Anda di halaman 1dari 19

TUGAS ILMU AL-QUR’AN

“AL-MUHKAM WA AL-MUTASYABIH DALAM AL-QUR’AN”

Dibuat oleh;

HIDAYATULLAH

(50500120023)

PRODI JURNALISTIK

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah swt. Atas segala rahmatNya sehinnga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa saya mengucapkan terima
kasih terhadap pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ilmu al-
qur’an. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Al-Muhkam Wa Al-Mutasyabih bagi pembaca dan juga bagi penulis.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangunkan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 11 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI
TUGAS ILMU AL-QUR’AN..................................................................................1
“AL-MUHKAM WA AL-MUTASYABIH DALAM AL-QUR’AN”......................1
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Poin Pembahasan..........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih...................................................3
B. Macam-macam Mutasyabih..........................................................................7
C. Al-Mutasyabihat Dalam Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah......................9
D. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat...................................................10
E. Hikmah Mengetahui Muhkam dan Mutasyabih..........................................13
BAB III..................................................................................................................14
PENUTUP..............................................................................................................14
1. KESIMPULAN...........................................................................................14
2. Saran............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan


berbagai macam bentuk, kekuatan, kecerdasan yang berbeda-beda.
Sehingga ada beberapa amalan yang tidak mampu dilakukan oleh seluruh
orang, dan ada pula amalan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
kuat tertentu saja.

Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang


dipahami oleh semua orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh
ulama tertentu. Serta ada juga yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh
seluruh insan.

Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa
dipahami secara menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang
tertentu dan hal-hal yang hanya Allah sajalah yang memahami maknanya.
Hal yang semacam ini disebut oleh para ulama sebagai pembahasan al-
Muhkam dan al-Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi
pembahasan makalah kita dalam kesempatan ini.

Menimbang pentingnya pembahasan ini perlu rasanya penulis


sedikit bersumbangsih meski banyak kendala dalam penulisan makalah ini
yang mendasar terutama banyaknya istilah-istilah syar’i yang sulit untuk
dituangkan maknanya kedalam bahasa Indonesia secara sempurna. Namun
tiada pilihan lain kecuali tetap kita upayakan untuk menyajikannya sebatas
kemampuan dalam sebuah pengabdian, mohon maaf atas segala kekeliruan
dan semoga bisa bermanfaat serta dicatat oleh Allah sebagai sebuah amal
shalih amin Ya Rabbal ‘Alamin.

1
B. Poin Pembahasan
1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

2. Macam-macam al-Mutasyabih

3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah

4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat

5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih


Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Bahasa.

1. Pengertian Al-Muhkan Secara Bahasa

Al-Muhkam secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ َح َك َم‬yang mana


Ibnu Faris –rahimahullah- mengatakan:

ُّ ‫ َوأَ َّو ُل َذلِ َك اَ ْل ُح ْك ُم َو ُه َو اَ ْل َم ْن ُع ِمنَ ال‬.‫ َو ُه َو اَ ْل َم ْن ُع‬,ٌ‫ص ٌل َوا ِحد‬


‫ظ ْل ِم‬ ْ َ‫اَ ْل َحا ُء َوا ْل َكافُ َوا ْل ِم ْي ُم أ‬

“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang
bermakna larangan. Kata pertama yang berakar dari tiga huruf tersebut
adalah Hukum yang berarti melarang dari sebuah kedzhaliman.”

Dikatakan juga: “ ‫ ِه‬MMMMMِ‫هُ ِم ْن ِخاَل ف‬MMMMMُ‫ َذا إِ َذا َمنَ ْعت‬MMMMM‫ ِه بِ َك‬MMMMMْ‫هُ َعلَي‬MMMMMُ‫”ح َك ْمت‬, “aku
َ
menghukuminya dengan begini, jika aku melarangnya untuk tidak
menyelisihi sesuatu tersebut”.

Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu


makna secara bahasa. Dari sini pulalah tali yang mengikat kepala dan leher
binatang dinamakan dengan ٌ‫ح َك َمة‬atau
َ tali kekang, karena berfungsi untuk
melarangnya bergerak agar terkendali.

Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika


dikatakan ‫ أَحْ َك َم – إِحْ َكا ًما‬yang bermakna ‫ أَ ْتقَنَ – إِ ْتقَانًا‬artinya adalah menguatkan
atau mengokohkan, seperti jika dikatakan: ‫ ع َْن ْالفَ َسا ِد‬Mُ‫ت ال َّش ْي َئ أَي أَ ْتقَ ْنتُهُ فَ َمنَ ْعتُه‬
ُ ‫أَحْ َك ْم‬

3
artinya aku menguatkan sesuatu dan melarangnya dari kerusakan.[5] Abu
Hilal al-‘Askariy –rahimahullah- berkata:

‫ َواإْل ِ ْح َكا ُم إِ ْي َجا ُد ا ْلفِ ْع ِل‬,ُ‫صاَل ُحه‬ َّ ‫أَنَّ إِ ْتقَانَ ال‬ 


ْ ِ‫ش ْي ِئ إ‬

“itqhannya sesuatu maksudnya adalah memperbaikinya, dan ihkam


adalah menyempurnakan perbuatan dan menguasinya dengan baik”.

Maka al-Muhkam ‫ اَ ْل ُمحْ َك ُم‬secara bahasa adalah bentuk isim maf’ul


dari ‫ أَحْ َك َم‬yang bermakna sesuatu yang dikokohkan atau dikuatkan atau
disempurnakan.

2. Pengertian al-Mutasyabih secara bahasa


Al-Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ شبه‬yang mana
ِ ‫اَل ِّشيْنُ َو ْالبَا ُء َو ْالهَا ُء أَصْ ٌل َو‬
dikatakan oleh Ibnu Faris –rahimahullah- : ‫اح ٌد يَدُلُّ َعلَى‬
‫تَ َشابُ ِه ال َّشي ِْئ‬ “bahwa huruf asy-Syin, al-Ba’ dan al-Ha’ satu dasar kata yang
menunjukkan kemiripan sesuatu”

Ar-Raghib al-Asfahaniy –rahimahullah- menjelaskan bahwasanya


al-mutasyabih sebuah kata turunan dari ُ‫اَل َّش ْبهُ وال َّشبَهُ وال َّشبِ ْيه‬  yang maknanya
adalah sebuah kemiripan, beliau berkata:

‫ قَ]]ا َل‬، ‫َّش]ابُ ِه َع ْينً]]ا َك]]انَ أَ ْو َم ْعنًى‬ َّ ‫ش ْب َهةُ ُه َو أَنْ اَل يَتَ َميَّ ُز أَ َح ُد ال‬
َ ‫ش ْيئَ ْي ِن ِمنَ اآْل َخ ِر لِ َما بَ ْينَ ُه َما ِمنَ الت‬ ُّ ‫َوال‬
ً‫ضا لَ ْونًا اَل طَ ْع ُما َو َحقِ ْيقَة‬
ً ‫ضهُ بَ ْع‬ُ ‫شبِهُ بَ ْع‬ ْ َ‫ { َوأُتُوا بِ ِه ُمتَشَابِ َها } أ‬:‫هللا تعالى‬
ْ ُ‫ي ي‬

Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain
disebabkan adanya kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun
makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka diberi buah-buahan yang
serupa…”, maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian
yang lain, bukan rasa atau hakikatnya.

4
Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki
kemiripan satu dengan yang lain”.

3. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Istilah


Para ulama berbeda pendapat atau bermacam-macam dalam
mengungkapkan pengertian al-Muhkam ataupun al-Mutasyabih.

Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

‫والح َر ِام‬
َ ‫ح فَ ُه َو َما أَ ْح َك َم ْتهُ بِاألَ ْم ِر َوالنَّ ْه ِي وبَيَا ِن ا ْل َحاَل ِل‬
ِ ‫ص ِطاَل‬ ِ ‫َوأَ َّما فِ ْي‬
ْ ‫اال‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah


ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan
tentang halal dan haram.”

‫ف ا ْل َم َعانِي‬ ْ ‫شتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬


ِ ‫اختِاَل‬ ْ َ ‫وأما ال َمتَشَابِهُ فأ‬
ْ َ‫صلُهُ أن ي‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz


secara dhzahir sementara maknanya berbeda.”

Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam


dan al-Mutasyabih, kurang lebihnya seperti yang diikuti oleh Imam as-
Suyuthiy dalam ungkapannya sebagai berikut;

Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Sesuatu yang diketahui maksudnya baik apa saja yang hanya diketahui oleh
secara dzhahir atau ta’wil Allah seperti hari kiamat, keluarnya
dajjal dan huruf-huruf muqatta’ah
diawal-awal surat
adalah yang jelas maknanya ayat yang tidak jelas maknanya
sesuatu yang tidak memiliki sesuatu yang berkemungkinan lebih
kemungkinan ta’wil lebih dari satu dari satu penta’wilan
Apa saja yang termasuk ma’qulu al- Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli

