengganti dari
kata ad’u atau unadi: saya memanggil”. Huruf-huruf yang dipakai
adalah hamzah, aiy (untuk panggilan dekat), ya, aa, aya, haya dan wa (untuk
panggilan jauh).
b.      Insya’ ghoiru thalabi, yaitu kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu
permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk, al-Madh wa al-
Dzam,Shiyâgh al-‘Uqûd, al-Qasam  dan  al-Ta’ajjub wa al-Raja’. Contoh:
1)   Al-Madh wa al-Dzam, menggunakan kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh:

‫ وبئس البخيل مادر‬ .…‫نعم الكرمي حائم‬


2)   Shiyaghu al-‘Uqûd. kebanyakan menggunakan shîghah fi’il madhi, contoh:

‫بعتك هذا ووهبتك ذاك‬


3)   Al-Qasam, menggunakan wawu, ba’, ta’ dan lain sebagainya, contoh:

‫لعمرك ما فعلت كذا‬


4)   Al-Ta’ajjub, biasanya berisi dua pernyataan yang berkebalikan, contoh:

(28 ‫كيف تكفرون باهلل وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة‬


5)   Al-Raja’, biasanya menggunakan, ‘asâ, hariyyu
(la’alla) dan ikhlaulaqa, contoh:

‫عسى اهلل أن يأيت بالفتح‬


C. Tafsir
a. Khabar

‫وإنك لعلى خلق عظيم‬


“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. Al-
Qolam:4)
Ayat ini mengandung unsur kalam khabar yang memiliki tujuan berupa faidatul
khabar yaitu memberi tahu kepada seseorang yang belum tahu kabar tersebut.
Yaitu Allah memberi tahu tentang kepribadian Rasulullah yang mempunyai budi
pekerti yang agung. Adapun tafsirnya adalah sebagai berikut :
1. Tafsir Ibnu Katsir
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya engkau
Muhammad, berada dalam agama yang hebat, yaitu agam Islam.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, dan Ar-
Rabi ibnu Anas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ad-Dahhak dan Ibnu
Zaid.
Menurut Atiyyah, disebutkan benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Mamar telah meriwayatkan dari Qatadah, bahwa ia pernah bertanyakepada
Aisyah r.a. tentang akhlak Rasulullah Saw. Maka Aisyah menjawab:

‫َكا َن ُخلُ ُقهُ الْ ُق ْرآ َن‬


Akhlaq beliau adalah Al-Qur’an .Yakni sebagaimana yang terdapat di dalam
Al-Quran.
Said ibnu Abu Arubah mengatakan dari Qatadah sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
luhur.
2. Tafsir Jalalain
(Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti) beragama (yang
agung.)
b. Insya

‫وبالوالدين إحسانا‬
“dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS.2:83)
Ayat tersebut mengandung unsur kalam insya’ tholabi Amr (perintah). Yaitu Allah
memerintahkan agar selalu berbuat baik kepada kedua orang tua. Adapun
tafsirnya adalah sebagai berikut :
1. Tafsir Ibnu Katsir
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Jsrail (yaitu):
Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin; serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu berpaling. Melalui ayat ini Allah
mengingatkan kaum Bani Israil terhadap apa yang telah Dia perintahkan
kepada mereka dan pengambilan janji oleh-Nya atas hal tersebut dari mereka,
tetapi mereka berpaling dari semuanya itu dan menentang secara disengaja
dan direncanakan, sedangkan mereka mengetahui dan mengingat hal
tersebut. Maka Allah Swt. memerintahkan mereka agar menyembah-Nya dan
jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
2. Tafsir Jalalain
((Dan) ingatlah (ketika Kami mengambil ikrar dari Bani Israel) maksudnya
dalam Taurat, dan Kami katakan, ("Janganlah kamu menyembah) ada yang
membaca dengan 'ta' dan ada pula dengan 'ya', yaitu 'laa ya`buduuna', artinya
mereka tidak akan menyembah (kecuali kepada Allah). Kalimat ini
merupakan kalimat berita tetapi berarti larangan. Ada pula yang membaca
'laa ta`buduu', artinya 'janganlah kamu sembah!' (Dan) berbuat kebaikanlah!
(kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya) maksudnya berbakti selain
itu juga (kaum kerabat) athaf pada al-waalidain (anak-anak yatim dan orang-
orang miskin serta ucapkanlah kepada manusia) kata-kata (yang baik)
misalnya menyuruh pada yang baik dan melarang dari yang mungkar,
berkata jujur mengenai diri Muhammad dan ramah tamah terhadap sesama
manusia. Menurut suatu qiraat 'husna' dengan 'ha' baris di depan dan 'sin'
sukun yang merupakan mashdar atau kata benda dan dipergunakan sebagai
sifat dengan maksud untuk menyatakan 'teramat' artinya teramat baik. (Dan
dirikanlah salat serta bayarkan zakat!) Sesungguhnya kamu telah
memberikan ikrar tersebut. (Kemudian kamu tidak memenuhi) janji itu. Di
sini tidak disebut-sebut orang ketiga, yaitu nenek moyang mereka (kecuali
sebagian kecil dari kamu, dan kamu juga berpaling.") seperti halnya nenek
moyangmu.

Anda mungkin juga menyukai