Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH USHUL FIQIH II

TA’WIL

Dosen Pengampu : NUNUNG SUSFITA.MSI

DISUSUN OLEH :

ABD. AZIS : 200202124

SRI MARINI : 200202117

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2021
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………………...

A. Latar Belakang………………………………………………………………………...
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..
C. Tujuan………………………………………………………………………………….

BAB II

PEMBAHASAN……………………………………………………………………………….

1. Pengertian Ta’wil……………………………………………………………………...
2. Bentuk-Bentuk Ta’wil…………………………………………………………………
3. Ruang Lingkup Ta’wil………………………………………………………………...
4. Syarat-syarat Ta’wil…………………………………………………………………..
5. Macam-macam Ta’wil………………………………………………………………..

BAB III

PENUTUP……………………………………………………………………………………...

KESIMPULAN………………………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………


BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Teks-teks keagamaan bagaimanapun juga adalah teks-teks linguistik seperti juga teks-teks
yang lain. Ia selalu terhubung dengan struktur kebudayaan di mana teks tersebut diturunkan.
Dari perspektif lain teks-teks tersebut tidak selalu dapat dipahami menurut makna literalnya.
Karena seringkali mempunyai makna ganda. Fakta-fakta hukum fiqh menunjukkan bahwa
sebuah teks hukum tertentu diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh para ulama dan karena
itu keputusan hukum yang dihasilkannya juga berbeda-beda atau tidak selalu sama. Pemaknaan
teks secara tunggal hanya dapat dipahami berdasarkan kesepakatan pemakainya.

Ta’wîl misalnya, dengan begitu ta’wîl merupakan suatu cara (metode) yang mencoba
untuk menjelaskan makna suatu kata atau bahasa yang jika difahami secara literal akan
menimbulkan pengertian yang sulit diterima oleh akal. Pada masa klasik (zaman awal Islam)
bahkan sampai hari ini, teori ta’wîl diperdebatkan secara hangat dan mendalam di kalangan
para ulama.

Pandangan fiqh tekstual yang ketat (ahl hadits) jarang sekali menggunakan kaedah ini.
Golongan ini lebih suka menggunakan kata tafsir, meskipun al Qur-an sendiri lebih banyak
menyebutkan kata ta’wîl dibandingkan tafsir. Menurut mereka menggunakan kaedah ini sama
artinya dengan mendahulukan akal atas naql (teks).

Pandangan ini diikuti oleh kalangan ulama salafi. Hal ini berbeda dengan kaedah fiqh
rasional (ahl al-ra’yi). Golongan ini menjadikan logik rasional dan ta’wîl sebagai kaedah
mengaktualisasikan hukum Islam sehingga keberadaannya dapat menjawab konteks sosial
baru. Para ulama kemudian membedakan pengertian antara tafsir dan ta’wîl . Tafsir lebih
banyak berhubungan dengan riwayat (sumber-sumber transmisi) naql (teks yang lain),
sementara ta’wîl selalu berkaitan dengan penggunaan akal dan ijtihad..
2. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan ta’wil ?
b. Apa bentuk-bentuk ta’wil ?
c. Bagaimana ruang lingkup ta’wil ?
d. Bagaimana syarat-syarat ta’wil ?
e. Bagaimana macam-macam ta’wil ?

3. TUJUAN
a. Mengetahui pengertian ta’wil
b. Mengetahui bentuk-bentuk ta’wil
c. Mengetahui ruang lingkup ta’wil
d. Mengetahui syarat-syarat ta’wil
e. Mengetagui macam-macam ta’wil
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ta’wîl

Secara etimologi, ta’wîl berasal dari kata ‫ األ َ ْول‬yang artinya ‫( الرجوع‬kembali)[ dan ‫العاقبة‬
(akibat atau pahala).1

Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian ta’wîl
secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta’wîl adalah sinonim (muradhif) dari tafsîr .
Kedua, ta’wîl adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain
karena ada dalil.

Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata,


"Ta’wîl adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris)
dalam pandangan penta’wîl ".2

Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan,
"Ta’wîl adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu
(muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafazh zhahir". Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama
ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam juga menggunakan defenisi yang sama dengan al-
Ghazali.3

Wahbah Zuhaili mendefenisikan ta’wîl dalam kitabnya Ushul al-Fiqih al-Islamiy,


memalingkan lafaz dari maknanya yang zhahir kepada makana yang lain tidak zhahir padanya,
beserta kemungkinan baginya dengan dalil menyokongnya. Oleh karena itu para ulama

1
Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979). vol.I h.162
2
Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul Azhim Diyb
(Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H). Jill I h. 511
3
Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Arab Saudi: Dar as-Shami’i li an-Nasyir wa at-Tauzi’,
2003). Jil.3 h.65.
membedakan antara tafsir dan ta’wîl. Tafsir adalah menjelaskan maksud-maksud dari kalam
melalui cara yang qath’i, sementara ta’wîl adalah menjelaskan maksud-maksud dari kalam
melalui cara yang zhanni.

Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta’wîl menyatakan


bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta’wîl merupakan sinonim dari tafsîr ,
sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu
Jarir At-Thabari dalam tafsîr nya Jami' Al-Bayan fi Ta’wîl Ayat Al-Qur'an; ta’wîl dari ayat ini
adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta’wîl ayat ini. Kata ta’wîl yang
dimaksudkan oleh beliau adalah tafsîr . Sedangkan ta’wîl menurut ulama mutaakhkhirin
(khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh
yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.4

Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan bahwa istilah
ta’wîl memiliki tiga pengertian; pertama, berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai
dengan zhahir lafazh maupun bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering
digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A’raf: 53.

