Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

NAHWU SHARAF BAB HALL

Dosen Pembimbing:
Nur Halim, S.Pd., M.Pd.I

Oleh:
Luluk Atim Masruroh
M.afif Ainul yaqin
Supi’ah
Moh. Syaifuddin

MATA KULIAH NAHWU


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA ARAB (MADIN)
INSTITUT PESANTREN SUNAN DRAJAT (INSUD) LAMONGAN
BANJARANYAR PACIRAN LAMONGAN JAWA TIMUR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali,
memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis
tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan
baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya
sebuah kajian kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan syarat
mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam secara luas
dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang digunakan
dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam bahasa arab. Dalam ilmu
nahwu dikenal istilah Haal. Kami pemakalahakan mencoba menjelaskan sedikit tentang
ilmu nahwu dalam bab Haal.

B. RUMUSAN MASALAH
A)    Bagaimana Pengertian Haal?
B)    Apa sajakah Syarat-syarat Haal?
C)     Apa sajakah  Macam-macam  Haal?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Haal

ْ‫صبُ * ُم ْف ِه ُم فِي َحا ِل َكفَرْ داً َأ ْذهَب‬ ٌ ْ‫ْال َحا ُل َوص‬


ِ َ‫ف فَضْ لَةٌ ُم ْنت‬
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan) dan
memberiJ keterangan keadaan seperi dalam contoh: ُ‫( فَرْ داً َأ ْذهَب‬aku akan pergi
sendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:

ُ‫احب‬ َ ‫ع ْالفِ ْع ِل َو ُس َّمي َك ٌّل ِم ْنهُ َما‬


ِ ‫ص‬ ِ ْ‫اَ ْل َحا ُل هُ َو ِإ ْس ٌم َم ْنصُوْ بٌ يُبَيْنُ هَيَْئةَ ْالفَا ِع ِل َأوْ الم ْفعُوْ ِل بِ ِه ِح ْينَ ُوقُو‬
‫الحا ِل‬.
َ
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau perilaku Fa’il
atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing fa’il dan maf’ul bih
tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
 Haal untuk menjelaskan Fa’il.
Contoh: ً ‫ = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْبا‬zaid telah datang secara berkendaraan. Lafad ً ‫َرا ِكيْبا‬
berkedudukaan sebagai Haal dari lafazh ‫ َز ْي ٌد‬yang menjelaskan keadaan Zaid waktu
kedatanganya. Seperti yang terdapat di dalam firman Allah Swt. Berikut: ‫خر َج ِم ْنهَا خَ اِئفًا‬
َ َ‫ف‬
=  “Maka keluarlah Musa dari kota itu”. (Al-Qashash: 21) . Lafad ‫ خَ اِئفًا‬berkedudukan
sebagaiHaal fa’il lafadz  ‫خر َج‬
َ yeng menjelaskan keadaan Musa waktu keluarnya.

 Haal untuk menjelaskan Maf’ul bih


َ ‫ْت اَ ْلفَ َر‬
Contoh: ‫س ُم َس َّرجًا‬ ُ ‫ = َر ِكب‬Aku berkendara dengan berpelana.Lafadz ‫ُم َس َّرجًا‬
berkedudukan sebagai haal dari maf’ul yang menjelaskan keadaan kuda waktu
digunakan angkutan diatasnya. Dan seperti yang terdapat didalam firman Allah Swt.
Berikut: ‫اس َرسُوْ اًل‬ َ ‫“ = َواَرْ َس ْلنَا‬kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap
ِ َّ‫ك لِلن‬
manusia.” (An-Nisa: 79). Lafadz ‫ َرسُوْ اًل‬menjadi haal dari maf’ul bihhuruf kaf  yang
terdapat pada lafadz  َ‫واَرْ َس ْلنَاك‬.
َ
 Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa’il dan Maf’ul bih).
Contoh: ‫يت َع ْب َد هَّللَا ِ َرا ِكبًا‬
ُ ِ‫ = لَق‬Aku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang
dimaksud dengan berkendaraan  itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B. Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:

