Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

ِA. Latar Belakang


Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai
macam bentuk, kekuatan, kecerdasan yang berbeda-beda. Sehingga ada
beberapa amalan yang tidak mampu dilakukan oleh seluruh orang, dan ada pula
amalan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kuat tertentu saja.

Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami
oleh semua orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama
tertentu. Serta ada juga yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh seluruh
insan.[1]

Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami
secara menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan
hal-hal yang hanya Allah sajalah yang memahami maknanya. Hal yang
semacam ini disebut oleh para ulama sebagai pembahasan al-Muhkam dan al-
Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi pembahasan makalah kita dalam
kesempatan ini.

Menimbang pentingnya pembahasan ini perlu rasanya penulis sedikit


bersumbangsih meski banyak kendala dalam penulisan makalah ini yang
mendasar terutama banyaknya istilah-istilah syar’i yang sulit untuk dituangkan
maknanya kedalam bahasa Indonesia secara sempurna. Namun tiada pilihan
lain kecuali tetap kita upayakan untuk menyajikannya sebatas kemampuan
dalam sebuah pengabdian, mohon maaf atas segala kekeliruan dan semoga
bisa bermanfaat serta dicatat oleh Allah sebagai sebuah amal shalih amin Ya
Rabbal ‘Alamin.

B. Poin Pembahasan
1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih
2. Macam-macam al-Mutasyabih
3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah
4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat
5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih
PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih


Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Bahasa.

1. Pengertian al-Muhkam Secara bahasa.


Al-Muhkam secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ َح َك َم‬yang mana Ibnu Faris –
rahimahullah- mengatakan:

ُّ ‫ َوَأوَّ ُل َذل َِك اَ ْلح ُْك ُم َوه َُو اَ ْل َم ْن ُع م َِن‬.‫ َوه َُو اَ ْل َم ْن ُع‬,‫اَ ْل َحا ُء َو ْال َكافُ َو ْال ِم ْي ُم َأصْ ٌل َوا ِح ٌد‬
‫الظ ْل ِم‬

“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna
larangan. Kata pertama yang berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum
yang berarti melarang dari sebuah kedzhaliman.”[2]

Dikatakan juga: “ ‫” َح َكمْ ُت ُه َعلَ ْي ِه ِب َك َذا ِإ َذا َم َنعْ ُت ُه مِنْ ِخاَل فِ ِه‬, “aku menghukuminya dengan begini,
jika aku melarangnya untuk tidak menyelisihi sesuatu tersebut”.[3]

Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu makna secara
bahasa. Dari sini pulalah tali yang mengikat kepala dan leher binatang
dinamakan dengan ]4[‫ َح َك َم ٌة‬ atau tali kekang, karena berfungsi untuk melarangnya
bergerak agar terkendali.

Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika dikatakan


‫ َأحْ َك َم – ِإحْ َكامًا‬yang bermakna ‫ َأ ْت َق َن – ِإ ْت َقا ًنا‬artinya adalah menguatkan atau
mengokohkan, seperti jika dikatakan: ‫ا ِد‬- ‫ ُه َعنْ ْال َف َس‬- ‫ ُه َف َم َنعْ ُت‬- ‫ ْيَئ َأي َأ ْت َق ْن ُت‬- ‫الش‬
َّ ‫ت‬ُ ْ‫ َأحْ َكم‬artinya aku
menguatkan sesuatu dan melarangnya dari kerusakan.[5] Abu Hilal al-‘Askariy
–rahimahullah- berkata:

‫ ِل‬----ْ‫ ا ُد ْالفِع‬----‫ا ُم ِإي َْج‬----‫ َواِإْلحْ َك‬,‫اَل ُح ُه‬----‫ص‬ َ ‫َأنَّ ِإ ْت َق‬ “itqhannya sesuatu maksudnya adalah
َّ ‫ان‬----
ْ ‫ ْيِئ ِإ‬----‫الش‬
memperbaikinya, dan ihkam adalah menyempurnakan perbuatan dan
menguasinya dengan baik”.[6]

Maka al-Muhkam ‫ اَ ْلمُحْ َك ُم‬secara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari ‫ َأحْ َك َم‬yang
bermakna sesuatu yang dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.

