Dosen Pembimbing:
Nur Halim, S.Pd., M.Pd.I
Oleh:
Luluk Atim Masruroh
M.afif Ainul yaqin
Supi’ah
Moh. Syaifuddin
A. LATAR BELAKANG
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali,
memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis
tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan
baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya
sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan syarat
mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam secara luas
dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan
dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu
nahwu dikenal istilah Haal. Kami pemakalahakan mencoba menjelaskan sedikit tentang
ilmu nahwu dalam bab Haal.
B. RUMUSAN MASALAH
A) Bagaimana Pengertian Haal?
B) Apa sajakah Syarat-syarat Haal?
C) Apa sajakah Macam-macam Haal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haal
1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz
َوحْ َد ْه
ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh:
ُ اَ َم ْن (aku beriman kepada Allah). Kalimah َوحْ َد ْهadalah isim ma’rifah
ت بِاهلل
ُ اَ َم ْن
secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: ت
]4[.ًبِاهلل ُم ْنفَ ِردا
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
*تَ ْن ِك ْي َرهُ َم ْعنًى َك َوحْ دَكَ اجْ تَ ِه ْد َو ْال َحا ُل ِإ ْن ُع ِّرفَ لَ ْفظا ً فَا ْعتَقِ ْد
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara
makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari
َ َجا َء َز ْي ٌد ال َرا ِكي
isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:ْب
2. Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni
sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu
tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang
dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal)
ِ ْش فِ ْي اَألر
dengan berlandasan firman Allah Swt.: ض َم َرحًا ِ ( َواَل تَ ْمdan janganlah
kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]
3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya
(mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang
memperbolehkanya yaitu:
a. Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh: (فِ ْيهَا قَاِئ ًما َر ُج ٌلdidalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri).
lafadz قَاِئ ًماberkedudukan sebagai haal dari lafadz ر ُج ٌل.
َ
b. Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat
didalam firman Allah Swt. Berikut: ( فِ ْي اَرْ بَ َع ِة اَيَ ٍام َس َوا ًءdalam empat hari yang
genap.(Fushsilat: 10). Lafadz َس َوا ًءberkedudkan sebagai haal dari lafadz اَرْ بَ َع ِة.
c. Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
َ( َو َما اَ ْهلَ ْكنَا ِم ْن قَرْ يَ ٍة ِااَّل َ لَهَا ُم ْن ِذرُوْ نdan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara:
208). Lafadz َلَهَا ُم ْن ِذرُوْ نadalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari
lafadz قَرْ يَ ٍة, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap
sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan
jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
ً ْس ُم ْستَ ِحقّا
َ يَ ْغلِبُ ل ِك ْن لَي * َو َكوْ نُهُ ُم ْنتَقِالً ُم ْشتَقَّا
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah,
tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas,
bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:ً = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْباzaid telah datang
secara berkendaraan. Lafadz ً َرا ِكيْباadalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini
dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat
muystaq dalam tiga keadaan:
a. Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: ( َك َّر َعلِ ٌي َأ َسدًاAli
menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanya ُش َجاعَا َكا اَأل َس ِد:
َ ك ْالفَ َر
b. Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: د£ٍ َس يَدًا بِي َ ُ( بِ ْعتaku
َ ُِمتَقَاب
telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: ض ْي ِن
c. Menunjukkan makna tartib, seperti: ( َدخَ َل القَوْ ُم َر ُجاًل َر ُجاًلkaum itu telah
masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: ]9[. ُمتَ َرتِّبَ ْي ِن
7.7. Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
8. Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89 Syekh Syamsuddin Muhammad
Araa’in
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
C. Macam-macam Haal
Pada asalnya Haal itu adalalah isim nakirah yang berbentuk musytaq. Sedang sedikit
ُ أ َم ْن (Aku beriman kepada Allah saja), dan
sekali berupama’rifah, contoh: ُت بِاهللاِ َوحْ َده
Haal itu berupa isim jamid:
1. Jika menunjukkan arti perserupaan, contoh: ( َك َّر َعلِ ُّي َأ َسدًاAli menyerang bagaikan
singa)
2. Menunjukkan arti mufa’alah (saling), contoh: (بِ ْعتُهُ يَدًا بِيَ ٍدAku menjual padanya
dengan kontan)
3. Menunjukkan tartib (urutan), contoh: (اُ ْد ُخلُوا َر ُجاًل َر ُجاًلmasuklah kamu seorang-
seorang)
ْ ْت ال َّشيَئ ِر
4. Menunjukkan harga, contoh: طاًل بِ ِدرْ ه ٍَم ُ بِع (Aku menjual sesuatu itu per
kati satu dirham)
5. Disifati, contoh: ( إنَّا اَ ْن َز ْلنَاهُ قُرْ انًاع ََربِيًّاsesungguhnya Kami telah menurunkan al-
Qur’an yang berbahasa Arab)
Dan terkadang Haal itu berupa jumlah. Oleh karenanya harus mengandung pengikat
(rabith: kata-kata yang menunjukkan adanya hubungan antara hal dan shahibul hal).
Dan rabith itu ada yang berupa:
ِ ( قَالُوْ الَِئ ْن اَ َكلَهَالذِّْئبُ َونَحْ نُ عُصْ بَةٌ ِإنَّا اِ ًذالَخMereka berkata: Jika
1. Wawu saja, contoh: ََاسرُوْ ن
sekiranya dia dimakan serigala padahal kami bersaudara tentulah kami akan merugi)
ُ اِ ْهبِطُوابَ ْع (Turunlah kamu dengan keadaan
ٍ ض ُك ْم لِبَع
2. Dhamir saja, contoh: ْض َعد ُُّو
kamu saling bermusuhan)
ٌ ُ( َوهُ ْم اُلMereka telah keluar dari
ِ َ َخ َرجُوْ ا ِم ْن ِدي وف
3. Wawu dan Dhamir, contoh:ار ِه ْم
rumah-rumah mereka dalam keadaan beribu-ribu (berbondong-bondong)).
Haal juga bisa berupa zharaf atau jar majrur, contoh:
ت ُش َعا َعهُ فِى ْال َما ِء
ُ ْصر ِ ْت ْال ِهاَل َل بَ ْينَ ال َّس َحا
َ ب َوأ ْب ُ َرأي
Telah kulihat bulan sabit itu ada di antara awan-awan dan kulihat cahayanya dalam air
Dan haal itu bisa berbilang (ada beberapa), contoh:
َر َج َع ُمو َسى اِلَى قَوْ ِم ِه غَضْ بَانَ اَ ِسفًا
Musa telah kembali ke kaumnya dengan dongkol (marah) dan kecewa [10].
E. Amil Haal
Amil haal adalah kata-kata yang mendahului haal yang berupa fi’il atau yang
mengandung arti fi’il, contoh:
ٌَوهَ َذا بَ ْعلِى َش ْي ًخا ِا َّن هَ َذا لَ َش ْي ٌء َع ِجيْب
Dan ini suamiku keadaannya telah tua renta. Sungguh ini sesuatu yang aneh[12].
PENUTUP
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa
bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan masih jauh dari
sempurna, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan
bermanfaat untuk para pemakalah begitu pula bagi teman-teman agar mewujudkan
makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar harapan kami semoga makalah yang singkat
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar
Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido,
2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008