Anda di halaman 1dari 14

IJAZ ITHNAB DAN MUSAWAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Ma’ani
Diampu oleh Dr. Asep Sopian, S.Pd., M.Ag.

Disusun oleh:

Agus Budiansyah 1807565


Mochamad Taufik Hidayat 1807819

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu bayan, ialah:

‫ مطابق لمقتضى الحال بطرق مختلفة في إيضاح الداللة عليه‬،‫علم يعرف به ايراد المعنى الواحد المدلول عليه بكالم‬

Artinya: “Yaitu ilmu untuk mengetahui tentang cara mendatangkan suatu pengertian yang
ditunjukkan atasnya dengan perkataan yang sesuai dengan muqtadholnya dan dengan sususan
yang berbeda-beda dalam menjelaskan dalalahnya.” (Ada yang cukup jelas, kurang jelas dan
lebih jelas).

Seperti cara mendatangkan arti Zaid dermawan:

‫زيد جوّاد‬

Kata ma’ani (‫ )معاني‬adalah bentuk jamak dari kata makna (‫)معنى‬. Secara leksikal kata
ma’ani berarti maksud atau arti. Para ilmu ahli ma’ani mendefinisikannya sebagai
pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga
sebagai gambaran dari pikiran. Sedangkan menurut istilah, ilmu ma’ani adalah ilmu yang
mempelajari hal ihwal lafaz atau kata bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi dan
kondisi.
Ilmu ma’ani pertama kali di kembangkan oleh Abdul Qahir Al-Jurzani. Objek kajian
ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang berbahasa Arab. Tentu ditemukannya ilmu ini
bertujuan untuk mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an, Al-Hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa. Disamping itu, objek kajian
ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan
dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara
keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat murad (berdiri sendiri)
sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor lain). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hasan Tamam, bahwa tugas ilmu nahwu hanya mengutak ngatik kalimah dalam
suatu jumlah tidak sampai melangkah pada jumlah yang lain.

BAB II
PEMBAHASAN
IJAZ, ITHNAB DAN MUSAWAH

A. IJAZ
Al-Ijaz merupakan salah satu gaya bahasa yang digunakan dengan meluas di dalam Al-
Qur’an. Ia adalah nama terbitan daripada kata kerja wajaza-yajizu-wajzan. Awjaza al-kalam
bermaksud memendekkan dan meringkaskan percakapan (Ibn. Manjur 1994). Menurut Abbas
(2000: 472) al-Ijaz ialah:

‫ أو استثمار أقل قدر من األلفاظ في أكبر قدر من المعنى‬،‫قصد اللّفظ مع وفاء المعنى‬
Terjemahannya: “Adalah penggunaan lafaz ringkas tanpa mencacatkan makna, atau
meminimumkan penggunaan lafaz tetapi menjana makna yang luas dan banyak”

Sarjana Balaghah telah membagikan al-ijaz kepada dua kategori yaitu al-ijaz bil al-qasr yang
merujuk pada pemendekan secara singkatan dan juga al-ijaz bil alhadzf yaitu pemendekan
secara pengguguran.

a. Ijaz Qasr
Kalam ijaz, ialah ucapan yang singkat akan tetapi tidak mengurangi kepada maksudnya.
Seperti:

‫ولكم في القصاص حياة يا أولي األلباب‬

Lah kamu, semoga Allah memeliharamu, akan mengetuk pintu (kehadirat Allah). Datangnya
itnab itu dengan penjelasan sesudah keliru, karena rindu atau supaya mantap dalam jiwa.

Al-Ijaz bi al-qasr merujuk kepada ayat atau ungkapan ringkas serta padat yang
mengandung makna yang mendalam tanpa melalui sebarang pengguguran kalimat atau lafaz.
Dalam merangkai keindahan makna dan ketinggian nilai estetika yang terkandung di balik
garapan gaya bahasa ini, dalam firman Allah SWT (18:7):

٧ ‫إنا ّ جعلنا ما على األرض زينة لها لنبلوهم أيّهم أحسن عمال‬

Maksudnya: “Sesungguhnya Kami telah jadikan apa yang ada di muka bumi sebagai
perhiasan baginya, karena Kami hendak menguji mereka, siapakah di antara yang lebih baik
amal Nya”.

Ayat ini merupakan satu medan untuk penghibur dan penenangkan hati Rasulullah SAW di
atas kekufuran dan keinginan golongan musyrikin. Ayat ini adalah sebagai penerangan
tentang sebab musabab larangan Allah SWT kepada Rasul Nya yang pada suatu ketika
mengharap kan kebinasaan pada diri sendiri di atas kekufuran orang-orang kafir.

Terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut tentang bentuk anugerah uraian dan
perincian kepada ayat tersebut yang dianggap mengandung gaya bahasa al-iajz al-qisr.
Sebagai contoh dalam firman Allah SWT dalam surah al-’Imran ayat 14:

‫زيّن للنّاس حبّ ال ّشهوت من النّ ساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة واألنعام والحرث ذلك‬
٤١ ‫متاع الحيوة الدنيا وهللا عنده حسن الماب‬

Dalam konteks ayat ke-7 surah al-Kahf yang menjadi teras perbincangan, ditemukan ma al-
maushulah pada potongan ayat ‘ma’ala al-’ard’ memberi makna yang sangat luas.

Manakala al-Baghawi (1989), al-Qurtubi (1940) dan al-Shawkani (1955, 3:338) didapati
mengaitkan makna penggunaan ma al-maushulah dengan sesuatu yang berakal. Mereka telah
menyatakan pendapat oleh Mujtahid bahwa perhiasan dunia yang dimaksudkan dalam ayat di
atas adalah terdiri daripada golongan ulamak dan orang-orang yang salih.

Kesimpulannya, penggunaan ism al-maushul pada ayat ini yang tidak digantikan dengan kata
nama tertentu yang lain mampu mendatang kan beberapa makna retorik seperti berikut:

1. al-Ta’mim di mana penggunaannya lebih tepat dan ablagh berbanding penyebutan kata
nama tertentu yang lain. Ini karena ia memberikan pemaknaan secara menyeluruh terhadap
penciptaan Allah SWT di muka bumi. (Nizar ‘Atallah Ahmad Salih t.th.)
2. al-Ijaz yang mampu meringkaskan penyebutan berbagai bentuk perhiasan yang terdapat di
dunia. Peranan retorik yang seakan sama dapat difahami daripada penggunaan ism al-
maushul pada ayat ke-6 surah al-Baqarah yang dapat meringkaskan penyebutan nama-
nama golongan penentang islam. (Ahmad Abdul Hamid Ali Khazanah 2013:33)
3. al-Tafkhim yang merupakan penghormatan dan menzahirkan kemuliaan diri Rasulullah
yang bersifat maksum. Penggunaan ma al-maushulah yang membawa cakupan makna
yang luas serta umum mengurangi rasa kecewa dan menyesal pada diri Baginda SAW di
atas kekufuran golongan musyrikin. Keingkaran mereka bukanlah disebabkan oleh diri
Rasulullah SAW bahkan diri mereka sendiri yang terlalu cinta akan perhiasan dunia.

b. Ijaz Hadzf
Al-Ijaz bil al-hadzf merupakan pengguguran perkataan atau ayat tertentu dengan syarat
dan ketentuan terdapatnya ungkapan tunjuk atau al-qorinah yang merujuk kepada lafaz yang
digugurkan (Al-Hashimi t.th.; Al-Jarim & Al-Amin 1999; ‘Abbas 2000). Daripada takrifan
ini al-ijaz bil al-hadzf dikalisifikasikan kepada dua iaitu hadzf elemen-elemen ayat dan hadzf
satu atau beberapa ayat. Hadzf elemen-elemen ayat merujuk kepada pengguguran huruf atau
perkataan seperti subjek, predikat, objek, pelaku dan sebagainya.
Figura al-ijaz terdapat pelbagai ayat menjadi antara figura al-ijaz dalam surah al-kahf,
khasnya dari kategori al-ijaz bil al-hadzf. Keadaan ini membuktikan betapa luasnya
perbincangan dan peranan al-ijaz dalam Al-Qur’an. Kupasan bentuk-bentuk gaya al-ijaz
adalah seperti uraian berikut:

1) al-Ijaz bil al-Hadzf


Dapatan awal dalam temuan di sebuah jurnal terdapat 9 kategori hadzf yang
membentuk gaya bahasa al-ijaz bil al-hadzf dalam surah al-Kahfi. Kategori-kategori
tersebut adalah hadzf huruf, subjek, pelaku, objek, kata adjektif, mausuf, mudhaf, al-
tamyiz, dan jumlah.
2) al-Ijaz bil hadzf huruf
Dalam surah ini, kajian mendapati 11 ayat berbeda yang mempunyai gaya bahasa al-
ijaz dengan cara hadzf huruf. Ia mentasdidkan hadzf huruf ya’ al-dhamir pada nun al-
wiqayah, huruf ta’ al-istifal pada lafaz istatha’a dan juga huruf jar. Sebagai contoh
ayat yang mempunyai hadzf huruf ta’ al-istifal ialah firman Allah SWT (18:97):

ْ
٩٧ ‫استطعوا له نقبا‬ ْ
‫استطعوا أن يظهروه وما‬ ‫فما‬
Maksudnya: “Maka mereka tidak dapat memanjat tembok itu, dan mereka juga tidak dapat
menembusnya.”

