Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tafsir

Dosen Pengampu;

Prof. DR. Said Agil alMunawar, M.A

Kelompok 1;

1. Ahmad Syarif
2. Aziz Abdul Ghofar
3. Imam Bogi Gustaman
4. Juhriah

PELATIHAN KADER ULAMA

MAJELIS ULAMA PROVINSI DKI JAKARTA

1444 H/2023 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir untuk umat manusia yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai pedoman utama kehidupan sehari-
harinya. Namun tidak semua umat manusia memahami pesan-pesan isi
kandungannya, karena tidak semua isi Al-Qur’an mudah difahami secara mentah-
mentah. Sebagian ayat memang cukup gamblang ketika menjelaskan sesuatu, tak
sedikit pula ayat Al Qur’an yang sulit untuk difahami. Di perlukan sebuah
penafsiran untuk menangkap pesan-pesan Al Qur’an secara jelas. Penafsiran Al
Qur’an pada masa pertama dilakukan langsung oleh Nabi Muhammad, karena
pada saat masih hidup para sahabat langsung menanyakan maksud dan tujuan Al
Qur’an kepada sumbernya ketika menemukan sebuah kesulitan tentang Al Qur’an.
Namun setelah Nabi Muhammad meninggal dunia, penafsiran Al Qur’an
dilanjutkan oleh para sahabat yang belajar langsung kepada sumbernya.

Seiring berkembangnya zaman estafet penafsiran Al Qur’an di teruskan oleh


sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan Ulama hingga sekarang dengan berbagai
inovasi penafsiran karena berkembangnya wawasan dalam memahami Al Qur’an.
Dari sini penafsiran Al Qur’an mengalami perkembangan yang semakin pesat.
Para ahli tafsir memiliki beragam dalam menafsirkan Al Qur’an karena berbagai
keadaan yang beragam inilah penafsiran Al Qur’an selalu memproduksi tafsir-
tafsir baru yang berbeda di setiap masanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
2. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
3. Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
4. Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa kontemporer?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa rasul.
2. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
3. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.
4. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa
kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir

Secara bahasa kata tafsir adalah bentuk masdar dari kata‚ fassaraa - yufassiru-
tafsiran, yang mengikuti wazan‚ taf’iilan yang mempunyai arti penjelasan dan
keterangan. Kata tafsir dapat pula berarti ‫( اإلبانة‬menjelaskan makna yang masih
samar), ‫( كشف المغطى‬menyingkap makna yang masih tersembunyi), dan ‫إظهار المعنى‬
‫( المعقول‬menampakan makna yang belum jelas). Allah Ta’ala Berfirman:

‫) أي بيانا وتفصيل‬33 : ‫سنَ ت َ ْفسِيرا﴾ (الفرقان‬


َ ‫﴿ َوأ َ ْح‬

“sebaik-baik penafsiran artinya sebaik-baik penjelasan dan uraian”.1

Sedangkan secara istilah para ulama memberikan pengertian yang berbeda-


beda menurut sudut pandangnya masing-masing, yaitu seperti :

Pertama, menurut Abu Hayan tafsir adalah

‫علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلوالتها وأحكامها اإلفرادية والتركيبية ومعانيها‬
‫التى تحمل عليها حالة التركيب وتتمات لذلك‬

“ilmu yang membahas tentang tatacara pengucapan lafadz-lafadz Al Qur’an,


dan cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum baik
ketika berdiri sendidri maupun ketika tersusun, serta makna-makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun hal-hal lain yang melengkapinya”.2

Kedua, menurut Abu Thãlib At-Taghlaby tafsir adalah:

‫بيان وضع اللفظ إما حقيقة أو مجازا‬

1
Manna’ Qathan, (1995) Mabahits Fii Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo hal. 316
2
Idem, hal. 317
“Menjelaskan peletakan sebuah lafadz, baik secara hakikat atau majazi
(kiasan)3

Ketiga, menurut Al-Ashbahaniy tafsir dalam ‘urf ulama adalah

‫كشف معاني القرآن وبيان المراد‬

“Menyingkap makna-makna al-Qur’an, penjelasan kandungan pesan-pesan


Al Qur’an.4

Keempat, menurut Az-zarkasyi tafsir adalah

‫علم يفهم به كتاب هللا المنزل على نبيه محمد ص وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه‬

