(Makalah)
Disusun Oleh :
Nama NPM
TULANG BAWANG
2022
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
B. Rumusan masalah................................................................................................1
A. Pengertian Haal..................................................................................................2
B. Syarat-syarat Haal..............................................................................................3
C. Macam-macam Haal..........................................................................................5
A. Kesimpulan .......................................................................................................7
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur‟an dan hadis. Umat islam tidak dapat
menggali, memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat
pada al-Quran dan hadis tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami
dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam upaya mengembangkan
wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya sebuah kajian
kebahasaan, kemampuan menguasai bahas Arab merupakan kunci dan syarat
mutlak yang harus di miliki setiap orang yang hendak mengkaji ajaran islam
secara luas dan mendalam.
Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang
digunakan dalam berbahasa Arab untuk mengetahui hukum kalimat dalam
bahasa arab. Dalam ilmu nahwu dikenal istilah Haal. Kami
pemakalah akanmencoba menjelaskan sedikit tentang ilmu nahwu dalam
bab Haal.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Pengertian Haal?
B. Apa sajakah Syarat-syarat Haal?
C. Apa sajakah Macam-macam Haal?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haal
ُْهُ َمفَشْ داُُأَ ْرَٕت ِ ْاى َحبهُُ َٗصْ فُُفَضْ يَةٍُُ ْْت
ُِ َصتُُ*ٍ ْف ٌُُِٖفِيُ َحب
“Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi muntasabih (dinasabkan)
dan memberi keterangan keadaan seperi dalam contoh: ُ( فَشْ داُ ُأَ ْرَٕتaku akan
pergiُsendiri)”.[1]
Dengan istilah lain:
.به
ِ اىح
َ ُُصب ِحت ُِ عُ ْاىفِ ْع
َ ُوُ َٗس ََّيُ َموُُ ٍِ ْْٖ ََب ُِ ْ٘وُأَُُْٗاىَ ْفع
ُِ ْ٘هُثِ ُُِٔ ِحيَُُِْٗق ُِ اَ ْى َحبهُُٕ َُُ٘إِسٌُُْ ٍَ ْْصْ٘ ةُُيجَيَُُِْٕ ْيئَ ُةَُ ْاىفَب ِع
“Haal adalah isim yang dibaca nasab, yang menerangkan perihal atau
perilaku Fa’il atau Maf’ul bih ketika perbuatan itu terjadi, dan masing-masing
fa‟il dan maf‟ul bih tersebut dinamakan Shohibul Haal”.[2]
2
· Haal untuk menjelaskan kedua-duanya (fa‟il dan Maf‟ul bih).
َُِّ َ = ىَقِيتُ ُ َع ْج َُذAku Bertemu Abdullah dengan berkendaraan. Yang
Contoh: ُللَا ُ َسا ِمجب
dimaksud dengan berkendaraan itu bisa Aku atau Abdullah atau keduanya.[3]
B. Syarat-syarat Haal
Ada beberapa syarat haal yang harus dipenuhi, diantaranya:
1. Isim nakirah
Tidaklah terbentuk haal itu kecualiNakirah. Apabila ada haal dengan lafadz
ma‟rifat, maka harus ditakwilkan dengan lafadz nakirah, seperti dalam
ُ ْْ ٍَ َ(ُاaku beriman kepada Allah). Kalimah ُْٓ َٗحْ َذadalah isim
contoh:ُُْٓ ت ُثِبهلل َٗحْ َذ
ma‟rifah secara lafazh, tetapi ia ditakwil oleh nakirah dengan perkiraan sebagai
berikut: ُاَ ٍَ ْْتُُثِبهللٍُ ْْفَ ِشدا.[4]
ِ ْشُُفِ ْيُُاألَس
haal) dengan berlandasan firman Allah Swt.:ُضُُ ٍَ َشحب ِ ََْ (ُ َٗ َلُُتdan janganlah
kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong. (Al-Isra‟: 37). [6]
3
3. Shahibul haal (pelaku haal) harus berupa ma‟rifat.
Shahibul haal (pelaku haal) harus dalam bentuk ma‟rifat, dan pada galibnya
(mayoritasnya) sekali-kali tidak dinakirahkan kecuali bila ada hal-hal yang
memperbolehkanya yaitu:
Contoh: ُُسجو
َ ُقَبئَِب (ُفِ ْيَٖبdidalamnya terdapat seorang laki-laki sedang
berdiri). lafadz قَبئَِبberkedudukan sebagai haal dari lafadz ُ َسجو.