Penjelasan ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa Yakjuz dan Makjuz tidak akan mampu
untuk mendaki ketinggian tembok yang dibangun oleh Zulkarnain, tidak ada reaksi untuk
menembus dinding tersebut. Ini adalah karena tembok yang dibangun itu amat kokoh dan
kuat (Ibnu Katsir 1994, 3:142).

Ibnu ‘Ashur (2014, 15:136) dan Dr. Fadil Al-Samirra’i (2006:75 ) berpendapat bahwa dengan
terdapatnya penambahan dari segi huruf pada sesuatu kata kerja maka bertambah lah juga
dari segi makna. Melihat kepada padanan lafaz pula didapati Istha’u dipadankan dengan kata
yazharuhu (‫ )يظه››روه‬yang bermaksud mendaki. Manakala lafaz istatha’u pula dipadankan
dengan kata naqba (‫ )نقبا‬yang bermaksud menggali atau melubangi. Pemilihan kata Istha’u
atau istatha’u amat sangat sesuai dan tepat dengan padanan makna dari kata beriringan
tersebut.
3) Hadzf Pelaku
Contoh hadzf ini terdapat pada ayat ke-5 dari surah ke (18:15) adalah satu-satunya
contoh bagi hadzf pelaku dalam membentuk gaya bahasa al-ijaz pada surah ini.
Firman Allah SWT:

٥ ‫ما لهم به من علم وال ألبائهم كبرت كلمة تخرج من أفواههم إن يقولون إال كذبا‬

Maksudnya: (Sebenarnya) mereka tiada mempunyai sebekal pengetahuan mengenainya, dan


tiada juga bagi nenek moyang mereka; sungguh besar perkataan syirik yang muncul dari
mulut mereka; mereka hanya mengatakan perkara yang dusta.

Melalui ayat ini Allah SWT mencela golongan yang menyatakan bahwa Allah sudah
mengambil hak mereka. Dakwaan ini disanggah dengan menyatakannya sebagai pendusataan
yang tidak berasas. Bahkan ia tidak disandarkan kepada ilmu. Lafaz kaburat ini mengandung
makna yang merujuk kepada Al-Dhamm itulah celaan terhadap pendustaan yang dilakukan
oleh golongan musyrik.

Ada pula Sayyid Qutb (1968: 83) mengaitkan susunan lafaz dan jar adalah sebuah intonasi
dalam melukiskan kedahsyatan tuduhan yang bentangkan oleh orang musyrikin. Ia didahului
dengan kalimat yang mempunyai makhraj huruf yang besar berkali-kali itulah kaburat,
kalimat, afwahihim yang membentuk ayat dan intonasinya dalam memberikan sebuah
pemakanan tafzi’ dan celaan besar juga berat.

4) Hadzf Objek
Terdapat contoh hadzf objek dalam surat 18:2 ini. ayat-ayat tersebut dalam firman
Allah SWT:

ّ ‫قيما لّينذر بأسا شديدا من لدنه ويب ّشر المؤمنين الّذين يعملون الصلحت‬
٢ ‫أن لهم أجرا حسنا‬
Maksudnya: (Bahkan keadaannya) tetap benar lagi menjadi pengawas turunnya Al-Qur’an
untuk memberi hukuman (kepada orang-orang yang ingkar) dengan azab yang seberat-
beratnya dari sisi Allah, dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman yang
mengerjakan amal-amal salih, bahwa mereka akan memperoleh balasan yang baik.

Ditinjau dari struktur ayat didapati terdapat pengguguran objek pertama dalam ayat ini. Lafaz
tersebut adalah al-musyrikin atau al-kafirin yang sudah mengingkari penurunan Al-Qur’an
(Ibnu ‘Ashur 2014, 15: 12; Mahmud Safi 1995, 8: 138).