QS. Al-A’raf Ayat 53

ْ َ‫شفَعَ ۤا َء َفي‬ ٗۗ
ٓ ‫شفَعُ ْوا لَنَا‬ ُ ‫ق َف َه ْل لانَا مِ ْن‬
ِ ِّۚ ‫س ُل َر ِبنَا ِبا ْل َح‬ُ ‫س ْوهُ مِ ْن َق ْب ُل َق ْد ج َۤا َءتْ ُر‬
ُ َ‫ظ ُر ْونَ ا اَِّل تَأ ْ ِو ْيلَ ٗه يَ ْو َم يَأْت ِْي تَأ ْ ِو ْيلُ ٗه يَقُ ْو ُل الا ِذ ْينَ ن‬
ُ ‫َه ْل يَ ْن‬
ࣖ َ‫ع ْن ُه ْم اما كَانُ ْوا يَ ْفتَ ُر ْون‬ َ ‫س ُه ْم َو‬
َ ‫ض ال‬ ِ ‫ِي ُكناا نَ ْع َم ۗٗ ُل َق ْد َخ‬
َ ُ‫س ُر ْٓوا ا َ ْنف‬ َ ‫ا َ ْو نُ َر ُّد َفنَ ْع َم َل‬
ْ ‫غي َْر الاذ‬

Artinya : Tidakkah mereka hanya menanti-nanti bukti kebenaran (Al-Qur’an) itu. Pada hari
bukti kebenaran itu tiba, orang-orang yang sebelum itu mengabaikannya berkata, “Sungguh,
rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran. Maka adakah pemberi syafaat bagi
kami yang akan memberikan pertolongan kepada kami atau agar kami dikembalikan (ke dunia)
sehingga kami akan beramal tidak seperti perbuatan yang pernah kami lakukan dahulu?”
Mereka sebenarnya telah merugikan dirinya sendiri dan apa yang mereka ada-adakan dahulu
telah hilang lenyap dari mereka.

Contoh lain, riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallah ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca, (Maha Suci Engkau ya Allah
dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku) sebagai ta’wîl dari firman Al-Qur’an QS.
An-Nashr: 3

4
Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, Maktabah Syamilah, hal. 17
ࣖ ‫ستَ ْغف ِْر ۗٗهُ اِنا ٗه كَانَ تَ اوابًا‬ َ ‫َف‬
ْ ‫س ِب ْح ِبح َْم ِد َر ِبكَ َوا‬

maka bertasbihlah dalam dengan Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia
Maha Penerima tobat. An nashr ayat 3

Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan para ulama ahli
tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), “Sesungguhnya orang-orang yang
mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta’wîl ayat-ayat mutasyabihat“. Kata ta’wîl yang
beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga, berarti mengalihkan lafazh
dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu.5

Jadi, ta’wîl dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsîr . Kemudian pada masa khalaf
mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.

2. Bentuk-Bentuk Ta’wîl .

Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-
Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan
untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama
ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian
tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wîl, diantaranya mengkhususkan lafazh yang
umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan
lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung
wajib menjadi makna yang sunnah.6

1. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul
disebut takhshish al-umum (‫)تخصيص العموم‬. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228

َ ‫َو ْالم‬
‫طلَّقَات يَت ََربَّصْنَ ِبأ َ ْنف ِس ِه َّن ثَالثَةَ قروء‬

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS.
Al-Baqarah: 228).

Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah
(masa tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah quru'). Ayat ini berlaku

5
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa’, 2005). Jil. III, hlm.55-56.
6
Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi,Maktabah Syamilah, juz. 1, hal 7.
umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haidh, monopouse, atau dalam kondisi
hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49

َّ‫علَ ْي ِهنَّ مِ ْن ِعدَّة ت َ ْعتَدُّونَهَا َف َمتِِّعُوهُن‬ ُّ ‫طلَّ ْقت ُ ُموهُنَّ مِ ْن َق ْب ِل أ َ ْن ت َ َم‬


َ ‫سوهُنَّ َف َما لَ ُك ْم‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِذَا نَ َك ْحت ُ ُم ا ْل ُمؤْ مِ نَا‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
َ َّ‫س ِ ِّر ُحوهُن‬
‫س َرا ًحا جَمِ يال‬ َ ‫َو‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-
Ahzab:49).

Ayat diatas menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa
tunggu).

2. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas
(muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (‫)تقييد المطلق‬. Seperti firman Allah
tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3

َّ ‫ّللا بِ ِه َوا ْل ُم ْن َخنِقَةُ َوا ْل َم ْوقُوذَةُ َوا ْل ُمت َ َر ِ ِّديَةُ َوالنَّطِ يحَةُ َو َما أَ َك َل ال‬
‫سبُ ُع‬ ِ َّ ‫ير َو َما أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَ ْح ُم ا ْلخِ ْن ِز‬
َ ْ‫ُح ِ ِّر َمت‬
‫ِس الَّ ِذينَ َكفَ ُروا مِ ْن دِينِ ُك ْم َفال تَ ْخش َْوهُ ْم‬ َ ‫سق ا ْليَ ْو َم يَئ‬ ْ ‫الم ذَ ِل ُك ْم ِف‬ ْ ِ‫س ُموا ب‬
ِ ‫األز‬ ْ َ ‫ب َوأ َ ْن ت‬
ِ ‫ست َ ْق‬ ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫علَى الن‬ َ ‫إِال َما ذَ َّك ْيت ُ ْم َو َما ذُبِ َح‬
‫غي َْر ُمتَجَانِف‬َ ‫ط َّر فِي َم ْخ َمصَة‬ ْ ‫سال َم دِينًا َف َم ِن ا‬
ُ ‫ض‬ َ ُ‫َوا ْخش َْو ِن ا ْليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمت‬
ْ ‫علَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر ِضيتُ لَ ُك ُم اإل‬
‫غفُور َرحِ يم‬ َ َّ َّ‫إلثْم َف ِإن‬
َ ‫ّللا‬

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah:3).

Lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam
ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145, sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir
ٌ ‫َِّل ا َ ْن اي ُك ْونَ َم ْيتَةً ا َ ْو دَ ًما ام ْسفُ ْو ًحا ا َ ْو لَحْ َم خِ ْن ِزي ٍْر فَ ِاناهج‬
‫ْس اَ ْو ِف ْسقًا ا ُ ِه ال‬ ٓ ‫اط َع ُم ٓه ا ا‬ َ ‫ع ٰلى‬
ْ ‫طاع ٍِم ي‬ ٓ ‫قُ ْل ا‬
َ ِ‫َّل ا َ ِجدُ ِف ْي َما ٓ ا ُ ْوح‬
‫ي اِلَ ا‬
َ ‫ي ُم َح ار ًما‬
‫غفُ ْو ٌر ارحِ ْي ٌم‬
َ َ‫عا ٍد فَا اِن َرباك‬ َ ‫اغ او ََّل‬ٍ َ‫غي َْر ب‬ َ ‫ط ار‬ ُ ‫ض‬ْ ‫ّٰللاِ بِ ٖۚه فَ َم ِن ا‬‫ِلغَي ِْر ه‬

Artiny : Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan
dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha
Penyayang. QS. AL-AN’AM AYAT 145

3. Mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman
Allah dalam QS.An-Nisa': 2

ً ِ‫ب َوال تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُه ْم إِلَى أَ ْم َوا ِل ُك ْم إِنَّهُ كَانَ ُحوبًا َكب‬
‫يرا‬ َ ِ‫َوآت ُوا ا ْليَتَا َمى أ َ ْم َوالَ ُه ْم َوال تَتَبَ َّدلُوا ا ْل َخب‬
َّ ‫يث بِال‬
ِ ِِّ‫طي‬

Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar. (QS.An-Nisa': 2).

Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak
yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan
ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6

‫َوا ْبت َلوا ْال َيتَا َمى َحتَّى ِإذَا َبلَغوا ال ِِّنكَا َح فَإِ ْن آنَسْت ْم مِ ْنه ْم ر ْشدًا فَادْفَعوا ِإلَ ْي ِه ْم أَ ْم َوالَه ْم‬

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. (QS.An-Nisa': 6).

Ayat diatas menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat
mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati
oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh
dan dewasa.

Mengalihkan lafazh dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna
wajib,

‫علا َمهُ ه‬
ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ِب أ َ ْن يا ْكت َُب َك َما‬ ٌ ‫ب كَات‬ ٌ ‫س ًّمى َفا ْكتُبُ ْو ۗٗهُ َو ْليَ ْكت ُْب با ْينَ ُك ْم كَات‬
َ ْ ‫ِب بِا ْلعَ ْد ِۖ ِل َو ََّل يَأ‬ َ ‫ٰيأَيُّهَا الا ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن إِ ٰلى أ َ َج ٍل ُّم‬
ْ َ‫ض ِع ْيفًا أَ ْو ََّل ي‬
‫ستَطِ ْي ُع‬ َ ‫س ِف ْي ًها أ َ ْو‬
َ ‫ق‬ ُّ ‫علَ ْي ِه ا ْل َح‬ َ ‫ِي‬ ْ ‫ش ْيئ ًۗٗا َف ِإ ْن كَانَ الاذ‬
َ ُ‫س مِ ْنه‬ ْ ‫ّٰللا َربا ٗه َو ََّل يَ ْب َخ‬
َ‫ق ه‬ ِ ‫ق َو ْليَتا‬
ُّ ‫علَ ْي ِه ا ْل َح‬ َ ‫ِي‬ْ ‫َف ْليَ ْكت ِّۚ ُْب َو ْليُ ْم ِل ِل الاذ‬
َ‫ش ِه ْي َدي ِْن مِ ْن ِرجَا ِل ُك ِّۚ ْم َف ِإ ْن ال ْم يَك ُْو َنا َر ُج َلي ِْن َف َر ُج ٌل اوا ْم َرأ َ ٰت ِن مِ ام ْن تَ ْرض َْونَ مِ ن‬
َ ‫ش ِهد ُْوا‬ ْ ‫أ َ ْن يُّمِ ال ه َُو َف ْليُ ْم ِل ْل َو ِليُّ ٗه بِا ْلعَ ْد ۗٗ ِل َوا‬
ْ َ ‫ست‬
‫ص ِغي ًْرا أَ ْو َك ِبي ًْرا إِ ٰلى‬ ْ َ ‫ش َهدَا ُء إِذَا َما ُدع ُْو ۗٗا َو ََّل ت‬
َ ُ‫سأ َ ُم ْوا أَ ْن تَ ْكتُبُ ْوه‬ َ ْ‫حْدهُ َما ْاْل ُ ْخ ٰر ۗٗى َو ََّل يَأ‬
ُّ ‫ب ال‬ ٰ ِ‫ش َهدَاءِ أ َ ْن ت َ ِض ال إِح ْٰدهُ َما َفتُذَك َِر إ‬ ُّ ‫ال‬
‫ح أَ اَّل‬
ٌ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا‬ َ ‫َاض َرةً ت ُ ِد ْي ُر ْونَهَا بَ ْينَ ُك ْم َفلَي‬
َ ‫ْس‬ َ ‫شهَا َد ِة َوأَد ْٰنى أ َ اَّل ت َ ْرتَابُ ْوا ِإ اَّل أ َ ْن تَك ُْونَ تِج‬
ِ ‫َارةً ح‬ ‫ّٰللا َوأ َ ْق َو ُم لِل ا‬ َ ‫أَ َجل ِۗٗه ٰذ ِل ُك ْم أَ ْق‬
ُ ‫س‬
ِ ‫ط ِع ْن َد ه‬
ٍ‫ّٰللاُ ِبك ُِل ش َْيء‬
‫ّٰللاُ َو ا‬ َ ٗۗ ‫ق ِب ُك ۗٗ ْم َواتاقُوا ا‬
ٗۗ ‫ّٰللا َويُ َع ِل ُم ُك ُم ا‬ ُ ُ‫ۗٗ َو ِإ ْن ت َ ْف َعلُ ْوا َف ِإنا ٗه ف‬.‫ش ِه ْي ٌد‬
ٌ ‫س ْو‬ َ ‫ِب او ََّل‬
ٌ ‫َار كَات‬ ْ َ ‫ت َ ْكتُبُ ْو َه ۗٗا َوأ‬
‫ش ِهد ُْوا ِإذَا تَبَايَ ْعت ُ ِۖ ْم َو ََّل يُض ا‬
٢٨٢ ‫ع ِل ْي ٌم‬
َ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang
yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan
janganlah dia mengurangi sedikitpun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang
akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah
walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki
di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan
dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar
jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu
menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya
baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat
menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal
itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan
janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sungguh, hal itu suatu kafasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan
pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Qs. Al-Baqarah ayat 282.

kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu
pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.
ٗۗ
‫ّٰللا َربا ٗۗٗه َو ََّل‬
َ‫ق ه‬ ِ ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْليُؤ َِد الاذِى اؤْ تُمِ نَ أ َ َمانَت َ ٗه َو ْليَتا‬ َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ع َٰلى‬
ُ ‫سفَ ٍر اولَ ْم تَ ِجد ُْوا كَاتِبًا َف ِر ٰه ٌن ام ْقبُ ْوضَةٌ َف ِإ ْن أَمِ نَ بَ ْع‬
ٗۗ ٗۗ ‫ت َ ْكتُموا ال ا‬
٢٨٣ ‫ع ِل ْي ٌم‬ ‫شهَا َدةَ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْمهَا َف ِإنا ٗه ٰاثِ ٌم َق ْلبُ ٗه َو ه‬
َ َ‫ّٰللاُ بِ َما ت َ ْع َملُ ْون‬ ُ

Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Qs. Al-baqarah ayat 183.
Sedangkan bentuk-bentuk ta’wîl itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Amir Syarifudin
adalah sebagai berikut 7:

1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wîl ada dua bentuknya :

a. Ta’wîl Maqbul (‫ ) التأ ويل المقبول‬atau ta’wîl yang diterima, yaitu ta’wîl yang telah memenuhi
syarat-syarat yang disebut di atas. Contohnya : surah yusuf ayat 82 :

‫َوا ْسأ َ ْل أَ ْه َل ْالقَ ْريَ ِة‬

“bertanyalah kepada desa.”

Kepada makna “bertanyalah kepada penduduk desa”, karena desa tidak mungkin untuk diberi
pertanyaan kepadanya.

b. Ta’wîl ghair al-Maqbul (‫ ) التأ ويل غير المقبول‬atau ta’wîl yang ditolak, yaitu ta’wîl yang
hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak memenuhi syarat yang ditentukan.
Contohnya:

QS. Thoha (20) : 5 ‫علَى ْال َع ْر ِش ا ْست ََوى‬


َ ‫الر ْح َمن‬
َّ “Ar-Rohman bersemayam di atas arsy” Kepada
makna istawa (menguasai), dan yang benar bahwa maknanya adalah ketinggian dan menetap,
tanpa takyif dan tamtsil.

2. Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wîl dari makna zahirnya,
ta’wîl dibagi kedalam dua bentuk :

a. Ta’wîl Qarib (‫) التأ ويل القريب‬, yaitu ta’wîl yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya,
sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wîl ini termasuk
ta’wîl yang diterima. Contohnya :

Q.S. Al-Maidah : 6.

َّ ‫يَااَيُّها َ الَّ ِذيْنَ ا َمن ْوا اِذاَق ْنت ْم اِلَى ال‬...


ِ ‫صلوةِ فَا ْغسِل ْوا وج ْوهَك ْم َواَ ْي ِديَك ْم اِلَى اْل َم َرا ِف‬
‫ق‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hedak mengerjakan shalat maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku-siku”

7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008) cet.1, hal. 43.
Dalam ayat tersebut, kata kuntum dipalinhkan dari makna lahirnya, yaitu “kamu telah berdiri”
kepada makna yang lebih dekat yaitu “kamu hendak mengerjakan” dalilnya Allah tidak
memerintahkan wudhu sesudah orang yang mengerjakan sholat,sebab wudhu merupakan
syarat sholat yang mana syarat yang harus ada sebelum mengerjakan sholat.

b. Ta’wîl Ba’id (‫ ) التأ ويل البعيد‬yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang begitu
jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana. Contohnya :

Qs. Al-mujadalah: 4

‫فمن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا‬

Artinya: Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin.

