Oleh:
Proses komunikasi selalu hadir dalam setiap elemen kehidupan, termasuk dalam lapisan
masyarakat dan lapisan keluarga. Ketika terdapat hubungan manusia dengan manusia lainnya
pasti akan terjadi interaksi sosial, sering terlihat mengarah pada MisKomunikasi.
Miskomunikasi bukan lagi sebuah fenomena yang baru lagi, khususnya di salah satu
kampung di Kota Bandung Barat. Komunikasi merupakan kunci rotasi semua kehidupan
sosial. Karena memang suatu masyarakat sosial terdiri dari individu-individu, setiap
individunya adalah manusia, dan manusia adalah makhluk sosial yang bersifat kapitalis,
misalnya Ibu dengan Anaknya dan Masyarakat dengan Lingkungannya. Disinilah letak
keunikan data deskripsi ini. Komunikasi keluarga dan Masyarakat harus mampu menjadi
pondasi utama untuk meningkatkan jiwa simpatisme dan mencegah terjadinya perilaku
MisKomunikasi bagi kemajuan pendidikan Anak. Penulis melihat fenomena ini merupakan
masalah yang unik dan menarik untuk ditelusuri. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis
tertarik untuk mengangkat “Komunikasi Keluarga dan Masyarakat Dalam Pencegahan
Miskomunikasi Bagi Kemajuan Pendidikan Anak”. Hasil dari informasi deskripsi ini
menunjukkan bahwa komunikasi keluarga dan masyarakat dalam pencegahan Miskomunikasi
bagi kemajuan pendidikan Anak meliputi: [1] Untuk mencegah MisKomunikasi harus
diupayakan proses komunikasi keluarga dan lingkungan masyarakat yang produktif (efisien)
yaitu: respek, simpati, audible; [2] Adapun faktor terjadinya MisKomunikasi adalah tidak
diterapkannya komunikasi pendidikan dalam keluarga dan lingkungan masyarakat dengan
baik.
PENDAHULUAN
Dalam konteks keluarga, setiap individu melakukan interaksi satu sama lainnya,
seringkali terlihat perilaku MisKomunikasi. MisKomunikasi bukanlah fenomena yang asing
lagi, khususnya dalam sebuah keluarga dan masyarakat. Masyarakat tersebut kerap kali
menyepelekan MisKomunikasi dengan Anak dan Lingkungannya karena dianggap itu hal
biasa-biasa saja, apalagi kalau perilaku MisKomunikasi ini sudah terjadi sejak dini pada anak
yang dianggap pendewasaan bagi mereka oleh keluarga dan masyarakat. Ada juga sikap
orang tua dan masyarakat disana yang terlihat menganggap sepele ketika ketika Anak
dibawah umur bermain terlalu larut malam dianggapnya sebagai bentuk pendewasaan diri,
acuh pada lingkungan sekitar dianggapnya sebagai kewaspadaan dan keamanan lingkungan
yang harmonis.
Terjadi kerumunan anak dibawah umur yang kurang bermakna di luaran rumah pada
pukul 22:00 WIB itu dianggap wajar jika dipakai untuk kajian Agama Islam, belajar Al-
Qur’an, DLL. Tetapi orang tua dan masyarakat juga perlu melakukan pemantauan dan
waspada jika setiap kerumunan tidak mengandung hal positif di dalamnya perilaku tersebut
lambat laun akan menjurus pada perilaku Dis-Interaksi Sosial bagi kemajuan pendidikan
Anak.
Usia anak-anak adalah usia yang sangat baik untuk menanamkan nilai-nilai moral
dan budaya baik pada dirinya untuk lingkungannya. Dalam sosiologi anak-anak akan
mengalami masa preparatory stage (tahap persiapan, usia 1-5 tahun) dan play stage (tahap
meniru, usia 6-12 tahun) yang akan memungkinkan anak-anak untuk rekognisi hal-hal yang
akan membentuk kebiasaan baik mereka. Selanjutnya game stage (tahap mulai menyadari
tindakan, usia 13-17 tahun) dan generalized stage (Tahap penerimaan norma kolektif, usia 17
tahun ke atas) akan membuat anak-anak memahami arti penting berinteraksi dengan makhluk
sosial lainnya dan mampu menjadi agen sosialisasi yang baik terhadap generasi yang baru
dalam suatu masyarakat.
Rumusan Masalah
1. Masalah dalam data deskripsi ini cara mencegah MisKomunikasi keluarga dan masyarakat
pada kemajuan pendidikan Anak.
2. Masalah yang akan diambil data deskripsinya adalah faktor terjadinya MisKomunikasi
keluarga dan masyarakat pada kemajuan pendidikan Anak
PEMBAHASAN
1. Respek
2. Empati
3. Audibel
4. Jelas
5. Tepat
6. Rendah Hati
Faktor eksternal:
- Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau
perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan
yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan
pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab
terjadinya kenakalan remaja
- Teman sebaya yang kurang baik.
- Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.
Kenakalan Remaja
Kartono, Ilmuwan Sosiologi kenakalan remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk
perilaku yang Anak-anak remaja yang ikut-ikutan mengambil bagian dalam aksi aksi
perkelahian beramai-ramai antar geng dan antar sekolah, yang acap kali secara tidak sadar
melakukan tindak kriminal. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka
yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanak-kanak,
namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa
transisi.
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesis
dapat dirumuskan sebagai berikut: “Diduga bahwa komunikasi keluarga dan masyarakat
sangat berperan dalam mencegah MisKomunikasi dan Kenakalan Remaja Bagi Kemajuan
Pendidikan Anak”.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan khusus berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh daur analisis data
adalah:
1) Intensitas Komunikasi masih sering dilakukan antara orangtua, anak, kakak/adik dan
keluarga yang tinggal serumah.
2) Perhatian dari keluarga masih dirasakan oleh para remaja dalam bentuk kepedulian orang
tua sekaligus pengawasan.
3) Untuk kebutuhan sebagai remaja terutama di bidang jasmani dan pendidikan masih
terpenuhi.
4) Tingkat keharmonisan dalam keluarga masih terasa, walaupun harus diakui tetap ada
konflik internal namun masih teratasi dengan komunikasi.
5) Demikian pula dengan kenakalan remaja yang dilakukan para remaja adalah kebut-kebutan
di jalan dengan motor.
6) Tetap mengikuti kegiatan religi, terutama dalam beribadah.
Saran
- Disarankan kepada remaja, agar tidak mudah terjebak dan terpengaruh terhadap pergaulan
remaja zaman sekarang, dengan cara membekali diri dengan agama yang kuat dan wawasan
yang luas, disertai dengan berbagai kegiatan yang berguna bagi diri sendiri dan bagi orang
lain.
- Disarankan kepada orangtua supaya lebih memperhatikan jiwa moral Anak didiknya dan
lebih mementingkan cita mulianya seperti: pendidikan formal, maupun informalnya, (Agamis
dan Non Agamisnya).
DAFTAR PUSTAKA
Bimo Walgito, 1998, “Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency)”, Andi Offset, Yogyakarta.
Topo Santoso, 1999, “Krisis dan Kriminalitas Pasca Reformasi”, Pustaka Sinar Harapan
Jakarta.
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam Rakhmat 2000, “Komunikasi Yang Efektif”.