Selain itu al-Alusi dalam tafsirnya juga menyebutkan bahwa objek pelaku pertama tidak perlu
untuk disebutkan dalam ayat ini karena kepentingan yang ingin di perlihatkan secara jelas
adalah azab. Beliau juga menyatakan bahwa azab tersebut termasuk juga azab balasan di
dunia (al-Alusi t.th. 15:202).
5) Hadzf Kata Adjektif
Terdapat contoh ayat yang mengandung hadzf kata adjektif dalam surah al-kahf.
Dalam firman Allah SWT (18:99):

٧٩ ‫أما السّفينة فكانت لمساكين يعملون في البحر فأردت أن أعيبها وكان وراءهم ملك يأخذ ك ّل سفينة غصبا‬

Maksudnya: “Adapun perahu itu adalah yang dipakai orang-orang miskin yang bekerja di
laut; oleh karena itu, Aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, karena di
belakang mereka ada seorang raja yang sudah merampas tiap-tiap perahu yang tidak cacat”.

Ayat ini terdapat kisah Nabi a.s bersama Nabi Khidir a.s yang menerangkan tentang
penjelasan Nabi Khidir a.s tindakan yang membocorkan perahu yang dimiliki para nelayan
miskin (Ibnu Katsir 1994, 3:134). Perbuatan itu dilakukan Nabi Khidir supaya tidak terjadi
perampasan perahu terhadap para nelayan miskin oleh raja yang zalim.

Keistimewaan penggunaan ijaz bil al-hadzf melalui pengguguran kata adjektif dalam ayat ini
adalah bertujuan menzahirkan sifat buruk yang dimiliki oleh raja. Oleh karena itu ia mampu
menggambarkan sifat ketamakkan dan kerakusan yang dimiliki oleh raja sehingga
mempunyai keinginan merampas semua perahu itu dengan cara merusaknya ataupun
sebaliknya (al-Mut’aniy 1992). Ia sekaligus menguatkan lagi akan makna kezaliman yang ada
pada diri raja tersebut.

B. Ithnab
Sebaliknya dari ijaz, itnab ialah:

‫تادية المعنى بلفظ ازيد منه لفائدة‬

Mendatangkan makna dengan ucapan yang lebih banyak dari maknanya, sebab ada manfaat
didalamnya (bukan melantur)
Seperti contoh pada Firman Allah SWT surah Maryam 19:4

٤ ‫ربّ إنى وهن العظم منّى واشتعل الرّأس شيبا‬


Contohnya:

‫الزم رعاك هللا قرع الباب‬

Seperti do’a:

‫اللهم متعنا بالنظر إلى وجهك الكريم بفضلك وكرمك مع احبابنا في جنة النعيم‬

Ya, Allah! Beri nikmatlah kami dengan melihat ke wajah-Mu yang Mahamulia dengan
kemurahan-Mu dan kebaikan-Mu serta kekasih kami disurga Na’im.

1. Guna itnab, unruk:


a) Menjelaskan yang samar, seperti:

‫ وجوه يومئذخاشعة‬- ‫هل اتاك حديث الغاشية‬

Diikutinya, seperti:

ّ
‫ان الباطل كان زهوقا‬

Maksudnya untuk menguatkan atau stressing.

Al-Ithnab pula berasal daripada ‘al-tanba’ yang mempunyai maksud tali yang biasanya
digunakan untuk mendirikan dan mengingat khemah. Manakala athnaba fil al-kalam
balaghah fihi wa tawwala dhuyulihi (‫ )أطنب في الكالم ب››الغ في››ه وط››وّل ذيوله‬membawa makna
bercakap dengan begitu panjang lebar atau bercakap banyak dengan menjadikan maknanya
lebih mendalam dan terperinci (Ibnu Manzur 1994: 562)
Menurut (Ibrahim Mustafa et.al 1972: 567) al-Mu’jam al-Wasit perkataan kata kerja
atnaba apabila disandarkan pada al-nhr yaitu sungai menjadi maksud sungai yang panjang
aliran airnya. Apabila disandarkan pada al-rih yaitu angin pula bermaksud memberi maksud
kuat akan tiupannya hingga dipenuhi debu berterbangan.
Fadl Hasan Abbas (1992:481) pula menyebutkan makna al-ithnab dalam penegertian
balaghah Arab adalah menerangkan sesuatu perkara dengan cara menyebutkannya secara
berlebihan berulang-ulang. Beliau mengatakan dalam bukunya dengan membandingkan
dalam penggunaan Ijaz (ringkas):

‫ المبالغة في الشيء " يقال أطناب في المكان إذا أطال اإلقامة فيه" وإذا كان اإليجاز استثمار األلفاظ القليلة في‬:‫اإلطناب‬
."‫معان كثير" فإن اإلطناب زيادة اللفظ على المعنى‬

Maksudnya: “al-Itnab adalah berlebihan dalam menyatakan sesuatu, bila menyebut al-itnab
pada suatu tempat berarti tinggal lebih lama di tempat itu, manakala al-iajaz pula berarti
penggunaan lafaz yang sedikit tetapi mempunyai makna yang banyak cakupannya. Oleh
karena itu al-itnab merupakan lafaz tambahan pada suatu makna”.