5
ma’na al-ma’na
Apa saja yang berdiri sendiri -tanpa Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan
butuh yang lain sebagai penjelas- membutuhkan kepada yang lain –
sebagai penjelas-
Apa saja yang penta’wilannya sesuai Apa saja yang tidak dapat diketahui
dengan nash turunnya(teksnya). kecuali dengan ta’wil
Yang tidak berulang-ulang lafadznya Yang berulang-ulang lafadznya
Al-Faraid, janji dan ancaman Kisah dan permisalan
An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja
faraid serta apa yang kita wajib yang kita wajib mengimaninya namun
mengimaninya dan mengamalkannya tidak untuk diamalkan.
Halal dan haram Selain halal dan haram

Sementara Syaikh Muhammad Abdul’adzim –rahimahullah- mengelompok


pendapat-pendapat tersebut dengan menyandarkan kepada ulamanya,
sebagaimana yang beliau tuliskan dalam kitabnya sebagai berikut:

Ulama Al-Muhkam Al-Mutasyabih


Tokoh Pendalilan yang jelas yang Sesuatu yang samar yang
al-Hanafiyah tidak berkemungkinan tidak bisa dimengerti
terkena naskh maknanya baik secara akal
atau penukilan nash syar’i.
Hanya Allah yang
mengetahuinya seperti hari
kiamat, huruf muqatta’ah
diawal-awal surat.
Ahlusunnah Yang diketahui maksud yang Sesuatu yang hanya Allah
diinginkan baik secara saja yang mengetahuinya
dzhahir atau ta’wil seperti kiamat, keluarnya
dajjal, huruf muqatta’ah
diawal surat.
Ulama usulfiqih Sesuatu yang hanya Yang berkemungkinan lebih
berkemungkinan ta’wil dari dari satu penta’wilan
satu sisi saja.

6
al-Imam Ahmad Sesuatu yang berdiri sendiri Yang tidak berdiri sendiri
dan tidak membutuhkan bahkan membutuhkan
penjelas penjelasan terkadang dengan
penjelasan ini dan terkadang
dengan penjelasan yang
lainnya disebabkan khilaf
dalam penta’wilannya
Al-Imam Tekstual yang bagus dan Sesuatu yang jika ditinjau
al-Haramain tersusun yang dari segi bahasa tidak dapat
berkonsekwensi memberikan dimengerti, kecuali
makna yang lurus atau benar didampingi dengan tanda
tanpa penafian atau pendukung. Seperti satu
kata yang memiliki banyak
makna
Ath-Thayyibiy Makna yang jelas yang tidak Makna yang tidak jelas yang
menimbulkan kesamaran menimbulkan kesamaran

B. Macam-macam Mutasyabih
Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada
beberapa pendapat ulama didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam
asy-Syatibiy menuliskan bahwasanya al-Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan
idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash
dalilnya.

1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita


tidak dapat memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat
menelitinya tidak bisa mendapatkan maknanya yang muhkam.
2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya
maknanya bisa dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan
oleh kejahilan atau hawa nafsu sehingga dalam pandangannya menjadi
mutasyabih yang sebenarnya lebih condong kepada muhkam.[16] Jenis

7
kedua ini disebut juga dengan istilah al-Mutasyabih an-Nisbiy yang
relative dan hanya ulama tertentu saja yang dapat memahami maknanya.
3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan
tetapi pada ‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya
hewan yang disembelih secara syari sangatlah jelas, namun timbul syubhat
saat kedua daging tersebut tercampur apakah halal untuk dikonsumsi atau
menjadi haram.

Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut


pandang; dari segi lafadz saja, dari segi makna saja dan dari segi lafadz dan
makna secara bersamaan:

1. Dari segi lafadz saja:


a. Terdapat pada satu lafadz saja, seperti al-Abb ( ّ‫)اَأْل َب‬.

b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ‫ليس كمثله شيء‬
karena seandainya diucapkan ‫يء‬MM‫ه ش‬MM‫ ليس مثل‬maka ini lebih jelas untuk
dipahami oleh yang mendengarnya.

2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena
sifat-sifat ini tidak dapat kita pahami gambaran hakikatnya.

3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;
a. Dari segi populasinya, seperti pada permasalahan al-umum dan al-
khusus.
Contoh: َ‫فَا ْقتُلُوا ْال ُم ْش ِر ِكين‬, dalam surat at-Taubah ayat 5.
b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah
Ta’ala surat an-Nisa’ ayat 3:

َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬


‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬

c. Dari segi waktu, seperti an-Naskh dan al-Mansukh.

