Anda di halaman 1dari 31

Tafsir Bil Ma'tsur Tasfir Bir Ra'yi, dan Tafsir Bi Al Isyarah

A. PENDAHULUAN

         Al-Qur'an adalah kalam Allah SWT yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia.
Sebagai kalam Allah SWT yang notabene berbeda dengan kalam manusia, tentu hanya
Dialah satu-satunya yang paling mengerti maksudnya. Sebagai petunjuk hidup, tentu
manusia harus berupaya memahaminya dengan pemahaman yang mendekati pemiliknya.
Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Qur'an diperlukan.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-
orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh
manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga menjadi
penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan
yang benar. Disamping Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus
dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat
yang namanya ilmu tafsir.
  Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33
dari Al-Furqan yang artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa
sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan
penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab
dengan “kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Dan tafsir menurur
Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz.1
Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn
Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan. Didalam kamus bahasa Indonesia, kata
tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran”.2
Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir Al-Quan ialah penjelasan atau
keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-
Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran adalah menjelaskan atau menerangkan
makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Dalam
perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan berbagai metode untuk mencoba
menemukan maksud yang pas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam

1. Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.h. 33


2 . Ibid ,H.40
1
perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur
dan Bil Ra’yi.
         Oleh karenanya perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam kedua tafsir tersebut
sehingga pemahaman terhadap tafsir tidak dangkal, baik tafsir bil ma'tsur maupun bir
Ra'yi dan pada akhirnya bisa ditemukan titik temu diantara keduanya.
         Dari uraian diatas, maka dalam pembahasan kali ini yang akan dikaji adalah
a. Tafsir bil ma'tsur
b. Tafsir bir Ra'yi
c. Macam-macam Al-tafsir bi al-Ma’tsur dan Al-tafsir bi al-Ra’yi
d. kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur Kitab yang mahmud
(diperbolehkan) kitab yang Mazhmum
e. Kelebihan dan kekurangan keduanya

2
B. PEMBAHASAN
Secara tekstual tafsir bisa berarti jelas, nyata, terang, dan memberikan penjelasan.
Sedangkan kaitannya dengan al-Qur'an, tafsir diartikan sebagai penjelasan maksud yang
sukar dari suatu lafadh atau ayat al-Qur'an. Tegasnya, tafsir sesungguhnya merupakan
upaya untuk memahami pesan-pesan al-Qur'an. 3
Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia
pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana
dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik
bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an,
yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini
kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu
dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-
tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat
dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan
juga guna mempertegas perbedaan antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal.
Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ bentuk tafsir bil ma’tsur dan
tafsir bil ra’yi”. Tentu perlu kiranya sebelum mengetahui apa kelebihan dan kekurangan
dari tafsir bil ma'tsur ataupun bir ra'yi, bisa dipahami maksud dari kedua tafsir tersebut,
sebagai berikut: Berdasarkan tinjauan ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga macam:
1.      Tafsir riwayat, lazim juga disebut dengan tafsir naql atau dengan tafsir ma’tsur
(atsar).
2.      Tafsir dirayah, yang lazim disebut dengan tafsir bir ra’yu (dengan akal).
3.      Tafsir isyarah, yang lazim disebut dengan tafsir isyari.

1. TAFSIR BIL MA'TSUR


Tafsir bil ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur'an atau riwayat
yang sahih yang sesuai dengan urutan dalam syarat-syarat mufassir. yaitu menafsirkan
al-Qur'an dengan al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah, perkataan sahabat karena
merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar
tabi'in. Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat 4

3. MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur'an, Malang: UIN Malang Press, 2008, h.22
4. Terj Aunur Rafiq, pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006 h. 434
3
Imam Al-hakim berkata; "sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah
menyaksikan wahyu dan turunnya adalah memiliki hukum marfu' artinya, bahwa tafsir
para sahabat itu mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan hadis nabawi yang
diangkat kepada Nabi SAW. dengan demikian, tafsir sahabat itu termasuk ma'tsur. 5
Tafsir Riwayat (ma’tsur) ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-
Quran, Sunah, atau kata-kata Sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah,
yaitu penafsiran Al-Quran dengan As-Sunah Nabawiyyah. Dengan demikian, maka
tafsir maksur adalah tafsir Al-Quran dengan Al-quran,  penafsiran Al-Quran dengan
As-Sunah atau penafsiran Al-Quran menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat. 6
Adapun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain
ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan
para sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi
(penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang
sama dengan mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab.7
   Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan pendapat mengenai tafsir bil ma'tsur,
yang menjadi persoalan dalam kajian al-ma'tsur adalah
a. Apakah yang dimaksud dengan al-ma'tsur tersebut, penafsiran yang telah diberikan
Nabi dan para sahabat,
b. Menafsirkan al-Qur'an berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi oleh Nabi berupa al-
Qur'an dan sunnah serta pendapat sahabat
      Dalam hal yang pertama, ma'tsur menjadi sifat bagi tafsir, dan dalam yang kedua,
ma'tsur menjadi sifat bagi sumber-sumber yang digunakan dalam penafsiran., Jika yang
pertama diterima, maka tafsir bil ma'tsur ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat
dikembangkan lagi. Dalam hal ini, tugas mufasir hanya meneliti sanadnya; apakah
sahih atau tidak? jika ternyata sahih, maka penafsiran tersebut diterima, tapi jika tidak,
maka penafsiran itu ditolak. Apabila pengertian yang kedua diterima, maka tafsir bil
ma'tsur dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman karena dalam pengertian
yang kedua itu masih terbuka bagi ulama untuk mengembangkan pemikiran dalam
memahami ayat-ayat al-Qur'an.

5. Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis Jakarta: pustaka Amani,
2001.h  106
6 . Ash-Shaabuuniy Muhammad Ali, Studi Ilmu Al-Qur’an , Pustaka Setia, Bandung, 1998 h. 248
7. Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis h.106
4
      Kedua pemahaman itu tidak bertentangan karena yang pertama, merupakan
pengertian sempit bagi al-ma'tsur, sementara yang kedua adalah pengertian yang lebih
luas.Walaupun pengertian yang kedua memberikan peluang bagi ulama untuk berijtihad
dalam penafsiran, namun tidak sampai kepada wilayah tafsir bir ra'yi
   Dengan perkataan lain tafsir bil ma'tsur itu tetap menjadikan riwayat sebagai dasar;
sedangkan tafsir bir ra'yi berangkat dari pemikiran (ijtihad), kemudian dicari argument
berupa ayat-ayat al-Qur'an, sunnah Nabi, dan sebagainya untuk mendukung penafsiran
tersebut. 8
Nabi Muhammad bukan hanya bertugas menyampaikan al-Qur'an, melainkan
sekaligus menjelaskannya kepada umat sebagaimana ditegaskan Allah di dalam surat
al-Nahl ayat 44:
" ... ‫" َو َا ْن َزلْنَا ل َ ْي َك ا ِّذل ْك َر ِل ُت َبنِّي َ ِللنَّ ِاس َما نُ ّ ِز َل لَهْي ِ ْم‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
(… dan kami turunkan kepadamu al dzikir (al-Qur'an), agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturnkan kepada mereka…)9
dan ayat 64
" .. ‫اختَلَفُوْ ا فِ ْي ِه‬ َ ‫"و َما أَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْيكَ ْال ِكت‬
ْ ‫َاب إِالَّ لِتُبَيِّنَ لَهُ ُم الَّ ِذي‬ ِ  
( Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan di dalamnya…..)10
Kecuali penafsiran dari Nabi SAW, ayat-ayat tertentu juga berfungsi menafsirkan
ayat yang lain. Ada yang langsung ditunjukkan oleh nabi bahwa ayat-ayat tersebut
ditafsirkan oleh ayat lain; ini masuk kelompok tafsir bil ma'tsur (tafsir melalui riwayat).
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi SAW secara musyafahat
(dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin
(pembukuan) ilmu ilmu Islam, termasuk tafsir sekitar abad ke-3 H. Cara penafsiran
serupa itulah, yang merupakan cikal bakal apa yang disebut dengan tafsir bil ma'tsur
atau disebut juga tafsir bir riwayah.11
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur'an pada masa ini berpegang pada:

8. Nashruddin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 h. 373
9 .Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, 2007, Jakarta: Surat An-Nahl (24), Juz
26, h. 509.
10 .Ibid. h.
11. Nasharuddin baidan, Metode Penafsiran Al-Qur'an h. 40-45

5
1. Al-Qur'an al-Karim
Apa yang dikemukakan secara global di satu tempat di jelaskan secara
terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk
mutlaq atau umum namun kemudian disusul oelh ayat yang lain yang membatasi
atau mengkhususkannya. Inilah ynag dinamakan "tafsir al-Qur'an dengan al-
Qur'an"
2. Nabi Muhammad SAW
Beliaulah pemberi penjelasan (penafsir) al-Qur'an otoritas. Ketika para
sahabat mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka merujuk
kepada Nabi Muhammad SAW
3. Pemahaman dan ijtihad.
               Kalau di kalangan sahabat banyak yang dikenal pakar dalam bidang tafsir, di
kalangan tabi'in yang notabenenya menjadi murid mereka pun, banyak pakar
dibidang tafsir. dalam menafsirkan, para tabi'in berpegang pada sumber-sumber
yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar
mereka sendiri.
Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat
al-Qur'an. mereka hanya menafsirkan bagain-bagian yang sulit dipahami bagi orang-
orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara
bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa nabi dan sahabat. Masa para tabi'in
yang menekuni bidang tafsir merasa perlu untuk menyempurnakan sebagian
kekurangan ini. karenanya  mereka pun menambahkan ke dalam tafsir keterangan-
keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah
generasi sesudah tabi'in. generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur'an
secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab
dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Qur'an
yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian
lainnya
Dengan demikian ,maka penafsiran Al qur’an yang didasarkan kepada ijtihad para
sahabat paling sedikit menurut sebagian ulama lebih digolongkan kedalam kelompok
tafsir bi.al diwayah dari pada diklarifikasikan jenis tafsir bi al riwayah . bahkan
pengelompokan tafsir al qur’an dengan ayat Al Qur’an yang tidak ada petunjuk
6
langsung dari Nabi Muhammad SAW,ada yang memandang lebih tepat di golongkan
ke dalam kelompok tafsir bil dirayah. 12

 Metode tafsir bil ma'tsur mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang shahih
sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu:
a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
Yang pertama-tama adalah dengan mendahulukan penafsiran Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an. Metode ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi. Karena Al-
Qur'an merupakan sumber yang paling benar, yang tidak mungkin terdapat
kesalahan di dalamnya.
Contoh, seperti firman Allah:

ِ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬


)٧( َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َوال الضَّالِّين‬ ِ
Artinya. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.
Yang menafsirkan ayat dengan ayat lain;
)٦( ‫ص َراطَ{ ْال ُم ْستَقِي َم‬
ِّ ‫ا ْه ِدنَا ال‬
Artinya. TunjukilahKami jalan yang lurus,
Demikian pula dengan ayat
)٣( ُ‫النَّجْ ُم الثَّاقِب‬
Artinya.. (yaitu) bintang yang cahayanya menembus,

Yang menafsirkan ayat sebelumnya ,yakni

ِ َّ‫َو َما أَ ْد َراكَ َما الط‬


ُ ‫ار‬
)٢( ‫ق‬
Artinya. tahukah kamu Apakah yang datang pada malam hari itu?
Itu salah satu contoh tentang penafsiran ayat dengan ayat yang berkaitan .13
b. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits:
Yang kedua adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan Hadits, karena
sesungguhnya Hadits berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Al-Qur’an.
Allah 'Azza wa jalla berfirman:

12. Suma ,Muhammad Amin , Ulumul Qur’an , Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2013.h..343
13. Ibid, 335
7
َ ِ‫اَلَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ا َولَ ْم يَ ْلبِسُوْ ا{ إِ ْي َمانُهُ ْم بِظُ ْل ٍم أُوْ لَئ‬
َ‫ك لَهُ ُم االَ ْمنُ َوهُ ْم ُم ْهتَ ُدوْ ن‬
Artinya; orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-oramng yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-An'am: 82)
Nabi SAW, menafsirkan lafal adh-zulmu (‫لظ ْل ُم‬
ُّ َ‫ ) ا‬dengan asy-syirku      ( (
‫اَل ِّشرْ ك‬.penafsiran demikian dikuatkan oleh firman Allah SWT:
‫ك لَظُ ْل ٌم َع ِظ ْي ٌم‬
َ ْ‫الَ تُ ْش ِر ْك بِاهللِ إِ َّن ال ِّشر‬
Artinya : Janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ( QS.Luqman:
13)
Nabi menafsirkan lafal al- Muadhobi masing-masing dengan orang yahudi dan
orang Nasrani dalam firman Allah SWT
{ِ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬
)٧( َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َوال الضَّالِّين‬ ِ )٦( ‫ص َراطَ{ ْال ُم ْستَقِي َم‬
ِّ ‫ا ْه ِدنَا ال‬
. Tunjukilah Kami jalan yang lurus,
. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.( Q.S Al
Fatihah 6-7)
Kemudian beberapa ayat yang secara implisit menjelaskan kebencian Allah
terhadap orang yahudi disamping kebenciannya terhadap orang munafik firman
Allah SWT;
َّ ُ‫ت الظَّانِّينَ بِاهَّلل ِ ظَ َّن ال َّسوْ ِء َعلَ ْي ِه ْم دَائِ َرة‬
‫الس {وْ ِء‬ ِ ‫ت َو ْال ُم ْش ِر ِكينَ َو ْال ُم ْش ِر َكا‬ ِ ‫ب ْال ُمنَافِقِينَ َو ْال ُمنَافِقَا‬ َ ‫َويُ َع ِّذ‬
)٦( ‫صيرًا‬ ِ ‫ت َم‬ ْ ‫ب هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْم َولَ َعنَهُْ{م َوأَ َع َّد لَهُ ْم َجهَنَّ َم َو َسا َء‬
َ ‫ض‬ِ ‫َو َغ‬
Artinya: dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan
dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka
buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang Amat
buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka
neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat tempat kembali.
( Q,S Al Fath. 6) 14
c. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat:

14 . Ibid, 340-41
8
Sahabat adalah seorang yang hidup pada masa Rasulullah hidup, berjumpa
dengan beliau, lalu beriman hingga akhir hidupnya. Mereka inilah yang
menyaksikan langsung ketika ayat Al-Qur’an diturunkan, dan juga mengetahui
asbabun nuzul. Sehingga bilamana tidak terdapat penjelasan dalam Al-Qur’an dan
Hadits atas suatu ayat, maka disyaratkan untuk menafsirkan ayat tersebut dengan
menggali pendapat para sahabat. Tentang generasi sahabat disbanding generasi
tabi,in memang diakui oleh Al Qur’an dan Al Hadis , baik secara eskplisit maupun
implisit .
Contohnya, penafsirkan QS. al-Anfal ayat 41:
     