2. Pengertian al-Mutasyabih secara bahasa


Al-Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata dasar ‫ شبه‬yang mana dikatakan
oleh Ibnu Faris –rahimahullah- : ‫اَل ِّشيْنُ َو ْال َبا ُء َو ْال َها ُء َأصْ ٌل َوا ِح ٌد َي ُد ُّل َعلَى َت َشا ُب ِه ال َّش ْيِئ‬ “bahwa huruf
asy-Syin, al-Ba’ dan al-Ha’ satu dasar kata yang menunjukkan kemiripan
sesuatu”[7].

Ar-Raghib al-Asfahaniy –rahimahullah- menjelaskan bahwasanya al-mutasyabih


َّ
sebuah kata turunan dari ]8[ ‫ ِب ْي ُه‬--‫والش‬ َّ
‫ َب ُه‬--‫والش‬ َّ َ‫ا‬ yang maknanya adalah sebuah
‫ ْب ُه‬--‫لش‬
kemiripan, beliau berkata:

ْ‫ } َأي‬-‫ { َوُأ ُتوا ِب ِه ُم َت َش ِاب َها‬:‫ َقا َل هللا تعالى‬، ‫ان َأ ْو َمعْ ًنى‬
-َ ‫ م َِن ال َّت َشا ُب ِه َع ْي ًنا َك‬-‫ْن م َِن اآْل َخ ِر لِ َما َب ْي َن ُه َما‬ ِ ‫َوال ُّش ْب َه ُة ه َُو َأنْ اَل َي َت َم َّي ُز َأ َح ُد ال َّش ْيَئ ي‬
ً‫ض ُه َبعْ ضًا لَ ْو ًنا اَل َطعْ مُا َو َحقِ ْي َقة‬ ُ ْ‫ُي ْش ِب ُه َبع‬

Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain
disebabkan adanya kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun
makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka diberi buah-buahan yang serupa…”,
maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian yang lain, bukan
rasa atau hakikatnya.[9]

Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki kemiripan


satu dengan yang lain”.

3. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Istilah.


Para ulama berbeda pendapat atau bermacam-macam dalam mengungkapkan
pengertian al-Muhkam ataupun al-Mutasyabih.

Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

‫َأل‬
‫والح َر ِام‬
َ ِ ‫َوَأمَّا فِيْ االِصْ طِ اَل ِح َفه َُو َما َأحْ َك َم ْت ُه ِبا مْ ِر َوال َّنهْيِ و َب َي‬
‫ان ْال َحاَل ِل‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau
dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan
haram.”

‫اخ ِتاَل فِ ْال َم َعانِي‬ ُ ‫وأما ال َم َت َش ِاب ُه فَأصْ لُ ُه أن َي ْش َت ِب َه اللَ ْف‬


َ ‫ظ في‬
ْ ‫الظاه ِِر مع‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir


sementara maknanya berbeda.”[10]

Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam dan al-


Mutasyabih, kurang lebihnya seperti yang diikuti oleh Imam as-Suyuthiy dalam
ungkapannya sebagai berikut; [11]

Al-Muhkam Al-Mutasyabih
apa saja yang hanya diketahui oleh Allah
Sesuatu yang diketahui maksudnya baik
seperti hari kiamat, keluarnya dajjal dan
secara dzhahir atau ta’wil
huruf-huruf muqatta’ah diawal-awal surat

adalah yang jelas maknanya ayat yang tidak jelas maknanya

sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan sesuatu yang berkemungkinan lebih dari
ta’wil lebih dari satu satu penta’wilan

Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli al-


Apa saja yang termasuk ma’qulu al-ma’na
ma’na

Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan


Apa saja yang berdiri sendiri -tanpa butuh
membutuhkan kepada yang lain –sebagai
yang lain sebagai penjelas-
penjelas-

Apa saja yang penta’wilannya sesuai Apa saja yang tidak dapat diketahui
dengan nash turunnya(teksnya). kecuali dengan ta’wil

Yang tidak berulang-ulang lafadznya Yang berulang-ulang lafadznya

Al-Faraid, janji dan ancaman Kisah dan permisalan

An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja
faraid serta apa yang kita wajib yang kita wajib mengimaninya namun
mengimaninya dan mengamalkannya tidak untuk diamalkan.