“Ilmu untuk memahami Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi


Muhammad dan menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan
hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.5

Berdasarkan beberapa pendapat ulama mengenai pengertian tafsir secara


istilah, maka pengertiannya, yaitu sebuah ilmu yang memuat pembahasan
mengenai penjelasan terhadap makna ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman tersebut
bertujuan untuk penjelasan, memahami ayat-ayat yang belum jelas maksudnya
menjadi jelas, yang samar menjadi terang dan yang sulit dipahami menjadi
mudah, sehingga Al-Qur’an yang fungsi utamanya adalah sebagai pedoman hidup
(hidayah) bagi manusia, dapat dipahami, dihayati dan diamalkan sebagai
mestinya.

B. Sejarah Perkembangan Tafsir


1. Perkembangan Tafsir Di Masa Rasulullah SAW
Masa Rasulullah SAW. merupakan masa dimana Al-Qur'an
diturunkan kepada Rasulullah SAW. melalui malaikat Jibril’Alaihis Salam
dan Allah SWT. menjamin Rasulullah dalam menjaga dan menjelaskan
Al Qur’an yang kemudian disampaikan kepada para sahabatnya. Di masa

3
As Suyuthi, (2008), Al Itqon Fii Ulumil Qur’an, Muassasah Ar Risalah, Beirut, hal. 758
4
Idem, hal 759
5
Az Zarkasyi, (2006) Al Burhan Fii ‘Ulumil Qur’an, Darul Hadits, Kairo, hal. 22
ini, Nabi Muhammad SAW. memainkan peran utama dalam mengajarkan
makna dan pesan dari ayat-ayat Al-Qur'an kepada para sahabat. Allah
SWT berfirman

ِ ‫ّي لِلن‬
)44 : ‫َّاس َما نُِِزَل إِلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّك ُرو َن﴾ )النحل‬ ِ ِ ‫﴿وأَنزلْنا إِلَي‬
َ َِِ‫ك ال ِذ ْكَر لتُب‬
َ ْ ََ َ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu


menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka berfikir.” (QS. An Nahl: 44)
Perkembangan ilmu tafsir Al-Qur'an pada masa ini didasarkan pada
penjelasan langsung dari Nabi Muhammad saw. dan praktik-praktik yang
dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, secara pasti Nabi
Muhammad SAW. memahami isi kandungan Al-Qur’an, baik secara global
maupun terperinci.
Penafsiran yang dilakukan Nabi memiliki sifat dan karakteristik
tertentu, diantaranya penegasan makna (bayan tashrif ), perincian makna
(bayan tafshil ).6 Adapun dari segi motifnya, penafsiran Nabi Muhammad
saw. terhadap ayat Al-Qur’an mempunyai tujuan pengarahan (bayan
irsyad), atau penerapan (tathbiq) dan pembetulan atau koreksi (bayan
tashhih).7
Beberapa praktik Nabi Muhammad SAW. dalam menjelaskan
makna dan pesan ayat-ayat Al-Qur'an antara lain adalah dengan
memberikan tafsir secara lisan ketika sedang berbicara dengan para
sahabat, memberikan contoh-contoh praktis dalam menjalankan ajaran Al-
Qur'an, dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat
mengenai ayat-ayat Al-Qur'an.
Selain itu, di era Rasulullah juga terdapat hadis-hadis yang
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai makna dan pesan ayat-ayat

6
Abd Muin Salim. (1990). Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an. Ujung Pandang: Lembaga
Study Kebudayaan Islam. hal. 59-60.
7
Idem, hal. 61-62
Al-Qur'an. Hadis-hadis tersebut ditulis dan disampaikan secara lisan oleh
para sahabat kepada generasi berikutnya.
Penafsiran Al-Qur’an yang dibangun Rasulullah saw. ialah
penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Al-Qur’an dengan dengan
hadis atau sunah beliau. Apabila Al Qur’an sifatnya murni semata-mata
dari Allah, baik teks atau naskah lafalnya, maka hadis - kecuali hadis
Qudsi- merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat Al-Qur’an.8
Menurut Musthafa al-Maraghi, penafsiran Nabi Muhammad dapat
berupa sunah qauliyah (perkataan) atau sunah fi‘liyah (perbuatan). 9 Pada
dasarnya, apa yang disabdakan Rasulullah yang berkaitan dengan Al-
Qur’an merupakan wahyu dari Allah bukan semata hawa nafsunya. Allah
Ta’ala berfirman:
ِ
َ ُ‫﴿وَما يَنط ُق َع ِن ا ْْلََوى إِ ْن ُه َو إََِّّل َو ْح ٌي ي‬
)4-3 : ‫وحى﴾ (النجم‬ َ