Dari segi istilah al-ithnab adalah menyatakan sesuatu maksud dengan lafaz atau
pernyataan yang berlebihan dengan makna yang berfaedah (‘Abbas 2000: 498) seperti
menguatkan serta mengukuhkan maksud tersebut (Al-Hashimi t.th.).

Salah satu contohnya seperti pada firman Allah SWT surah Thaha 20:120:

١٢٠ ‫فوسوس إليه الشيطان قال ياآدم هل أدلّك على شجرة الخلد وملك ال يبلى‬

Maksudnya: “Setelah itu, Syaitan membisikan (hasutan) kepadanya dengan berkata: “Wahai
Adam! maukah aku tunjukkan kepadamu pohon yang menyebabkan hidup selama-lamanya,
dan kekuasaan yang tidak akan hilang lenyap?”

Adapun contoh lain lanjutan penjelasan itnab pada firman Allah SWT dalam surah al-Anbiya
21: 34-35:

‫ ك ّل نفس ذائقة الموت ونبلوكم بال ّش ّر والخير فتنة وإلينا ترجعون‬٣٤ ‫ت فهم الخالدون‬
ّ ‫وما جعلنا لبشر ّمن قبلك الخلد أفإن ّم‬
٣٥

Maksudnya: “Kami tidak menjadikan seseorang manusia sebelummu dapat hidup kekal (di
dunia), maka kalau engkau meninggal dunia (wahai Muhamad), adalah mereka akan hidup
selama-lamanya?. Tiap-tiap diri akan mengalami mati, dan Kami uji kamu dengan kesusahan
dan kesenangan sebagai cubaan, dan kepada Kamilah kamu semua akan di kembalikan”.

1. Dzikrul khas ba’dal ‘am

Firman Allah SWT surat al-Baqarah, 2:238:

٢٣٨ ‫حافظوا على الصلوات والصلوات الوسطى وقوموا هلل قانتين‬

Maksudnya: “Peliharalah kamu (kerjakanlah dengan tetap dan sempurna pada waktunya)
segala semabahyang fardu, khasnya sembahyang Wusta (sembahyang Asar), dan berdirilah
karena Allah (dalam sembahyang kamu) dengan taat dan khusyuk”

al-Itnab yang berlaku dalam ayat ini adalah berupa sebutan kata khas yaitu al-Salat al-wusta
selepas didatangkan kata am yaitu al-Salawat. Latar belakang ayat atau sebab nuzul,
diriwayatkan oleh Ahmad, al-Buqhari, Abu Dawud, Baihaqi dan Ibn Jarir yang bersumber
daripada Zaid bin Thabit, bahwa Nabi Muhammad SAW menunaikan solat dzuhur pada hari
yang sangat panas. Solat pada waktu itu menjadi hal yang sangat berat bagi para Sahabatnya,
maka turunlah ayat ini yang menyuruh melaksanakannya walaupun amat berat bagi mereka.
Adapun riwayat lain oleh Ahmad, al-Nasa’i dan ibn Jarir dan Zaid bin Thabit, bahw Nabi
Muhammad SAW menunaikan salat dzuhur pada hari yang sangat panas. Di belakang
Baginda terdapat satu atau dua saf sahaja yang mengikutinya. Kebanyakan mereka pada
waktu itu sedang tidur siang atau berdagang, maka turunlah ayat ini (al-Suyuti t.th.:39)

Al-Zuhayli (1991, 2:392), (al-Sabuni t.th.), menjelaskan makna ‫ ح››افظوا على الص››لوات‬adalah
‫ داوموا‬yaitu senantiasa menjaga salat fardhu lima waktu dengan tekun, menunaikan dalam
waktunya dan menyempurnakan rukun dan syaratnya dengan khusu’ tanpa mengabaikan,
tidak gopoh dan tangguhkannya. ‫ الصلوات الوسطى‬dari ‫( الوسطى‬adil, pertengahan) adapun ‫الوسطى‬
adalah ‫ الفضلى‬adalah pertengahan dalam bilanagan karena ia ada dipertengahan antara dua
salat sebelum dan selepasnya.