8
d. Dari segi tempat turunnya ayat tersebut.

e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat
shalat dan nikah.

Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka


bisa dipahami bahwasanya secara umum al-Mutasyabih terbagi menjadi
tiga:

1. Al-Mutasyabih yang sama sekali tidak bisa kita pahami.

2. Al-Mutasyabih yang bisa dipahami dengan indikasi-indikasi lainnya.

3. Al-Mutasyabih yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu.

C. Al-Mutasyabihat Dalam Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah


Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk
mutasyabih adalah ayat tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti:

‫ق أَ ْي ِدي ِه ْم‬
َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬, ‫ك‬ ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
َ ِّ‫ َويَ ْبقَى َوجْ هُ َرب‬, ‫ش ا ْستَ َوى‬

Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam


menyikapi ayat tentang sifat-sifat menjadi bebera madzhab sebagaimana
yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:

1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.
Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan
mengembalikan makna yang dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan
sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.

2. Madzhab khalaf yaitu sebagian kalangan dari ahlusunnah.


Dengan berpendapat membolehkan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan
kemuliaan Allah Ta’ala. Dahulunya Imam al-Haramain termasuk yang

9
berpendapat seperti ini, namun kemudian beliau rujuk kepada pendapat
salaf seraya berkata didalam kitab ar-Risalah an-Nidzamiyah: Yang aku
rela dalam beragama kepada Allah dengan penuh keyakinan adalah
mengikuti salaf al-ummah, sesungguhnya mereka meniti sebuah jalan
yang meninggalkan pertentangan antara makna-makna sifat tersebut.

3. Madzhab Mutawassith.
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana
beliau berkata: jika penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab
maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh dari pengertian bahasa arab
maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan
yang diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.

D. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat


Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang
makna al-muhkam dan al-mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih
pendapat dalam permasalahan siapakah yang dapat memahami ayat al-
mutasyabihah.

Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya
tanda baca pada ayat:

ٌ َ‫ابِه‬M‫ ُر ُمت ََش‬M‫ب َوأُ َخ‬


‫ ٌغ‬M‫وبِ ِه ْم زَ ْي‬MMُ‫ات فَأ َ َّما الَّ ِذينَ فِي قُل‬ ِ ‫ا‬MMَ‫ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكت‬M
ٌ M‫ات ُمحْ َك َم‬M ٌ Mَ‫هُ آي‬M‫َاب ِم ْن‬ َ ‫ك ْال ِكت‬ َ ‫ه َُو الَّ ِذي أَ ْن‬
َ ‫زَل َعلَ ْي‬
‫ ِه‬M ِ‫يَقُولُونَ آ َمنَّا ب‬ ‫اس ُخونَ فِي ا ْل ِع ْل ِم‬ ِ ‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا ُ َوال َّر‬ ‫ُون َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِويلِ ِه‬
Mَ ‫فَيَتَّبِع‬
ِ ‫ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َربِّنَا َو َما يَ َّذ َّك ُر إِاَّل أُولُو اأْل َ ْلبَا‬
‫ب‬

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari

10
ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S
Ali Imran [3]:7)

Pendapat pertama:

Firman Allah ‫ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬MM‫َّاس‬


ِ ‫ َوالر‬adalah mubtada dan َ‫ون‬MMُ‫ يَقُول‬sebagai khabarnya,
sehingga huruf ‫ و‬pada ‫ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬MMM‫َّاس‬
ِ ‫ َوالر‬bermakna isti’naf yang menandakan
sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan terhenti pada ُ ‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا‬yang
berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna ayat-ayat al-
mutasyabihah tersebut.

Pendapat kedua:

Huruf ‫ و‬pada firman Allah ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬


ِ ‫ َوالر‬bermakna al-athfu sebagai huruf atau
kata sambung dan َ‫ يَقُولُون‬menjadi keterangan hal, sehingga waqf bacaan terhenti
pada ‫ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬sehingga berkonsekwensi maknanya bahwa yang memahami
al-mutasyaabih adalah Allah dan orang-orang yang diberi kekokohan dalam ilmu.

Imam as-Suyuthiy berkata:

“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya


Mujahid yang membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau
berkata dalam ayat:

ِ ‫هُ إِاَّل هَّللا ُ َوالر‬MMMَ‫ا يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويل‬MMM‫“و َم‬aku


‫ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬MMM‫َّاس‬ َ adalah salah satu yang mengetahui
ta’wilnya”. Pendapat ini berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru
hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa dimengerti.