Menurut golongan syafi’iyah dalam ayat di atas membayar kifarat tersebut boleh diberikan
kepada seorang miskin, tempo 60 hari. Menurut mereka kebutuhan seorang dalam 60 hari sama
dengan kebutuhan 60 orang miskin sehari. Ta’wil semacam ini sudah jauh, karena
menghilangkan bilangan orang-orang miskin.

3. Ruang Lingkup Ta’wîl

Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan
mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya.
Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak
dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau
ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,
surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian
ta’wîl (majaal al-ta’wîl ).

Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wîl
(majaal al-ta’wîl ); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-
nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl dalam ruang lingkup ini tidak
diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah
ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat
Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk
juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.8

a. Ta’wil dalam masalah furu’

Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan yang subur bagi ta’wil, karena
banyak mengandung lafazh ambigu (muhtamal) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad.
Selain itu, keinginan untuk memahami nash syar’i memicu para ulama untuk melakukan ta’wil.
Kendati demikian, ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i dan muhkam yang hanya
memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari’ah sudah jelas. Sebagaimana dalam
kaidah disebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang qath’i, mufassar, dan muhkam. Seperti
bagian-bagian dalam warisan dan hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar’i
terhadap pelaku perbuatan dosa-dosa besar.9

Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir.
Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna lain, sehingga
menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada oleh seorang mujtahid dengan
berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal
(global) jika belum diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang kadarnya masih
mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini membuka ruang untuk ta’wil dalam hal
kadarnya. Oleh karena itulah para ulama berbeda pendapat tentang huruf ba’ dalam firman
Allah (‫سحوا ِبرءوسِك ْم‬
َ ‫) َوا ْم‬. Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya tidak akan
ada ta’wil di dalamnya.

Ta’wil tidak dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi tapi
maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun memiliki banyak makna, namun
maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafazh dan bukan
mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih) kepada yang lemah (marjuh), bukan
dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa.

Jadi, nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memiliki derajat qath’i ad-dilalah tidak
bisa dita’wil karena lafazhnya jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang

8
Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Kitab al-
‘Arabi, 1999). vol. II h. 32
9
Kan’an Musthafa Sa’id Shatat. At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-
Wathaniyah, 2007). Hal 40
masalah ushul, perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma’lum min ad-din bi
adh-dharurah), atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir) seperti shalat, zakat, shiyam,
haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah.10

Sedangkan dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks, semua teks sama dan semua
teks dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika. Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-
Qur’an, maka yang muhkamat menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu’, thawabit menjadi
mutaghayyirat, qath’i dilalah menjadi zhanniy dilalah, dan yang ma’lum menjadi majhul.

b. Takwil dalam masalah ushul

Objek kajian ta’wil (majaal al-ta’wil) dalam masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma’
dan sifat Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab
Pertama, berpendapat nash tidak boleh dita’wil dan harus dipahami secara zhahirnya. Inilah
pendapat Musyabbihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).
Madzhab Kedua, berpendapat nash aqidah ada ta’wilnya, tetapi yang tahu ta’wilnya hanya
Allah saja (QS Ali ’Imran :7)

ُ‫ب َوا ُ َخ ُر ُمت َ ٰشبِ ٰهتٌ ۗٗ َفا َ اما الا ِذ ْينَ ف ِْي قُلُ ْوبِ ِه ْم َز ْي ٌغ َفيَتابِعُ ْونَ َما تَشَابَهَ مِ ْنه‬ ِ ‫ب مِ ْنهُ ٰا ٰيتٌ ُّم ْحكَمٰ تٌ هُنا ا ُ ُّم ا ْل ِك ٰت‬ َ ‫علَ ْيكَ ا ْل ِك ٰت‬ َ ‫ِي ا َ ْن َز َل‬ ْٓ ‫ه َُو الاذ‬
‫س ُخ ْونَ فِى ا ْل ِع ْل ِم يَقُ ْولُ ْونَ ٰا َمناا بِ ٖۙه ُك ٌّل مِ ْن ِع ْن ِد َربِنَا ِّۚ َو َما يَذاك ُار ا ا َِّٓل اُولُوا‬
ِ ‫الرا‬
‫ّٰللاُ َۘو ا‬ ‫ا ْبتِغَ ۤا َء ا ْل ِفتْنَ ِة َوا ْبتِغَ ۤا َء تَأ ْ ِو ْيل ِِّۚه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأ ْ ِو ْيلَ ٗ ٓه ا اَِّل ه‬
ِ ‫اَّل ْلبَا‬
‫ب‬ َْ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-
ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata,
“Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.

Jadi, nash tidak boleh dita’wilkan untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih
(menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat-sifat Allah).
Madzhab Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh dita’wilkan.

Ibnu Burhan memandang bahwa madzhab pertama adalah batil, sedang madzhab kedua dan
ketiga diriwayatkan dari para shahabat. Madzhab kedua adalah madzhab Salafush Shaleh.

