Anda di halaman 1dari 13

MUHKAM &

MUTASABIHAT
oleh
Nabilla Apriliani Ariezta (210313261)
Rahma Aleyda Nur Fadhila (210313283)
PENGERTIAN
MUHKA
Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan
membedakan antara yang hak dan batil. Secara bahasa, ayat
muhkam berasal dari kata ahkama yang berarti kuat atau
dikuatkan. Sedangkan secara istilah, ayat muhkam adalah ayat-
M
ayat Alquran yang jelas maknanya
Ayat muhkam memiliki arti yang pasti. Ayat ini tidak
membutuhkan nash atau dalil lain dalam menerjemahkannya.
Mengutip buku Ulumul Quran oleh Dr. H. Bahruddin (2020), ayat muhkam adalah jenis ayat yang maksudnya dapat
segera diketahui tanpa penakwilan. Umumnya, ayat ini memuat tentang perintah, larangan, ancaman serta janji Allah
Swt. Penjelasan tentang ayat muhkam sudah disinggung melalui firman Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 7 yang
artinya:

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat.

Secara umum, ayat muhkam dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, ayat-ayat yang sangat
jelas maksudnya sehingga orang awam pun dapat mengetahui maknanya. Dalam surat al-Baqarah ayat
183, Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yamg beriman diwajibkum atas kamu berpuasa”
Perintah berpuasa dalam ayat ini sangat jelas maksudnya. Sehingga, tanpa ilmu agama yang tinggi, orang
awam pun dapat memahaminya.
Jenis kedua yakni ayat muhkam yang hanya dapat dipahami oleh para ulama berdasarkan ilmu mereka. Ayat ini
dapat diterjemahkan dengan bantuan kajian ushul fiqh dan kaidah-kaidah ilmu balaghah lainnya. Contohnya
terdapat dalam ayat berikut:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.” (QS. Al-Baqarah:
261)

Yang dimaksud dengan "perumpamaan orang-orang yang berinfak" dalam ayat ini adalah "perumpamaan pahala
orang yang menginfakkan hartanya"
Jadi, ada kata yang dibuang dalam ayat ini karena telah dimaklumi oleh para ulama. Mengutip buku Studi Alquran
oleh Dr. Kadar M Yusuf (2012), kata yang dibuang adalah tsawab (pahala) atau ajr (balasan). Ini termasuk dalam
penggunaan majaz nuqshan. Tanpa ilmu agama yang tinggi, orang awam sulit memahaminya.
contoh
Surat Al-Ikhlas(112) ayat 4
‫ࣖ ول َْم يَك ُْن ل َّ ٗه ك ُ ُف ًوا ا َ َح ٌد‬
َ
"Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan
Dia.”

Surat Taha(20) ayat 82 ayat


muhkam
‫اهتَ ٰدى‬
ْ َ‫حا ثُ ّم‬ َ ‫اب َوا ٰ َم َن َو‬
ً ِ‫ع ِم َل َصال‬ ٌ ‫َواِ ِن ّي ل َ َغ ّف‬
َ َ‫َار لِّ َم ْن ت‬

"Dan sungguh, Aku Maha Pengampun


bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian
tetap dalam petunjuk."

Surat Asy-Syura(42)ayat 11

‫الس ِميْ ُع ال ْبَ ِصيْ ُر‬


َّ ‫ل َيْ َس ك َِمثْ ِل ٖه َش ْيءٌ َۚو ُه َو‬

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang
Maha Mendengar, Maha Melihat."
MUTASYABIHA
T
PENGERTIAN

