Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami
oleh semua orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama
tertentu. Serta ada juga yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh seluruh
insan.[1]
Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami
secara menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan
hal-hal yang hanya Allah sajalah yang memahami maknanya. Hal yang
semacam ini disebut oleh para ulama sebagai pembahasan al-Muhkam dan al-
Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi pembahasan makalah kita dalam
kesempatan ini.
B. Poin Pembahasan
1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih
2. Macam-macam al-Mutasyabih
3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah
4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat
5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih
PEMBAHASAN
ُّ َوَأوَّ ُل َذل َِك اَ ْلح ُْك ُم َوه َُو اَ ْل َم ْن ُع م َِن. َوه َُو اَ ْل َم ْن ُع,اَ ْل َحا ُء َو ْال َكافُ َو ْال ِم ْي ُم َأصْ ٌل َوا ِح ٌد
الظ ْل ِم
“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna
larangan. Kata pertama yang berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum
yang berarti melarang dari sebuah kedzhaliman.”[2]
Dikatakan juga: “ ” َح َكمْ ُت ُه َعلَ ْي ِه ِب َك َذا ِإ َذا َم َنعْ ُت ُه مِنْ ِخاَل فِ ِه, “aku menghukuminya dengan begini,
jika aku melarangnya untuk tidak menyelisihi sesuatu tersebut”.[3]
Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu makna secara
bahasa. Dari sini pulalah tali yang mengikat kepala dan leher binatang
dinamakan dengan ]4[ َح َك َم ٌة atau tali kekang, karena berfungsi untuk melarangnya
bergerak agar terkendali.
ِل----ْ ا ُد ْالفِع----ا ُم ِإي َْج---- َواِإْلحْ َك,اَل ُح ُه----ص َ َأنَّ ِإ ْت َق “itqhannya sesuatu maksudnya adalah
َّ ان----
ْ ْيِئ ِإ----الش
memperbaikinya, dan ihkam adalah menyempurnakan perbuatan dan
menguasinya dengan baik”.[6]
Maka al-Muhkam اَ ْلمُحْ َك ُمsecara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari َأحْ َك َمyang
bermakna sesuatu yang dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.
ْ } َأي- { َوُأ ُتوا ِب ِه ُم َت َش ِاب َها: َقا َل هللا تعالى، ان َأ ْو َمعْ ًنى
-َ م َِن ال َّت َشا ُب ِه َع ْي ًنا َك-ْن م َِن اآْل َخ ِر لِ َما َب ْي َن ُه َما ِ َوال ُّش ْب َه ُة ه َُو َأنْ اَل َي َت َم َّي ُز َأ َح ُد ال َّش ْيَئ ي
ًض ُه َبعْ ضًا لَ ْو ًنا اَل َطعْ مُا َو َحقِ ْي َقة ُ ُْي ْش ِب ُه َبع
Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain
disebabkan adanya kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun
makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka diberi buah-buahan yang serupa…”,
maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian yang lain, bukan
rasa atau hakikatnya.[9]
َأل
والح َر ِام
َ ِ َوَأمَّا فِيْ االِصْ طِ اَل ِح َفه َُو َما َأحْ َك َم ْت ُه ِبا مْ ِر َوال َّنهْيِ و َب َي
ان ْال َحاَل ِل
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau
dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan
haram.”
Al-Muhkam Al-Mutasyabih
apa saja yang hanya diketahui oleh Allah
Sesuatu yang diketahui maksudnya baik
seperti hari kiamat, keluarnya dajjal dan
secara dzhahir atau ta’wil
huruf-huruf muqatta’ah diawal-awal surat
sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan sesuatu yang berkemungkinan lebih dari
ta’wil lebih dari satu satu penta’wilan
Apa saja yang penta’wilannya sesuai Apa saja yang tidak dapat diketahui
dengan nash turunnya(teksnya). kecuali dengan ta’wil
An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja
faraid serta apa yang kita wajib yang kita wajib mengimaninya namun
mengimaninya dan mengamalkannya tidak untuk diamalkan.
Tokoh Pendalilan yang jelas yang Sesuatu yang samar yang tidak
bisa dimengerti maknanya baik
secara akal atau penukilan nash
tidak berkemungkinan syar’i. Hanya Allah yang
al-Hanafiyah terkena naskh mengetahuinya seperti hari
kiamat, huruf muqatta’ah
diawal-awal surat.
Sesuatu yang hanya Allah saja
Yang diketahui maksud yang
yang mengetahuinya seperti
Ahlusunnah[13] diinginkan baik secara
kiamat, keluarnya dajjal, huruf
dzhahir atau ta’wil
muqatta’ah diawal surat.
Sesuatu yang hanya
Yang berkemungkinan lebih dari
Ulama usulfiqih[14] berkemungkinan ta’wil dari
satu penta’wilan
satu sisi saja.
