Anda di halaman 1dari 61

STUDI ILMU QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk Ujian Akhir Semester (UAS)


pada mata kuliah "Ulumul Qur'an"
Dosen Pengampu : Muhammad Sholeh Hasan. Lc. M.A

Disusun oleh :
Abdurrohman Kambari (112110110000138)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH Jakarta
2021

i
Bab 1
Ilmu-Ilmu Qur’an
Al-Qur’anul karim adalah mukjizat yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada
Rasulullah, Muhammad s.a.w. untuk mengeluarkan manusia dari suasana
yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang
lurus. Rasulullah s.a.w. menyampaikan Qur’an itu kepada para sahabatnya
sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apabila
mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka
menanyakannya kepada Rasulullah s.a.w. Para sahabat sangat antusias untuk
menerima Al-Qur’an dari Rasulullah s.a.w., meghafal dan memahaminya
karena itu merupakan suatu kehormatan bagi mereka.
Al-Qur’an pertama kali dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar
r.a. kemudian pada saat kekhalifahan Usman r.a. keadaan menghendaki untuk
menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Mushaf itu disebut mushaf
imam. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-rasmul ‘usmani yaitu
dinisbahkan kepada usman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu
Rasmil Qur’an. Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. dan atas
perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah Nahwu, cara
pengucapan yang tepat dan baku kan memberikan ketentuan harakat pada
Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu Rasmil QUr’an. Para
sahabat senantiasa menyampaikan makna-makna Al-QUr’an dengan
kemampuan mereka. Diantara para musyafir yang termasyhur dari para
sahabat ialah empat khalifah, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid
bin Sabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair yang sekarang
dikenal dengan tafsir mereka.
Disamping ilmu tafsif lahir pula karangan yang berdiri sendiri
mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu. Ali binal-Madini Menyusun
karangannya mengenai asbabun nuzul. Abu ‘Ubaid al-Qasim binsalam
menulis tentang Nasikh-Mansukh dan qira’at. Ibn Qutaibah Menyusun
problematika Qur’an. Muhammad bin Khalaf bin Marzaban Menyusun ak-
Hawi fa Ulumil QUr’an. Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari menulis
tentang ilmu-ilmu Qur’an. Abu Bakar as-Sijistasi Menyusun Garibul Qur’an.
Muhammad bin Ali al-adfawi Menyusun al-Istigna fi ‘Ulumil Qur’an dan
masih banyak lagi.

1
Bab 2
Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah risalah Allah kepada manusia. Banyak naas yang


menunjukkan hal itu, baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam sunah.

ً ‫ع ْب ِد ِه ِليَ ُكونَ ل ِْلعَالَمِ ينَ نَذ‬


‫ِيرا‬ َ َ‫اركَ الَّذِي ن ََّز َل ْالفُ ْرقَان‬
َ ‫علَ ٰى‬ َ َ‫تَب‬
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (Q.S.
Al-Furqon:1).
Rasulullah telah menantang orang-orang arab dengan Qur’an, padahal
al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa mereka dan merekapun ahli Bahasa itu,
namun ternyata mereka tidak mampu membuat apapun seperti Al-Qur’an.
Maka terbuktilah kemukjizatan Qur’an dan terbukti pula kerasulan Nabi
Muhammad. Allah telah menjaganyadan menjaga pula penyampaiannya
sehingga tidak ada penyimpangan atau perubahan apapun.
al-Qur’an mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun; dan
qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur’an pada mulanya seperti qira’ah
yaitu Masdar dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Allah berfirman
‫فَ ِاذَا قَ َرأْ ٰنهُ فَات ِب ْع قُ ْر ٰانَه‬. ‫علَ ْينَا َج ْم َعه َوقُ ْر ٰانَه‬
َ ‫اِن‬
Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan
membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu.(Q.S. AL-Qiyamah:17-18)
Allah menamakan Qur’an dengan beberapa nama, diantaranya:
Qur’an ada pada Qur’an surat al-Isra ayat 9 yang artinya “Qur’an
memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus”
Furqan ada pada Qur’an surat al-Furqon ayat 1 yang artinya “Mahasuci
Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya agar dia menjadi
pemberi peringatan kepada semesta alam.”
Zikr ada pada Qur’an surat al-Hijr ayat 9 yang artinya “Sesungguhnya
Kamilah yang telah menurunkan az-Zikr (Al-Qur’an) dan sesunggunya
Kamilah yang benar-benar akan menjaganya”