Halal dan haram Selain halal dan haram

Sementara Syaikh Muhammad Abdul’adzim –rahimahullah- mengelompok


pendapat-pendapat tersebut dengan menyandarkan kepada ulamanya,
sebagaimana yang beliau tuliskan dalam kitabnya sebagai berikut:[12]

Ulama Al-Muhkam Al-Mutasyabih

Tokoh Pendalilan yang jelas yang Sesuatu yang samar yang tidak
bisa dimengerti maknanya baik
secara akal atau penukilan nash
tidak berkemungkinan syar’i. Hanya Allah yang
al-Hanafiyah terkena naskh mengetahuinya seperti hari
kiamat, huruf muqatta’ah
diawal-awal surat.
Sesuatu yang hanya Allah saja
Yang diketahui maksud yang
yang mengetahuinya seperti
Ahlusunnah[13] diinginkan baik secara
kiamat, keluarnya dajjal, huruf
dzhahir atau ta’wil
muqatta’ah diawal surat.
Sesuatu yang hanya
Yang berkemungkinan lebih dari
Ulama usulfiqih[14] berkemungkinan ta’wil dari
satu penta’wilan
satu sisi saja.
Yang tidak berdiri sendiri bahkan
membutuhkan penjelasan
Sesuatu yang berdiri sendiri terkadang dengan penjelasan ini
al-Imam Ahmad dan tidak membutuhkan dan terkadang dengan
penjelas penjelasan yang lainnya
disebabkan khilaf dalam
penta’wilannya
Sesuatu yang jika ditinjau dari
Tekstual yang bagus dan
Al-Imam segi bahasa tidak dapat
tersusun yang
al-Haramain dimengerti, kecuali didampingi
berkonsekwensi memberikan
dengan tanda atau pendukung.
makna yang lurus atau benar
Seperti satu kata yang memiliki
tanpa penafian
banyak makna
Makna yang jelas yang tidak Makna yang tidak jelas yang
Ath-Thayyibiy[15]
menimbulkan kesamaran menimbulkan kesamaran
 

B. Macam-macam Mutasyabih
Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa
pendapat ulama didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-
Syatibiy menuliskan bahwasanya al-Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan
idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash dalilnya.

1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita


tidak dapat memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat
menelitinya tidak bisa mendapatkan maknanya yang muhkam.
2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya
maknanya bisa dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang
dirancukan oleh kejahilan atau hawa nafsu sehingga dalam
pandangannya menjadi mutasyabih yang sebenarnya lebih condong
kepada muhkam.[16] Jenis kedua ini disebut juga dengan istilah al-
Mutasyabih an-Nisbiy yang relative dan hanya ulama tertentu saja
yang dapat memahami maknanya.
3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya
akan tetapi pada ‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai
dan halalnya hewan yang disembelih secara syari sangatlah jelas,
namun timbul syubhat saat kedua daging tersebut tercampur apakah
halal untuk dikonsumsi atau menjadi haram.[17]
Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut
pandang; dari segi lafadz saja, dari segi makna saja dan dari segi lafadz dan
makna secara bersamaan:

1. Dari segi lafadz saja:


a. Terdapat pada satu lafadz saja, seperti al-Abb ( ّ‫)اََأْلب‬.

b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ‫ ليس كمثله شيء‬karena
seandainya diucapkan ‫ ليس مثله شيء‬maka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang
mendengarnya.

2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-
sifat ini tidak dapat kita pahami gambaran hakikatnya.

3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;

a. Dari segi populasinya, seperti pada permasalahan al-umum dan al-khusus.

-َ ‫ َفا ْق ُتلُوا ْال ُم ْش ِرك‬, dalam surat at-Taubah ayat 5.


Contoh: ‫ِين‬

b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala
surat an-Nisa’ ayat 3:

َ َ‫فَا ْن ِكحُوا َما ط‬


‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬

c. Dari segi waktu, seperti an-Naskh dan al-Mansukh.

d. Dari segi tempat turunnya ayat tersebut.

e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.
Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami bahwasanya
secara umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:

1. Al-Mutasyabih yang sama sekali tidak bisa kita pahami.


2. Al-Mutasyabih yang bisa dipahami dengan indikasi-indikasi lainnya.
3. Al-Mutasyabih yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. [18]

C. Al-Mutasyabihat Dalam Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah


Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk mutasyabih adalah ayat tentang sifat-
sifat Allah Ta’ala, seperti:

]21[‫ق َأ ْي ِدي ِه ْم‬


َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬, ]20[‫ك‬ ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬
َ ِّ‫ َويَ ْبقَى َوجْ هُ َرب‬, ]19[‫ش ا ْستَ َوى‬

Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-sifat
menjadi bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:

1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.
Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang
dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.