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa


nafsunya. Itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”. (QS. An Najm: 3-4)

Di antara penafsiran yang dilakukan Nabi Muhammad adalah


sebagai berikut : Ketika Nabi menjelaskan ayat Al-Qur’an

) 60 : ‫استَطَ ْعتُم ِِمن قُ َّوة ﴾ ( األنفال‬ ِ


ْ ‫﴿وأَع ُّدوا َْلُم َّما‬
َ
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi
mereka dengan kekuatan yang kamu miliki” (QS. al-Anfal: 60)

Beliau menjelaskan bahwa kekuatan itu terdapat pada melempar.


Hal ini dijelaskan sebagaimana hadis berikut ini:

8
Ahmad Izzan. (2007). Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur. hal. 17.
9
Ahmad Musthfa al-Maraghi. (t.th). Tafsir al-Maraghi. Bairut: Darul Ihya at-Turats al-‘Arabi, juz 1.
Hal. 5
‫ مسعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وهو على‬:‫عن عقبة بن عامر اجلهين يقول‬

‫ (أَّل إن القوة‬،]60 :‫ {وأعدوا ْلم ما استطعتم من قوة} [األنفال‬:‫املنرب يقول‬

)‫ أَّل إن القوة الرمي‬،‫ أَّل إن القوة الرمي‬،‫الرمي‬

“Uqbah bin Amir berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw.


bersabda ketika sedang di atas mimbar, ‘Dan persiapkanlah
dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan
kekuatan yang kamu miliki. (QS. Al Anfal: 60). Ingatlah,
sesungguhnya kekuatan itu berada pada panah (Nabi bersabda
hingga tiga kali).” (HR. Muslim)

Begitu juga ketika Nabi Muhammad saw. membacakan Surah al-


An’am ayat 82 di bawah ini:

ِ َّ
َ ِ‫ين َآمنُوا َوََلْ يَْلبِ ُسوا إِميَ َاَنُم بِظُْلم أُولَئ‬
) 82 : ‫ك َْلُُم ْاأل َْم ُن َوُهم ُّم ْهتَ ُدو َن﴾ (األنعام‬ َ ‫﴿الذ‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” ( Q.S. Al-An'am: 82)

Mendengar hal tersebut, para sahabat merasa kaget, kemudian


berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah siapakah di antara kami yang
tidak terlepas dari perbuata zalim.” Maka Rasulullah pun bersabda: Bukan
seperti itu apa yang kamu sangkakan, melainkann hal itu adalah perbuatan
syirik, tidakkan kalian mendengar apa yang diucapkan oleh Lukman ketika
ia memberikan pelajaran kepada anaknya, “Wahai anakku! Janganlah
engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (HR. Bukhari dari Abdullah
bim Mas’ud)
Secara umum, perkembangan ilmu tafsir di era Rasulullah lebih
bersifat lisan dan praktis, dengan penjelasan langsung dari Nabi
Muhammad saw. dan praktik-praktik yang dilakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Banyak dari kalangan sahabat yang menghafal Al-Qur'an
secara utuh dan paham makna dan pesan yang terkandung dalam setiap
ayat-ayatnya dengan baik. Beberapa sahabat yang terkenal dalam bidang
ilmu tafsir di era Rasulullah antara lain 4 khalifah rasyidin, Abdullah bin
‘Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Musa Al ‘Asy’ary dan Abdullah bin Zubair yang dimana mereka banyak
memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan ilmu tafsir pada
masanya.