Yang tidak berdiri sendiri bahkan
membutuhkan penjelasan
Sesuatu yang berdiri sendiri terkadang dengan penjelasan ini
al-Imam Ahmad dan tidak membutuhkan dan terkadang dengan
penjelas penjelasan yang lainnya
disebabkan khilaf dalam
penta’wilannya
Sesuatu yang jika ditinjau dari
Tekstual yang bagus dan
Al-Imam segi bahasa tidak dapat
tersusun yang
al-Haramain dimengerti, kecuali didampingi
berkonsekwensi memberikan
dengan tanda atau pendukung.
makna yang lurus atau benar
Seperti satu kata yang memiliki
tanpa penafian
banyak makna
Makna yang jelas yang tidak Makna yang tidak jelas yang
Ath-Thayyibiy[15]
menimbulkan kesamaran menimbulkan kesamaran
B. Macam-macam Mutasyabih
Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa
pendapat ulama didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-
Syatibiy menuliskan bahwasanya al-Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan
idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash dalilnya.
b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ليس كمثله شيءkarena
seandainya diucapkan ليس مثله شيءmaka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang
mendengarnya.
2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-
sifat ini tidak dapat kita pahami gambaran hakikatnya.
3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;
b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala
surat an-Nisa’ ayat 3:
e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.
Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami bahwasanya
secara umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:
Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-sifat
menjadi bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:
1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.
Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang
dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.
3. Madzhab Mutawassith.[23]
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika
penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh
dari pengertian bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan
yang diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.[24]
Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada ayat:
pٌ َب َوُأ َخ ُر ُمتَشَابِه
ات فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ِ ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا
ٌ ات ُمحْ َك َم َ ك ْال ِكت
ٌ ََاب ِم ْنهُ آي َ هُ َو الَّ ِذي َأ ْن َز َل َعلَ ْي
ب ْ َأْل ُ ُأ اَّل َّ َّ ْ ْ ُ َّ ُ ُ
ِ يَقولونَ آ َمنا بِ ِه كلٌّ ِمن ِعن ِد َربِّنَا َو َما يَذك ُر ِإ ولو ا لبَا اسخونَ فِي ال ِعل ِم ْ ْ ُ ِ ُ َوال َّر هَّللا اَّل َو َما يَ ْعل ُم ت ِويلهُ ِإ ء تَْأ ِويلِ ِهpَ ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا
َ ْأَ َ
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal”. (Q.S Ali Imran [3]:7)
Pendapat pertama:
Firman Allah َّاس ُخونَ ِفي ْال ِع ْل ِم ِ َوالرadalah mubtada dan َ يَقُولُونsebagai khabarnya, sehingga huruf وpada
َّْاس ُخونَ فِي ْال ِعل ِم
ِ َوالرbermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan
terhenti pada ُ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللاyang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna
ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.
Pendapat kedua:
“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid yang
membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:
ِ “ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َوالرaku adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”. Pendapat ini
َّاس ُخونَ ِفي ْال ِع ْل ِم
berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa
dimengerti.
Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka mereka
berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih dan
ini riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.[26]
Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan wajibnya waqf pada
kalimat ُ ِإاَّل هَّللاsehingga kalimat َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْلم
ِ َوالرmenjadi kalimat permulaan.[28]
Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat ُ ِإاَّل هَّللا, diantara
argumen beliau adalah:
1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:
فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه
2. Kalau seandainya kalimat َ ُخونppَّاس ِ َوالرmengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka
kedudukan kalimat ِهppِونَ آ َمنَّا بppُ يَقُولmenjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau
kebenaran dari segi kaidah bahasa arab.[29]
Dari sinilah lahir kaidah tafsir يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِال ُمحْ َك ِم واِإل ْي َمانُ بال ُمتَشَابِ ِه “wajib beramal dengan yang muhkam
dan beriman dengan yang mutasyaabih”.[30]
1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang
mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini
dan tidak bermasalas malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari
kiamat, hal ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika
mereka mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.
2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya
dengan berita yang dibawa syariat?
3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan
yang sesuai dengan yang didakwahi.
4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah
semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.
[31]
KESIMPULAN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh
Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:
ان ْال َحاَل ِل وال َح َر ِام
ِ َح فَهُ َو َما َأحْ َك َم ْتهُ بِاَأل ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَي ِ َوَأ َّما فِ ْي
ِ االصْ ِطاَل
“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan
perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”
ف ْال َم َعانِي ْ فَأصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر معpُوأما ال َمتَشَابِه
ِ اختِاَل
“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya
berbeda.”
هللا أعلم
_________________________________
[1] Fahad bin Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumiy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, (Riyadh:
Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyah, cet. 14, 2005 M) hal. 502.
[2] Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w.395 H, Maqayisu al-Lughah, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2008 M) hal. 221.
[3] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w.770 H, al-Mishbah al-Munir, (Kairo:
Dar al-Hadits, cet.2008 M) hal. 95.