1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali Nakirah. Apabila ada haaldengan lafadz
 ‫َوحْ َد ْه‬
ma’rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadznakirah, seperti dalam contoh:
ُ ‫اَ َم ْن‬   (aku beriman kepada Allah). Kalimah ‫ َوحْ َد ْه‬adalah isim ma’rifah
‫ت بِاهلل‬
ُ ‫اَ َم ْن‬
secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai berikut: ‫ت‬
]4[.ً‫بِاهلل ُم ْنفَ ِردا‬
Dalam hal ini Ibnu Malik mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
‫ *تَ ْن ِك ْي َرهُ َم ْعنًى َك َوحْ دَكَ اجْ تَ ِه ْد‬ ‫َو ْال َحا ُل ِإ ْن ُع ِّرفَ لَ ْفظا ً فَا ْعتَقِ ْد‬
“Haal jika ma’rifah secara lafazh maka yakinilah bahwa ia berbentu nakirah secara
makna, seperti conntoh: “wahdakajtahid” (lakukanlah ijtihad sendirian)”
Namun ulam’ bagdad dan Syaikh Yunus meyakini bahwa boleh membuat haal dari
َ ‫َجا َء َز ْي ٌد ال َرا ِكي‬
isim ma’rifah secara mutlak tanpa takwil,[5] sperti contoh:‫ْب‬
2. Sesudah kalimat yang sempurna
Tidaklah terbentuk haal itu kecuali harus sesudah sempurnakalamnya, yakni
sesudah jumlah (kalimat) yang sempurna, dengan makna bahwa lafadz haal itu
tidak termasuk salah satu dari kedua bagian lafadz jumlah, tetapi tidak juga yang
dimaksud bahwa keadaan kalam itu cukup dari haal (tidak membutuhkan haal)