        
        
  
Artinya: " orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar. ( Q.S Al Taubah.(9). 100
Senada dengan ayat di atas ,Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan
“ Dari Imran bin Hasira r.aia berkata bahwasanya Rasulullah SAW . bersabda “
generasi terbaik dari umatku adalah pereode aku , kemudian generasi yang
mengiringinya (sahabat) kemudian generasi berikutnya lagi (tabi’in). Imran
berkata ; aku tidak tahu persis apakah nabi menyebutkanya dua kali sesudahnya
atau tiga “. Tapi, kemudian yang pasti sesudah itu beliau katakan bahwa sesudahnya
akan tampil sesuatu kaum yang siap menjadi saksi tanpa di minta kesaksiannya ,
mereka berkianat dan tidak dipercaya ; mereka juga bernazar ( berjanji) tetapi tidak
mereka penuhi dan akhirnya tampak di tengah-tengah mereka orang-orang yang
gemuk ( berperut buncit)” HR al- Bukhari). 15
d. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:
Apabila tidak pula terdapat penafsiran dari para Sahabat, disyaratkan untuk
menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat dari para Tabi’in. Diantara para
15. Suma ,Muhammad Amin , Ulumul Qur’an ,.hl.345
9
Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat. Namun, tidak jarang
pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan istidlal, yaitu
penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah pada penafsiran
yang dinukilkan secara sahih..16
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir
Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya
Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn
Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya
Abu Ja’far An Nahhas). 17
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :
1. Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
2. Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
3. Tafsir Baqy Makhlad
4. Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
5. Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
6. Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
7. Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
8. Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
9. Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi)18
Pada perkembanganya tafsir bil ma’tsur juga mengalami perbedaan
pendapat antar Para periwayat, namun perbedaan itu hanya terletak pada aspek
redaksional sehingga maknanya sama hanya kata – kata yang berbeda. Perbedaan ini
dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu :
a. seorang mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang
berbeda dengan mufasir lain. Contoh pada kata as sirat al mustaqim sebagian
menafsirkan dengan Qur’an sedang yang lain dengan islam, namun keduanya

16 . islam.pusatstudi.com/2017/01/tafsir-bil-matsur.html diakses tanggal 28 Mei 2017 pukul 23.46


17. blogspot.com/2008/12/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html diakses tanggal 28 Mei 2017 pukul
23.50.WIB
18 .Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, Bulan Bintang, 1980. h.
252-253

10
bermakna sama karena islam ialah mengikuti qur’an (Drs.Mudzakir
AS,2011:484)
b. masing mufasir menafsirkan kata – kata yang bersifat umum dan menyebutkan
makna dari sekian banyak makna yang ada, contoh penafsiran tentang firman
Allah yang berbunyi : “ kemudian kitab itu kami wariskan kepada ornang – orang
yang kami pilih diantara hamba – hamba kami namun diantara mereka ada yang
berbuat aniaya (zalim)terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap
moderat(muqtasid) dan ada pula yangterdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan. 19

(fathir 35:32) (Drs.Mudzakir AS,2011:485)[8]


Dalam pengartian zalim,muqtasid dan sabiq ada musafir yang mengaitkan dengan
sholat ada pula yang mengaitkannya dengan zakat sehingga terasa ada perbedaan
namun dalam makna sesungguhnya masih menggambarkan hal yang sama. Perbedaan
juga terkadang dikarenakan ada dua lafadz yang bermakna ganda, namun itu bukan
masalah besar selama tidak menyim-pang dari konteks yang asal.

2. TAFSIR BIR RA'YI


Tafsir bir ra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya atau maksudnya,
mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan
(istinbath) pun didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini dalam
memahami Al-Qur’an tidak sesuai dengan ruh syari’at yang didasarkan pada nash-
nashnya. Rasio semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada penyimpangan
terhadap Kitabullah. 20.
Menurut ulama tafsir, tafsir dirayah disebut juga tafsir ra’yu atau tafsir dengan
akal (ma’qul), karena penafsiran kitab Allah bertitik tolak dari pendapatnya dan
ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan dari sahabat atau tabi’in. Yang
dimaksud dengan tafsir bi al ra’yi, menurut ahli tafsir adalah “Ijtihad” yang didasarkan
pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya

19 . http://amarsuteja.blogspot.com/2012/09/tafsir-bil-matsur-dan-tafsir-bir-rayi.html di akses
tanggal 29.Mei 2017 pukul 20.58 WIB
20 . Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.
2006 h.440
11
digunakan oleh orang yang hendak mendalami Al-Qur’an atau mendalami
pengertiannya.. 21
      Masalah klasik yang tetap actual adalah pelarangan tafsir bir Ra’yi ( penafsiran
dengan pendekatan logika). Pelarangan ini tentu saja mewariskan rasa takut dan
menyebabkan penghalang untuk mengkaji kandungan al Qur’an dan masalah-masalah
peradapan yang menjadi salah satu bukti kekalnya Al Qur’an Al Karim. 22
Setelah berakhirnya masa salaf sekitar abad ke-3 H.dan peradaban Islam semakin
maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan
umat Islam. masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, merka mencari ayat-ayat
al-Qur'an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan
yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bir ra'yi
( tafsir melalui pemikiran atau ijtihad)
      Pendek kata, berbagai corak tafsir bir ra'yi muncul di kalangan ulama-ulama
mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan
sains seprti tafsir al-manar dan al-jawahir. melihat perkembangan tafsir bir ra'yi yang
demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan manna' al-Qathtan bahwa tafsir bir
ra'yi mengalahkan perkembangan al-ma'tsur. 23

Meskipun tafsir  bir ra'yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya
para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi
seletah diteliti, ternyata pendapat yang bertentangn itu hanya bersifat lafzi (redaksional).
maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra'yi
( pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan criteria yang
berlaku. penafsiran inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya
sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an denagn ijtihad yang berdasarkan al-Qur'an
dan sunnah rasul serta kaedah-kaedah yang mu'tabarat (diakui sah secara bersama). 24
Secara bahasa al-ra'yu berarti al-I'tiqadu (keyakinan) ,al-'aqlu (akal) dan al-
tadbiru ( perenungan). Ahli fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-

21. Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali. Studi Ilmu Al-Qur’an. CV Pustaka Setia. Bandung. 1998  h.
258
22 . Syaihk Muhammad Al Gazali , Al Qur’an kitab zaman kita, Mizan pustaka, Bandung 1996 .h. 302
23. Nashruddin Baidan Metode Penafsiran Al-Qur'an Metode Penafsiran Al-Qur'an hlm 337
24 .Anshori LAL, Tafsir Bir Ra’yi Raja Grapindo Pres Jakarta 2010. h 1
12
ra'yu. Karena itu tafsir bi al-ra'yu disebut sebagai ashab al-ra'yu. karena itu tafsir bi al-
ra'yi disebut tafsir bi al-'aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
   Menurut istilah, tafsir bi al-Ra'yi adalah  upaya untuk memahami nash al-Qur'an
atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari
segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab
sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh
di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang
mufassir. Jadi jelas, bahwa tafsir bir-ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau
ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagai
hanya semaunya saja   oleh karana itu jika menfsirkan al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan
ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan, firman
Allah:
‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم‬ َ ‫ َو الَتَ ْقفُ َما لَي‬ 
َ َ‫ْس ل‬
" dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang padanya kamu tidak mempunyai
pengetahuan" (al-Israa:36)
Rasulullah bersabda;
ْ ْ ِ ْ‫ َم ْن قَا َل فِي ْالقُر‬ 
ِ َّ‫ان بِ َرأيِ ِه _ أَوْ بِ َما الَ يَ ْعلَم _ فَ ْليَتَبَ َّوأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬
"barangsiapa berkata tentang al-QUr'an menurut pendapatnya sendiri atau
menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di
dalam neraka    
Tentang penggunaan akal dan pemikiran filsafat secara sehat dan benar, maka
hal itu dibenarkan dalam al-Qur'an, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, bahwa
bila kita berdebat dan konfrontasi hendaknya dilakukan secara bijaksana, dan juga
dinyatakan bahwa dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasyabih atau juga sama-sama
di ketahui bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an dhilalahnya bersifat zhanni dan untuk
mengambil hukum dari padanya diperlukan suatu pemikiran, demikian pula dalam al-
Qur'an terdapat ayat-ayat yang bersifat filosofis, belum lagi al-Qur'an ditinjau dari segi
seni dan sastra Arab. 25
Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, dan dalam rangka menjaga
mufassir agar tidak melakukan kesalahan dan menafsirkan al-Qur'an, maka perlu

25 Imam Muchlas ,Al-Qur'an Berbicara pustaka Progressif, Surabaya: 1996 . h. 55


13
rambu-rambu atau syarat-syarat bagi seseorang untuk menafsirkan al-Qur'an. berikut ini
syarat-syarat bagi mufassir dalam menafsirkan al-Qur'an:
a. Mengetahui hadits Nabi baik dari sisi riwayah maupun dirayah
b. mengetahui bahasa Arab
c. menguasai ilmu nahwu
d. menguasai ilmu sharaf
e. mengetahui sumber pengambilan kata
f. mengetahahui ilmu balaghah
g. mengetahui ilmu qira'at
i. mengetahui ilmu ushuluddin (Islamic Theology), seperti ilmu tauhid
h. mengetahui ilmu ushul Fikih
i. mengetahui sebab-sebab turun ayat
j. mengetahui kisah-kisah di dalam al-Qur'an
k. mengetahui nasikh dan mansukh Imam Muchlas ,Al-Qur'an Berbicara
l. harus mengamalkan apa yang dia ketahui
Dari syarat-syarat mufassir bir ra'yi diatas. Husein al-Dzahabi meyimpulkan
bahawa ada beberapa ilmu yang harus dikuasai seorang mufassir, yaitu: ilmu bahasa,
ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu al-Isytiqaq, ilmu al-Ma'ani, Ilmu al-bayan, ilmu al-badi',
ilmu al-Qira'at, ilmu Ushul al-Din, ilmu ushul al-fiqh, ilmu asbab an-nuzul, ilmu al-
qashash, ilmu nasikh dan mansukh, haids-hadis yang menjelaskan ayat-ayat mujmal
dan mubham dan ilmu al-Mauhibah. 26

1. Adapun sumber-sumber penafsiran bir ra'yi sebagai berikut:


a) al-Qur'an
b) mengutip dari R-asulullah SAW dan menjaga serta menghindari ahis dha'if dan
maudhu'
c) mengambil penafsiran sahabat yang shahih
d) mendasarkan kepada bahasa Arab, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa
Arab

26 . Ibid . hlm 12-14


14
e) Tafsir yang dihasilkan harus sesuai dengan makna dzahir kalam dan sesuai dengan
kekuatan hukumnya. 27
2. Langkah-langkah yang dijadikan  rujukan tafsir bir ra'yi:
a. Tafsir dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkannya, tanpa pengurangan dan
tambahan yang tidak perlu
b. Teliti dan  jeli melihat makna hakiki dan makna majazi
c. teliti dalam melihat apa yang tertulis dengan tema atau maksud yang diangkat,
yang sesuai dengan konteks ayat yang sedang ditafsirkan
d. melihat persesuaian (munasabah)
e. menyebutkan asbab al-nuzul ayat
f. menganalisis dan menjelaskan mufradat (lafadz-lafadz), dan dirivasinya serta asal
katanya
g. menghindari penjelasan panjang bagi ppengulangan-pengulangan
h. melakukan tarjih (pengunggulan satu atas yang lain)
3. Wilayah ijtihad Tafsir bir Ra'yi sebagai berikut:
a) lafadz ( kata dalam bahasa Arab) kadang maknanya jelas dan kadang juga tidak
jelas. Mufasir harus mengetahui bahwa suatu lafadz senantiasa mengandung makna
relative (beberapa makna), sehingga yang dilakukan muufasir adalah ijtihad dalam
rangka menemukan makna yang dikehendaki
b) kata-kata yang tidak jelas (mubham) memiliki beberapa tingkatan.Ada lafadz
mubham (tidak jelas) tetapi bisa dijelaskan oleh seorang mufasir. Ini termasuk dalam
wilayah ijtihad tafsir bir ra'yi
c) ada yang disebut dengan al-khafi yaitu lafadz yang tingkat  ketidak jelasannya paling
sedikit, sehingga tidak membebani mufassir untuk menjelaskannya
d) Ada yang disebut dengan musykil, yaitu lafadz yang tingkat mubhamnya lebih
banyak dari sebelumnya, lebih banyak dari al-khafi. untuk lafadz yang musykil ini,
dibutuhkan ijtihad mufassir
e) ini seperti bentuk musytarak-satu lafadz mengandung beberapa makna- adalah salah
satu bentuk lafadz al-musykil, yang membutuhkan penjelasan dan penetapan satu
makna saja dari dua atau lebih makna yang terkandung di dalamnya. ini memerlukan
ijtihad seorang mufassir untuk menentukan makna dimaksud
27 .Ibid, hlm 41
15
f) wilayah ijtihad dalam upaya meletakkan atau memposisikan lafadz pada makna
g) wilayah ijtihad terkait ketika kita beralih pada dalalah al-fadz terhadap makna

4. . Tafsir bir ra'yi dibedakan menjadi dua macam:


Tafsir bir ra'yi madmumah
yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari
kebodohan dan kesesatan, sejalan engan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada
uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash al-Qur'an. Barang siapa
menafsirkan al-Qur'an menurut logikanya dengan memperhatikan ketentuan-
ketentau tersebut, serta berpegang pada makna-makna al-Qur'an, maka
penafsirannya dapat diterima dan patut dinamai dengan tafsir bir ra'yi mahmud
         Contohnya:
َ َ‫َو َم ْن َكانَ فِ ْي هَ ِد ِه أَ ْع َمى فَه َُو فِي االَ ِخ َر ِة أَ ْع َمى َوأ‬
ً‫ضلُّ َسبِ ْيال‬
Artinya; "barangsipa yang buta (hati) di (dunia) ini, niscayaia akan buta pula di
akhirat dan lebih sesat jalannya". (QS. Al-Isra': 72)
        Orang tidak paham akan berpendapat bahwa setiap orang yang buta akan
mengalami nasib celaka, rugi, dan masuk neraka. Padahal yang dimaksudkan buta
disini bukanlah buta mata, melainkan buta hati berdasarkan firman Allah 'Azza wa
jalla yang berbunyi:
‫صا ُر َولَ ِك ْن تَ ْع َمى ْالُقُلُوْ بُ الَّتِ ْي فِي الصُّ ُدوْ ِر‬
َ ‫فَإِنَّهَا الَ تَ ْع َمى ْاالَ ْب‬
Artinya : sesungguhnya mereka bukanlah buta mata, tetapi buta hati yang
dalam dada ". (QS al-Haj:46). 28

b.. Tafsir bir Ra'yi Madzmum (tercela)     


yaitu sifat tercelaa bila menafsirkan qur'an menurut selera penafsir sendiri,
disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah
kepada mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid'ah dhalalah, atau
mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa
Arab, maka tafsir model ini ditolak dan termasuk tafsir al-madzmum (tercela)
         Berikut ini contoh tafsir bir ra'yi al-madzmum:

28. Ibid. h .254


16
َ ِ‫َاس بِإِ َم ِم ِه ِم فَ َم ْن أُوتِ َي ِكتَبَهُ بِيَ ِم ْينِ ِه فَاُلَئ‬
ْ َ‫ك يً ْق َرئُونَ ِكتَبَهُ ْم َوالَي‬
 ً‫ظلَ ُموْ َ{ن فَتِ ْيال‬ ِ ‫يَوْ َم تَ ْد ُعوْ ُك َّل أُن‬
Artinya "(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya, dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya
sedikitpun" (QS al-Isra')
         Orang " bodoh" menjelaskan maksud kata ‫ االمام‬dengan ‫ االمهات‬padahal maknanya
sangat berbeda. Diamenduga bahwa kata ‫ االمام‬adalah bentuk plural (jama') dari kata
‫ ام‬padahal tidaklah demikian menurut bahasa arab. karena bentuk plural (jama') dari
‫ االم‬adalah ‫امهات‬, sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
‫ت َو أُ َّمهَتُ ُك ُم الَّتِى‬
ِ ‫{ات ْاالُ ْخ‬ ِ َ‫الأ‬
ُ {َ‫خ َوتَن‬ ُ {َ‫ت َعلَ ْي ُك ْم أُ َّمهَتِ ُك ْم َوبَنَاتُ ُك ْم َوأَ َخ َوتُ ُك ْم َو َع َّمتُ ُك ْم َو َخلَتُ ُك ْم َوبَن‬
ْ ‫{ات ا‬ ْ ‫ ُح ِّر َم‬ 
‫ض ْعنَ ُك ْ{م‬َ ْ‫أَر‬
Artinya: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan: saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudara yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu" (QS. an-Nisa:23)
         Jadi tidak ada dalam nash al-Qur'an yang menyebut bentuk plural (jama') ‫االم‬   

menjadi ‫امام‬         karena hal ini merusak secara bahasa maupun hukum. Dan yang
dimaksud Imam disini adalah nabi yang diikuti oleh para pengikutnya
         Beberapa tafsir bi ar-ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir al-Jalalain (karya
Jalaluddin Muhammad Al-Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur
Rahman As Sayuthi), Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Al-Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud,
Tafsir An-Nasafy, Tafsir Al-Khatib, Tafsir Al-Khazin. 29
5. Sedangkan kitab-kitab yang tergolong kepada Tafsir bi al- ra’yi, antara lain :
a. Al- Bahr al- Muhit : Muhammad al- ‘Andalusi.
b. Ghara’ib al- Qur’an wa Ragha’ib al- Furqan : Nizamuddin an- Nisabur.
c. Ruh al- Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al- ‘Adhim wa as- Sab’ al- Masani : Allamah
al- Alusi.

29. blogspot.com/201712/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html di akses tanggal 29 Mei 2017 pukul
23.34 WIB
17
Selanjutnya juga dikenal kitab-kitab Tafsir bi al- ra’yi dari kalangan
Mu’tazilah, seperti :
a. Tanzih al-Qur’an ‘an al- Mata’in : Al- Qadhi `Abdul Jabbar.
b. Amali asy- Syarif al- Murtada : ‘Abu al- Qasim `Ali at- Tahir.
c. Al- Kasysyaf ‘an Haqa’iq at- Tanzil wa ‘Uyun al- Aqawil fi Wujud at- Tanzil :
‘Abu al- Qasim Mahmud bin `Umar az- Zamakhsyari.
Di samping itu juga masih banyak sekali kitab-kitab tafsir dalam bidang
tasawuf, filsafat dan hukum. Adapun yang khusus dalam bidang hukum, antara
lain :
a. Al- Jami’ fi Ahkam al- Qur’an : Imam al- Qurtubi.
b. Ahkam al- Qur’an : ‘Ibnu `Arabi dan ‘Abu Bakar al- Jassas.
c. Rawa’i al- Bayan fi Tafsir al- Qur’an : Muhammad `Ali as- Shabani.
d. Tafsir ayat al- Ahkam : Muhammad `Ali as- Sayyis

3. TAFSIR ISYARI

Isyarah secara etimologi berarti penunjukan, memberi isyarat. Sedangkan tafsir al-
isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat Al-Qur’an al-Karim tidak seperti
zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh orang yang
berilmu dan bertakwa, yang pentakwilan itu selaras dengan makna zahir ayat–ayat Al-
Qur’an dari beberapa sisi syarhis (yang masyru’). 30

Adapun isyarah menurut istilah adalah apa yang ditetapkan (sesuatu yang bisa
ditetapkan/dipahami, diambil) dari suatu perkataan hanya dari mengira-ngira tanpa harus
meletakkannya dalam konteksnya (sesuatu yang ditetapkan hanya dari bentuk kalimat
tanpa dalam konteksnya). 31
Menurut al-Jahizh bahwa ’isyarat dan lafal adalah dua hal
yang saling bergandeng, isyarat banyak menolong lafal (dalam memahaminya), dan
tafsiran (terjemahan) lafal yang bagus bila mengindahkan isyaratnya, banyak isyarat

30 . Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h. 97.
31 . Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir, Jakarta: Pustaka
Amani, 1987, h. 78.
18
yang menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan. . 32
Tafsir Isyari menurut
Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an bukan dengan makna
zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna
zahir dari ayat yang dimaksud. 33

“Penafsiran Al-Qur`an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-
petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulama, atau hanya diketahui
oleh orang yang mengenal Allah yaitu orang yang berpribadi luhur dan telah terlatih
jiwanya (mujahadah)”.34

Dengan kata lain Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat
dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran
tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan
dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah
dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah SWT.

1. Kebolehan dan Jenis Tafsir Isyari

          Dalil kebolehan tafsir ini dapat diambil dari ayat berikut ini: 

       

Artinya:“…maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati


36 35
) .mereka terkunci”. (QS. Muhammad; 24)

32 . Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu, Damaskus, Dar an-Nafais, 1994, h.
207.
33 . Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam Al-Ghazali, Bandung:
Citapusaka Media, 2007 , h. 190. 
34 . Muhammad Aly Ash-shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 1999 h. 53.
35 . Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, 2007, Jakarta: Surat Muhammad (24),
Juz 26, h. 509.
36
19
Allah mengisyaratkan bahwa orang-orang kafir tidak memahami Al-Qur’an,
maka Allah SWT menyuruh mereka untuk merenungi ayat-ayat (tanda-tanda) Al-
Qur’an Al-karim, agar mereka mengetahui arti dan tujuannya. Pada ayat di atas
Allah SWT tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa orang-orang kafir tidak
memahami ayat secara lalaf (secara zahir) atau Allah SWT tidak menyuruh mereka
untuk memahami zahirnya ayat saja, karena orang arab musyrik, tidak diragukan
lagi, memahami ayat Al-Qur’an jika hanya secara zahir. Tapi yang Allah SWT
maksud pada ayat di atas adalah; bahwa mereka tidak memahami maksud Allah
SWT dari khitab yang ada dalam Al-Qur’an (mereka tidak memahami maksud Al-
Qur’an), maka Allah SWT menyuruh mereka untuk merenungkan ayat Al-Qur’an
hingga mereka mengetahui maksud dan tujuan Al-Qur’an tersebut. Itulah yang
disebut dengan isyarat yang tidak diketahui dan tidak terpikir oleh orang musyrik
tersebut, karena keingkaran dan kekufuran yang ada dalam hati mereka.

            Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi
dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud. Dikatakan
sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu :

1. Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi
ayat al-Qur’an.
2. Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa
mempertimbangkan makna tersurat.
3. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
4. Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5. Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.

            Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud  bila gaya penafsirannya menyalahi
salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas. 37

            Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara
lain; Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M);

37 . Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Buah Batu, 2011, h. 88


20
‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi; dan Tafsir wa
Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M) .38

2 .Syarat Tafsir Al-Isyari

Banyak ulama yang berpendapat bahwa tafsir isyari itu tidak boleh, karena
khawatir membuat kebohongan tentang Allah SWT dalam menafsirkan wahyunya,
tanpa ilmu ataupun petunjuk dan bukti yang jelas. Sedangkan ulama lain berpendapat
bahwa tafsir ini boleh, menetapkan beberapa syarat yaitu

a. Tidak bertentangan dengan makna (zhahir) ayat,


b. Maknanya sendiri shahih,
c. Pada lafazd yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut ,
d. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat. 39

           Apabila keempat syarat ini dipenuhi maka tafsir mengenai isyarat itu (tafsir
isyari) merupakan istinbat yang baik dan dapat diterima. Dan apabila syarat di atas
tidak dipenuhi, maka tafsir isyari tidaklah dapat diterima, yang juga berarti merupakan
tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra’yu semata, yang hal ini adalah dilarang.

3. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Al-Isyri

            Hukum Tafsir bil-isyarah: Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi
tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian
lainnya melarangnya. Demikian juga An-Nasafi mengatakan, sebagaimana dijelaskan
Az-Zarqani dan As-Suyuti bahwa : “Nash-nash itu harus berdasarkan zahirnya,
memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah merupakan
bentuk penyelewengan” .40.   Di samping tafsir isyari ada pula tafsir yang mirip
dengannya, yaitu tafsir kebatinan, namun tafsir ini termasuk tafsir yang bathil. Dan
barang kali keengganan sebagian ulama untuk menerima tafsir isyari ini karena
khawatir terjerumus dalam tafsir kebatinan.

38 , Ibid.h 90
39. Manna’ Khalil al-Qattan, Mubahist fi Ulumil Qur’an, Terj. Drs. Mudzakir AS, Jakarta: Pustaka
Lintera Antar Nusa, 1992, h. 496
40 Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha Putra, 1993),  h.
46
21
            Dalam kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan pokok tafsir isyari dengan tafsir
kebatinan adalah : Tafsir Isyari tidak membuang makna  tersurat, tetapi mereka
menetapkannya sebagai dasar dan asas, mereka menganjurkan untuk berpegang
kepadanya dengan mengatakan: Imam As-Suyuti mengambil pendapat Ibn ‘Ata’illah
yang mengatakan: “Ketahuilah bahwa tafsir dalam golongan ini (tafsir isyari) terhadap
Kalam Allah dan Rasul-Nya dengan makna-makna yang pelik bukanlah berarti
memalingkan dari zahirnya, tetapi zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya,
seperti yang dimaksud oleh ayat, di samping itu juga dapat diketahui dari istilah bahasa,
serta mereka memperoleh pengertian yang tersirat dari Ayat dan Hadis bagi orang yang
hatinya telah dibukakan oleh Allah SWT” .41

D. KELEBIHAN DAN KEURANGAN TAFSIR BIL MA'TSUR DAN BIR RA'YI


DAN TAFSIR AL-ISYRI
1. Tafsir bil Ma'tsur
kelebihan
Tafisr bil ma'tsur ini lebih banyak memakai riwayat ketimbang tasfir bir
ra'yi. Selain itu tafsir bil ma'tsur ini diterima dan diriwayatkan dari Nabi, sahabat, dan
tabi'in dari mulut ke mulut dengan menyebutkan para perawinya mulai Nabi SAW
terus kepada perawi terakhir.
Menurut Quraisy Sihab bahwa keistimewaan tafsir bil ma'tsur adalah
a. menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur'an
b. memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
c. mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus
dalam subjektivitas berlebihan
kekurangan
Penafsiran al-Qur'an dengan sebagiannya dan penafsiran al-Qur'an dengan
hadis sahih yang sampai kepada rasulullah SAW, maka tidak diragukan lagi bisa
diterima dan tidak ada perbedaan, ia merupakan tingkatan tafsir yang tertinggi
Mula-mula tafsir bil ma'tsur ditulis lengkap dengan sanadnya seperti dalam tafsir al-
Thabari, tapi kemudian bagian sanad dihilangkan sehingga tak diketahui lagi

41 Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-fikr, 1399 H), h. 185

22
perbedaan tafsir yang berasal dari Nabi dan sahabat dengan tafsir isra'iliyyat, yang
dipalsukan dan sebagainya. Menurut adz-Dzahabi israiliyat diartikan sebagi cerita
atau berita yang diriwayatkan dari sumber israil ( Yahudi). Masuknya israiliyat ke
dalam penafsiran al-Qur’an sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu sesaat setelah
Rasulullah wafat. Ini didasarkan atas fak ta sejarah bahwa tokoh-tokoh mufassir al-
Qur’an pada masa itu ada yang bertanya dan menerima keterangan-keterangan dari
tokoh-tokoh ahli kitab yang telah masuh Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu
dalam al-Qur’an. Ibnu Abbas, yang terkenal sebagai tokoh mufasir terkemuka pada
masa itu, banyak juga mempergunakan sumber ini dalam karya tafsirnya. 42

Ada beberapa hadis Rasulullah yang dianggap semacam dasar dalam masalah ini,
berikut ini akan dikemukakan tiga buah hadis yang terpenting diantaranya:
1. Hadis riwayat imam Bukhari dari Abu Hurairah:
‫ فَقا َ َل َرسُوْ ُل‬.‫ب يَ ْق َرءُوْ نَ التَّوْ َرةَ باِ ْل َع َرابِيَّ ِة َو يَ ْف ِسرُوْ نَهَا{ بِ ْال َع َرابِيَّ ِة ِألَ ْه ِل ْا ِإل ْسالَ ِم‬
ِ ‫كاَنَ اَ ْه ُل ْال ِكتَا‬
ِ‫ب َو الَ تُ َك ِّذبُوْ هُ ْم َوقُوْ لُوْ ا اَ َمنَّا بِاهلل‬ ِ ‫ص ِّدقُوْ ا{ أَ ْه َل ْال ِكتَا‬
َ ُ‫ هللاِ ص م الَ ت‬..
Dari hadits ini secara sepintas dapat dipahami bahwa rasulullah menyurug
bersikap “tawaqquf” terhadap berita-berita yang dikemukakan ahli kitab, yaitu
tidak membenarkan dan tidak mendustakan. Akan tetapi, hadis ini bersifat
mujmal sehingga memerlukan perincian lebih jauh, bagaimana aplikasinya.
2. Hadis riwayat imam bukhari dari abdullah ibn Amr ibn al-ash.
ْ
ِ َّ‫ي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّوأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َ ‫ َو َح ِّدثُوْ ا{ َعنِّ ْى بَنِ ْى اِ ْس َرائِي َْل َوالَ َح َر َح َم ْن َك َّذ‬.ً‫بَلِّ ُغوْ ا َعنِّ ْي َولَوْ اَيَة‬
َّ َ‫ب َعل‬
Hadis ini jelas membolehkan kaum muslimin meriwayatkan berita-beritadri ahli
kitab. Yang dilarang adalah bila mengada-ada dengan sengaja sesuatu yang tidak
benar bersumber dri rasulullah. Hadis ini juga masih perlu penjelasan terutama
dalam hubungannya dengan hadis pertama. 43

Disisi lain kelemahan dari tafsir bil ma'tsur adalah


a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusteraan yang
bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur'an menjadi kabur dicelah uraian itu.