2. Madzhab khalaf yaitu sebagian kalangan dari ahlusunnah.


Dengan berpendapat membolehkan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan kemuliaan Allah Ta’ala.
Dahulunya Imam al-Haramain termasuk yang berpendapat seperti ini, namun kemudian beliau rujuk
kepada pendapat salaf seraya berkata didalam kitab ar-Risalah an-Nidzamiyah: Yang aku rela dalam
beragama kepada Allah dengan penuh keyakinan adalah mengikuti salaf al-ummah, sesungguhnya
mereka meniti sebuah jalan yang meninggalkan pertentangan antara makna-makna sifat tersebut.[22]

3. Madzhab Mutawassith.[23]
Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika
penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh
dari pengertian bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan
yang diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.[24]

D. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat


Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang makna al-muhkam dan al-
mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih pendapat dalam permasalahan siapakah yang
dapat memahami ayat al-mutasyabihah.

Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada ayat:
pٌ َ‫ب َوُأ َخ ُر ُمتَشَابِه‬
‫ات فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء‬ ِ ‫ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا‬
ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬ َ ‫هُ َو الَّ ِذي َأ ْن َز َل َعلَ ْي‬
‫ب‬ ْ ‫َأْل‬ ُ ‫ُأ‬ ‫اَّل‬ َّ َّ ْ ْ ُ َّ ُ ُ
ِ ‫يَقولونَ آ َمنا بِ ِه كلٌّ ِمن ِعن ِد َربِّنَا َو َما يَذك ُر ِإ ولو ا لبَا‬ ‫اسخونَ فِي ال ِعل ِم‬ ْ ْ ُ ِ ‫ُ َوال َّر‬ ‫هَّللا‬ ‫اَّل‬‫ َو َما يَ ْعل ُم ت ِويلهُ ِإ‬ ‫ء تَْأ ِويلِ ِه‬pَ ‫ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا‬
َ ‫ْأ‬َ َ

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal”. (Q.S Ali Imran [3]:7)

Pendapat pertama:

Firman Allah ‫َّاس ُخونَ ِفي ْال ِع ْل ِم‬ ِ ‫ َوالر‬adalah mubtada dan َ‫ يَقُولُون‬sebagai khabarnya, sehingga huruf ‫ و‬pada
ْ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِعل ِم‬
ِ ‫ َوالر‬bermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan
terhenti pada ُ ‫ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا‬yang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna
ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.

Pendapat kedua:

Huruf ‫ و‬pada firman Allah ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬


ِ ‫ َوالر‬bermakna al-athfu sebagai huruf atau kata sambung dan
َ‫ون‬ppُ‫ يَقُول‬menjadi keterangan hal, sehingga waqf bacaan terhenti pada ‫ ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم‬pp‫َّاس‬
ِ ‫ َوالر‬sehingga
berkonsekwensi maknanya bahwa yang memahami al-mutasyaabih adalah Allah dan orang-orang
yang diberi kekokohan dalam ilmu.[25]

Imam as-Suyuthiy berkata:

“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid yang
membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:

ِ ‫“ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َوالر‬aku adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”. Pendapat ini
‫َّاس ُخونَ ِفي ْال ِع ْل ِم‬
berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa
dimengerti.

Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka mereka
berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih dan
ini riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.[26]

Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:

ِ ‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ َويَقُوْ ُل الر‬


‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم آ َمنَّا بِ ِه‬
“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang yang kokoh
keilmuanya; kami beriman dengannya”[27]

Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan wajibnya waqf pada
kalimat ُ ‫ ِإاَّل هَّللا‬sehingga kalimat ‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْلم‬
ِ ‫ َوالر‬menjadi kalimat permulaan.[28]

Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat ُ ‫ِإاَّل هَّللا‬, diantara
argumen beliau adalah:

1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:
‫فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ فَيَتَّبِعُونَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه‬

Kalau seandainya ta’wil itu boleh maka Allah takkan mencelannya.