Mutasyabihat menurut etimologi berasal dari kata tasyabuh


yang memiliki makna samar hingga hampir serupa. Adapun
menurut terminologi adalah ayat yang memiliki banyak
kemungkinan makna sehingga perlu kemampuan yang
mendalam untuk menemukan makna yang tepat.
Ada dua metode untuk menyikapi ayat-ayat
mutasyabihat yang keduanya sama-sama benar
Pertama, metode tafwidl (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil ijmali/takwil
secara global). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama salaf (ulama yang
hidup pada tiga abad pertama Hijriah). Yaitu dengan cara mengimaninya serta
meyakini bahwa maknanya bukanlah makna lahiriahnya yang merupakan sifat-sifat
jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak
bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut.
Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat
muhkamat, yakni dengan meyakini bahwa ayat-ayat mutasyabihat tersebut tidak
mengandung makna yang bertentangan dengan makna ayat-ayat muhkamat.
Kedua, metode ta’wil (disebut sebagian ulama dengan istilah ta’wil tafshili/takwil secara
terperinci). Metode ini digunakan oleh sebagian besar ulama khalaf (ulama yang hidup
setelah tiga abad pertama Hijriah). Mereka menakwil (memaknai) ayat-ayat
mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan
penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama salaf, mereka tidak
memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan makna lahiriahnya.
Metode ta’wil ini sangat tepat dan bijak untuk diterapkan, terutama ketika dikhawatirkan
terjadi goncangan aqidah di kalangan orang-orang awam demi untuk menjaga dan
membentengi mereka dari keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya). Metode ini juga digunakan oleh sebagian ulama salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid,
Sufyan ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari dan lainnya.
PEMBAGIAN AYAT
MUTASYABIHAT
Ayat Mutasyabihat dibagi menjadi dua.
Pertama, Ayat Mutasyabihat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti
ayat-ayat yang berhubungan dengan hal yang ghaib.
Kedua, Ayat Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam
ilmunya (ar rasikhun fil ‘ilm), sesudah menyelidikinya secara mendalam.
Termasuk contoh jenis yang kedua ini adalah seperti maksud dari al istiwa’ dalam
ayat: ”Ar Rahmanu ‘ala al ‘arsyi istawa”. QS Thaha ayat 5. Para ulama ar rasikhun fil
‘ilm menafsirkan istawa di atas dengan ‘menguasai’ (al-Qahr), bukan bersemayam;
sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdullah al Harari dalam al Syarh al Qawim fi
Hall Alfadz al Shirath al Mustaqim.
Al Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu
sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad
saw. yang Mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
BENTUK-BENTUK AYAT
MUTASYABIH DALAM AL-
QUR’AN
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


1. Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan ‫ير‬ ُ ‫ار ۖ َو ُه َو الل َّ ِط‬
ُ ‫يف ال َْخ ِب‬
‫َأ‬ ُ ‫ل َا تُ ْد ِرك ُُه الَْأبْ َص‬
َ ‫ار َو ُه َو ي ُ ْد ِر ُك ال ْ بْ َص‬
nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat
Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi
dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu Maha Mengetahui” [Al-An’am/6 : 103]
hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah
Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang
Subhanahu wa Ta’ala. firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

‫ون ِب ِه ِعل ًْما‬


َ ‫يط‬ ِ ‫يَ ْعل َُم َما بَيْ َن َأيْ ِد‬
ُ ‫يه ْم َو َما َخل ْ َف ُه ْم َول َا يُ ِح‬ ْ ‫عل َى ال َْع ْر ِش‬
‫استَ َو ٰى‬ َ ‫الر ْح َٰم ُن‬
َّ
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan [Thahaa/20 : 5]
apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam ? Beliau
tidak dapat meliputi ilmuNya” [Thahaa/20 : 110] menjawab : “Bersemayam menurut bahasa telah diketahui artinya,
hakikatnya tidak diketahui, iman kepadanya hukumnya wajib dan
mempertanyakannya adalah bid’ah”

Bentuk Mustasyabih yang ini tidak mungkin untuk dipertanyakan


sebab tidak mungkin untuk bisa diketahui hakikatnya.
BENTUK-BENTUK AYAT
MUTASYABIH DALAM AL-
QUR’AN
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

2. Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya ٌ ‫عل َى الل َّ ِه يَ ِس‬


‫ير‬ ٍ َ‫الس َما ِء َوالَْأ ْر ِض ۗ ِإ ّ َن َٰذ ِل َك ِفي ِكت‬
َ ‫اب ۚ ِإ ّ َن َٰذ ِل َك‬ َّ ‫َأل َْم تَ ْعل َْم َأ ّ َن الل َّ َه يَ ْعل َُم َما ِفي‬
untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang saja yang ada di langit dan di bumi ? Bahwasanya yang demikian itu terdapat
mendalam ilmunya saja. dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat
mudah bagi Allah” [Al-Hajj/22 : 70]

Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan Golongan Jabariyah salah dalam memahaminya, mereka memahami, bahwa
tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, seorang hamba melakukan amal perbuatan karena terpaksa, dia tidak memiliki
keinginan dan kemampuan apapun, mereka menolak banyak ayat yang
karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang menjelaskan, bahwa seorang hamba juga memiliki keingainan dan kemampuan
artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. dan bahwa amal perbuatan seorang hamba terbagi menjadi dua : ikhtiyaari
(berdasarkan keinginan) dan ghoiru ikhtiyaari (paksaan).

