Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Nahwu
Dosen Pengampu : Mufidah, M. Pd.
Disusun Oleh :
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Haal
ُ ب يُبَي ُْن َه ْيئَةَ اْلفَا ِع ِل أ َ ْو الم ْفعُ ْو ِل ِب ِه ِح ْينَ ُوقُ ْوعِ ْال ِف ْع ِل َو
س َّمي ُ ا َ ْل َحا ُل ُه َو ِإ ْس ٌم َم ْن
ٌ ص ْو
.ب ال َحا ِل
ُ اح ِ ص َ َك ٌّل ِم ْن ُه َما
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau
perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan
maf’ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
Contoh: جا
ً س َّر
َ ُم سَ ا َ ْلفَ َر ُ= َر ِكبْت Aku berkendara dengan
berpelana.Lafadz جا ً س َّر
َ ُمberkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan
kuda waktu digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah
Swt. Berikut: س ْو ًل
ُ اس َر ِ َّس ْلنَاكَ ِللن
َ “ = َوا َ ْرkami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz س ْو ًل
ُ َرmenjadi haal dari maf’ul bihhuruf kaf yang terdapat
ْ
pada lafadz َسلنَاك َ
َ وا ْر.
َ
Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
َّ َ َع ْبد
Contoh: ّللَاِ َرا ِكبًا َ ُ = لَ ِقيتAku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang
dimaksud dengan berkendaraan itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B. Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz ma’rifat,
maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh: ( ا َ َم ْنتُ ِباهلل َوحْ دَ ْهaku
beriman kepada Allah). Kalimah َوحْ دَ ْهadalah isim ma’rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil
oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: ً ا َ َم ْنتُ ِباهلل ُم ْنفَ ِردا.[4]
Contoh: ج ٌل
ُ َر قَائِ ًما ( فِ ْي َهاdidalamnya terdapat seorang laki-laki sedang
berdiri). lafadz قَا ِئ ًماberkedudukan sebagai haal dari lafadz ج ٌلُ ر.
َ
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat didalam
َ ( فِ ْي ا َ ْربَ َع ِة اَيَ ٍامdalam empat hari yang genap.(Fushsilat: 10).
firman Allah Swt. Berikut: س َوا ًء
َ berkedudkan sebagai haal dari lafadz ا َ ْربَ َع ِة.
Lafadz س َوا ًء
َ( َو َما ا َ ْهلَ ْكنَا ِم ْن قَ ْريَ ٍة ا َِّلَ لَ َها ُم ْنذ ُِر ْونdan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun, melainkan
sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara: 208). Lafadz لَ َها
َ ُم ْنذ ُِر ْونadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari
َ
lafadz ق ْريَ ٍة, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap sah
karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau
bukan jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: سد ًا َ َي أ َ ( َك َّرAli menyerang dengan
ٌ ع ِل
َ
َ عا َكا األ
berani seperti macan). Takwilanya: س ِد ُ
َ ش َجا
َ ( بِ ْعتُكَ اْلفَ َرaku telah menjual
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: س يَدًا بِيَ ٍد
َ ُِمتَقَاب
kuda secara kontan). Takwilanya:ضي ِْن
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: ج ًال ُ ( دَ َخ َل القَ ْو ُم َر ُج ًال َرkaum itu telah masuk secara tertib
satu persatu). Takwilanya: ُمت ََرتِ ِّبَي ِْن.[9]
C. Macam-macam Haal.
a. Haal berupa isim mufrad.
Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi’il atau maful
bih. Contoh: جا َء زَ ْيد ٌ َرا ِكبًا َ (Telah datang zaid dalam keadaan berkendaraan).
lafadz َرا ِكبًاadalah isim mufrad.
b. Haal berupa jumlah ismiyah.
Contoh: ٌْف غَائِب ُ ضيِ ف َوال ُم
ُ ضي ُْو
ُ ض َر ال
َ ( َحpara tamu datang, sedang tuan rumahnya tidak ada).
Lafadz ٌْف غَائِب ُ ضيِ ال ُمadalah jumlah ismiyah yang berkedudukan sebagai haal dari
lafadz ف
ُ ضي ُْو ُ ال.
c. Haal berupa jumlah fi’liyah.
Contoh: ُجنُ ْود ُ سهُ ال ُ َب ال َجانِي تَحْ ُر َ ( ذَهpenjahat itu pergi, ketika ia dijaga oleh
tentara). Lafadz ُ جنُ ْود ُ سهُ ال ُ تَحْ ُرadalah jumlah fi’liyah yang berkedudukan sebagai haal dari
lafadz جانِي َ ال.
d. Haal berupa zharaf.
Contoh: ب ِ س َحا َّ ال َبَيْن ال ِه َال َل ُ( َرأَيْتaku telah melihat bulan diantara
bulan). Lafadz َ بَيْنadalah zharaf yang berkedudukan sebagai haaldari lafadz ال ِهال َل. َ
e. Haal berupa jar dan majrur.
Contoh: ج ِر ِه َ ش َ ( ِب ْعتُ الث َّ َم َرsaya menjual buah yang masih ada di pohonya). Lafadz علَي
َ علَي َ
َ adalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari lafadz الث َّ َم َر.[10]
ش َج ِر ِه
IV. PENUTUP
Dapat disimpulkan,dari penjelasan diatas sebagaiberikut:
1. Haal ialah isim mansub yang menerangkan prihal atau perilaku fa’il atau maf’ul bih yang
masih samar.
2. Shahibul haal adalah terdiri dari tarkib fa’il dan tarkib maf’ul bih.
3. Syarat-syarat tarkib haal, yaitu:
a. Harus dengan isim nakirah, tidak boleh isim ma’rifat.
b. Harus sesudah kalam yang sempurna
c. Shahibul haal harus terdiri dari isim ma’rifat.
4. Macam-macam haal, yaitu:
a. Haal berupa isim mufrad.
b. Haal berupa jumlah ismiyyah.
c. Haal berupa jumlah fi’liyah
d. Haal berupa zharaf.
e. Haal berupa jar dan majrur.
5. Jika haal itu berupa jumlah, maka harus ada penghubung yang menyambungkan dengan
shahibul haal, dan dia itu adakalanya berupa wawu saja atau berupa dlamir saja atau kedua-
keduanya.
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa
bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan masih jauh dari
sempurna, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat
untuk para pemakalah begitu pula bagi teman-teman agar mewujudkan makalah yang lebih
baik dan sempurna. Besar harapan kami semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008
[1] Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, (Bandung: Sinar
Baru Algennsido, 2009), hlm. 432
[2] Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algennsido,
1995), hlm. 147
[3] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algennsido,
2010), hlm. 263-264
[4] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm 264-265
[5] Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, (Jakarta: Sinar Grafik Offset,
2008), hlm. 88
[6] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Op. Cit, hlm. 266
[7] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
[8] Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
[9] Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
[10] Djawahir Djuha, Op. Cit, hlm. 148-150