[4] Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy w.393 H, ash-Shihah, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2009
M) hal. 270.
[5] Muhammad bin Ya’kub al-Fayruz Abadiy w.817 H, al-Qamus al-Muhith, ( Kairo: Dar al-Hadits,
cet. 2008 M) hal. 389.
[6] Al-Hasan bin Abdullah Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H, al-Furuq al-Lughawiyah, (Kairo:
Dar al-Ilmu wa ats-Tsaqafah, tanpa tahun)
[8] Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H menyatakan bahwa antara ُ اَل ِّش ْبهdan ُ اَل ِّشبِ ْيهada perbedaannya,
beliau berkata:
p, َوقَلَّ َما يَ ْستَ ْع ِم ُل ال َّشبِ ْيةَ إال في ْال ُمتَ َجانِ َسي ِْن، أن ال ِّش ْبهَ َأ َع ُّم ِمنَ ال َّشبِ ْي ِه َأاَل تَ َراهُ ْم يَ ْستَ ْع ِملُوْ نَ ال ِّش ْبهَ في ُكلِّ شٍئ:ق بَ ْينَ ال ِّش ْب ِه وال َّشبِ ْي ِه
ُ ْاَ ْلفَر
ب ويقولون َز ْي ٌد َشبِ ْيهُ َع ْم ٍرو ْ
ِ وال ي َكا ُدونَ يقولون شَبيهُ االَ َس ِد وشبيهُ ال َكل،ب ْ ْ
ِ تقول َز ْي ٌد يُشبِهُ االَ َس َد أو ِش ْبهُ ال َكل
Perbedaan antara syibhu dan syabih: syibhu lebih umum dibanding syabih, tidakkah kau lihat mereka
menggunakan syibhu pada segala sesuatu dan sedikit sekali menggunakan syabih kecuali
penggunaan terhadap dua hal yang sejenis. Jika kau katakan: “Zaid seperti ()يشبهsinga dan zaid
seperti ( )شبهanjing”, dan mereka hampir tidak mengatakan: “mirip ( )شبيهsinga dan mirip ()شبيه
anjing”, akan tetapi mereka mengatakan: “Zaid mirip (‘ )شبيهAmr“. Lihat: Al-Furuq al-Lughawiyah,
(Kairo: Dar al-Ilmi wa ats-Tsaqafah) hal. 153.
[9] Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad ar-Raghib al-Asfahaniy w.502 H, al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an,(Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2012 M) hal. 280.
[11] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy w.911 H, al-Itqhan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2006 M) hal. 5,Jilid 3.
[13] Tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahlusunnah disini, karena imam Ahmad dan
sebagainya yang tersebut adalah dari kalangan ahlusunnah.
[14] Pendapat ulama usul fiqih berkait al-Muhkam dan al-Mutasyabihah antara lain:
1. Al-Muhkam adalah al-Mufassar yaitu yang berdiri sendiri dan jelas maknanya, al-
Mutasyabih adalah al-Mujmal keumuman kata yang tidak bisa dipahami secara mutlaq
melainkan membutuhkan penelitian karena berkemungkinan memiliki makna lebih dari
satu.
2. Al-Muhkam adalah yang maknanya jelas dan dipahami oleh ulama dan penuntut ilmu
lainnya, dan al-Mutasyabih adalah yang maknanya hanya bisa diketahui oleh ulama saja.
3. Al-Muhkam adalah sesuatu yang diketahui makna dan tafsirnya sedangkan al-
Mutasyabih yang tidak kita ketahui maknanya seperti huruf muqatha’ah.
Lihat: Imam Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy w. 620
H, Raudatu an-Nadzir wa Jannatu al-Manadzir fi Usul al-Fiqh, ((Beirut: Dar Ihyaturats al-Arabiy,
tanpa tahun) hal. 51. Lihat pula syarah kitabnya oleh Prof. Dr. Abdulkarim bin Ali bin Muhammad
bin Namlah, Ithaf Dzawi al-Bashair bi Syarhi Raudhatu an-Nadzir fi usul al-fiqh, (Riyadh: Maktabah
ar-Rusydi, cet. 5, 2008 M), hal. 644-647, Jilid 2.
[16] Ibrahim bin Musa bin al-Lakhamiy al-Gharnathiy al-Malikiy Abu Ishaq asy-Syatibiy w. 790
H, al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2013 M) hal. 73, Juz 3.
[17] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, (Kairo: Dar Ibnu Affan, cet.
2013 M) hal.214, jilid 2.
[18] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 12, Juz 3. Lihat juga: Manahil al-Qur’an hal.234, jilid
2. Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, hal. 512.
[19] Thaha ayat 5
[20] Ar-Rahman ayat 27
[21] Al-Fath ayat 10
[23] Istilah madzhab mutawassith ini ditulis oleh az-Zarqaniy dalam Manahil hal. 241, Jilid 2.
[29] Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Raziy w. 606 H, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, cet. 2000 M) hal. 153, Jilid 7.