Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang disampaikan melalui nabi
Muhammad Saw sebagai utusan-Nya, yang mengandungan seperangkat ajaran
keagamaan sebagai petunjuk dan sumber hukum islam. Ajaran Islam dalam
alQur’an bersifat universal dan mengikat bagi seluruh umatnya. Keterikatan ini
kemudian menuntut terhadap pemahamann al-Qur’an, untuk menggali ajaran ajaran
yang terkadung dalam setiap ayatnya. Pemahaman terhadap teks al-Qur’an dalam
sejarah Islam mengalami perkembangan dan perubahan dinamis. Teks al-Qur’an
yang tetap dan tidak berubah, menjadikan al-Qur’an sebagai sentralitas obyek
penafsiran yang dinamis, sehingga penafsiran terhadapnya pun mengalami
perkembangan dalam setiap masanya. Perkemabangan awal tafsir al-Qur’an
dimulai pada fase formalisasi islam hingga fase kontemporer.
Dalam perkembangannya, proses penafsiran memunculkan berbagai perangkat
metode yang berbeda, sesuai dengan semangat zamannya. Namun berbagai varian
metode tafsir tersebut merupakan indikator bahwa urgensi penafsiran terhdap al-
Qur’an harus tetap ada, dan bahkan munurut para ulama1
Pendapat ulama’ tentang hukum menafsirkan al-Qur’an tersebut jelas memberi
gambaran bahwa, pemahaman terhadap al-Qur’an tidak hanya dapat dilakukan oleh
diri sendiri. Namun secara tidak langsung dapat juga menyandarkan
pemahamannya terhadap orang yang memiliki kemampuan memahami atau
menafsirkan ayat al-Qur’an, sebab tidak semua umat Islam mampu memahami dan
menafsirkan al Qur’an sesuai dengan maksud dan tujuan dasar dari diturunkannya
al-Qur’an.2 Dalam penafsiran Al-Qur’an terdapat perbedaan jenis yang dapat di
lihat dari sumber yang di jadikan rujukan diklasifikasikan menjadi tafsir bi al-
ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Jenis tafsir bi al-ma’tsur merupakan tafsir yang
menyandarkan tafsirnya pada Al-Qur’an, sunnah nabi, dan sahabat, sehingga tidak
ada satupun pendapat in dividual mufassir yang dapat dijadikan sebagai penjelasan

1
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2009), 16
2
Kholid Abdur Rahman, Ushul al-tafsir wa qawaiduhu, (Beirut: Daar an-Nafaes 2009), 64.

1
ayat Al-Qur’an. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan
melalui jalur ijtihad para ulama dengan akal untuk menyempurnakan penjelasan
dari Al-Qur’an, nabi, dan sahabat. Meskipun setiap mufassir memiliki
kecendrungan keilmuan dalam setiap ijtihadnya.3
Dari latar belakang diatas, makalah ini bertujuan untuk mengkaji salah satu
jenis rujukan dalam penafsiran al-Qur’an yaitu: tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an,
dengan sunnah nabi, dan dengan qoul sahabat (tafsir bi al-ma’tsur).
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian tafsir al-Quran dengan al-Qur’an?
2. Apa pengertian tafsir al-Quran dengan sunnah?
3. Apa pengertian tafsir al-Quran dengan qoul sahabat?
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui apa pengertian tafsir al-Quran dengan al-Qur’an
2. Untuk mengetahui apa pengertian tafsir al-Quran dengan sunnah
3. Untuk mengetahui apa pengertian tafsir al-Quran dengan qoul sahabat

