A. Khabar
a. Pengertian
Khabar ialah pembicaraan yang mengandung kemungkinan benar atau
bohong semata-mata dilihat dari pembicaraannya itu sendiri. Jika seseorang
mengucapkan suatu kalimat (kalâm) yang mempunyai pengertian yang sempurna,
setelah itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah maka kita
bisa menetapkan bahwa kalimat tersebut merupakan
kalâm khabar. Dikatakan benar jika maknanya sesuai dengan realita, dan
dikatakan dusta (kadzb) jika maknanya bertentangan dengan realita.
b. Pembagian Khabar
Secara fungsi khabar terbagi menjadi 2 macam, yaitu jumlah fi’liyah dan
jumlah ismiyah.
Jumlah Fi’liyah
Pada jumlah fi’liyah, kalâm khabar berfungsi al-tajaddud wa al-huduts, yaitu
menunjukkan pekerjaan yang berubah-ubah sesuai dengan waktunya (madly,
haal, dan istiqbaal) tanpa disertai sebab yang mempengaruhinya seperti
perkataan :
الشمس
ّ إشرتقت
“matahari telah bersinar”
Jumlah Ismiyah
Pada jumlah ismiyah, kalâm khabar berfungsi al-tsubut wa al-dawam, yaitu
menunjukkan pengertian yang kekal dan tetap. Seperti perkataan:
الشمس مضيئة
“matahari adalah sesuatu yang bersinar”. Perkataan itu memberikan
pengertian bahwa menyinari hanya terdapat secara kekal pada matahari.
ﻛﺎﻥ ﻋﻤﺮﻭﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻻ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ ﺍﻤﻟﺎﻝ ﺷﻴﺄ ﻭﻻ ﺠﻳﺰﻱ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻲﺀ ﺩﺭﻤﻫﺎ
Pada kalimat di atas mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhâthab
bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun harta dari baitul
mal. Mutakallim berpraduga bahwa mukhâthab tidak mengetahui hukum yang
ada pada kalimat tersebut.
2) Lâzim al-fâidah adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang sudah mengetahui isi dari pembicaraan tersebut, dengan tujuan agar orang
itu tidak mengira bahwa si pembicara tidak tahu. Seperti perkataan:
وبالوالدين إحسانا
“dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS.2:83)
b) Nahy, yaitu menghendaki tercegahnya perbuatan dari tingkatan yang lebih
tinggi (mutakallim) kepada yang lebih rendah (mukhathab), dengan
menggunakan bentuk fi’il mudlari’ yang ditambah la nahy.
c) Istifham, yaitu menghendaki pengetahuan tentang sesuatu yang belum
diketahui dengan menggunakan huruf hamzah, kata hal, man, mata, ayyana,
kayfa, ayna, anna, kam, ayyun, dll.
d) Tamanni, yaitu menghendaki sesuatu yang dicintai yang tidak mungkin
tercapai, karena mustahil atau jauh kemungkinannya.
e) Nida’ (panggilan), yaitu menghendaki kedatangan (memanggil) mukhathab
dengan menggunakan huruf-huruf nida’ sebagai pengganti dari
kata ad’u atau unadi: saya memanggil”. Huruf-huruf yang dipakai
adalah hamzah, aiy (untuk panggilan dekat), ya, aa, aya, haya dan wa (untuk
panggilan jauh).
b. Insya’ ghoiru thalabi, yaitu kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu
permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk, al-Madh wa al-
Dzam,Shiyâgh al-‘Uqûd, al-Qasam dan al-Ta’ajjub wa al-Raja’. Contoh:
1) Al-Madh wa al-Dzam, menggunakan kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh:
وبالوالدين إحسانا
“dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (QS.2:83)
Ayat tersebut mengandung unsur kalam insya’ tholabi Amr (perintah). Yaitu Allah
memerintahkan agar selalu berbuat baik kepada kedua orang tua. Adapun
tafsirnya adalah sebagai berikut :
1. Tafsir Ibnu Katsir
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Jsrail (yaitu):
Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin; serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebagian kecil dari kalian, dan kalian selalu berpaling. Melalui ayat ini Allah
mengingatkan kaum Bani Israil terhadap apa yang telah Dia perintahkan
kepada mereka dan pengambilan janji oleh-Nya atas hal tersebut dari mereka,
tetapi mereka berpaling dari semuanya itu dan menentang secara disengaja
dan direncanakan, sedangkan mereka mengetahui dan mengingat hal
tersebut. Maka Allah Swt. memerintahkan mereka agar menyembah-Nya dan
jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
2. Tafsir Jalalain
((Dan) ingatlah (ketika Kami mengambil ikrar dari Bani Israel) maksudnya
dalam Taurat, dan Kami katakan, ("Janganlah kamu menyembah) ada yang
membaca dengan 'ta' dan ada pula dengan 'ya', yaitu 'laa ya`buduuna', artinya
mereka tidak akan menyembah (kecuali kepada Allah). Kalimat ini
merupakan kalimat berita tetapi berarti larangan. Ada pula yang membaca
'laa ta`buduu', artinya 'janganlah kamu sembah!' (Dan) berbuat kebaikanlah!
(kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya) maksudnya berbakti selain
itu juga (kaum kerabat) athaf pada al-waalidain (anak-anak yatim dan orang-
orang miskin serta ucapkanlah kepada manusia) kata-kata (yang baik)
misalnya menyuruh pada yang baik dan melarang dari yang mungkar,
berkata jujur mengenai diri Muhammad dan ramah tamah terhadap sesama
manusia. Menurut suatu qiraat 'husna' dengan 'ha' baris di depan dan 'sin'
sukun yang merupakan mashdar atau kata benda dan dipergunakan sebagai
sifat dengan maksud untuk menyatakan 'teramat' artinya teramat baik. (Dan
dirikanlah salat serta bayarkan zakat!) Sesungguhnya kamu telah
memberikan ikrar tersebut. (Kemudian kamu tidak memenuhi) janji itu. Di
sini tidak disebut-sebut orang ketiga, yaitu nenek moyang mereka (kecuali
sebagian kecil dari kamu, dan kamu juga berpaling.") seperti halnya nenek
moyangmu.