Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak permasalahan yang dihadapi


manusia. Terkadang banyak sesuatu yang bertentangan dengan akal dan pikiran
manusia. Dalam menyelesaikan masalah tersebut Allah telah menurunkan wahyu
yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk, serta pengatur kehidupan bagi umat-
umatnya.
Wahyu merupakan suatu yang dituangkan Allah SWT yang disampaikan
kepada nabi-nabi-Nya, yang berupa pemberitahuan yang tersembunyi dan cepat
yang khusus di berikan  tanpa diketahui orang lain dan prosesnya bisa melalui
suara yaitu berupa firman atau melalui mimpi dan merupakan pedoman bagi
umat-umatnya.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul pada saat itu, wahyu
merupakan hubungan gaib yang tersembunyi antara Allah dengan orang-orang
yang telah disucikan-Nya (rasul dan nabi) dengan tujuan menurunkan kitab-kitab
suci samawi dengan perantara malaikat yang membawa wahyu yaitu Jibril. Dan
Al-Qur’an merupakan salah satu wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai wahyu terakhir untuk penyempurna ajaran-ajaran
sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Penafsiran?
2. Pengertian Wahyu?
3. Bagaimana Proses Turunya Wahyu?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Penafsiran
Tafsir secara akar kata berasal dari kata ‫ر‬-‫س‬-‫( ف‬fa-sa-ra) atau ‫( فَ َّس َر‬fassara)
َّ
yang bermakna َ‫بَيَن‬ bayana (menjelaskan), dan ‫وض;; َح‬ waddhaha (menerangkan).
Dari sisi istilah, ada dua definisi:

 menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan fi 'Ulum al-Qur'an, maksudnya


adalah, "Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang menerangkan maknanya,
menyingkap hukum dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa
Arab, seperti ilmu Nahwu, tashrif, bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun
nuzul, dan nasikh mansukh.
 Adapun menurut Az-Zarqani, "Tafsir adalah ilmu yang membahas
kandungan al-Qur'an dengan menyingkap maknanya (dilalah), dengan
maksud yang diinginkan Allah SWT, sebatas kemampuan manusia."
Definisi ini lebih ringkas daripada definisi di atas.
Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab
Allah yang diturunkan kepada nabi ‫ﷺ‬, berikut penjelasan maknanya
serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya
terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih
sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh
kata.

a. Tafsir Riwayat

Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir
ma'tsur. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan
ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-
Quran.
b. Tafsir Dirayah
Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan
cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan
tepat.
Tafsir dirayah bukanlah menafsirkan al-Quran berdasarkan kata hati atau
kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda nabi:
"Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia harus
bersedia menempatkan dirinya di neraka, dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran
dengan ra'yunya (nalar) maka hedaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka."
(HR. Turmudzi dari Ibnu Abbas)
"Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra'yunya kebetulan tepat,
niscaya ia telah melakukan kesalahan." (HR. Abi Dawud dari Jundab).
Hadis-hadis di atas melarang seseorang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu
atau sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat seperti
nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, tafsir dirayah ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan
syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran.