Menurut al-Darwisy (1992) ‫ حافظوا على الص››لوات‬merupakan ayat musta’nif (permulaan ayat)
bagi penjelasan hukum hakam salat. Hafidzu juga merupakan sighah (pola kata) mufashalah
yang memberi makna mubalaghah (Menjaga dengan sungguh-sungguh). Ada yang berkata,
suruhan tersebut juga ada kaitan dengan penjelasan hal permasalahan pasangan suami isteri
pada ayat sebelumnya. Hal ni disebabkan salat adalah satu cara terbaik melupakan
kegelisahan dunia. Rasulullah SAW sendiri apabila ditimpa kegelisahan, Baginda segera
menunaikan salat. Oleh karena itu, salat merupakan sebaik-baiknya cara mendidik manusia
(al-Alusi 2008; alSabuni t.th.)

2. Dzikrul ‘am ba’dal khas

Firman Allah SWT surah al-An’am 6:162

ّ ‫قل‬
١٦٢ ‫إن صالتي ونسكي ومحياي ومماتي هلل ربّ العالمين‬

Maksudnya: “Katakanlah: “Sesungguhnya semabahyangku dan ibadatku, hidupku dan


matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan Yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam”

ّ ‫ ق››ل‬sebagai
Menurut Ibnu Katsir (1988), ayat ‫إن ص››التي ونس››كي ومحي››اي ومم››اتي هلل ربّ الع››المين‬
ungkapan yang di perintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk
diceritakan kepada kaum musyrikin. mereka beribadat kepada selain Allah dan menyembelih
karena selain nama Allah. Tujuannya adalah bagi yang menyatakan ajaran Baginda
bertentangan dengan cara mereka, salat dan ibadat, hidup dan mati hanya karena Allah,
Tuhan bagi sekalian alam dan tiada yang mempersekutukanNya.

Salat ialah suatu ibadat khusus dan nusuk juga ibadat lain secara umum seperti kurban dan
sebagainya. Ayat ini disebut istisnaf (permulaan) untuk taukid (penegasan) terhadap
mendirikan syari’at yang utama dan cabang (al-Darwish 1992, 3:289; al-Ibrahim 2012: 150)

3. Al-Idhah ba’dal Ibham

Firman Allah SWT surah al-Imran 3:97;


‫ كان ءامنا وهلل على الناس ح ّج البيت من استطاع إليه سبيال ومن كفر فإن هللا غن ّي‬،‫فيه ءايت بينت مقام إبراهيم ومن دخله‬
٩٧ ‫عن العلمين‬

Maksudnya: “Di situ ada tanda-tanda keterangan yang nyata (yang menunjukkan
kemuliaannya; di antaranya ialah) Makam Nabi Ibrahim as. dan siapa yang masuk ke
dalamnya aman tentramlah dia. dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan ibadat haji
dengan mengunjungi Baitullah yaitu siapa yang mampu sampai kepadanya. dan siapa yang
kufur (lingkaran kewajipan ibadat haji itu), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
berhajatkan sesuatu pun) dari sekalian mahluk”

Ayat tersebut menceritakan kedudukan kaabah dan kefarduan ibadat haji. Menurut al-Suyuti
(t.th.), al-Alusi (t.th.) dalam satu riwayat oleh Sacid Ibnu Mansur yang bersumber kan dari
pada Ikrimah, ketika turunnya ayat (Al-Imran:85) “‫ ”ومن يبت››غ غ››ير اإلس››الم دينا‬kaum Yahudi
berkata: “sebenarnya kami ini golongan Muslimin”. Rasulullah saw pun bersabda kepada
mereka:”Allah telah mewajibkan ke atas kaum Muslimin naik ke Baitullah”. Kaum Yahudi
berkata: “tidak diwajibkan kepada kami”. Dengan kata lain, mereka menolak kefarduan
ibadat haji. Maka turunlah ayat tersebut yang menegaskan kewajipan seorang muslim dan
orang yang menolak ibadat haji ialah menjadi kafir. Al-Zamkhsari (1978, 1:391) menyebut
bahwa daripada Sacid Ibnu Musayyab, ayat ini diturunkan kepada kaum Yahudi setelah
mereka berkata; “Haji di Mekah tidak wajib”.

Perkataan ‫ كفر‬menurut Ibnu Manzur (1993, 12:118)

‫ كفر النعمة وهو نقيض الشكر وجحود النعمة‬.‫نقيض اإليمان آمنا باهلل وكفرنا بالطاغوت كفروا أى عصوا وامتنعوا‬

Maksudnya: “Lawan perkataan iman, kami beriman, kami kepada Allah dan kami kufur
kepada taghut, mereka menjadi kafir artinya mereka durhaka dan enggan. Adapun kufur
nikmat adalah lawan kepada syukur disebut juga Juhud al-Ni’mah”.