3
Manna’Khalil al-Qatthan, mabahith fii ulum al-Qur’an, (Surabaya: Al Hidayah 2007), 329.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bil - ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada al – Qur’an atau riwayat
yang shahih sesuai urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat – syarat
mufassir. Yaitu menafsirkan al –Qur’an dengan al Qur’an (ayat dengan ayat), Al
Qur’an dengan sunnah, perkataan sahabat karna merekalah yang paling mengetahui
kitabullah.4
Tafsir bil -Ma’tsur biasa disebut juga tafsir riwayat. Dalam hal ini, Prof. Dr.
M. Ali Ash-Shabhunniy memberikan pengertian, bahwa tafsir riwayat (ma’tsur)
adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah atau kata-kata
sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran al-Qur’an
dengan Sunnah Nabawiyyah. Dengan kata lain, maka tafsir bil-Ma’tsur adalah tafsir
al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran alQur’an dengan as-Sunnah atau penafsiran
al-Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat5
B. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah bentuk penafsiran paling tinggi.
Kebenaranya tidak diragukan lagi untuk diterima, alasan pertama karena Allah Swt
adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur antara hak
dan yang batil. Adapun alasan kedua, karena himmahnya rosul adalah al-Qur’an,
yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.
Contoh tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an:
ِ ٌۗ ِ َّ ‫هاٰيَيُّها الَّ ِذين اهمنُ اوا اَوفُوا ِِبلْع ُقو ٌِۗد اُ ِحلَّت لَ ُكم َبِيمةُ ْاْلَنْع ِام اَِّْل ما ي ْت هلى علَي ُكم َغْي ُُِملِٰى‬
ٰ‫الصْيد َواَنْتُ ْم ُحُرم ا َّن ه‬
َ‫اّلل‬ َْ ْ ْ َ ُ َ َ ََْ ْ ْ ْ ُ ْ ْ ْ َ َْ َ
‫ ََْي ُك ُم َما يُِريْ ُد‬artinya: “dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan

dibacakan kepadamu.(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu

4
Manna Khalil al-Qaththan,Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj,hal 434
5
Muhammad Ali Ash-Shabunniy,Studi Ilmu al-Qur’an,terj.

3
Ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum
menurut yang dikehendakinya.”6
Penafsiran dalam ayat lain dengan penjelasan pengecualian makanan yang
diharamkan di sebut pada ayat lain,7 yang menjelaskan pada ayat 3, yaitu:
ِ‫اْلِْن ِزي ِر وما اُ ِه َّل لِغَ ِْي ه‬
‫اّلل بِه‬
ٰ ْ َ َ ْ ْ ‫َّم َو ََلْ ُم‬ ْ ‫ُحِٰرَم‬
ُ ‫ت َعلَْي ُك ُم الْ َمْي تَةُ َوالد‬
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
(daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah”8

Dalam firman Allah Swt, surah ad-dukhon ayat 3 yaitu:

‫ِف لَْي لَ ٍة ُّم ه َٰبَك ٍة اِ ََّّن ُكنَّا ُمنْ ِذ ِريْ َن‬ ِ


ْ ِ ُ‫ا ََّّنا اَنْ َزلْنهه‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami (mulai) menurunkannya pada malam yang


diberkahi. Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan9.

Ditafsirkan dengan firman Allah, pada surah al-Qadr ayat 1 yaitu:

‫ِف لَْي لَ ِة الْ َق ْد ِر‬ ِ


ْ ِ ُ‫ا ََّّنا اَنْ َزلْنهه‬

Artinya: “sesungguhnya kami telah menurukan al-Qur’an pada malam


kemulian”10

C. Tafsir al-Qur’an dengan sunnah nabi


Khalid Abdul Al-Rahman mengutip Al-Syatibi menerangkan bahwa
pengertian al-Qur’an jika dikaitkan dengan hukum-hukum syariah kebanyakan
mengandung makna kulliy (global) bukan juziy(rinci), dan meskipun juziy maka
harus diambil kulliy dengan cara menggunakan penjelasan-penjelasan, atau
mengikuti makna asal, kecuali jika ditakhsis dengan dalil, seperti ditakhsis dengan
Sunnah.11 ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memerlukan banyak penjelasan, dan

6
Q.S Al-Maidah ayat 1
7
Muhammad ali adh-shaibuni, ikhtisar ulumul al-Qur’an (Jakarta Pustaka amani, 2001), 63.
8
Q.S al-Maidah ayat 3
9
Q.S ad-dukhon ayat 3
10
Q.S al-Qadr ayat 1
11
Khalid Abdul al-Rahman Ushūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu, (Beirut: Dar Al-Nakhais, 1986), h. 126.

4
fungsi Sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an. Tentu saja tidak terbatas
permasalahan hukum, namun mencakup seluruh persoalan kehidupan manusia.
Dari segi bahasa tafsir bermakna menampakkan dan menjelaskan.12 Makna seperti
ini juga digunakan pada surah al-Furqan ayat 33 yang berbunyi:

‫هك ِِب َْلَ ِٰق َواَ ْح َس َن تَ ْف ِس ْ ًْيا‬ ِ ِ


َ ‫ك ِِبَثَ ٍل اَّْل جْئ ن‬
َ َ‫َوَْل ََيْتُ ْون‬
Artinya: “Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh,
kecuali Kami datangkan kepadamu kebenaran dan penjelasan yang terbaik.”
Maksud kata tafsir pada ayat ini adalah memberikan penjelasan dan rincian. Kata
tafsir diambil dari kata “al-fassara” yang bermakna menampakkan dan membuka.
Secara bahasa kata ini digunakan dalam makna membuka al-hissi(berhubungan
dengan perasaan), dan membuka makna-makna yang dapat dinalar (masuk akal).13
Sedangkan menurut syara’ tafsir adalah menjelaskan makna ayat mengenai arti
pentingnya, kisahnya, sebab diturunkannya, menggunakan lafaz yang dapat
menunjukkan maksud yang merupakan fakta.14
1. Fungsi sunnah dalam penafsiran al-Qur’an
Secara umum fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah untuk
menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an, sebagaimana firman
Allah dalam Surah al-Nahl ayat 44, "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan
al-taqrir, bayan al-tafsīr, bayan al-tafsīl, bayan al-ba’t, dan bayan al-tasyri’.
Imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan al-tafsil, bayan al-tahsis,
bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’ dan bayan alnasakh. Dalam “Al-Risalah”, ia
menambahkan dengan bayan al-ishārah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal
menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kīd, bayan al-tafsir, bayan al-
tashri’ dan bayan al-takhsīs.15

12
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jil. 1, (Kuwait: Dar al-Nawadar, 2010), h. 13.
13
Khalid Abdul al-Rahman Ushūl al-Tafsīr wa Qawā’iduhu, (Beirut: Dar Al-Nakhais, 1986), h.30
14
ibid, h.30
15
Munzier Suparta, Ilmu Hadis…, h. 58 mengutip Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, (Jakart: Bulan Bintang, 1980), h. 176-188.

5
Seorang mufasir ketika menafsirkan al-Qur’an harus memperhatikan
fungsi-fungsi ini.16 Penjelasan dari bayan-bayan ini adalah sebagai berikut:
a. Bayan al-taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kidataubayan alis|bāt,
yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-
Qur’an, mengukuhkan apa yang sudah disebutkan dalam al-Qur’an.
Contohnya adalah hadis riwayat Muslim yang berbunyi: “Apabila kalian
melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah, dan juga jika melihat
hilal (bulan Syawal) maka berbukalah”. Hadisinimen-taqriratau
mengukuhkan surah al-Baqarah ayat 185 berikut: “Maka barang siapa di
antara kamu ada yang mempersaksikan bulan, maka berpuasalah”.
Dalam bayan taqrir diperlukan adanya persesuaian dan kecocokan
antara Sunnah dan al-Qur’an. Sunnah datang dengan keterangan atau
perintah yang sejalan dengan kandungan al-Qur’an, bahkan persis sama,
baik dari segi keumumannnya (mujmāl), maupun perinciannya (tafsil).
Dalam hal ini, sunnah mengukuhkan al-Qur’an, sehingga hukum wajib atau
haram berasal dari dua sumber, al-Qur’an sebagai yang menetapkan, dan
sunnah pengukuh atas ketetapan itu.
b. Bayan tafsir
fungsi hadis sebagai bayan tafsīr, adalah hadis berfungsi memberikan rincian
dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmāl),
memberikan pembatasan (taqyīd) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan takhsis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Dengan demikian hadis berfungsi sebagai:
1) Tafsil mujmal
Tafsilal-mujmal berarti memerinci yang global. Hadis
memberikan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global secara
terperinci, baik yang berkaitan dengan hukum atau ibadah lainnya. Ada
yang menyebut bayan ini dengan bayan tafsīlatau bayan tafsīr.Dalam
hal ini, hadis merinci ayat mujmal yaitu ayat yang dilalahnya masih