2. Pengertian Wahyu
Khilaf berarti perbedaan, perselisihan, kontraversi, dan kontradiksi. Secara
umum “khilaf” berarti perbedaan pendapat di antara para ulama dalam berbagai
permasalahan, baik permasalahan agama maupun permasalahan lainnya. Karena
pendapat merupakan buah pikir dari manusia jadi sangat mungkin sekali setiap
pendapat itu mengalami perbedaan.
Dalam fiqih Islam, khilaf (disebut juga ikhtilaf) adalah perbedaan pendapat
ulama mengenai masalah-masalah fiqih yang tidak prinsipil. Perbedaan itu
melahirkan mazhab-mazhab fiqih, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, azh-Zhahiri, Zaidiah, dan Syi’ah. Perbedaan pendapat itu pun bahkan
terjadi juga dalam satu mazhab.
Dalam studi hukum Islam, khilaf atau akhtilaf telah berkembang menjadi
ilmu tersendiri, yaitu ilmu al-khilaf (ilmu perbedaan pendapat fiqih). Ilmu al-
khilaf adalah ilmu tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan ijtihad.
Terkadang ilmu ini juga membahas masalah-masalah praktis di kalangan para
mujahid. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu khilaf disebut juga “al-fiqh al-
muqaran” (fiqih perbandingan).
Mungkin, untuk orang awam permasalahan ini agak membingungkan,
mengapa harus terjadi perbedaan pendapat, mengapa dalam Islam ada berbagai
mazhab padahal agama Islam adalah satu, syariatnya satu, dan sumbernya satu,
yaitu wahyu Ilahi? Mengapa tidak satu mazhab saja sehingga umat Islam bisa
berjalan dalam satu alur mazhab karena umat Islam adalah umat yang satu?
Sampai-sampai ada yang berkeyakinan bahwa perbedaan mazhab-mazhab pada
dasarnya adalah perbedaan syariat dan sumbernya, bahkan akidahnya. Semisal
perbedaan yang terjadi di kalangan non-Islam, yaitu Kristen Ortodok, Katolik, dan
Protestan.
Semua itu merupakan pandangan yang keliru. Sesungguhnya, perbedaan-
perbedaan tadi bisa jadi justru memudahkan umat Islam, bahkan dalam kondisi-
kondisi tertentu bisa menjadi rahmat dan kekayaan syariat, yang menjadi
kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Hal itu disebabkan hakikat khilaf para
ulama yang sebenarnya adalah dalam hal-hal furu’iyah dan ijtihad-ijtihad ilmiah,
bukan dalam hal-hal yang prinsipil, semisal dasar-dasar agama dan akidah. Oleh
karena itu, kita tidak mendengar dalam sejarah Islam bahwa perbedaan mazhab-
mazhab fiqih di kalangan para ulama itu menjadikan persaudaraan dan persatuan
di antara mereka pecah.
Untuk itu ulama fiqih bersepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ijtihad
itu diperbolehkan, sejauh tidak menyebabkan terjadinya perpecahan dan rusaknya
persaudaraan Islam. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw.
“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara dan
hasil ijtihadnya itu benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil
ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim dari
‘Amr bin ‘Ash dan Abu Hurairah). Hadits ini menjelaskan bahwa dalam berijtihad
seseorang bisa benar bisa salah, tetapi orang yang salah pun tetap mendapat
pahala atas ijtihad yang dilakukannya.
Sebenarnya, perbedaan seperti ini ditemukan pula di kalangan para sahabat
ketika Rasulullah saw. masih hidup, di kalangan tabi`in dan juga pada masa
generasi-generasi selanjutnya.

