Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di samping
itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an
sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga
kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang
buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia
akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas
dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW. dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya
sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah SWT. Salah satu
hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian Al- Qur`an tersebut adalah
agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-
menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga kemudian selamat,
baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana . Bagaimana mungkin
manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan selamat dan
tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan,
ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak
yang tidak dapat dipercaya? Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al
Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak
tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Tafsir ?
2. Apa Pengertian Ta’wil ?
3. Apa Pengertian Tarjamah ?

C. Tujuan Penulisan

1
1. Untuk Mengetahui Tafsir.
2. Untuk Mengetahui Ta’wil.
3. Untuk Mengetahui Tarjamah.

BAB II

2
PEMBAHASAN
A. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa diambil dari kata fassara-yufassiru yang berarti
menjelaskan, atau dari kata fasrun yang berarti membuka, membedah sesuatu
yang rumit, secara linguistic tafsir dapat diartiakan usaha membedah problem
yang rumit untuk bisa dimengerti oleh orang lain. Pada dasrnya penertian
tafsir menurut bahasa tidak lepas dari kandungan makna al-idhah
(menjelaskan), al-bayan ( menerangkan), al-kasyf ( mangungkapkan).
Sedangkan Menurut istilah:
1)    Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keaaannya,
kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat  diturunkan, dengan lafat yang
menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali.
2)    Menurut az-Zarkazyi, ialah suatu  pengetahuan yang dengan
pengetahuan itu dapat dipahamkan kibullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW menjelaskan maksud-maksudnya mengeluarkan
hukum-hukumnya dan hikmahnya.
3)    Menurut al-Kilbyi ialah mensyarahkan al-qur’an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya
atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.
4)    Menurut Syeikh Thorir, ialah mensyarahkan lafad yang sukar
difahamkan oleh pendengan dengan uraian yang menjelaskan maksud
dengan menyebut muradhifnya atau yang mendekatinya atau ia
mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan (petunjuk).1
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para Ulama diatas,
disa disimpulkan tafsir berarti keterangan mengenai makna yang
dimaksudkan dalam alqur’an baik dalam kerangka pemikirnya masing-
masing atau berpatokan pada riwayat dan pengetahuan seseorang. Ilmu tafsir
di definisikan sebagai ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan
lafadz-lafadz al-Qur’an, dalil-dalil yang dikemukakannaya, hukum-

1 ?
Mashuri Sirojuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Angkasa, 1989), hlm . 86

3
hukumnya baik yang bersifat spesifik maupun sistematik serta makna-
maknanya yang diungkapakn dengan bahasa yang mudah dimengerti.
2. Pembagian Tafsir
  Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu:
Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir
bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y.
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
      Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang
bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw,
pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata
lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat
al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah,
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Tafsir bi Al ma'tsur secara umum terbagi menjadi 3 yaitu :
1.) Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30
        
     

Artinya : “Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali
yang diterangkan kepadamu keharamannya…”.

Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (‫ك ْم‬


ُ ‫َعلَْي‬ ‫) ِإالَّ َم ُاي ْتلَى‬ ditafsirkan dengan surat al-

Maidah:3

       


  
Artinya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.“

4
b. Tafsir Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits
Contoh Surat Al-An’am ayat 82:
      
-    

Artinya : “Orang - orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan


iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang
mendapat petunjuk”

Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw
dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan) dengan mengkaitkannya dengan

ِ ‫الش ر َك لَظُل‬
firman Alloh dalam Surat Luqman : ‫يم‬
ٌ ‫ْم َعظ‬
ٌ ْ ِّ ‫ ( ِإ َّن‬sesungguhnya Syirik
adalah kedloliman yang besar )2

c. Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat


Contoh surat an-Nisa’ ayat 2
Mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dan Ibnu Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas yang menerangkan ayat ini:
         

Jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata ”huub” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar
         Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena
tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang
tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya:
1) tafsir Ibnu Abbas : Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas,
2) tafsir at Thabari : Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an,
2 ?
Ibid., hlm. 87.

5
3) tafsir Ibnu ‘Atiyyah : Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz,
4) tafsir Ibnu Katsir : Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.

2. Tafsir Bi Al-Dirayah/ Tafsir Bi Al-Ra’yi


Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan
fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang
digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada
ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan
adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir
ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan
pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka
serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya
dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun
demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat
bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan
digunakan dalam penafsiran ini.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan
ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan.
Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan
madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-
ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud)


     Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan
ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan
tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran
bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja.