10
Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia, vol. I no.1 Maret 2004. p.52
Sedang madzhab ketiga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan
Ummu Salamah.11

Akar masalah dari perbedaan pendapat di atas adalah pembacaan dan pemahaman
terhadap firman Allah QS Ali ’Imran :7. Ada yang berpendapat bahwa pembacaan ayat tersebut
َّ ‫) َو َما يَ ْعلَم ت َأ ْ ِويلَه إِ َّّل‬, Sehingga maknanya, tidak ada yang
berhenti (waqaf) pada lafazh Jalalah (‫ّللا‬
mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah. Inilah pendapat ‘Aisyah, ‘Urwah, Abu
Asy-Sha’tsa, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Malik bin Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jarir
Ath-Thabari, dan lain-lain. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa pembacaan ayat
tersebut berhenti (waqaf) pada kata ar-rasihkhun fi al-ilm (‫الراسِخونَ فِي ْالع ِْل ِم‬ َّ ‫) َو َما يَ ْعلَم ت َأ ْ ِويلَه إِ َّّل‬,
َّ ‫ّللا َو‬
sehingga maknanya tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat mutasyabihat kecuali Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasihkhun fi al-ilm). Inilah pemahaman Ibnu Abbas,
Mujahid, Rabi’ bin Anas, Muhammad bin Ja’far, dan diikuti mayoritas para mufassir dan ulama
ushul.

Dari dua pendapat di atas, Ibnu Taimiyah berusaha mengkompromikan dengan


menyatakan bahwa keduanya adalah pendapat ulama salaf. Pendapat yang mengatakan bahwa
tidak ada yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah, maka yang dimaksud
adalah hakikat dari ayat tersebut. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang
mengetahui ayat-ayat mutasyabihat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-
rasikhun fi al-ilm), maka yang dimaksud adalah makna dari ayat tersebut.12

Pendapat Ibnu Taimiyah di atas dikuatkan oleh beberapa dalil, diantaranya pernyataan
Ibnu Abbas bahwa tafsir ada empat macam; tafsir yang diketahui oleh orang-orang arab dengan
bahasa mereka, tafsir yang diketahui oleh semua orang, tafsir yang diketahui hanya oleh para
ulama, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Di sisi lain, Ibnu Abbas juga
menyatakan, “Saya termasuk ar-rasikhun fi al-ilm yang mengetahui ta’wil Al-Qur’an (ayat-
ayat mutasyabihat)”, hal itu berkat do’a Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu
Abbas, “Ya Allah pahamkanlah ia tentang agama dan ajarilah ia ta’wil“. Kedua pernyataan
Ibnu Abbas ini tidak akan kontradiksi jika dipahami dengan pendapat Ibnu Taimiyah di atas.

11
Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-
Fadhilah, 2000), hal 756
12
Ibnu Taimiyah, Majmu’…….. Jil. V, Hal 234-235.
Dalam masalah ta’wil ayat-ayat yang berkenaan dengan asma’ dan sifat Allah, para ulama salaf
berbeda pandangan dengan ulama khalaf, termasuk Asy-Syaukani. para ulama salaf
menetapkan asma’ dan sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam
al-Qur’an dan sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam As-Sunnah tanpa ta’thil (meniadakan sifat), tasybih (menyerupakan dengan makhluk),
dan takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk
yang serupa dengan Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang Allah tegaskan sendiri dalam QS.
Asy-Syura: 11.

َ ‫اَّل ْنعَ ِام اَ ْز َوا ًج ِّۚا يَ ْذ َر ُؤ ُك ْم ِف ْي ِۗٗه لَي‬


‫ْس َكمِ ثْلِه ش َْي ٌء َِّۚوه َُو السامِ ْي ُع ا ْلبَ ِصي ُْر‬ ِ ُ‫ض َجعَ َل لَ ُك ْم ِم ْن ا َ ْنف‬
َ ْ َ‫س ُك ْم ا َ ْز َوا ًجا اومِ ن‬ ٗۗ ِ ‫اَّل ْر‬
َ ْ ‫ت َو‬ ‫َفاطِ ُر ال ا‬
ِ ‫سمٰ ٰو‬

(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis
kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia
Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.

Para ulama salaf juga tidak melakukan ta’wil terhadap asma’ dan sifat Allah, seperti
jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa’, “Istiwa’ dapat dipahami,
bagaimana hakikatnya tidak dapat diketahui, beriman dengan sifat tersebut hukumnya wajib,
dan menanyakan tentang hal itu adalah bid’ah”. Begitu juga dengan pernyataan Abu Hanifah
dalam bukunya Al-Fiqh Al-Akbar, “Dia memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana Allah
Ta’ala sendiri sebutkan dalam Al-Qur’an. Dia memiliki sifat tanpa boleh ditanya bagaimana
hakikatnya, dan tidak boleh dikatakan (dita’wil) bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau
nikmat-Nya, karena itu adalah peniadaan (ta’thil) sifat-Nya, perkataan itu adalah pendapat
Qadariah dan Mu’tazilah, akan tetapi tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa boleh ditanya
bagaimana hakikatnya”.