11
Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah
maka mereka berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang
mengetahui al-Mutasyaabih dan ini riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.

Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:

‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا ُ َويَقُوْ ُل الرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم آ َمنَّا بِ ِه‬

“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang
yang kokoh keilmuanya; kami beriman dengannya”

Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan


wajibnya waqf pada kalimat ُ ‫ إِاَّل هَّللا‬sehingga kalimat ‫ ُخونَ فِي ْال ِع ْلم‬MM‫َّاس‬
ِ ‫ َوالر‬menjadi
kalimat permulaan.

Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada
kalimat ُ ‫إِاَّل هَّللا‬, diantara argumen beliau adalah:

1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah


berfirman:

‫فَأ َ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِويلِ ِه‬

Kalau seandainya ta’wil itu boleh maka Allah takkan mencelannya.

2. Kalau seandainya kalimat َ‫ ُخون‬M‫َّاس‬


ِ ‫ َوالر‬mengikut atau athfu kepada lafadz
Allah maka kedudukan kalimat ‫ يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه‬menjadi mubtada’ dan ini jauh
dari kefasihan atau kebenaran dari segi kaidah bahasa arab.

Dari sinilah lahir kaidah tafsir ‫ابِ ِه‬M ‫انُ بال ُمت ََش‬MM‫ال ُمحْ َك ِم وا ِإل ْي َم‬MMِ‫ ُل ب‬M‫يَ ِجبُ ال َع َم‬ “wajib beramal
dengan yang muhkam dan beriman dengan yang mutasyaabih”.

12
E. Hikmah Mengetahui Muhkam dan Mutasyabih
Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah al-
muhkam dan al-mutasyaabih, maka sesungguhnya ada beberapa hikmah
didalamnya antara lain:

1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui


hal-hal yang mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka
bersemangat dalam hidup ini dan tidak bermasalas malasan sekedar
duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari kiamat, hal ini juga
membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika mereka
mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.

2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu


yang ghaib hanya dengan berita yang dibawa syariat?

3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar


kemampuan yang sesuai dengan yang didakwahi.

4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.

5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita


bayangkan kalaulah semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada
madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.

BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

a. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang


disimpulkan oleh Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

13
‫والح َر ِام‬
َ ‫ان ْال َحاَل ِل‬
ِ َ‫ح فَهُ َو َما أَحْ َك َم ْتهُ بِاألَ ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَي‬ ِ ‫َوأَ َّما فِ ْي‬
ِ ‫االصْ ِطاَل‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau
dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan
haram.”

‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫وأما ال َمتَ َشابِهُ فأَصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara


dhzahir sementara maknanya berbeda.”

b. Macam-macam al-mutasyabih antara lain al-Mutasyabih al-


Haqiqiy dan al-Idhafiy. Diantara yang termasuk al-Mutasyabihat
adalah Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah
c. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat yang penulis lebih
cenderung kepada pendapat jumhur ahlusunnah dari kalangan
salaf.
d. Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam
dan mutasyabih diantaranya sebagai ujian bagi kita apakah kita
beriman kepada hal yang ghaib, atau juga menjelaskan tentang
hakikat lemah dan bodohnya kita sebagai insan.

2. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan
makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan
kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

14
15
DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w.395 H, Maqayisu al-Lughah,
(Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2008 M) hal. 221.

Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy w.393 H, ash-Shihah, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2009 M) hal. 270.

Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad ar-Raghib al-Asfahaniy w.502 H, al-


Mufradat fi Gharib al-Qur’an,(Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2012 M) hal. 280.

Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w.770 H, al-Mishbah al-
Munir, (Kairo: Dar al-Hadits, cet.2008 M) hal. 95.

Al-Hasan bin Abdullah Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H, al-Furuq al-


Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Ilmu wa ats-Tsaqafah, tanpa tahun)

Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyiy w. 794 H, al-Burhan fi ‘Ulumi


al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 370.

Fahad bin Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumiy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-


Karim, (Riyadh: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyah, cet. 14, 2005 M) hal. 502.

Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy w.911 H, al-Itqhan fi ‘Ulumi al-Qur’an,


(Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 5,Jilid 3.

Muhammad Abdul’adzim az-Zarqaniy w. 1367, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi al-


Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2001 M) hal. 227, Jilid 2.

Muhammad bin Ya’kub al-Fayruz Abadiy w.817 H, al-Qamus al-Muhith, ( Kairo:


Dar al-Hadits, cet. 2008 M) hal. 389.

16

Anda mungkin juga menyukai