6
Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari,
dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
      a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur
    b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait
berpikir mengenai kitab Allah  menurut hidayah sunnah Rasul yang
mulia. Para Ulama bersepakat bahwa persyaratan yang harus
dipenuhi bagi seorang mufassir adalah sebagai berikut:
a) Ilmu Bahasa; untuk mengetahui kosa kata dan maknanya
b) Ilmu Nahwu; untuk mengetahui perubahan suatu kata
c) Ilmu Tashrif; untuk mengetahui perubahan bentuk kata dan maknanya.
d) Ilmu Isytiqaq; untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata
e) Ilmu Balaghah; untuk mengetahui keistimewaan susunan kalimat
f) Ilmu Qira’ah untuk menentukan qiraat yang lebih sesuai dengan arti
g) Ilmu Ushuluddin ; untuk mengetahui dalil-dalil sebagai pembuktian
dari al-Qur’an
h) Ushul Fiqh; untuk mengistimbathkan hukum dari dalil-dalilnya.
i) Asbabun an-Nuzul; untuk mengetahui maksud ayat dalam sejarah
turunnya
j) Ilmu Nasikh Mansukh; untuk mengetahui ayat-ayat yang muhkam
k) Ilmu Fiqh; untuk mengetahui pandangan-pandangan para fuqaha
l) Ilmu Hadits; agar tidak mudah terbawa oleh arus cerita Israliyat

B. Ta'wil
1. Pengertian Ta’wil
          Menurut bahasa Ta’wil di ambil dari kata Awwala – Yuawwilu – Ta’wilan
: kembali kepada asalnya.3 Ada pula yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari

3 ?
Kahar Masykur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka cipta, 1992), hlm. 160

7
akar kata “Al ‘Aulu” yang berarti “Ar Ruyu”, yaitu “kembali”. Dikatakan pula
bahwa ia diambil dari kata “Al-Ayalah”, yang berarti “As-Siya sah”, yakni
mengatur, seakan-akan mengatur-atur kalimat, menimbang-nimbangnya,
membolak-balikannya untuk memperoleh arti dan maksudnya. Adapun Ta’wil
menurut istilah ulama salaf yaitu menegaskan yang dimaksud ada dua macam,
yaitu:
1. Ta’wil adalah menafsirkan kalimat dan menerangkan artinya, baik arti
tersebut sama dengan bunyi lahiriah kalimat tersebut ataupun berlawanan.
2. Ta’wil adalah Esensi dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. Maka
apabila kalimat itu berupa tuntutan, maka ta’wilnya adalah esensi dari
perbuatan yang dituntut, dan jika berupa rangkaian kalimat berita maka
ta’wilnya adalah esensi dari suatu yang diberitakan.4
Dalam definisi lain ta’wil secara bahasa berasal dari kata ”aul” yang
berarti kembali keasal, atas dasar ini maka ta’wil secara istilah diartikan menjadi
dua makna yaitu
            Pertama , ta’wil dengan pengertian suatu makna kalam yang kepadanya
mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau suatu
makna yang yang kepadanya suatau kalam dikembalikan . dan kalam itu kembali
dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang
dimaksud. Kalam ada dua macam, insya dan ikhbar, salah satu yang termasuk
insya adalah amr (kalimat perintah ). Maka ta’wil amr adalah esensi perbuatan
yang diperintahkan. Misalnya hadist yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. Ia berkata
: ”adalah Rasulullah membaca di dalam ruku’ dan sujudnya subhanallah wabi
hamdika Allahummagfir li. Beliau menta’wilkan (menjalankan perintah) alqur’an .
maksudnya firman Allah : maka bertasbihlah memuji tuhanmu dan mohonlah
ampun kepadanya. Sesungguhnya Dia Maha penerima taubat. (An-Nasr :3).
            Kedua, ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibn Jabir At-Tabrani dalam tafsir-nya dengan
kata-kata, pendapat tentang ta’wil firman Allah ini ...Begini dan begitu...dalam hal
ini ahli ta’wil menganggap bahwa yang dimaksud dengan ta’wil adalah tafsir.
4 ?
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an II, (Bandung: Pustaka Setya, 1997), hlm
.51.

8
Akan tetapi diantar para ulama ada yang membedakan antara tafsir dan ta’wil
karena walaupun maknanya agak berdekatan akan tetapi tetap memiliki
perbedaan.
            Singkatnya, ta’wil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafadz (ayat-ayat) melalui proses pendekatan pemahaman arti yang dikandung
oleh lafadz itu. Dengan kata lain berarti menerangkan lafadz dengan alternatif
kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Persamaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
 Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an
 Ketiganya sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an
Perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
 Tafsir: menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang
lebar, lengkap dengan penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat
diambil dari ayat itu dan seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan
ayat-ayat tersebut.
 Ta’wil: mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur’an dari arti yang lahir dan
rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh.
 Terjemah: hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa
lain tanpa memberikan penjelasan arti kiandungan secara panjang lebar
dan tidak menyimpulkan dari isi kandungannya.