2. Kalau seandainya kalimat َ‫ ُخون‬pp‫َّاس‬ ِ ‫ َوالر‬mengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka
kedudukan kalimat ‫ ِه‬ppِ‫ونَ آ َمنَّا ب‬ppُ‫ يَقُول‬menjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau
kebenaran dari segi kaidah bahasa arab.[29]
Dari sinilah lahir kaidah tafsir ‫يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِال ُمحْ َك ِم واِإل ْي َمانُ بال ُمتَشَابِ ِه‬ “wajib beramal dengan yang muhkam
dan beriman dengan yang mutasyaabih”.[30]

E. Hikmah Mengetahui Muhkam dan Mutasyabih


Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah al-muhkam dan al-mutasyaabih,
maka sesungguhnya ada beberapa hikmah didalamnya antara lain:

1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang
mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini
dan tidak bermasalas malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari
kiamat, hal ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika
mereka mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.
2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya
dengan berita yang dibawa syariat?
3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan
yang sesuai dengan yang didakwahi.
4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah
semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.
[31]

KESIMPULAN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh
Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:
‫ان ْال َحاَل ِل وال َح َر ِام‬
ِ َ‫ح فَهُ َو َما َأحْ َك َم ْتهُ بِاَأل ْم ِر َوالنَّه ِْي وبَي‬ ِ ‫َوَأ َّما فِ ْي‬
ِ ‫االصْ ِطاَل‬

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan
perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

‫ف ْال َم َعانِي‬ ْ ‫ فَأصْ لُهُ أن يَ ْشتَبِهَ اللَ ْفظُ في الظَا ِه ِر مع‬pُ‫وأما ال َمتَشَابِه‬
ِ ‫اختِاَل‬

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya
berbeda.”

3. Macam-macam al-mutasyabih antara lain al-Mutasyabih al-Haqiqiy dan al-Idhafiy


4. diantara yang termasuk al-Mutasyabihat adalah Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah
5. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat yang penulis lebih cenderung kepada
pendapat jumhur ahlusunnah dari kalangan salaf.
6. Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam dan mutasyabih
diantaranya sebagai ujian bagi kita apakah kita beriman kepada hal yang ghaib, atau juga
menjelaskan tentang hakikat lemah dan bodohnya kita sebagai insan.

‫هللا أعلم‬
_________________________________

[1] Fahad bin Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumiy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, (Riyadh:
Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyah, cet. 14, 2005 M) hal. 502.

[2] Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w.395 H, Maqayisu al-Lughah, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2008 M) hal. 221.

[3] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w.770 H, al-Mishbah al-Munir, (Kairo:
Dar al-Hadits, cet.2008 M) hal. 95.

[4] Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy w.393 H, ash-Shihah, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2009
M) hal. 270.

[5] Muhammad bin Ya’kub al-Fayruz Abadiy w.817 H, al-Qamus al-Muhith, ( Kairo: Dar al-Hadits,
cet. 2008 M) hal. 389.
[6] Al-Hasan bin Abdullah Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H, al-Furuq al-Lughawiyah, (Kairo:
Dar al-Ilmu wa ats-Tsaqafah, tanpa tahun)

[7] Ibnu Faris, Maqayisu al-Lughah, hal. 469.

[8] Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H menyatakan bahwa antara ُ‫ اَل ِّش ْبه‬dan ُ‫ اَل ِّشبِ ْيه‬ada perbedaannya,
beliau berkata:

p,‫ َوقَلَّ َما يَ ْستَ ْع ِم ُل ال َّشبِ ْيةَ إال في ْال ُمتَ َجانِ َسي ِْن‬، ‫ أن ال ِّش ْبهَ َأ َع ُّم ِمنَ ال َّشبِ ْي ِه َأاَل تَ َراهُ ْم يَ ْستَ ْع ِملُوْ نَ ال ِّش ْبهَ في ُكلِّ شٍئ‬:‫ق بَ ْينَ ال ِّش ْب ِه وال َّشبِ ْي ِه‬
ُ ْ‫اَ ْلفَر‬
‫ب ويقولون َز ْي ٌد َشبِ ْيهُ َع ْم ٍرو‬ ْ
ِ ‫ وال ي َكا ُدونَ يقولون شَبيهُ االَ َس ِد وشبيهُ ال َكل‬،‫ب‬ ْ ْ
ِ ‫تقول َز ْي ٌد يُشبِهُ االَ َس َد أو ِش ْبهُ ال َكل‬

Perbedaan antara syibhu dan syabih: syibhu lebih umum dibanding syabih, tidakkah kau lihat mereka
menggunakan syibhu pada segala sesuatu dan sedikit sekali menggunakan syabih kecuali
penggunaan terhadap dua hal yang sejenis. Jika kau katakan: “Zaid seperti (‫)يشبه‬singa dan zaid
seperti (‫ )شبه‬anjing”, dan mereka hampir tidak mengatakan: “mirip (‫ )شبيه‬singa dan mirip (‫)شبيه‬
anjing”, akan tetapi mereka mengatakan: “Zaid mirip (‫‘ )شبيه‬Amr“. Lihat: Al-Furuq al-Lughawiyah,
(Kairo: Dar al-Ilmi wa ats-Tsaqafah) hal. 153.