Sedangkan tentang ta’wil pada huruf-huruf muqattha’ah di permulaan surat-surat, para


ulama juga berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua;

pertama, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf terputus (al-huruf al-


muqattha’ah) pada permulaan-permulaan surat Al-Qur’an termasuk ayat-ayat mutasyabihat,
yang makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Inilah pendapat Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallah ‘anhum, Amir Ash-Sha’bi, Sufyan Ath-Thawri, Rabi’ bin Khuthaim, Abu
Hatim bin Hibban, dan ulama-ulama salaf lainnya.13

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah memiliki makna


dan ta’wil, baik ta’wil yang jauh maupun dekat. Pendapat kedua ini memiliki dua puluh macam
ta’wil, diantaranya adalah pendapat yang berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas Radhiyallah
‘anhuma yang menyatakan bahwa setiap huruf dalam huruf-huruf muqattha’ah merupakan
nama dari asma’ dan sifat Allah Azza wa Jalla; alif adalah Allah, lam adalah Al-Lathif (Maha
Lemah Lembut), mim adalah Al-Majid (Maha Agung), atau sifat lemah lembut-Nya dan sifat
agung-Nya. Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma menyatakan bahwa
alim laf mim berarti ana Allah a’lam (Aku Allah mengetahui), alif lam mim shad adalah ana
Allah afshil (Aku Allah memberikan keputusan), dan alif lam ra’ adalah ana Allah ara (Aku
Allah melihat).14

Fakhruddin Ar-Razi mendukung pendapat kedua dan menolak pendapat pertama


dengan alasan bahwa tidak boleh dalam Al-Qur’an ada satu ayat pun yang tidak dimengerti
maksud dan maknanya, karena Allah memerintahkan untuk metadabburi firman-firman-Nya.
Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi yang mendukung pendapat pertama, orang-
orang Arab dahulu dengan ketinggian pemahaman mereka terhadap bahasanya sendiri
mengakui keunggulan bahasa (balaghah dan fashahah) Al-Qur’an. Seandainya bahasa Al-
Qur’an bertentangan dengan kaidah bahasa Arab niscaya mereka orang yang pertama kali
menentangnya.

As-Suyuthi memandang bahwa pendapat pertama sebagai pendapat yang kuat (rajih).
Selanjutnya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan pendapat tentang kegunaan huruf-huruf
muqattha’ah yaitu untuk menarik perhatian (tanbih) orang-orang yang mendengarnya, dan
huruf-huruf muqattha’ah merupakan ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih) yang efektif
bagi orang-orang Arab terutama pada masa Islam di Makkah yang mengagungkan
syair.Bahkan huruf-huruf muqattha’ah bisa menjadi mukjizat Al-Qur’an karena belum ada
syair Arab yang menggunakannya sebagai ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih).

4. Syarat-syarat Ta’wîl

Adapun syarat-syarat ta’wîl adalah :

13
Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibnu Kathir, Tafsir ……… Vol. I, hal. 156
14
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006), hal 123
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wîl seperti lafaz zhahir dan lafaz nash serta tidak berlaku untuk
muhkam dan mufassar.

2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wîl-kan karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wîl. Serta tidak asing dengan pengalihan
kepada makna lain tersebut.

3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wîl seperti15:

a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau
berlawanan dengan dalil yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya: suatu hadis menyalahi
maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan untuk di ta’wîl kan, maka hadis
itu di ta’wîl kan saja ketimbang ditolak sama sekali.

b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya. Contohnya: suatu lafaz dalam
bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna menyalahinya dalam bentuk
nash.

c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.
Dalam semua bentuk itu berlakulah ta’wîl.

5. Macam-macam ta’wîl

Macam-macam Ta’wîl Secara garis besarnya, ada dua macam lapangan ta’wîl 16:

1. Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan
dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak
ada yang menyamahi-Nya.

Umpamanya men-ta’wîl-kan “tantangan Allah”dengan “kekuasaan Allah” seperti tersebut


dalam surat al-Fath (48): 10: Tangan Allah berada diatas tangan mereka. Atau mengartikan
“tangan Allah” dengan “kemurahan Allah” sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah
pada surat al-Ma’idah (5):64: Bahkan dua tanganya terbuka lebar, memberi menurut
sesukanya.

15
Amir Syarifuddin, Ushul ........hal. 42
16
Amir Syarifuddin, Ushul ........hal. 46-48
Qs. Al fath ayat 10

َ ‫ّٰللا َف‬
‫سيُؤْ ِت ْي ِه‬ َ ‫ُث ع َٰلى نَ ْفس ِِّۚه َو َم ْن ا َ ْو ٰفى ِب َما ٰع َه َد‬
َ ‫علَ ْيهُ ه‬ ُ ‫َث َف ِانا َما َي ْنك‬
َ ‫ق ا َ ْي ِد ْي ِه ْم ِّۚ َف َم ْن ناك‬
َ ‫ّٰللا َف ْو‬ َ ‫اِنا الا ِذ ْينَ يُ َبا ِيعُ ْونَكَ اِنا َما يُ َبا ِيعُ ْونَ ه‬
ِ ‫ّٰللا ۗٗ َي ُد ه‬
ً َ‫ا‬
ࣖ ‫جْرا عَظِ ْي ًما‬
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka
hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa
melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa
menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.