2. Sejarah Perkembangan Tafsir pada masa Sahabat


Rasulullah saw setiap menerima ayat al-Qur’an langsung
menyampaikannya kepada para sahabat serta menafsirkan makna yang
perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah itu adakalanya dengan sunnah
qauliyah, fi’liyah dan adakalanya dengan sunnah Taqririyah. Dalam pada
itu tafsir yang diterima dari Nabi sendiri tidak begitu banyak.
Karena mempelajari dan memahami tafsir adalah hal yang sangat
urgen, maka sahabatpun bersungguh-sungguh mempelajari al-Qur’an,
yakni memahaminya, mentadabburi maknanya, tegasnya mempelajari
tafsirnya. Apabila mereka tidak mengetahui makna sesuatu lafadz al-
Qur’an, atau sesuatu maksud ayat, segeralah mereka bertanya kepada Rasul
sendiri, atau kepada sesama sahabat yang dipandang dapat
menjelaskannya.
Ali pernah berkata : Aku bertanya kepada Nabi tentang makna
yaumul hajjil akbar. Maka nabi menjawab “ Yaumun nahri (hari
menyembelih qurban)” maka akupun menafsirkan yaumul hajjil akbar
dengan tafsir yang diberikan oleh Nabi kepadaku itu.

Dalam al-Qur’an Memang tidak sedikit ayat-ayat yang tak dapat


diketahui maksudnya dengan hanya modal bahasa saja. Dalam hal tersebut
tidak semua sahabat sederajat dalam memahami al-Qur’an, dan dalam
mengetahui makna mufradat dan tarkibnya. Ada diantara mereka yang
memahaminya secara ijmal dan ada mengetahuinya secara tafshil. Karena
para sahabat dalam memahami al-Qur’an dan mengetahui tafsir al-Qur’an
berbeda tingkat pemahaman dan penafsirannya disebabkan tidak semua
mempunyai alat yang cukup untuk memahami al-Qur’an.
Menurut al-Sayuti sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad al-
Syirbashi bahwa terkadang kita menghadapi tafsir seorang sahabat Nabi
yang dikemukakan dalam susunan kalimat yang sedikit lain sehingga sulit
untuk dipahami seseorang akan maksudnya atau bahkan dianggap bukan
yang dimaksud oleh ayat tsb, walaupun sebenarnya tidaklah demikian.
Namun perlu diingat bahwa tiap keterangan sahabat Nabi adalah makna
dari suatu ayat yang dipandang sebagai penjelasan paling terang, atau bisa
dianggap yang paling memenuhi kebutuhan si penanya.
Diantara para sahabat Nabi ada yang menjelaskan pengertian makna
menurut bahasa, tapi ada pula yang menyampaikannya dalam bentuk
kesimpulan terhadap maksud dari suatu ayat. Tapi perlu diingat bahwa
semua keterangan yang diberikan oleh sahabat Nabi itu pada hakekatnya
kembali kepada makna yang satu dan sama10. Jika terdapat dua macam
penafsiran yang tidak mungkin dapat disatukan, padahal keduanya sama
kuatnya, maka ambil penafsiran yang kemudian.dan jika tidak sama
kuatnya, maka tentunya pilihan jatuh kepada yang kuat dan yang benar .
Dalam Mabāhis fi ulum al-Qur’an disebutkan bahwa para sahabat
yang terkenal dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir adalah sebagai berikut :
1. Khulafaurrasyidin
2. Abdullah bin Mas’ud
3. Abdillah Ibn Abbas
4. Ubay bin Ka’ab
5. Zaid bin Tsabit
6. Abu Musa al-Asy’ary

10
Ibid h. 76
7. Abdullah bin Zubair
8. Anas bin Malik
9. Abdillah Ibn Umar
10. Jabir bin Abdullah
11. Abdullah Ibn Umar Ibn Ash
12. dan Aisyah.11

Seorang ahli tafsir bernama Ibnu ‘Athiyyah menyusun urutan nama


para ulamatafsir dari kalangan sahabat Nabi. Menurut dia ulama tafsir yang
terkemuka yang diakui oleh semua sahabat Nabi adalah Ali bin Abi Thalib
ra. Diantara Khulafaurasyidin, yang paling banyak menjadi sumber riwayat
adalah Ali bin Abi Thalib. Sementara tiga khalifah lainnya amat sedikit
riwayat yang bersumber darinya. Hal ini tiada lain disebabkan karena
khalifah-khalifah tersebut lebih dahulu meninggal dunia.12 Berbeda
dengan Ali bin Abi Thalib beliau hidup setelah ketiga khalifah, dan dalam
suasana perkembangan islam yang semakin meluas, saat banyak orang
berbondong-bondong masuk islam, begitu pula tumbuhnya generasi baru
putra- putra para sahabat. Mereka itu butuh pelajaran dan pemahaman
terhadap rahasia- rahasia yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.13
Disini peran Ali selaku khalifah sekaligus sahabat nabi sangat dibutuhkan
dalam rangka penyebaran al-Qur’an sekaligus menjelaskan rahasia dibalik
ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Setelah Ali menyusul Abdullah bin Abbas pada urutan kedua. Ibnu
Abbas menafsirkan al-Qur’an dengan melengkapi makna serta
pengertiannya. Tidak ada seorang sahabat Nabi yang mendapat julukan