Sementara orang-orang yang mendalam ilmunya atau para ulama adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar,
mereka tahu bagaimana mengkorelakasikan ayat-ayat Mutasyabihah ini sehingga maknanya sesuai dengan ayat-ayat yang
lain, akhirnya Al-Qur’an seluruhnya menjadi Muhkam tidak ada yang tersamar sama sekali.
Dalil Tentang Ayat Muhkamat
& Mutasyabihat

firman Allah dalam Surat Ali Imran


َ ‫ت ۗ َفا َ َّما ال َّ ِذيْ َن ِف ْي ُقل ُْو ِب ِه ْم َزيْ ٌغ َفيَتَّ ِب ُع ْو َن َما تَ َشابَ َه ِمن ْ ُه ابْ ِت َغ‬
‫اۤء ال ْ ِفتْن َ ِة‬ ٌ ‫خ ُر ُمتَ ٰش ِب ٰه‬ َ ُ ‫ت ُه َّن ا ُ ُّم ال ْ ِكتٰ ِب َوا‬ ٌ ‫حك َٰم‬ ْ ‫ت ُّم‬ ٌ ٰ‫ب ِمن ْ ُه اٰي‬ َ ٰ‫عل َيْ َك ال ْ ِكت‬َ ‫ُه َو ال َّ ِذ ْيٓ اَن ْ َز َل‬
ِ َ‫خ ْو َن ِفى ال ِْعل ْ ِم يَ ُق ْول ُْو َن ا ٰ َمن َّا ِب ٖهۙ ك ّ ٌُل ِّم ْن ِعن ْ ِد َر ِبّنَا ۚ َو َما يَ َّذك َّ ُر اِلَّٓا اُول ُوا الْاَل ْب‬
‫اب‬ ُ ‫اس‬ ِ ‫الر‬ َّ ‫اۤء تَْأ ِويْلِ ٖهۚ َو َما يَ ْعل َُم تَْأ ِويْل َٗهٓ اِلَّا الل ّ ٰ ُه َۘو‬
َ ‫َوابْ ِت َغ‬
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang
muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan
untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang
yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.”
Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (QS. Ali Imran ayat 7)
Hikmah
Muhkam
berkah bagi umat manusia, terutama bagi mereka yang lemah dalam bahasa Arab.
Dengan kitab suci muhkam yang jelas sangat berarti dan bermanfaat bagi mereka.
ayat muhkam dan mutasyabihat Memudahkan manusia untuk memahami makna dan maknanya. Juga memudahkan
mereka dalam memahami makna maknanya, sehingga lebih mudah dalam
mengamalkan pelaksanaan ajarannya. Mendorong masyarakat untuk secara aktif
memahami, menghayati dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Menghilangkan kesulitan dan
kebingungan masyarakat mempelajari isi ajarannya, karena pengucapan kitab suci itu
sendiri dapat menjelaskan makna dan membantu guru, dosen, misionaris dan juru
dakwah dalam upaya mereka menjelaskan ajaran Al-Qur’an dan kitab sucinya kepada
masyarakat.
Mutasyabihat
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat Allah Swt bagi manusia yang lemah yang tidak mampu
mengetahui segala sesuatu.
Keberadaan ayat-ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, apakah mereka percaya
atau tidak tentang hal-hal ghaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang benar. Sebagai
bukti atas kelemahan dan kebodohan manusia. Bagaimanapun besar kesiapan dan banyak ilmunya,
namun Tuhan sendirilah yang mengetahui segala-galanya.
Adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Quran merupakan sebuah bukti kemukjizatannya.
Mempermudah orang menghafal dan memeliharanya. Sebab setiap lafal yang mengandung banyak
penafsiran yang berakibat pada ketidakjelasan akan menunjuk banyak makna. Sekiranya makna-
makna tersebut diungkapkan dengan lafal secara langsung niscaya al-Quran menjadi berjilid-jilid.
Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal dan memeliharanya. Memberikan ruang kepada
manusia untuk menggunakan potensi yang ada yaitu akal disamping dalil-dalil yang naqli. Untuk
berperan dalam mengemukakan argumen sehingga ia bebas dari taqlid

Anda mungkin juga menyukai