ِ ْ‫ش فِ ْي اَألر‬
dengan berlandasan firman Allah Swt.: ‫ض َم َرحًا‬ ِ ‫( َواَل تَ ْم‬dan janganlah
kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra’: 37). [6]
3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma’rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma’rifat, dan pada galibnya
(mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang
memperbolehkanya yaitu:
a.       Hendaknya haal mendahului nakirah.
Contoh:  ‫(فِ ْيهَا قَاِئ ًما َر ُج ٌل‬didalamnya terdapat seorang laki-laki sedang berdiri). 
lafadz ‫ قَاِئ ًما‬berkedudukan sebagai haal dari lafadz ‫ر ُج ٌل‬.
َ
b.      Hendaknya nakirah ditakhshish oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat
didalam firman Allah Swt. Berikut: ‫( فِ ْي اَرْ بَ َع ِة اَيَ ٍام َس َوا ًء‬dalam empat hari yang
genap.(Fushsilat: 10). Lafadz  ‫ َس َوا ًء‬berkedudkan sebagai haal dari lafadz  ‫اَرْ بَ َع ِة‬.
c.       Hendaknya shahibul haal nakirah sesudah nafi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi:
  َ‫( َو َما اَ ْهلَ ْكنَا ِم ْن قَرْ يَ ٍة ِااَّل َ لَهَا ُم ْن ِذرُوْ ن‬dan kami tidak membinasakan sesuatu negri pun,
melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi pringatan. (As-Syu’ara:
208). Lafadz َ‫لَهَا ُم ْن ِذرُوْ ن‬adalah jumlah ismiyyah yang berkedudkan sebagai haal dari
lafadz ‫قَرْ يَ ٍة‬, Keberadaannya sebagai haal dari shahibul haal yang nakirah dianggap
sah karena ada huruf nafi yang mendahuluinya.[7]
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yangmuystaq atau bukan
jamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
ً ‫ْس ُم ْستَ ِحقّا‬
َ ‫ يَ ْغلِبُ ل ِك ْن لَي‬ * ‫َو َكوْ نُهُ ُم ْنتَقِالً ُم ْشتَقَّا‬
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang lumrah,
tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat mayoritas,
bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh:ً ‫ = َجا َء َز ْي ٌد َرا ِكيْبا‬zaid telah datang
secara berkendaraan. Lafadz ً ‫ َرا ِكيْبا‬adalah sifat yang mutanaqqil karena sifat ini
dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat
muystaq dalam tiga keadaan:
a.       Menunjukkan makna taysbih (penyerupaan), seperti: ‫( َك َّر َعلِ ٌي َأ َسدًا‬Ali
menyerang dengan berani seperti macan). Takwilanya‫ ُش َجاعَا َكا اَأل َس ِد‬:
َ ‫ك ْالفَ َر‬
b.      Menunjukkan makna mufa’alah (interaksi), seperti: ‫د‬£ٍ َ‫س يَدًا بِي‬ َ ُ‫( بِ ْعت‬aku
َ ِ‫ُمتَقَاب‬
telah menjual kuda secara kontan). Takwilanya: ‫ض ْي ِن‬
c.       Menunjukkan makna tartib, seperti:  ‫( َدخَ َل القَوْ ُم َر ُجاًل َر ُجاًل‬kaum itu telah
masuk secara tertib satu persatu). Takwilanya: ]9[.‫ ُمتَ َرتِّبَ ْي ِن‬ 
7.7. Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ibid, hlm. 267
8. Bahaud Din Abdullah Ibnu ‘Aqil, Op. Cit, hlm. 433
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89  Syekh Syamsuddin Muhammad
Araa’in
9. Iman Saiful Mu’minin, Op. Cit, hlm. 88-89
C. Macam-macam Haal
Pada asalnya Haal itu adalalah isim nakirah yang berbentuk musytaq. Sedang sedikit
ُ ‫أ َم ْن‬  (Aku beriman kepada Allah saja), dan
sekali berupama’rifah, contoh: ُ‫ت بِاهللاِ َوحْ َده‬
Haal itu berupa isim jamid:
1. Jika menunjukkan arti perserupaan, contoh:  ‫( َك َّر َعلِ ُّي َأ َسدًا‬Ali menyerang bagaikan
singa)
2.  Menunjukkan arti mufa’alah (saling), contoh:  ‫(بِ ْعتُهُ يَدًا بِيَ ٍد‬Aku menjual padanya
dengan kontan)
3.  Menunjukkan tartib (urutan), contoh:  ‫(اُ ْد ُخلُوا َر ُجاًل َر ُجاًل‬masuklah kamu seorang-
seorang)
ْ ‫ْت ال َّشيَئ ِر‬
4.  Menunjukkan harga, contoh: ‫طاًل بِ ِدرْ ه ٍَم‬ ُ ‫بِع‬  (Aku menjual sesuatu itu per
kati satu dirham)
5.  Disifati, contoh:  ‫( إنَّا اَ ْن َز ْلنَاهُ قُرْ انًاع ََربِيًّا‬sesungguhnya Kami telah menurunkan al-
Qur’an yang berbahasa Arab)
Dan terkadang Haal itu berupa jumlah. Oleh karenanya harus mengandung pengikat
(rabith: kata-kata yang menunjukkan adanya hubungan antara hal dan shahibul hal).
Dan rabith itu ada yang berupa:
ِ ‫( قَالُوْ الَِئ ْن اَ َكلَهَالذِّْئبُ َونَحْ نُ عُصْ بَةٌ ِإنَّا اِ ًذالَخ‬Mereka berkata: Jika
1.  Wawu saja, contoh: َ‫َاسرُوْ ن‬
sekiranya dia dimakan serigala padahal kami bersaudara tentulah kami akan merugi)
ُ ‫اِ ْهبِطُوابَ ْع‬   (Turunlah kamu dengan keadaan
ٍ ‫ض ُك ْم لِبَع‬
2.  Dhamir saja, contoh: ‫ْض َعد ُُّو‬
kamu saling bermusuhan)
ٌ ُ‫( َوهُ ْم اُل‬Mereka telah keluar dari
ِ َ‫ َخ َرجُوْ ا ِم ْن ِدي‬   ‫وف‬
3.  Wawu dan Dhamir, contoh:‫ار ِه ْم‬
rumah-rumah mereka dalam keadaan beribu-ribu (berbondong-bondong)).
Haal juga bisa berupa zharaf atau jar majrur, contoh:
‫ت ُش َعا َعهُ فِى ْال َما ِء‬
ُ ْ‫صر‬ ِ ‫ْت ْال ِهاَل َل بَ ْينَ ال َّس َحا‬
َ ‫ب َوأ ْب‬ ُ ‫َرأي‬
  Telah kulihat bulan sabit itu ada di antara awan-awan dan kulihat cahayanya dalam air
  Dan haal itu bisa berbilang (ada beberapa), contoh:
‫َر َج َع ُمو َسى اِلَى قَوْ ِم ِه غَضْ بَانَ اَ ِسفًا‬
Musa telah kembali ke kaumnya dengan dongkol (marah) dan kecewa [10].