Contoh shahibul haal yang ditakhshish oleh idhafahialah seperti yang terdapat
didalam firman Allah Swt. Berikut: ُي ُاَسْ ثَ َع ُِة ُاَيَبًُ ُ َس َ٘اء
ُْ ِ( فdalam empat hari yang
genap.(Fushsilat: 10). Lafadz ُ َس َ٘اءberkedudkan sebagai haal dari lafadz ُاَسْ ثَ َع ِة.
Demikian juga haal disyaratkan harus berupa mutanaqqil yang muystaq atau
bukanjamid. Ibnu Malik juga mengungkapkan dalam Alfiyah-nya:
ْسٍُ ْستَ ِحقُّب ُْ َٗ َمْ٘ ٍُُّٔ ْْتَقِلٍُُ ْشتَقَّب * ُيَ ْغيِتُُى ِن
َُ ُِىَي
“Keadaan haal ini dalam bentuk muntanqqil lagi musytaq adalah hal yang
lumrah, tetapi hal ini tidak pasti.”
Yang dimaksud muntanqqil lagi musytaq adalah bahwa hal ini bersifat
َ = َجب َءُُصَ يْذzaid
mayoritas, bukan bersifat lazim (tetap). Seperti dalam contoh: ُُُسا ِميْجب
4
telah datang secara berkendaraan. Lafadz ُ َسا ِميْجبadalah sifat yang
mutanaqqil karena sifat ini dapat lepas dari Zaid.[8]
Namun, kadang haal itu dibentuk dari isim jamid yang ditakwil dengan sifat
muystaq dalam tiga keadaan:
C. Macam-macam Haal.
a. Haal berupa isim mufrad.
Haal mufrod yaitu isim mansub yang disebutkan untuk menjelaskan keadaan fi‟il
َ ُ( َجب َءُ ُصَ يْذTelah datang zaid dalam keadaan
atau maful bih. Contoh: ُسا ِمجب
berkendaraan). lafadz َسا ِمجبadalah isim mufrad.
b. Haal berupa jumlah ismiyah.
Contoh: ُضيْفُ ُغَبئِت
ِ َُٗاى
َ ُض َُش ُاىضيْ٘ ف
َ ( َحpara tamu datang, sedang tuan rumahnya
tidak ada). Lafadz ُضيْفُ ُغَبئِت
ِ َ اىadalah jumlah ismiyah yang berkedudukan
sebagai haal dari lafadz ُاىضيْ٘ ف.
5
e. Haal berupa jar dan majrur.
Contoh:ُُُِٓ (ُثِعْتُ ُاىثَّ ََ َُش ُ َعيَي ُ َش َج ِشsaya menjual buah yang masih ada di pohonya).
Lafadz ُِٓ َعيَي ُ َش َج ِشadalah jar dan majrur yang berkedudukan sebagai haal dari
lafadz اىثَّ ََ َُش.[10]
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
7
DAFTAR PUSTAKA
Bahaud Din Abdullah ibnu „Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu „Aqil Jilid 1,
Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009
Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, Bandung: : Sinar Baru
Algennsido, 1995
Syekh Syamsuddin Muhammad Araa‟ini, Ilmu Nahwu, Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2010
Iman Saiful Mu‟minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, Jakarta: Sinar Grafik
Offset, 2008
[1] Bahaud Din Abdullah ibnu „Aqil, Terj. Alfiyah Syarah Ibnu „Aqil Jilid 1,
(Bandung: Sinar Baru Algennsido, 2009), hlm. 432
[2] Djawahir Djuha, Tata Bahasa Arab Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 1995), hlm. 147
[3] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa‟ini, Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru
Algennsido, 2010), hlm. 263-264
[4] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa‟ini, Ibid, hlm 264-265
[5] Iman Saiful Mu‟minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Shraf, (Jakarta: Sinar Grafik
Offset, 2008), hlm. 88
[6] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa‟ini, Op. Cit, hlm. 266
[7] Syekh Syamsuddin Muhammad Araa‟ini, Ibid, hlm. 267
[8] Bahaud Din Abdullah Ibnu „Aqil, Op. Cit, hlm. 433
[9] Iman Saiful Mu‟minin, Op. Cit, hlm. 88-89
[10] Djawahir Djuha, Op. Cit, hlm. 148-150
8
ASPEK PENILAIAN
9
kemampuan menguasai sangat menguasai (81- 100)
topik / materi makalah menguasai (71-80,9)
6
,menjelaskan dan cukup menguasai (61-70,9)
memberikan argumen. kurang menguasai (0 - 60,9)
Rata-rata Nilai
10