16
Khalid Abdul al-Rahman, Ushūl al-Tafsir wa qowa iduhu, h. 128-130.

6
tersembunyi dari maknanya, dan tidak ada cara lain menyingkirkan
yang tersembunyi kecuali menjelaskan yang timbul dari yang ijmal
tadi.
Contohnya adalah lafaz shalat di dalam al-Qur’an yang secara
bahasa bermakna doa seperti pada Surah al-Taubah ayat 103.17
sedangkan pada ayat lain yaitu Surah al-Nisa ayat 103.18 Menyebutkan
bahwa shalat itu memiliki waktu-waktu tertentu, maka yang dimaksud
shalat pada ayat kedua ini adalah shalat wajib lima waktu. Untuk
mengetahui bahwa shalat pada ayat ke dua bermakna shalat fardhu
adalah melalui sunnah yang menjelaskan tata cara shalat, syarat dan
rukun, hal-hal yang membatalkan, dan termasuk waktu waktu
pelaksanaannya.
Contoh lain hadis Nabi riwayat Muslim yang memerintahkan
“ambillah manasik hajimu dariku”. Rincian manasik haji yang
disebutkan dalam banyak hadis adalah penjelas ayat al-Qur’an yang
memerintahkan kewajiban ibadah haji.
2) Takhsisal Am
Pada bayan ini, hadis memiliki fungsi mentakhsis/
mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum. Contohnya
adalah ahli waris anak yang mewarisi bapak seperti pada firman Allah
Surah al-Nisa’ ayat 11. Pengertian lahir ayat ini adalah setiap ayah
menerima waris, namun nabi mentakhs}is} dalam hadisnya kecuali
para nabi.Nabi bersabda bahwa: “kami para nabi tidak bisa mewarisi,
apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.
3) Takyid Al-muthlaq
Pada bayan ini, hadis memiliki fungsi membatasi kemutlakan
ayat-ayat al-Qur’an. Maksudnya, keterangan-keterangan yang ada
dalam ayat al-Qur’an adalah mutlak, lalu hadis datang mengtaqyidatau
membatasi kemutlakan tersebut. Contohnya adalah firman Allah dalam

17
Q.S At-Taubah ayat 103
18
Q.S An-Nisa ayat 103

7
Surah al-Maidah ayat 38 yang menjelaskan bahwa pencuri laki dan
pencuri perempuan diperintahkan agar dipotong tangan keduanya.
Sunnah menunjukkan bahwa pemotongan dilakukan dari pergelangan
bukan dari siku-siku atau pundak, dan pemotongan dilakukan jika
barang yang dicuri senilai seperempat dinar ke atas.
c. Bayan al-tasyri
Bayan at-Tasyrī’ artinya mewujudkan hukum yang belum ada dalam
al-Qur’an. Pada bayan at-Tasyrī’, hadis memiliki fungsi menciptakan
hukum syariat (tasyrī’). Para ulama berbeda pendapat mengenai fungsi
sunnah sebagai dalil suatu hukum yang tidak disebutkan dalam al-
Qur’an.Mayoritas mereka berpendapat bahwa sunnah berdiri sendiri
sebagai dalil hukum, ini bukan berarti mengutamakan Sunnah
mengabaikan al-Qur’an, akan tetapi juga mengikuti petunjuk al-Qur’an
untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sementara yang lain berpendapat
bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara
implisit dalam teks al-Qur’an.19 Contohnya adalah Sunnah mengharamkan
menikahi wanita bersama bibi dan paman wanitanya, atau haramnya
saudara sesusuan seperti haramnya senasab, mewarisinya nenek, larangan
saling mewarisi antara Muslim dan kafir, dan anak perempuan dari anak
laki-laki mendapatkan bagian satu per enam jika mempunyai anak
perempuan. Sunnah juga mengharamkan memakan daging keledai ternak
dan setiap binatang berbelalai.
d. bayan al-naskh
Al-Nasakh artinya menghapus. Bayan al-Nasakh, adalah hadis yang
berfungsi menghapus hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an.
Mengingat kedudukan hadis menepati posisi kedua setelah al-Qur’an, para
ulama berbeda pendapat dalam menerima dan mengakui fungsi hadis yang
menasikhatau menghapus sebagian hukum al-Qur’an. Kata nasakh secara
bahasa berarti ibtal (membatalkan), izālah (menghilangkan), tahwīl
(memindahkan) dan tagyīr (mengubah). Ulama mutaqaddimīn memandang