[9] Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad ar-Raghib al-Asfahaniy w.502 H, al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an,(Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2012 M) hal. 280.

[10] Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyiy w. 794 H, al-Burhan fi ‘Ulumi al-Qur’an,


(Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 370.

[11] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy w.911 H, al-Itqhan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-
Hadits, cet. 2006 M) hal. 5,Jilid 3.

[12] Muhammad Abdul’adzim az-Zarqaniy w. 1367, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo:


Dar al-Hadits, cet. 2001 M) hal. 227, Jilid 2.

[13] Tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahlusunnah disini, karena imam Ahmad dan
sebagainya yang tersebut adalah dari kalangan ahlusunnah.

[14] Pendapat ulama usul fiqih berkait al-Muhkam dan al-Mutasyabihah antara lain:

1. Al-Muhkam adalah al-Mufassar yaitu yang berdiri sendiri dan jelas maknanya, al-
Mutasyabih adalah al-Mujmal keumuman kata yang tidak bisa dipahami secara mutlaq
melainkan membutuhkan penelitian karena berkemungkinan memiliki makna lebih dari
satu.
2. Al-Muhkam adalah yang maknanya jelas dan dipahami oleh ulama dan penuntut ilmu
lainnya, dan al-Mutasyabih adalah yang maknanya hanya bisa diketahui oleh ulama saja.
3. Al-Muhkam adalah sesuatu yang diketahui makna dan tafsirnya sedangkan al-
Mutasyabih yang tidak kita ketahui maknanya seperti huruf muqatha’ah.
Lihat: Imam Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy w. 620
H, Raudatu an-Nadzir wa Jannatu al-Manadzir fi Usul al-Fiqh, ((Beirut: Dar Ihyaturats al-Arabiy,
tanpa tahun) hal. 51. Lihat pula syarah kitabnya oleh Prof. Dr. Abdulkarim bin Ali bin Muhammad
bin Namlah, Ithaf Dzawi al-Bashair bi Syarhi Raudhatu an-Nadzir fi usul al-fiqh, (Riyadh: Maktabah
ar-Rusydi, cet. 5, 2008 M), hal. 644-647, Jilid 2.

[15] Al-Hasan bin Muhammad bin Abdullah Syarifuddin ath-Thayyibiy w. 743 H.

[16] Ibrahim bin Musa bin al-Lakhamiy al-Gharnathiy al-Malikiy Abu Ishaq asy-Syatibiy w. 790
H, al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2013 M) hal. 73, Juz 3.

[17] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, (Kairo: Dar Ibnu Affan, cet.
2013 M) hal.214, jilid 2.

[18] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 12, Juz 3. Lihat juga: Manahil al-Qur’an hal.234, jilid
2. Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, hal. 512.

[19] Thaha ayat 5

[20] Ar-Rahman ayat 27

[21] Al-Fath ayat 10

[22] Kemudian madzhab khalaf berbeda pendapat dalam menta’wil:

1. Kelompok asy-‘Ariyah menta’wilnya tanpa menetapkan makna lain, mereka berkata:


sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah Allah memiliki sifat sam’iyah
yang mana kita tidak tahu bagaimana hakikatnya yang dinamakan sifat istiwa’.
2. Kelompok mutaakhirin menta’wil dan menetapkan atau memalingkan kepada sifat lain,
mereka berkata: istiwa’ maknanya adalah istila’ tanpa berlebih-lebihan atau takalluf.
Lihat: Manahil al-Qur’an hal. 241, jilid 2.

[23] Istilah madzhab mutawassith ini ditulis oleh az-Zarqaniy dalam Manahil hal. 241, Jilid 2.

[24] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 14-15, Juz 3.

[25] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet. 3,


2000 M) hal.222.
[26] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 7, Juz 3.

[27] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, hal. 222.

[28] Muhyiddin ad-Darwisy w. 1403 H/1982 M, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu ,(Beirut:


Dar al-Yamamah, cet. 11, 2011 M) hal. 395, Jilid 1.

[29] Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Raziy w. 606 H, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, cet. 2000 M) hal. 153, Jilid 7.

[30] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir, hal. 212, Jilid 2.

[31] Az-Zarqaniy, Manahil al-Qur’an, hal. 235-236, jilid 2.

Anda mungkin juga menyukai