Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ULUMUL QUR’AN

Kata pengantar

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya ,
sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban penulis , yakni untuk memenuhi syarat tugas
kelompok . Sholawat serta salam tak lupa kita tetap curahkan kepada nabi kita nabi Muhammad
SAW yang mana berkat beliau lah kita bisa menuju ke zaman yang terang benderang ini .

Ucapan teimakasih kepada beliau Putri Lestari M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah ‘Ulumul
Qur’an yang telah memberikan bimbingannya sehingga tugas yang di berikan bisa terselesaikan
tepat waktu . Kami pun menyadari bahwa dalam membuat makalah ini masih banyak kekurangan
dan kesalahan . Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca , aamiin .
LATAR BELAKANG MASALAH

Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya ( Muhammad ) , agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam jin dan manusia . Karena itu , Allah menggariskan aqidah yang benar
dan prinsip-prinsip yang lurus untuk para makhluk di dalam ayat-ayat-Nya yang jelas tanda -
tandanya . Al Qur’an adalah kitab suci umat islam , akan tetapi dari segi manfaatnya , Al Qur’an
bermanfaat bagi seluruh umat manusia tidak hanya umat islam semata . Al Qur’an dapat diperoleh
secara maksimal ketika kita mampu memahami dan menerangkan isi kandungan dari Al Qur’an
secara detail . Untuk mampu menerangkan isi kandungan dalam Al Qur’an maka kita perlu
memahami apa apa yang ada didalamnya . Salah satu contohnya adalah buku Ulumul Qur’an , kita
bisa memperdalam dan memahaminya agar bisa mendalami pokok-pokok yang terdapat dalam Al
Qur’an . Adapun terkait perkara furu’ ( cabangan-cabangan ) agama , ayat-ayat tentang hal ini
bersifat umum dan samar , sehingga membuka ruang bagi para mujahid yang ilmunya mendalam
untuk mengkaji . Lalu , para mujahid mengembalikan permasalahan-permasalahan cabang itu
kepada ayat-ayat muhkam dengan membangun furu’ di atas ushul , dan dan membangun juz’iyyat
( parsial ) di atas kulliyat ( global ) . Dengan kepastian dalam masalah ushul dan keumuman dalam
masalah furu’ ( cabang ) inilah maka islam menjadi agama kemanusiaan yang abadi , yang menjamin
kebaikan dunia dan akhirat sepanjang zaman .

Rumusan Masalah

1. Jelaskan yang dimaksud dengan muhkam mutasyabih ?

2. Jelaskan yaang dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih khusus ?

3. Perbedaan pendapat terkait cara untuk mengetahui mutasyabih

4. Sebutkan surah yang mengandung tentang muhkam dan mutasyabih ?


Pengertian Muhkam khusus dan Mutasyabih khusus

Ada muhkam khusus dan mutasyabih khusus, seperti disebutkan dalm firman Allah:

‫ت ۗ فَا َ َّما الَّ ِذ ْينَ فِ ْي قُلُوْ بِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُوْ نَ َما تَشَابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغ َۤا َء‬2ٌ ‫ب َواُخَ ُر ُمت َٰشبِ ٰه‬
ِ ‫ت ه َُّن اُ ُّم ْال ِك ٰت‬ 2ٌ ٰ‫ت ُّمحْ َكم‬ ٌ ‫ب ِم ْنهُ ٰا ٰي‬َ ‫ي اَ ْن َز َل َعلَ ْيكَ ْال ِك ٰت‬ ْٓ ‫هُ َو الَّ ِذ‬
ْ ٰ ْ ْ ٰ ‫هّٰللا‬ ‫ْأ‬ ‫ْأ‬ ۤ
‫اْل‬ ُ ُ ‫ٓاَّل‬ َّ َّ ْ ُ َّ ُ ُ
ِ ‫ُ ۘ َوال ّر ِسخوْ نَ فِى ال ِعل ِم يَقوْ لوْ نَ ا َمنا بِ ٖ ۙه ك ٌّل ِّم ْن ِعن ِد َربِّنَا ۚ َو َما يَذك ُر اِ اولوا ا َلبَا‬
‫ب‬ ُ ‫اَّل‬ِ‫ْالفِتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَ ِو ْيلِ ٖ ۚه َو َما يَ ْعل ُم تَ ِو ْيل ٗه ا‬
ٓ َ َ ْ

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat
yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk
mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-
Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang
yang berakal.”

Terkait makna kedua dari istilah ini, ada perbedaan pendapat yang terbagi dalam beberapa
pendapat berikut:

1. Muhkam adalah lafal yang diketahui maksudnya, sementara mutasyabih adalah lafal yang hanya
Allah saja yang mengetahuinya.

2. Muhkam adalah lafal yang hanya memiliki satu arti, sementara mutasyabih adalah lafal yang
memiliki kemungkinan beberapa arti.

3. Muhkam adalah lafal yang berdiri sendiri tanpa memerlukan penjelasan apapun, sementara
mutasyabih adalah lafal yang tidak berdiri sendiri dan memerlukakn penjelasan dengan merujuk
pada yang lain.