42 Rachmat Syafe’i. Pengantar ilmu tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006. hlm 107 -117
43 .ibid. 114
23
b). seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh)
hampirdapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah
masyarakat tanpa budaya.44
2. Tafsir bir ra'yi
Kelebihan:
a. Sesungguhnnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita agar hendaknya suka
merenungkan Al-Qur'an.. Sebagaimana hal itu termaktub dalam firman-Nya:
ِ ‫ك لِيَ َّدبَّرُوْ ا اَيَاتِ ِه َولِيَتَ َذ َّك َر أُولُوا ْاالَ ْلبَا‬
‫ب‬ ٌ ‫ِكتَابٌ أَ ْنزَ ْلنَاهُ إِلَ ْيكَ ُمبَا َر‬
Artinya: (inilah) kitab yang kami turunkan kepada engkau lagi diberkati, supaya
mereka emmperhatikan ayat-ayat dan supaya mendapat peringatan orang-orang
yang berakal" (QS.Shad:29)
dan firman Allah SAW:
‫ب أَ ْقفَالُهَا‬
ٍ ْ‫أَفَالَيَتَ َدبَّرُوْ نَ ْالقُرْ انَ أَ ْم َعلَى قُلُو‬
Artinya : Tidakkah mereka memperhatikan al-Qur'an?bahkan adakah kunci atas
hati (mereka) (QS.Muhammad:24)
"merenung dan berpikir " tidaklah akan terwujud melainkan dengan menyelami
rahasia-rahasia al-Qur'an dan berijtihad untuk emmahami makna-maknanya.
b. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang hendak menggali hukum agar
kembali kepada ulama'. sebagaimana telah dijelaskan dalam firman-Nya:
‫َولَوْ َر ُّدوْ هُإَلَى ال َّرسُوْ ِ{ل َوإِلَى أُولِى ْاالَ ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ْنبِظُوْ نَهُ ِم ْنهُ ْم‬
Artinya: kalau mereka serahkan hal itu kepada rasul atau pada orang yang
mempunyai urusan di anatar mereka, noscaya orang-orang yang meneliti di antara
mereka mengetahui akan hal ini (QS.An-Nisa:83)
Istinbath berarti menggali dan mengeluarkan makna-makna yang mendalam
yang terdapat di lubuk hati
Istinbath itu hanya bisa dilakukan dengan ijtihad dan menyelami rahasia-
rahasia Al-Qur'an

44 Ibid .115
24
c. Kalau tafsir dengan ijtihad tidak diperbolehkan, tentunya ijtihad pun tidak
diperbolehkan, dan tentu saja banyak hukum yang tidak tergali, sungguh ini tidak
benar
d. Sesungguhnya para sahabat telah emmbaca al-Qur'an dan berbeda beda dalam
menafsirkannya. Juga telah maklum bahwa tidakm semua yang mereka katakana
tentang al-Qur'an tiu mmereka dengar dari nabi SAW, karena Nabi SAW tidak
menerangkan segala sesuatu kepada mereka, melainkan beliau terangkan kepada
mereka hanyalah bersifat dharuri (pokok). Beliau menginggalkan yang sebagain,
yang sekira dapat dicapai oleh pengetahuan, akal, dan ijtihad.45
kekurangan:
a)Sesungguhnya tafsir bir-ra'yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah tanpa
berdasarkan suatun ilmu, ini jeklas dilarang. Sebagaimna yang disinggung dalam
firman Allah SWT
َ‫َواَ ْن تَقَولُوا َعلَى هللاِ َماالَتَ ْعلَ ُموْ ن‬
Artinya: ….. dan (supaya kamu) mengadakan perkataan Allah
tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui
b). Adanya ancaman sebagaimana tersebut dalam hadis bagi orang yang menafsirkan
AL-Qur'an dengan pendapatnya, yaitu sabda nabi SAW, yang berbunyi:
‫ال فِي ْالقُرْ اَ ِن‬ ْ
ِ َّ‫ي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّوأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
َ َ‫ار َو َم ْن ق‬ َ ‫ي إِالَّ َما َعلِمتُ ْم فَ َم ْن َك َّذ‬
َّ َ‫ب َعل‬ َّ َ‫ْث َعل‬ َ ‫اِتَّقُوا ال َح ِدي‬
ْ ْ
ِ َّ‫بِ َرأيِ ِه فَ ْليَتَبَ َّو{أ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬
Artinya : takutlah engkau mengadakan perkataan terhadapku, kecualai apa yang
engkau tahu. barangsiapa berdusta atas aku dengan sengaja, maka ambil saja
tempat duduknya di neraka. Dan barangsiapa berkata tentang al-Qur'an dengan
pendapatnya, maka ambillah saja tempat duduknya di neraka (HR at-Turmudzi)
c). Firman Allah SWT
َ‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّه ْ{ُو يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َوأَ ْن َز ْلنَا إِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ للن‬
Artinya : Dan Kami turunkan kepada engkau peringatan (al-Qur'an), supaya
engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-
mudahan mereka memikirkannya (QS.an-Nahl;44)

45 . Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni   hlm 270


25
Pada ayat itu Allah menyandarkan keterangan kepada rasulullah SAW, karena itu
dapatlah diketahui bahwa tidak ada bagi selain beliau yang mampu memberikan
keterangan terhadap makna-makna al-Qur'an
d).Para sahabat dan tabi'in tidak mau berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan
pendapat mereka. Telah diriwayatkan dari Ash-Shidiq, sesunggunya dia berkata:
ُ ‫ت فِي ْالقُرْ ا ِن بِ َرأءيِي أَوْ قُ ْل‬
‫ت فِ ْي ِه بِ َما الَ اَ ْعلَ ُم‬ ُ ‫ إِ َذا قُ ْل‬: ‫ض تُقِلُّنِ ْي‬
ٍ ْ‫ َوأَيُّ اَر‬: ‫أَيُّ َس َما ٍء تُ ِظلُّنِ ْي‬
Artinya: di langit mana aku bernaung dan di bumi mana aku berpijak? bila aku
berkata sesuatu tentang al-Qur'an dengan pendapatku, atau berkata tentang al-
Qur'an dengan sesuatu yang tidak kuketahui.46

Mempelajari beberapa pokok bahasan di atas terutama terhadap ulama yang mendukung dan
memperbolehkan penafsiran secara Isyari terlihat beberapa kelebihan yang dimiliki tafsir al-
Isyari, yaitu :