11
Manna’Al-Qathan, Mabahis Fi ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyuratul Ishril
Hadis, 1973, h.

336.
12
Muhammad Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum Qur’an, (Beirut:Dar al-Irsyad,
1970) h. 98
13
Ibid
Bahrul Ilm (lautan Ilmu) kecuali Ibnu Abbas), dan sederetan predikat yang
diberikan kepadanya seperti Habrul Ummah (ulama ummat) dan
turjumanul qur’an (juru tafsir al-Qur’an) .Ali pernah berkata bahwa Ibnu
Abbas seolah-olah melihat rahasia ghaib dari tirai yang tipis. Sementara
Ibnu Mas’ud menyatakan bahwa ia memang seorang penafsir al-Qur’an.14
Dengan berbagai pernyataan dari sahabat tersebut, maka dapat
dibayangkan betapa banyak ilmu dan pengetahuan yang dimiliki Ibnu
Abbas.
Abdullah bin Abas, salah seorang sahabat yang banyak bersama
Rasulullah sejak kecil sehingga suatu ketika jibril menemui Rasulullah dan
mendapatkan Abdullah bin Abbas lalu berwasia kepada Rasulullah saw.
Bahwa dia adalah pembimbing umat ini maka wasiatkanlah kepadanya
kebaikan, sehingga Nabi pernah mendoakannya: 15
‫الهم فقه في الدين و علمه تاويله‬

Kedekatan Abdullah bin Abbas dengan Nabi menjadikannya


banyak menerima ilmu pengetahuan, serta tafsir terhadap ayat-ayat al-
Qur’an bahkan setelah Rasululah wafat beliau banyak berguru kepada
tokoh-tokoh senior dari kalangan

sahabat, misalnya Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib,
dan Zaid bin Tsabit.
Metode yang diterapkan Abdullah bin Abbas dalam tafsir al-
Qur’an adalah merujuk kepada al-Qur’an itu sendiri, tafsir Nabi, sahabat-
sahabat senior dan selanjutnya melakukan ijtihad.16
Dalam melakukan ijtihad, selain kaedah-kaedah bahasa Arab,
Asbāb al- Nuzul, juga adat kebiasaan masyarakat arab, syair-syair jahiliy,

14
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an , (Cet. 3 Pustaka Firdaus, 1994). h.
75.
15
Abdullah Muhammad Salqiny, Abdullah bin Abbas wa Madrasatuhu fi tafsir bi
maktabahMukarramah (Dārus Salām), h. 16
16
Ibid, h. 90-91
untuk membantu memahami kata-kata asing yang terdapat dalam al-Qur’an
sesuatu yang sulit dimengerti maknanya, maka hendaklah kamu melakukan
penelitian (melihat) pada syair-syair, karena syair-syair itu adalah sastra
arab kuno. Selain itu, beliau juga sering berkonsultasi dengan ahli kitab
seperti Ka’ab al-Ahbar dan Abdullah binSalam.
Kalaupun Ibnu Abbas dikenal sebagai tokoh yang banyak
mengetahui tentang adat istiadat masyarakat Arab, memahami berbagai
peristiwa dalam sejarah kehidupan bangasa Arab, namun beliau tidak
terpengaruh pada pikiran dan pendapatnya dalam menafsirkan al-Qur’an.
Dalam menafsirkan al-Qur’an beliau lebih mengutamakan riwayat dan
nash-nash dari Nabi Muhammad saw.