Perkataan ‫ كفر‬menurut Muhammad Abd al-Halim dalam Mu’jam al-Wasit (t.th.):

.‫ لم يؤمن بالوحدانية أو النب ّوة أو الشريعة أو بثالثتها وهو كفر باهلل أو بنعمة هللا‬:‫كفر‬

Maksudnya: “Tidak beriman dengan keesaan Allah, kenabian, syariah atau ketiga-tiganya.
Dia kufur dengan Allah atau kufur nikmat”.

Menurut al-Zuhayli (1991) ungkapan ini berarti siapa yang kufur dengan Allah SWT atau
dengan kefarduan ibadat haji yang difardukan olehnya. Ungkapan tersebut berada dalam
jumlah syartiyyah yang diiringi selepas itu jawabannya yaitu dengan gaya penegasan ‫إن‬
(sebagai ayat khabari jenis talabi satu taukid): “maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
berhajatkan sesuatu pun) dari sekalian mahluk”, yaitu daripada manusia, jin, malaikat dan
sekalian hamba-hamba-Nya.

4. Tikrar, ialah mengulang-ngulang kalimat seperti:


‫كالّ سوف تعلمون ثم كالّ سوف تعلمون‬

Maksudnya untuk menguatkan (taukid) menakut-nakuti

5. I’tiradh, ialah berpaling dari suatu kalimat jumlah ke kalimat jumlah yang ada
hubungannya, seperti:

‫هللا فعّال لما يريد واعلم رعاك هللا انّه ال يضيع من قصده‬

Diselang oleh kalimat:

‫واعلم رعاك هللا‬

6. Tadzyil, ialah mengikutkan kalimat jumlah kepada kepada jumlah kalimat lainnya padahal
kalimat yang pengikutinya itu mencakupi kepada makna yang terkandung dalam kalimat
pencegahan.

Perbedaan antara ighol dan tadyil ialah:


a) kalau ighol tidak berarti taukid dan tidak akhir kalam
b) kalau tadyil berarti taukid dan tidak harus di akhir kalam

Tadyil terbagi atas dua macam, ialah:


1. Yang berlaku seperti misal, bila kalimat jumlah yang kedua menyendiri dengan mencapai
tujuan dan tidak bersandar kalimat jumlah yang sebelumnya, seperti ayat

ّ ‫قل جآء الح‬


‫ق اآلية‬

2. Yang tidak berlaku seperti misal, ialah jumlah yang kedua bersandar kepada kalimat
jumlah yang pertama dalam memberikan pengertiannya, seperti:

‫ذلك جزيناهم بما كفروا وهل نجازى االّلكفور‬

Yang demikian itu adalah pembalasan Kami kepada mereka, sebab mereka kufur dan tidak
membalas kami (dengan pembalasan semacam itu) kecuali kepada orang yang sangat kufur.

7. Takmil, ialah menyempurnakan pengertian dan disebut ihtiros, ialah menjaga dari salah
paham, (terjadi kekeliruan), seperti:

‫اذلة على المؤمنين اعزة على الكفرين‬

Mereka itu merendahkan diri kepada orang-orang yang mukmin dan bersikap keras kepada
orang-orang kafir.
Dijaga adanya sangkaan kuat bahwa dengan adanya mereka itu merendahkan diri sebab
mereka lemah, lalu diikuti dengan:

‫اعزة على الكفرين‬

Yang mengandung arti bahwa mereka berbuat demikian bukan sebab lemah, akan tetapi
sebab tawadhu, kepada orang mukmin dan keras terhadap orang-orang kafir.

8. Tatmim, menyempurnakan kalam agar tidak menimbulkan salah satu tujuan, seperti:

‫ويطعمون الطعام على حبّه مسكينا‬

Mereka itu memberi makanan kepada orang-orang miskin padahal mereka pun
menyayanginya/membutuhkan. Maksudnya: bukan memberikan sisa.