1. Tafsir Isyari mempunyai kekuatan hukum dari Syara` sebagaimana telah dijelaskan
mengenai beberapa contoh penafsiran secara Isyari, seperti penafsiran Ibnu `Abbas
terhadap firman Allah Q.S. Al-`Nashr :1. Sehingga hampir semua sahabat dalam
kasus tersebut tidak ada yang memahami maknanya melainkan makna secara zahir
atau tekstual.
2. Apabila Tafsir Isyari ini, memenuhi syarat-syarat tafsir sebagaimana yang telah
disepakati para ulama tafsir, maka akan bertambah wawasan dan pengetahuan
terhadap isi kandungan Al-Qur`an dan Hadits.
3. Penafsiran secara Isyari tidaklah menjadi aneh kalau Allah melimpahkan ilmu
pengetahuan kepada orang yang ia kehendaki serta memberikan pemahaman kepada
orang-orang pilihan, seperti Abu Bakar, Umar, Ibnu `Abbas dan Nabi Khidhir AS.
4. Penafsiran Isyari mempunyai pengertian-pengertian yang tidak mudah dijangkau
sembarangan ahli tafsir kecuali bagi mereka yang memiliki sifat kesempurnaan Iman
dan kemurnian ma`rifat.
5. Tafsir Isyari atau tafsir golongan yang ma`rifat kepada Allah jelas telah memahami
makna tekstual atau makna lahir dari al-Qur`an, sebelum menuju kepada makna
secara isyarat. Hal ini mereka memiliki dua kelebihan, yaitu:

46 .Ibid. 268
26
 Pertama, menguasai makna lahir ayat atau hadith.
 Kedua, memahami makna isyaratnya.

 Kekurangan atau Kelemahan Tafsir Isyari

Menelaah kembali perbedaan pandangan ulama tafsir terhadap tafsir al-Isyari terutama
pendapat yang menganggap tafsir al-Isyari tergolong ke dalam tafsir mardud atau tertolak
penuh dengan rekayasa dan khayalan para penafsir. Disini terlihat beberapa kelemahan yang
dimiliki tafsir al-Isyari, yaitu sebagai berikut :

1. Apabila Tafsir Isyari ini, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah di


sebutkan diatas, maka tafsir ini dapat dikatakan tafsir dengan hawa nafsu atau rasio
bertentangan dengan lahir ayat yang dilarang oleh Allah.
2. Tafsir Isyari yang telah kemasukan pena`wilan yang rusak sebagaimana
dipergunakan oleh aliran kebatinan. Tidak memperhatikan beberapa persyaratan
yang telah ditetapkan Ulama sehingga berjalan bagaikan unta yang buta, yang
akhirnya orang yang awam berani mencecerkan kitab Allah, menakwilkan menurut
bisikan hawa nafsunya atau menurut bisikan setan. Orang-orang tersebut menduga
bahwa hal itu termasuk tafsir Isyari akibat kebodohan dan kesesatan mereka karena
telah menyelewengkan kitab Allah dan berjalan di atas pengaruh aliran kebatinan
dan ateis. Hal semacam itu kalaupun bukan merupakan penyelewengan terhadap arti.
3. Penafsiran secara Isyari, kadang-kadang maknanya sangat jauh dari ketentuan-
ketentuan agama yang sudah qath`i atau pasti keharamannya. Seperti anggapan Ibnu
`Arabi terhadap orang-orang musyrik yang menyembah patung. Menurutnya mereka
pada hakikatnya menyembah Allah bukan menyembah patung dan patung adalah
sebagai pengganti Allah.47

D. PENUTUP

1. Kesimpulan.

Dari pembahasan di atas mengenai tafsir bi al-ma’tsur dan Tafsir bi al-ra’yi dapat
disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat
47 . Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.h.
27
al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para sahabat
termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran ini adalah merupakan jalan yang paling
aman untuk menghindari terjadinya salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an
yang maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan mereka
hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang semasa dengan
mereka. Tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga menafsirkan bagian-
bagian yang sulit dipahami orang semasa dengan mereka.

Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah
sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi
al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam
menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada hal-hal
lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir,
menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.

Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat,


karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak
masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.

Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-
kinian, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman,
sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis,
intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah yang kemudian bisa berubah-ubah.

Tafsir al-isyari adalah menakwilkan (menafsirkan) ayat Alquran  al-Karim tidak


seperti zahirnya, tapi berdasarkan isyarat yang samar yang bisa diketahui oleh orang
yang berilmu dan bertakwa, yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni
orang-orang yang saleh yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian
dari Allah (al-Rasikhun).

Kebolah tafsir isyari ini yaitu dengan bersandarkan pada surat Muhammad ayat 23,
dan jenis tafsir isyari berdasarkan subtansinya yaitu tafsir bi al isyarah maqbul dan
tafsir bi al isyarah al mardud. Dalam kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan pokok

28
tafsir isyari dengan tafsir kebatinan adalah: Tafsir Isyari tidak membuang makna 
tersurat, tetapi mereka menetapkannya sebagai dasar dan asas. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam Al-Ghazali,
Bandung: Citapusaka Media, 2007
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Buah Batu, 2011
Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan Alquran, Semarang: Toha Putra,
1993
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
2006
Anshori LAL, Tafsir Bir Ra’yi Raja Grapindo Pres Jakarta 2010
Ash Shiddieqy Tengku Muhammad Hasbi, ilmu-ilmu al-Qur'an, Semarang; Pustaka Rizki
Putra, 2002)

29
Ash-Shabuni Syekh Muhammad Ali, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis Jakarta: pustaka
Amani, 2001
Baidan Nasharuddin, Metode Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, 2007, Jakarta:
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, Bulan Bintang, 1980
Imam Muclhas ,Al-Qur'an Berbicara, Surabaya: pustaka Progressif, 1996
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran, Beirut: Dar al-fikr, 1399 H
MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur'an, Malang: UIN Malang Press, 2008
Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur’an, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir, Jakarta:
Pustaka Amani, 1987

Muhammad Aly Ash-shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 1999
Nashruddin, Wawasan baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Rachmat Syafe’i. Pengantar ilmu tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Shihab Quraish, Membumikan al-Qur'an Bandung:Mizan, 1999
Suma ,Muhammad Amin , Ulumul Qur’an ,Raja Grafindo Persada, Jakarta 2013
Syafe’i, Rachmat. Pengantar ilmu tafsir. (Bandung: Pustaka Setia, 2006)
Syeikh Khalid Abdur Rahman, Ushul Tafsir wa Qawa’iduhu, Damaskus, Dar an-Nafais,
1994
Syaihk Muhammad Al Gazali , Al Qur’an kitab zaman kita, Mizan pustaka,
Bandung 1996
Sumber Internet
blogspot.com/2017/2/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html
islam.pusatstudi.com/2017/02/tafsir-bil-matsur.html 29.Mei 2017 pukul 20.58 WIB
http://b-class-paippsmaliki.blogspot.com/2011/07/klasifikasi-tafsir-berdasarkansumber.html
29.Mei 2017 pukul 20.58 WIB
islam.pusatstudi.com/2017/01/tafsir-bil-matsur.html diakses tanggal 28 Mei 2017 pukul 23.46
blogspot.com/2008/12/tafsir -bi-al-ma;tsur- wa- al-ra’yi.html diakses tanggal 28 Mei 2017 pukul
23.50.WIB
http://amarsuteja.blogspot.com/2012/09/tafsir-bil-matsur-dan-tafsir-bir-rayi.html di akses tanggal
29.Mei 2017 pukul 20.58 WIB

30
31

Anda mungkin juga menyukai