Para ulama memberiikan contoh ayat-ayat Muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-
ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-
ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat tentang Asma
Allah dan sifat-sifat-Nya, antara ain:

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬

“Ar-rahman bersemayam di atas ‘Arsy.” (Ta Ha [20]: 5)

ُ‫ك ِإاَّل َوجْ هَه‬ ْ ‫ُكلُّ ش‬


ٌ ِ‫َي ٍء هَال‬

“Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” (al-Qasas [28]: 88)

‫ق َأ ْي ِدي ِهم‬
َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬

“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (al-Fatah [48]: 10)

Dan masih banyak lagi ayat Muhkam dan Mutasyabih yang lainnya. Termasuk di dalamnya
permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf Hija’iyah dan hakikat hari kemudian
serta ‘Ilmus-Sa’ah.
Perbedaan pendapat terkait cara mengetahui mutasyabih

Penyebab perbedaan pendapat ini adalah perbedaan pendapat terkait waqaf (tanda berhenti) pada
firman Allah di dalam surat ali imran ayat 7.

Pendapat pertama (wawu di dalam ayat adalah wawu isti’naf) dianut oleh sekelompok
ulama, diantaranya Ubay bin ka’ab, ibnu mas’ud, ibnu Abbas, dan sejumlah sahabat lain, juga dari
kalangan tabi’in dan lainnya. Mereka bersandar pada semisal riwayat Hakim dalam Al-mustadrak,
dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca:
۟ ُ‫َوما يَ ْعلَ ُم تَْأويلَ ٓۥهُ اَّل ٱهَّلل ُ َوٱل ٰ َّر ِس ُخونَ فِى ْٱل ِع ْل ِم يَقُولُونَ َءامنَّا بِۦه ُك ٌّل ِّم ْن ِعن ِد َربِّنَا ۗ َوما يَ َّذ َّك ُر ٓاَّل ُأ ۟ول‬
ِ َ‫وا ٱَأْل ْل ٰب‬
‫ب‬ ‫ِإ‬ َ ِ َ ‫ِ ِإ‬ َ

Artinya : Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah , dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata , “ Kami beriman kepadanya ( Al Qur’an ) . “

Di samping itu juga berdasarkan petunjuk ayat ini yang mencela orang-orang yang mengikuti
ayat-ayat yang mutasyabihat , di mana Allah menyebut mereka sesat dan mencari-cari fitnah .
Diriwayatkan dari Aisyah ra , ia berkata “ Rasulullah SAW membaca ayat ini , Dialah yang
menurunkan kitab ( Al Qur’an ) kepadamu ( Muhammad ) …’ hingga firman-Nya , ‘Orang yang
berakal . ‘ ( Ali Imran : 7 ) . Lalu Rasulullah SAW bersabda , Apabila engkau melihat orang-orang yang
mengikuti ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al Qur’an , maka mereka itulah orang-orang yang
disebut Allah sebagai sesat .

Pendapat kedua ( huruf wawu di dalam ayat adalah wawu athaf ) dianut oleh sekelompok
ulama yang pelopori oleh Mujahid . Diriwayatkan dari Mujahid , bahwa ia berkata , “ Aku
memperllihatkan mushaf kepada Ibnu Abbas dari Al Fatihah sampai surat terakhir . Aku berhenti di
setiap ayat dan bertanya kepadanya tentang tafsirnya . “ Pendapat ini dipilih oleh Imam Nawawi . Ia
menyatakan dalam Syarh Muslim , Inilah pendapat paling sahih , karena mustahil Allah berbicara
kepada hamba-hamba-Nya dengan kata-kata yang tidak diketahui oleh seorang pun .

Menyelaraskan Kedua Pendapat dengan Makna Takwil

Dengan merujuk pada makna “takwil” , maka tampak dengan jelas bahwa kedua pendapat
ini tidak saling menafikan , karena kata takwil memiliki tiga makna yaitu :

a. Mengalihkan lafal dari kemungkinan makna yang rajih ( kuat ) kepada kemungkinan mana yang
marjuh ( tidak kuat ) karena adanya dalil yang menyertainya . Ini adalah istilah mayoritas ulama
kontemporer .

b.  Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan
lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami

c. Takwil adalah pembicaraan tentang subtansi (hakekat) suatu lafazh


Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’alamu ta’wilahu
illallah” dan menjadikan “war rasikhuna fil ‘ilmi,” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan,
“takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang dimaksud dari
sesuatu perkataan. Karena itu hakekat zat Allah, esensi-Nya, makna nama dan sifat-Nya serta
hakekat Hari Kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri

.Sebalilknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh “Warrasikhuna fil ‘ilmi.” dengan
menjadikan “wawu” sebagai huruf athaf, bukan isti’naf, memakai kata takwil tersebut dengan
makna kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dilakukan Mujahid, seorang ahli tafsir terkemuka.

Takwil yang Tercela

Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin (ulama
belakangan) secara berlebihan, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah dari keserupaan-
Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Misalnya, ketika menakwilkan “tangan” (al-yad)
dengan kekuasaan (al-qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan”
bagi Khaliq mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafazh al-yad ini bagi mereka
menimbulkan kekaburan maka ditakwilkanlah dengan al-qudrah. Hal ini mengandung kontradiktif
karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang
mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan, pula. Apabila
qudrah yang mereka tetapkan itu betul dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun
tidaklah salah dan mungkin. Sebaliknya, jika penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena
menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan
terlarang.

Anda mungkin juga menyukai