3. Sejarah Perkembangan Tafsir pada masa Tabi’in


Setelah berakhirnya periode penafsiran pada masa shahabat, maka
dimulailah periode kedua penafsiran yang dilakukan oleh para tabi'in.
Mereka adalah orang-orang yang menjadi murid dari para sahabat dan
banyak menerima pengetahuan dari mereka. Upaya penafsiran yang mereka
lakukan didorong oleh tuntutan dari perkembangan zaman, yang belum ada
di waktu Rasul dan para sahabat hidup. Selain itu kekuasaan Islam telah
menyebar ke daerah-daerah baru, sehingga memunculkan masalah-masalah
yang membutuhkan pemecahan dari kitab suci Al-Qur'an.
Setelah pemerintah Islam dapat menaklukkan berbagai daerah, para
sahabat tidak berdiam diri saja pada daerah tertentu, mereka ikut bermigrasi
ke negri yang baru. Di negriyang baru ini, para sahabat menjalankan berbagai
propesi, seperti mentri, hakim, pegawai pemerintah dan ada juga yang
menjadi guru.
Di tempat yang baru ini mereka membawa ilmu pengetahuan yang
mereka miliki, lalu mengajarkannya kepada penduduk (tabi'in). maka
terciptalah sekolah-sekolah yang bergerak dalam ilmu pengatahuan dan
tafsir. Sang guru adalah sahabat, sedang muridnya adalah para tabi'in. Bila
kita lihat dalam sejarah dan perkembangan tafsir, maka kita menemukan tiga
kota yang menjadi pusat sekolah tafsir pada waktu itu, yaitu Makkah,
Madinah dan Irak.17
Dari ketiga kota tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Taimiyyah18, kota Makkah merupakan kota yang penuh dengan para ahli
tafsir. Karena mereka adalah murid- murid Ibnu Abbas, seorang sahabat yang
mumpuni dalam tafsir Al-Qur'an.
a. Madrasah Tafsir di Makkah
Madrasah tafsir di Makkah ini pada awalnya dirintis dan didirikan
oleh 'Abdullah bin Abbas ra, yang banyak dihadiri oleh para sahabatnya
dari kalangan tabi'in. Di madrasah inilah Ibn Abbas mengajarkan tafsir
dan menerangkan makna-makna Kitab Allah yang musykil kepada
murid-muridnya. Kemudian murid-muridnya memeliharanya dengan baik
apa yang mereka dengar darinya, dan kemudian mereka
menyampaikannya kembali kepada generasi berikutnya.
Diantara para sarjana yang cukup terkenal dari madrasah tafsir
Ibnu Abbas ini antara lain: Sa'id bin Jubair, Mujahid, 'Ikrimah maula
Ibnu Abbas, Thawus bin Kaisan al- Yamani, dan 'Atha bin Abi Robah.
Mereka semuanya merupakan bangsa mawalli. Mereka berbeda-beda
dalam menguasai riwayat dari gurunya, Ibnu Abbas, ada yang banyak
dan ada yang sedikit. Berikut ini adalah sekelumit dari biografi mereka
dan kapasitasnya dalam masalah tafsir.

17
Muhammad Ali As-Shabuni dalam At-Tibyan fi Ulum Al-Qur'an (Beirut, Libanon, tt)
menyebutnya dengan Thabaqaat: Thabaqah Makkah, Thabaqah Madinah dan Thabaqah Iraq.
Menurut beliau, ahii tafsir dari paratabi'in terbilang sangat banyak bila dibandingkan dengan
sahabat. Karena menurutnya mufassir yang masyhur dari golongan sahabat hanya berjumlah
sepuluh orang, sebagaimana menurut Imam Suyuti dalam Al-Itqan hal 376 Juz II.

18
Lihat Mukaddimah Ibnu Taimiyyah Fi Ushul Al-Tafsir hal 15, sebagaimana yang dikutip Ad-
Dzahabi, Ibid,hal 101. Lihat juga Zubdah al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Dr. Muhammad bin Alawi
al-Maliki al-Husni (Dar as-Suruq: Makkah: 1983) hal 154
b. Madrasah Tafsir di Madinah
Di kota ini terdapat banyak sahabat yang bermukim. Lalu mereka
membuat majlis untuk para pengikutnya dan di tempat itu pula mereka
mengajarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Maka dengan
demikian, berdirilah madrasah tafsir. Pada madrasah-madrasah tafsir
tersebut banyak para tabi'in yang belajar kepada sejumlah tokoh mufassir
terkenal dari kalangan Shahabat. Yang Paling terkenal dan paling banyak
sampai kepada kita adalah riwayat tafsir dari madrasah yang didirikan oleh
seorang sahabat yang bemama Ubay bin Ka'ab.
Diantara murid-murid dari madrasah Ubay bin Ka'ab ini, yang
cukup terkenal diantaranaya adalah tiga orang, yaitu: Zaid bin Aslam,
Abul 'Aliyah, dan Muhammad bin ka'ab al-Qurdi. Berikut adalah
keterangan singkat ketiga tokoh mufassirtabi'in dari darul Hijrah.