QS. Al-Ma’idah Ayat 64

‫ْف يَش َۤا ۗٗ ُء َولَيَ ِز ْيدَنا َكثِي ًْرا ِم ْن ُه ْم اما ٓ ا ُ ْن ِز َل‬َ ‫ق َكي‬ ُ ‫ط ٰت ٖۙ ِن يُ ْن ِف‬ َ ‫س ْو‬ ُ ٗۗ ٌ‫ّٰللا َم ْغلُ ْولَة‬
ُ ‫غلاتْ ا َ ْي ِد ْي ِه ْم َولُ ِعنُ ْوا بِ َما َقالُ ْوا ۘ بَ ْل يَ ٰدهُ َم ْب‬ ِ َ‫َو َقال‬
ِ ‫ت ا ْليَ ُه ْو ُد يَ ُد ه‬
ٗۗ
‫سعَ ْونَ فِى‬ ‫ب اَ ْطفَا َ َها ه‬
ْ َ‫ّٰللاُ َٖۙوي‬ ِ ‫ارا ِل ْلح َْر‬ ً َ‫َاوةَ َوا ْلبَ ْغض َۤا َء ا ِٰلى يَ ْو ِم ا ْل ِق ٰي َم ِة ُكلا َما ٓ اَ ْو َقد ُْوا ن‬
َ ‫ط ْغيَانًا او ُك ْف ًر ۗٗا َواَ ْلقَ ْينَا بَ ْينَ ُه ُم ا ْلعَد‬
ُ َ‫اِلَ ْيكَ مِ ْن اربِك‬
ِ ‫ب ا ْل ُم ْف‬
َ‫س ِد ْين‬ ‫ساد ًۗٗا َو ه‬
ُّ ِ‫ّٰللاُ ََّل يُح‬ َ ‫ض َف‬
ِ ‫ْاَّلَ ْر‬

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu,
padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki. Dan
(Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu pasti akan menambah kedurhakaan
dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Dan Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di
antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah
memadamkannya. Dan mereka berusaha (menimbulkan) kerusakan di bumi. Dan Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam lingkup “tafsir”
yang dituntut dalam usaha menyuci-kan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluk-
Nya. Bentuk seperti itu oleh ulama ini disebut “tafsir” dengan majaz masyhur”.

2. Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wîl yang bertujuan mendekatkan ini,
kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka
mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada
membuang keduanya atau satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wîl kan surat al-Baqarah (2):
240, yang bertentangan dengan surat al-Baqarah (2) :234.
QS. Al-Baqarah Ayat 240

‫علَ ۡيکُمۡ ِف ۡى‬َ ‫ح‬ ٍ ‫غ ۡي َر ا ِۡخ َر‬


َ ‫اج ِّۚ َفا ِۡن َخ َر ۡجنَ َف ََل ُجنَا‬ َ ‫اج ِهمۡ امتَاعًا اِلَى ۡالح َۡـو ِل‬
ِ ‫َوالاذ ِۡينَ يُت َ َو اف ۡونَ مِ ۡنکُمۡ َو َيذَ ُر ۡونَ ا َ ۡز َوا ًجا ِۖ ِّۚۚ او ِص ايةً ِ ََّل ۡز َو‬
‫س ِهنا مِ ۡن ام ۡع ُر ۡو ٍؕفٍ َو ه‬
‫ّٰللاُ ع َِز ۡي ٌز َحک ِۡي ٌم‬ ِ ُ‫َما َفعَ ۡلنَ ف ۡ ِٓى اَ ۡنف‬

Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah
membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya
(dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (mengenai apa)
yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.

QS. Al-Baqarah Ayat 234

َ‫علَ ْي ُك ْم ِف ْي َما َفعَ ْلن‬ َ ‫عش ًْرا ِّۚ ف ِاذَا بَلَ ْغنَ اَ َجلَ ُهنا َف ََل ُجنَا‬
َ ‫ح‬ ْ َ ‫س ِهنا ا َ ْربَعَةَ ا‬
َ ‫ش ُه ٍر او‬ ْ ‫َوالا ِذ ْينَ يُت َ َو اف ْونَ مِ ْن ُك ْم َويَذَ ُر ْونَ ا َ ْز َوا ًجا يات َ َربا‬
ِ ُ‫صنَ بِا َ ْنف‬
‫ّٰللاُ ِب َما تَ ْع َملُ ْونَ َخ ِب ْي ٌر‬ ِ ٗۗ ‫س ِهنا ِبا ْل َم ْع ُر ْو‬
‫ف َو ه‬ ِ ُ‫ف ِْٓي ا َ ْنف‬

Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka
(istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah
mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka
menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ta’wîl itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat, namun
sewaktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Kadang-kadang tidak
dibenarkan menggunakan ta’wîl, atau ta’wîl itu dianggap salah, bila tidak ada hal yang
mendorong untuk ta’wîl; atau ada dorongan untuk men-ta’wîl, tetapi dilakukan tidak menurut
ketentuan;atau ta’wîl itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qath’i.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ta’wîl menurut bahasa berarti kembali kepada asal. Sedangkan ta’wîl Dalam
pengertiannya khusus hanya menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz
ayat, dari yang kuat kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.

Ada dua ruang lingkup ta’wîl (majaal al-ta’wîl ); Pertama, kebanyakan dalam masalah-
masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta’wîl
dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama.
Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah.
Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan
sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.

Adapun macam-macam ta’wil ada dua macam: pertama, Ta’wîl Al-Qur’an atau hadis Nabi
yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan
manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya. Kedua
Ta’wîl bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab

Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah,

Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq; Abdul
Azhim Diyb

Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul ,

Abu Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam

Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami,

Ibnu Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil,

Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al-Fatawa,

Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi,Maktabah Syamilah,

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,

Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul,

Kan’an Musthafa Sa’id Shatat. At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister,

Ugi Suharto, “Apakah Al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika”, dalam Islamia,

Muhammad ‘Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul,

Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim,

Ibnu Taimiyah, Majmu

Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an,

Amir Syarifuddin, Ushul .

Anda mungkin juga menyukai