Perbedaan Terjemah dan Tafsir

TERJEMAH TAFSIR
1. Memakai bahasa lain 1. memakai bahasa arab yang
2. Jelas diterangkan dalam al-qur’an mempunyai keterkaitan dengan
dan hadits-hadits shahih lafadz
3. Banyak berhubungan dengan 2. Kebanyakan di istinbath oleh para

9
riwayat ulama
4. Digunakan dalam ayat - ayat 3. Banyak berhubungan dengan
mukhkamat (jelas) rirayat
5. Bersifat menerangkan petunjuk 4. Digunakan dalam ayat-ayat
yang dikehendaki mutasyabihat
5. Menerangkan hakikat yang
dikehendaki

Perbedaan Tafsir dan Ta’wil

TAFSIR TA’WIL
6. Pemakaiannya banyak dalam 6. Pemakaian lebih banyak pada
lafadz-lafadz dan mufradat makna-makna dan susunan kalimat
7. Jelas diterangkan dalam al-qur’an 7. Kebanyakan di istinbath oleh para
dan hadits-hadits shahih ulama
8. Banyak berhubungan dengan 8. Banyak berhubungan dengan
riwayat rirayat
9. Digunakan dalam ayat - ayat 9. Digunakan dalam ayat-ayat
mukhkamat (jelas) mutasyabihat
10. Bersifat menerangkan petunjuk 10. Menerangkan hakikat yang
yang dikehendaki dikehendaki

C. Terjemah
1. Pengertian Terjemah
Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan
pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana
diungkapkan dalam Kamus Lisan Al Arab : 
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau
tarjuman (dengan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam

10
(pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang
lain.5
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana
didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang
terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan
menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan
semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.6 Terjemah dibedakan
menjadi dua macam yaitu : Terjemah Harfiyah dan Terjemah Tafsiriyah,

a. Terjemah Harfiyah
           Terjemah ini mustahil dilakukan dalam Al-Quran apabila dilakukan maka
penggantian huruf atau kalimat dari bahasanya akan menghilangkan
kemukjizatnya, sehingga tidak lagi bisa disebut Qur’an. Perlu digaris bawahi
bahwa bahasa mempunyai dua makna, pertama ialah makna asli yang tidak ada
satu bahasa pun yang berbeda, makna kedua ialah makna yang berbeda dengan
perbedaan bahasa dan banyak manusia yang salah memahami dan berbeda derajat
kehalusannya. Seperti misalnya menterjemahkan ayat :

Ÿw u r ö@yèøgrB x 8 y‰t ƒ »' s !q è =øó tB 4 ’n <Î ) y7 É )ã Z ãã Ÿwur


$ yg ô Ü Ý ¡ ö6 s? ¨@ä . Å Ý ó ¡t6ø9 $ # y‰ãèø)tF sù $Y Bqè=tB #·‘qÝ¡øt ¤C
 Artinya : ”Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya Karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal.” (Al-Isra :29)

Kalau kita menerjemahkan ayat diatas secara harfiyah maka kita tidak
akan memahami maksudnya, karena hanya berpatokan kepada makna harfiyahnya

5 ?
Muhammad Abdul Adhim Al Zarqani, Manahilul Irfan fii Ulumil Qur'an, (Beirut :Dar Al
Fikr), hlm. 109.
6 ?
Ibid. hlm. 110

11
saja. Oleh karena itu para ulama menetapkan mustahilnya terjemah secara
harfiyah dan tidk boleh disebut dengan terjemah Al-Qur’an.
b. Terjemah Tafsiriyah/ Ma'nawiyah
          Terjemah Tafsiriyah adalah terjemah dengan bahasa selain bahasa Al-
Qur’an dengan bahasa arab maupun bahaa lainnya. Terjemah semacam ini tetap
mencantumkan bahasa aslinya dan menggunakan pemisah antara Al-Qur’an
dengan terjemahannya.
            Terjemah sebenarnya tidah hanya memindahkan Al-Quran dari bahasa
slinya kedalam bahasa selain Al-Qur’an, tetapi berarti juga penafsiran terhadap
Al-Quran. Penterjemahan Al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa arab saat ini
disyaratkan dengan memadankan bahasa asli dengan bahasa terjemahannya. Apa
bila terjemahan Al-Qur’an tersebut tidak dibarengi dengan ayat Al-Qur’an aslinya
di khawatirkan akan menimbulkan keresaham masyarakat dan menimbulkan
kesesatan.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu
mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak
mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua
maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu
dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.7

1. Syarat-syarat terjemah
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik
tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik
bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau
karakteristik dari kedua bahasa tersebut;

7 ?
Manna’ Khalil Qaththan, Mabahits Fii Ulumil Qur'an, Al Ma'had Aly Lil Qodlo,Riyadh,
hlm. 313

12
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang
dikehendaki oleh bahasa pertama;
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl).
Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah
tersebut.8

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi Kesimpulannya, penerjemahan tidak juga hanya mencakup kesesuaian
dengan konteks bahasa sumber dengan bahasa penerima, akan tetapi harus pula
dapat mencerminkan bahan yang diterjemahkan. Maka penguasaan bahan yang
akan diterjemahkan menjadi penting bagi seorang penerjemah. Wajar jika
8 ?
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama Edisi 1990,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, hlm. 60

13
dikatakan bahwa penerjemah idealnya adalah seorang yang ilmunya sebidang
dengan pengarang buku yang diterjemahkan. Penerjemahan juga harus
memperhatikan gaya bahasa yang dianut oleh bahasa sumber dan gaya bahasa
penerima seperti penerjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.

B. Saran
 Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah.
Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang
ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan
sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan
terima kasih.

14

Anda mungkin juga menyukai