Nilai Tafsir Tabi'in


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum merujuk pada
tafsir tabi'in dalam menafsirkan suatu ayat yang belum diketahui
penafsirannya berasal dari Rasulullah dan para sahabatnya. Diantara
mereka, seperti Ibnu Aqil dan Imam Ahmad berpendapat tidak wajib
berpegang pada penafsiran tabi'in dengan alasan:
a. Mereka tidak mendengarnya langsung dari Rasulullah dan tidak
mungkin menghukumi tafsir mereka berasal atau bersumber dari
Rasulullah layaknya tafsir sahabat.
b. Mereka tidak pernah menyaksikan alasan dan keadaan ketika Al-
Qur'an diturunkan. Maka boleh jadi mereka salah dalam memahami
maksuda dari suatu ayat, lalu mengira sesuatu sebagai yang bukan
dalil sebagai dalil.
c. Keadilan Tabi'in tidak ternashkan sebagaimana keadilan sahabat.
Sebagaimana perkataan Abu Hanifah: "Apa yang datang dari
Rasulullah dan para sahabat tidak pernah Aku tinggalkan, sedang apa
yang datang dari Tabi'in, mereka laki-laki yang melakukan ijtihad
dan kami juga laki-laki yang bisa melakukan ijtihad.20
Sementara itu ada kelompok lain yang membolehkan menerima
tafsir tabi'in, jika tidak ditemukan sandaran lain dari Sunnah dan tafsir
sahabat Karena pada dasarnya mereka mendapatkan tafsir dari para
sahabat dan menghadiri majlis-majlis tafsir sahabat. Dari para sahabatlah
mereka mengambil dan mendengar berbagai ilmu.
Sementara itu As-Shabuni berpendapat bahwa sikap yang perlu
diambil mengenai tafsir tabi'in ini adalah meneliti kepada sumber-sumber
tafsir yang terpercaya, seperti tafsir Ibnu Jarir, karena tafsir mereka telah
terkontaminasi oleh riwayat-riwayat Israiliyyat, dan telah bercampur
antara yang shahih dengan yang dlaifh dan telah banyak periwayatan
yangmengatasnamakan mereka.