D. Bentuk Shahibul Haal


Shahibul-haal (pelaku haal) haruslah dalam bentuk ma’rifat, dan pada ghalibnya
sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang memperbolehkannya, yaitu:
1.        Hendaknya haal mendahului nakirah, contoh: ‫( فِ ْيهَا قَاِئ ًما َر ُج ٌل‬di dalamnya
terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
2.        Hendaknya nakirah ditakhsish oleh washf atau oleh idhafah.
Contoh shahibul haal yang ditakhsish oleh washf ialah seperti yang terdapat di dalam
firman Allah swt:
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar
dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul,
Contoh sahibul haal yang ditakhsish oleh idhafah ialah seperti yang terdapat di dalam
firman Allah swt:
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia
memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.
3.        Hendaknya shahibul haal nakirah terletak sesudah nafi atau syibhun nafi,
syibhun nafi adalah istifham dannahi.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nafi ialah firman Allah swt:
Dan kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan
masa yang telah ditetapkan.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah istifham (kata tanya) ialah perkataan
seorang penyair berikut:
‫ لِنَ ْف ِسكَ ْالع ُْذ َر فِى اِ ْب َعا ِد هَااَأْل َماَل ؟‬ #  ‫اح هَلْ ُح َّم َعيْشٌ بَا قِيًا فَتَ َرى‬
ِ ‫ص‬َ ‫يَا‬
Hai temanku, apakah kehidupan dapat menjamin keabadian (bagi seseorang) sehingga
kamu melihat adanya alasan bagi dirimu untuk mengharapkan hal yang mustahil ini?.
Contoh shahibul haal yang terletak sesudah nahi ialah yang dikemukakan oleh Ibnu
Malik:
‫اَل يَب ِْغ ا ْم ُرٌؤ َعلَى ا ْم ِرٍئ ُم ْستَ ْس ِهاًل‬
Janganlah seseorang berbuat kelewat batas terhadap orang lain karena meremehkan
haknya[11].

E. Amil Haal
Amil haal adalah kata-kata yang mendahului haal yang berupa fi’il atau yang
mengandung arti fi’il, contoh:
ٌ‫َوهَ َذا بَ ْعلِى َش ْي ًخا ِا َّن هَ َذا لَ َش ْي ٌء َع ِجيْب‬
Dan ini suamiku keadaannya telah tua renta. Sungguh ini sesuatu yang aneh[12].
PENUTUP

Dapat disimpulkan,dari penjelasan diatas sebagaiberikut:


1. Haal ialah isim mansub yang menerangkan prihal atau perilaku fa’il atau maf’ul bih
yang masih samar.
2. Shahibul haal adalah terdiri dari tarkib fa’il dan tarkib maf’ul bih.
3. Syarat-syarat tarkib haal, yaitu:
a. Harus dengan isim nakirah, tidak boleh isim ma’rifat.
b. Harus sesudah kalam yang sempurna
c. Shahibul haal harus terdiri dari isim ma’rifat.
4. Macam-macam haal, yaitu:
a. Haal berupa isim mufrad.
b. Haal berupa jumlah ismiyyah.
c. Haal berupa jumlah fi’liyah
d. Haal berupa zharaf.
e. Haal berupa jar dan majrur.
5. Jika haal itu berupa jumlah, maka harus ada penghubung yang menyambungkan
dengan shahibul haal, dan dia itu adakalanya berupa wawu saja atau berupa dlamir saja
atau kedua-keduanya.

Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa
bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, bahkan masih jauh dari
sempurna, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan
bermanfaat untuk para pemakalah begitu pula bagi teman-teman agar mewujudkan
makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar harapan kami semoga makalah yang singkat
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Bahaud Din Abdullah ibnu ‘Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil Jilid 1, Bandung: Sinar
Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru Algennsido,
2010
Iman Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik Offset, 2008

Anda mungkin juga menyukai