C. Musawah
Kalam musawah, ialah ucapan yang seukuran dengan tujuannya tidak adanya unsur
melebih-lebihkan lafaz atau suatu makna seperti:

‫ واليحيق المكر السيء اال باهله‬- ‫سر بذكره‬


Definisi musawah dari kitab ilmu al-ma’ani (‫ منيب محمد مراد‬:‫ )إعداد‬setiap katanya harus sama
dengan setiap maknanya, sehingga tidak adanya faktor menambah atau mengurangi (tidak
adanya unsur melebih-lebihkan) Ibnu Qudamah telah berkata, ini adalah bentuk ucapan yang
singkat dan tidak dilebih-lebihkan. Musawah ini adalah kesetaraan-kesetaraan yang dianggap
sebagai ilmu tentang makna yang dikhususkan, dan juga merupakan salah satu penyatuan
pengucapan dengan kesetaraan makna. Selaras dengan perkataan Abu Hilal al-Askari.
Dengan kata lain, yang dimaksud musawah adalah bahwa ungkapan tersebut sama dengan
makna yang diinginkannya, tidak menghilang kan makna darinya dengan menghapus lafaz
ataupun sebaliknya, dan tidak berlebihan pada saat mengungkapkannya dengan pengulangan-
pengulangan yang tidak diperlukan.

Kata Qazwini. Al-Kala’i mendefinisikan jenis kalam ini dalam definisi yang luar biasa, jadi
beliau berkata bahwa pemaknaan ini adalah Sebuah pakaian yang dijahit untuk menyatakan
makananya pada tubuh. Begitupun dengan pendapat Al-Tibi dengan menyebutnya bahwa
terjadi kependekan lafaz secara singkat: yaitu dengan membatasi kata pada maknanya.

Persamaan antar negara terdapat beberapa bidang, yaitu:


1. Bidang ilmu pengetahuan yang dibebaskan
2. Resolusi dan keputusan
3. Teks pasal hukum dan legislatif
4. Teks perjanjian
5. Pernyataan keputusan agama, dan tuntutan khusus syariah
6. Pernyataan hak dan kewajiban, dan lain-lain.
Jika dikatakan: Lalu apa bedanya antara singkatan dengan kesamaan? Ibnu Abi Al-Asba
menyatakan: Kesetaraan hanya dalam arti tunggal, yang dikespresikan dalam ungkapan yang
sama yang tidak mellebih-lebihkan atau memperpendeknya. Dan singkatnya pada penyebutan
cerita dan berita yang mengandung bermacam arti, dan secara ringkas, persamaan adalah
dalam arti kalimat dari mana ayat dan pasal disusun, dan singkatnya dalam ayat dan pasal.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pentingnya menguasai Ilmu Balaghah al-Qur’an untuk memahami isi kandungannya
secara lebih mendalam khususnya terhadap gaya bahasa al-itnab. Oleh karena itu ia amat
perlu dipelajari oleh setiap pelajar muslim khususnya pelajaran jurusan agama dan bahasa
arab tentunya. Justru, ilmu balaghah ini patut diberi tumpuan dalam pengajian tafsir dalam
kalangan masyarakat.
A. Ijaz adalah pengungkapan makna yang dalam kata-kata yang sedikit namun jelas dan
fasih.
Adapun ijaz ini menurut ahli balaghah terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ijaz qashr
b. Ijaz hadzf
B. Ithnab merupakan sebuah ungkapan maksud dengan pernyataan yang melebihi lafadznya
yang di dalamnya berisi makna yang bermanfaat intinya bermakna luas (dari kelebihan
tersebut).
C. Musawah adalah penggunaan kalimat yang maknanya sesuai dengan banyaknya kata-
kata, serta kata-kata ungkapan tersebut juga sesuai dengan luas cakupan makna yang
diinginkan, tidak adanya penambahan ataupun pengurangan baik dari segi makna maupun
lafaznya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarim, Ali dan Musthafa Usman.2006 . Terjemahan Al-Balaaghatul Waadhihah.


Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Akhdlori, Imam. Terjemahan Jauharul Maknun: Ilmu Balaghah. Surabaya: al-Hidayah. t.th

‘Akkariy, In’am Fawwal.1971. Al-Mu’jam al-mufashal fi Ulum al-Balaghah. Beirut: Dar al-
Kutub al-Alamiyah

Al-Hashimi, Ahmad. t,th. Jawahir Al-Balaghah. Beirut: Dar al Ihya’ al-Turath al-Arabi.
Kamal Embong, Ahmad dan Nor Abdullah, MD.2019. Figura Retorika al-Ijaz dan al-Ithnab:
Analisis Surah al-Kahf. http://www.bitarajajournal.com

Wahid Salleh, Abdul dan Thoarlim, Abdulsoma.2017. Kepentingan Balaghah Al-Ithnab


Dalam Al-Qur’an. Jurnal Masyarakat dan Kontemporer

Munif, Muhammad Murad. Ilmu Ma’ani. : Penjelasan Bagian Halaman Bahasa Arab Untuk
Para Siswa dan Para Guru

Anda mungkin juga menyukai