19
Khalid Abdul al-Rahman, Ushul al-Tafsir wa qowa iduhu, h. 129.

8
bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah
suatu ketentuan hukum meskipun jelas, karena telah berakhir masa
keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (Pembuat
syariat yakni Allah) menurunkan ayat tersebut temporal dan tidak
diberlakukan selamanya.20
Ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan yang datang
terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok
dengan nuansanya. Tidak berlakunya suatu hukum melalui cara ini harus
mengikuti syarat dan ketentuan “nasakh waal-mansūkh”. Hadis sebagai
ketentuan yang datang kemudian dapat menasakh ketentuan al-Qur’an
yang datang lebih dahulu.
Kelompok yang membolehkan nasakh jenis ini adalah golongan
Mu’tazilah, Hanafiyah, dan mazhab IbnHazm al-Zahiri. Hanya saja
Mu’tazilah membatasi fungsi nasakh ini hanya berlaku untuk hadis-hadis
yang mutawatir lafziy saja. Sementara Hanafiah membolehkan hadis
masyhur meskipun hadis ahad untuk menasakh sebagian hukum al-Qur’an.
Adapun kelompok yang menolak nasakh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan
sebagian besar pengikutnya, meskipun nasakh tersebut dengan hadis
mutawatir. Kelompok lain yang juga menolak adalah sebagian besar
pengikut mazhab Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.21
D. Tafsir al-Qur’an dengan qoul sahabat
Kata qaul adalah bentuk masdar dari “qala - yaqulu - qaulan” yang berarti
perkataan/pendapat. Sementara sahabat Nabi didefinisikan sebagai orang yang
bersahabat.22 Bertemu langsung, beriman kepada Nabi Muhammad Saw.,
beragama Islam dan mati dalam keadaan beriman. Penting juga diketahui bahwa
masa pertemuan sahabat dengan Nabi, menentukan kadar/derajatnya. Sebagai
seorang sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Ahmad ra: “siapa
menyertai Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat melihat Nabi, maka ia
termasuk sahabat Nabi. Derajat masingmasing dari mereka sesuai dengan ukuran

20
Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 65.
21
Musthafa al-Siba’i, Al-Sunnah waMakānatuhāfī alTasyri’ al-Islāmi, h. 360.
22
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: al-Nasr wa al-Tauzi’, 1978), 706

9
lamanya bersama Nabi.”23 Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa
pendapat sahabat (‫( الصحابى قول‬adalah pendapat para sahabat Nabi Muhammad
Saw. Adapun yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat
tentang suatu kasus yang dikutip para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan
hukum. Sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang
dihadapi sahabat tersebut.24
Sahabat Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan beberapa sumber
penafsiran yaitu di antaranya:
1. al-Qur’an
Para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an sebagaimana
yang mereka pelajari dari Nabi Muhammad Saw. dengan periwayatan, tetapi
hal itu sangat sedikit dan terbatas25 contohnya:
ِ ‫الس ْق‬
‫ف الْ َم ْرفُ ْوِع‬ َّ ‫َو‬
Artinya: demi atap yang ditinggikan(dilangit)
Ayat di atas ditafsirkan Ali bin Abi Thalib dengan “langit”. Hal itu
didasarkan pada firman Allah Swt.:
ِ ۚ ۤ
ُ ‫الس َماءَ َس ْق ًفا َُّْم ُف ْوظًا َوُه ْم َع ْن اهيهت َها ُم ْع ِر‬
‫ض ْو َن‬ َّ ‫َو َج َعلْنَا‬
Artinya: Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, tetapi
mereka tetap berpaling dari tanda-tandanya (yang menunjukkan kebesaran
Allah, seperti matahari dan bulan).
2. Hadist
Selain dengan ayat al-Qur’an lainnya, para sahabat berusaha juga
meriwayatkan hadis Nabi berkaitan tentang tafsir ayat al-Qur’an dari
penjelasan Nabi Muhammad Saw. Pada kondisi lain,para sahabat tidak
menyebutkan sanad-nya kepada Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an. Kedua hal
ini menunjukkan bahwa sahabat Nabi berpatokan pada hadis Nabi, setelah

23
Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa li Syaikh al-Ilsam ibn Taymiyah, jilid 4
(Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, 1419 H), 464.
24
Syamsul Munir Amin, Kamus Ilmiah Ushul Fiqh (Jakarta: Gema Insani Pres, 2005), 209.
25
Musaid Ibn Sulaiman al-Tayyar, Fusul fi Usul al-Tafsir (Riyadh: Dār alNasyr al-Dawli, 1993), 30-31.