Metode Tafsir Tabi'in


Secara umum tafsir tabi'in tidak berbeda jauh dengan penafsiran
yang dilakukan sahabat. Metode mereka dalam tafsir dibangun atas:
a. Menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an.
b. Menafsirkan Al-Qur'an dengan As-Sunnah.
c. Menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapat para sahabat. Hal ini
mereka lakukan dengan cara merujkuk dan mendahulukannya
dibanding pendapatnya sendiri. Karena mereka mempelajari
tafsir dari para sahabat yang mendapatkan tafsir langsung dari
Rasulullah.
d. Pemahaman dan ijtihad mereka sendiri. Hal ini merek alakukan
jika tidak menemukan penafsiran dari Al-Qur'an itu sendiri, dari
As-Sunnah dan dari pendapat sahabat.
e. Pernyataan-pernyatan Ahl Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani yang telah masuk Islam
4. Perkembangan Tafsir pada masa kontemporer
Pada masa ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai
saat ini dan mendatang. Ummat Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah
oleh bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam
telah merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta
kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.
Maka terkenallah periode modernisasi Islam yang antara lain
dilakukan di Mesir oleh Jamal al-Din al-Afghani (1254-1315 H/1838-1897
M), Syekh Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849- 1905 M) dan Muhammad
Rasyid Ridho (1282-1354 H/1865-1935 M). Dua orang yang disebutkan
terakhir yakni Syekh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridho,
berhasil menafsirkan alQur’an dengan nama kitabnya yaitu tafsir al-Qur’an al-
Hakim atau dikenal dengan sebutan tafsir al-Manar. Kesungguhan tafsir ini
diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan tafsir baik bagi kitab-kitab tafsir yang semasa dengannya dan
terutama bagi kitab-kitab tafsir yang terbit setelahnya hingga sekarang. Cikal
bakal tafsir al-Qur’an yang lahir pada abad ke-20 dan 21 banyak yang
mendapat inspirasi dari tafsir al-Manar, diantara contohnya ialah tafsir al-
Maraghi, tafsir al-Qasimi dan tafsir al-Jawahir karya Thantawi Jauhari.
Dalam pada itu bersamaan dengan upaya pembaruan Islam dan
gerakan penafsiran al-Qur’an di Mesir dan negara-negara lainnya, para ilmuan
muslim di Indonesia juga melakukan gerakan penerjemahan dan penafsiran al-
Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Diantaranya yang tergolong ke dalam
tafsir yang berekualitas dan monumental adalah al-Qur’an dan tafsirnya yang
diterbitkan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia dan tafsir al-Azhar
karya Prof. Dr. Buya HAMKA (1908-1981).
Awal pertumbuhan dan perkembangan keilmuan agama Islam lebih
khususnya tafsir yaitu berasal dari al-Azhar Mesir, karena al-Azhar adalah
lembaga pendidikan Islam tertua yang menjadi pusat dunia yang pada awal
mula berdirinya dibawah kekuasaan 4 dinasti, yaitu Dinasti Fathimiyah (361-
567 H/972-1171 M), Dinasti Ayyubiyah (567-648 H/1171-1250 M), Dinasti
Mamalik (648-922 H/1250-1517 M) dan Dinasti Utsmaniyah (923-1213 H/
1517-1798 M).
Sementara perkembangan karya tafsir al-Qur’an yang berada di
Indonesia terbagi menjadi dua. Yaitu, tafsir al-Qur’an kalangan pesantren (non
formal), dan kalangan akademis (formal). Pertama, kalangan pesantren, Faid
ar Rahman fī Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan karya Syekh Muhammad
Salih ibn Umar as-Samarani yang dikenal dengan nama Kiai Saleh Darat
(1820-1903), Tafsir Surah Yasin (1954) dan al-Ibriz li Ma’rifa Tafsir al-
Qur’an al-‘Aziz (1960), karya KH. Bisri Mustafa, Iklil fi Ma’anī al-Tanzil
(1980-an) dan Tajul Muslimin karya K.H. Misbah Zainul Mustofa, dan ada
juga KH. Bahauddin Nursalim atau yang terkenal dengan Gus Baha adalah
seorang tokoh mufassir yang murni dari kalangan pesantren dan lain-lain.
Kedua, kalangan akademis, Tafsir Al-Nur dan Tafsir Al-Bayan karya
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shidiqiey (1322-1395 H/1904-1975 M), Al-
Mishbah Karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A, dan lain-lain. Satu hal
yang penting dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran al-Qur’an sebelum masa
kontemporer, hampir semua kitab-kitab tafsir ditulis oleh orang-orang muslim
berkebangsaan Arab dan berbahasa Arab. Kemudian semakin berkembangnya
keilmuan zaman sekarang, geliat para pelajar Indonesiapun ikut andil dalam
kegiatan menafsirkan al-Qur’an dengan berbahasa Indonesia.19

19
Jurnal al-Munir Vol.2 No.1, Juni 2020, 29.76
Daftar Pustaka

Ibnu Taymiyyah, Muqaddimah fi Ushul Tafsir, Darr Ibnu Hazm, Beirut 1994

Imam As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur 'an, Maktabah Darr al-Baz, Makkah
al-Mukarramah, 2000 Juz II

Muhammad Husain Ad-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I Muhammad


Qurais Syihab, Membumikan Al-Qur 'an, Mizan Bandung, 2001

Muhammad Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulum Al-Qur ‘an, Beirut, 1390 H

Manna’ Qathan, (1995) Mabahits Fii Ulumil Qur’an, Maktabah WAhbah, Kairo.

As Suyuthi, (2008), Al Itqon Fii Ulumil Qur’an, Muassasah Ar Risalah, Beirut.

Az Zarkasyi, (2006) Al Burhan Fii ‘Ulumil Qur’an, Darul Hadits, Kairo.

Abd Muin Salim. (1990). Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an. Ujung
Pandang: Lembaga Study Kebudayaan Islam.

Ahmad Izzan. (2007). Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur.

Ahmad Mushfa al-Maraghi. (t.th). Tafsir al-Maraghi. Bairut: Darul Ihya at-Turats
al-‘Arabi, juz 1.

Jurnal al-Munir Vol.2 No.1, Juni 2020, 29.76

Anda mungkin juga menyukai