3. Bagaiamana Proses Turunya Wahyu


Di dalam Al Qur’an terdapat banyak Nash yang menunjukkan kalam Allah
kepada Malaikat-malaikatnya. Dintaranya adalah dal surah Al-anfal ayat 12 yang
artinya “Ingatlah ketika tuhanmu mewahyukan kepada malaikat. ‘sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman..’”
Selain itu juga terdapat Nash-nash lain yang menunjukkan bahwa Allah
berbicara kepada malaikat secara langsung tanpa adanya perantara dan dipahami
oleh malaikat itu sendiri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan olehNawas bin
Sam’an menjelskan bagaiman wahyu turun. Yaitu pertama Allah berbicara , dan
para malaikat mendengarnya.
Al Qur’an sejatinya telah nyata ditutunkan di Lauhil mahfudz. Berdaarkan
firman Allah dalam surah Al buruj ayat 21-22 yang artinya “Bahkan ia adalah
Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhil mahfudz”. Demikian pula Al Qur’an
diturunkan di Baitul izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar.
Dari beberapa ulama’ ada yang berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah
kepada malaikat jibril.
1. Jibril menerima secara pendengaran dari Allah SWT dengan lafalnya yang
khusus.
2. Jibril menghafalnya dari lauhil mahfudz.
3. Maknanya disampaikan jibril, lafalnya lafal jibril atau lafal Muhammad.
Namun dari beberapa pendapat diatas yang dijadikan pegangan ahlussunnah wal
jama’ah adalah pendapat yang pertama.
a) Cara wahyu Allah turun kepada Rasul
Allah memberikan wahyu kepada Rasul-Nya ada yang melalui perantaraan
dengan melalui malaikat jibril dan ada yang tidak melalu perantaraan yaitu
melalui mimpi yang benar dalam tidur.
b) Melalui malaikat jibril.
Turunnya Wahyu Allah kepada Rasul salah satunya adalah melalui
perantara malaikat jibril. Sebagaimana dengan turunnya Wahyu pertama dari
Allah kepada Nabi Muhammad yang pada waktu itu Nabi Muhammad sedang
berkhalwat di gua Hira’ datanglah malaikat jibril, dengan mendekap erat seraya
berbisik “iqro’”. Dan malam itu turunlah wahyu pertama yaitu surat Al-Alaq dari
ayat 1-5.
c) Mimpi yang benar dalam tidur
Turunnya wahyu dari Allah kepada nabi Muhammad salah satunya adalah
melalui mimpi yang benar dalam tidur. Di dalam shahih muslim, Anas r.a berkata
“Ketika Rasulullah SAW pada suatu hari berada diantara kami di dalam masjid
tiba-tiba Beliau mendengkur, lalu mengangkat kepala beliau dengan keadaan
tersenyum. Aku tanyakan kepadanya ‘Apakah yang menyebabakan Engkau
tertawa wahai ya Rasulullah?’ Beliau menjawab ‘Tadi telah turun sebuah surah’
lalu  membacakan surah Alkautsar ayat 1-3.
Diantara bentuk yang menunjukkan wahyu turun ketika tidur juga dialami
oleh Nabi Ibrahim A.S untuk menyembelih putranya, Ismail. Sebagaimmana yang
diungkapkan dalam surah As shaff at ayat 102 :
Yang artinya: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku
bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatnmu”. Ismail
menjawab “wahai Bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
insyaAllah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS.As-
Shaffat : 32)
d) Allah menurunkannya langsung kepada Rasulallah.
Yaitu seperti ketika peristiwa mi’raj. Beliau mendapatkan perintah untuk
melaksanakan sholat fardhu lima waktu dlam sehari lansung dari Allah tanpa
melalaui perantara malaikat jibril. Cara penyampaian wahyu yang demikian juga
pernah dialami oleh nabi Musa ketika pengangkatannya menjadi Rasul
sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Thaha ayat 11-13 yang artinya “Maka
ketika ia ‘(musa) datang ke tempaat api itu, ia dipanggil: “wahai Musa!
Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka lepaskanlah kedua sandalmu:
Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, yakni Thuwa. Dan Aku telah
memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan (kepadamu)”. (QS. Thaha 11-
13).
e) Cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul
Cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul ada dua cara yaitu:
 Datangnya seperti dering lonceng dan amat kuat sehingga
mempengaruhi faktor-faktor kesadaran. Menurut Rasul cara inilah
yang paling berat.
 Malaikat menjelma sebagai seorang laki-laki. Dan cara inilah yang
menurut Rasul lebih ringan dari cara yang sebelumnya.
Kedua cara tersebut sesuai dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah
bahwa Haris bin ahaisyam r.a bertanya kepada Rasulullah SAW engenai hal itu.
Dan jawab Nabi “Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan
lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu dia pergi dan aku telah
menyadari apa yang dikatakannya. Dan kadang malaikat menjelma kepadaku
sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan akupun memahami
apa yang dia katakan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam fiqih Islam, khilaf (disebut juga ikhtilaf) adalah perbedaan
pendapat ulama mengenai masalah-masalah fiqih yang tidak prinsipil. Karena
pendapat merupakan buah pikir dari manusia jadi sangat mungkin sekali setiap
pendapat itu mengalami perbedaan. Ulama fiqih bersepakat bahwa perbedaan
pendapat dalam hal ijtihad itu diperbolehkan, sejauh tidak menyebabkan
terjadinya perpecahan dan rusaknya persaudaraan Islam.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat antara lain adalah :
1. Perbedaan kecondongan dan watak
2. Perbedaan lapangan ilmu
3. Meniru orang-orang terdahulu
4. Perbedaan cakrawala tahu
5. Kejanggalan suatu masalah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling memvonis sesat,
permusuhan, dan kebencian yang terjadi dikalangan masyarakat Islam, sebagian
terhadap sebagian yang lainnya yang tidak sepaham dengan manhaj masing-
masing, adalah suatu hal yang serius. Oleh karena itu kita harus tahu sikap yang
tepat dalam menghadapi khilafiyah.
Secara etimologis, tafsir berarti penjelasan, sedangkan terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Quran
sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit. Tujuan mempelajari ilmu tafsir
adalah terpelihara dari salah dalam memahami al-Quran. Ada beberapa macam-
macam tafsir salah satunya adalah tafsir bil matsur.
DAFTAR PUSTAKA

Romas, A. Ghofir. Ilmu Tauhid, Semarang: BPFD IAIN Walisongo


Semarang, 1997.
Thalib, Muhammad, Anggapan Semua Agama Benar dalam Soratan Al-
Qur’an, Jogjakarta: Menara Kudus, 2003.
Abdul Mustaqim, Studi Al-Quran Kontempor, PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta, cet. 1, 2002,
Abdullah, Amin Studi Agama Normativitas Atau Historisitas?, Pustaka
Pelajar Anggota Ikapi, Yogyakarta, 1996,
Ahmad as Shawi ‘ala Tafsir Aljalalain jilid 2, Beirut, 1993 hlm. 414-420
Al-Salim, Mukrim 'Abdul Pemikiran Islam Antara Akal Dan Wahyu. PT.
Mediyatama Sarana. Jakarta. Cet. 1. 1987
Althabari. Ibnu Jarir, Jami’ Albayan fi Tafsir al-Qur’an, Dr –aljil,
Beirut, t. t. juz 15.
Amal, Taufik Adnan Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, Forum Kajian
Budaya Dan Agama(Fkba), Yogyakrta, 2001,
, “ al-Qur'an dimata Barat, ” dalam ulumul qur’an, vol. 1, 1990.
Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat,Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Anda mungkin juga menyukai