10
tidak menemukan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.26 Contohnya adalah
penafsiran Abdullah bin Abbas tentang firman Allah Swt.
‫ت َوتَ ُق ْو ُل َه ْل ِم ْن َّم ِزيْ ٍد‬
ِ َْ‫ي وم نَ ُقو ُل ِِلهنَّم ه ِل امتَ ل‬
ْ َ َ ََ ْ َ ْ َ
Artinya: (Ingatlah) pada hari (ketika) Kami bertanya kepada (neraka)
Jahanam, “Apakah kamu sudah penuh?” Ia menjawab, “Adakah tambahan
lagi?”
Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa Allah meletakkan kakinya
di Jahannam. Jahannam pun menjawab: Cukup-cukup.27
3. Bahasa arab
Apabila sahabat Nabi tidak menemukan tafsiran tentang sesuatu hal
dalam al-Qur’an dan hadis, mereka merujuk tafsir Al-Qur’an kepada bahasa
Arab.28 Digunakannya bahasa Arab sebab al-Qur’an diturunkan Allah Swt.
dengan bahasa tersebut. Selain al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab,
bahasa ini juga yang digunakan sahabat Nabi ketika itu, oleh karenanya,
mereka memahami al-Qur’an dengan baik.29contoh:
‫َّت‬ ِ ِ َ‫واَِذن‬
ْ ‫ت لَرَٰبَا َو ُحق‬
ْ َ
Artinya: serta patuh kepada Tuhannya dan sudah semestinya patuh.
Abdullah bin Abbas menafsirkan kata ‘adzinat’ dengan makna
“mendengar”, yakni langit mendengar Tuhannya.30

26
Al-Tayyar, Fusul fi Usul…, 31
27
Al-Ṭābarī, Tafsīr al-Ṭābarī:…, 169
28
Al-Tayyar, Fusul fi Usul…, 31
29
alḌahābī, Al-Tafsir wa…, 28.
30
Al-Ṭābarī, Tafsīr al-Ṭābarī:…, 113.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat
ditulis sebagai berikut:
1. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah suatu cara untuk menafsirkan
al-Qur’an, yang dimana cara ini adalah bentuk penafsiran paling tinggi.
Kebenaranya tidak diragukan lagi untuk diterima, alasan pertama karena Allah
Swt adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur
antara hak dan yang batil. Adapun alasan kedua, karena himmahnya rosul
adalah al-Qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.
2. Penafsiran al-Qur’an dengan sunnah adalah cara kedua setelah al-Qur’an, yang
dimana definisi sunnah ini tidak jauh berbeda dengan hadist sebagai sumber
hukum kedua setelah al-Qur’an. Khalid Abdurrahman dalam kitabnya
mengingatkan bahwa mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an harus
memperhatikan fungsi” bayan, seperti bayan taqrir, tafsir, tasyri, naskh.
3. Penafsiran al-Qur’an dengan qoul sahabat, Kata qoul adalah bentuk masdar
dari “qala - yaqulu - qaulan” yang berarti perkataan/pendapat. Yang dimana
bentuk penafsiran ini berupa pendapat atau perkataan sahabat. Penafsiran al-
Qur’an dengan qoul sahabat ini memiliki beberapa cara yaitu melalui al-
Qur’an, Hadist, dan Bahasa arab.

12
Daftar Pustaka

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2009),


Kholid Abdur Rahman, Ushul al-tafsir wa qawaiduhu, (Beirut: Daar an-Nafaes 2009),
Manna’Khalil al-Qatthan, mabahith fii ulum al-Qur’an, (Surabaya: Al Hidayah
2007),

Muhammad Ali Ash-Shabunniy,Studi Ilmu al-Qur’an

Manna Khalil al-Qaththan,Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an

Q.S Al-Maidah ayat 1


Muhammad ali adh-shaibuni, ikhtisar ulumul al-Qur’an (Jakarta Pustakaamani,2001)
Q.S al-Maidah ayat 3
Q.S ad-dukhon ayat 3
Q.S al-Qadr ayat 1
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jil. 1, (Kuwait: Dar al-
Nawadar, 2010), h. 13.
Munzier Suparta, Ilmu Hadis…, h. 58 mengutip Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakart: Bulan Bintang, 1980), h. 176-188.
Q.S At-Taubah ayat 103
Q.S An-Nisa ayat 103
Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 65.
Musthafa al-Siba’i, Al-Sunnah waMakānatuhāfī alTasyri’ al-Islāmi
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: al-Nasr wa al-Tauzi’, 1978),

Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taymiyah, Majmu’ Fatawa li Syaikh al-Ilsam ibn
Taymiyah, jilid 4 (Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, 1419 H), 464.
Syamsul Munir Amin, Kamus Ilmiah Ushul Fiqh (Jakarta: Gema Insani Pres, 2005),
209.
Musaid Ibn Sulaiman al-Tayyar, Fusul fi Usul al-Tafsir (Riyadh: Dār alNasyr al-
Dawli, 1993)

Al-Tayyar, Fusul fi Usul


Al-Ṭābarī, Tafsīr al-Ṭābarī
alḌahābī, Al-Tafsir wa…, 28.

13
14

Anda mungkin juga menyukai