2
Nur (cahaya) ada pada Qur’an surat An-Nisa ayat 174 yang artinya
“wahai manusia, telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan-Mu dan
telah kamu turunkan kepadamu cahaya yang terang benerang.”
Petunjuk, obat, rahmat dan nasihat ada pada Qur’an surat Yunus ayat
57 yang artinya “wahai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu
nasihat dari tuhanmu danobat bagi yang ada di dalam dada, dan petunjuk
serta rahmat bagi orang-orang beriman.”
Mubarak ada pada Qur’an surat al-Baqarah ayat 97 yang artinya “yang
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadikan petunjuk serta
berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
‘Aziz ada pada Qur’an surat Fussilat ayat 41 yang artinya “mereka yang
mengingkari az-Zikr ketika AL-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka
pasti akan celaka). Qur’an adalah kitab yang mulia.
Basyir dan Nazir pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan
ada paa QUr’an surat Fussilat ayat 3-4 yang artinya “kitab yang dijelaskan
ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui; yang membawa kabar gembira dan yang membawa peringatan.”

Perbedaan antara Qur’an dengan hadis kudsi dan hadis Nabawi adalah.
Hadis (baru) dalam arti Bahasa lawan Qadim (lama). Hadis Nabawi Hadis
adalah setiap kata-kata yang di ucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh
manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya tau wahyu, baik
dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Menurut istilah pengertian
hadis ialah apasaja yang di sandarkan kepada Nabi s.a.w. baik berupa
perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat. Hadis kudsi dinisbahkan kepada
kata quds. Hadis kudsi ialahh hadis yang oleh Nabi s.a.w. disandarkan kepada
Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah.
Maka rasul menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Nabi sendiri.
Bila seseorang meriwayatkan hadis kudsi, maka dia meriwayatkannya dari
Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan:
“Rasulullah s.a.w. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari
Tuhannya”. Atau ia mengatakan: “Rasulullah s.a.w. mengatakan: Allah Ta’ala
telah berfirman atau berfirman Allah Ta’ala.” Perbedaan Al-Qur’an dengan
hadis kudsi:
1) Al-Qur’anul karim adalah kalam Allah yang diwahyukan
kepada Rasulullah dengan lafalnya.

3
2) Al-Qur’anul karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga
dikatakan: Allah ta’ala telah berfirman.
3) Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir, sehingga
kapasitasnya sudah mutlah. Sedang hadis hadis kudsi kebanyakannya adalah
khabar ahad, sehingga kepastiannya merupakan dugaan. Adakalanya hadis
kudsi itu sahis, terkadang hasan (baik) terkadang da’if (lemah).
4) Al-Qur’anul karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya.
Maka ia adalah wahyu, baik dalam lafal ataupun maknanya. Sedang hadis
kudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah s.a.w.
5) Membaca al-Qur’anul karim merupakan ibadah karena itu ia
dibaca di dalam shalat.
Perbedaan hadis kudsi dan hadis Nabawi tauqifi yang bersifat tauqifi,
yaitu kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan
kepada manusia denga kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun
kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih
layak dinisbahkan kepada Rasulullah. Taufiqi yang bersifat taufiqi yaitu
disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya terhadap Al-Qur’an.
Hadis kudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah
melalui salah satu cara penurunan wahyu; sedang lafalnya dari Rasulullah
s.a.w.

4
Bab 3
Wahyu

Dikatakan wahaitu ilain dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agat
tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat terjadi melalui
pembicaraan yang berupa rumus dan lambing dan terkadang melalui suara
semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian angora badan.
Al-Wahy adalah kata Masdar (infinitive). Wahyu adalah
pembaritahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada
orang yang diberi tahu tanpa diketahui orang lain. Pengertian wahyu dalam
arti Bahasa meliputi:
1) Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap
ibu Nabi Musa.
2) Ilham yang berupa naluri para binatang.Isyarat yang cepat
melalui rumus dan kode seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an.
3) Bisikan dan tipu daya setanuntuk menjadikan yang buruk
kelihatan indah dalam diri manusia.
4) Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa
suatu perintah untuk dikerjakan.

Sedang wahyu kepada para nabi-Nya secara syara’ merekan


didefinisikan sebagai “kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi”.
Ustaz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu didalam risalatut tauhid
sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang didalam dirinya dengan disertai
keyakinan pengetahuan itu datangnya dari Allah. Beda antara wahyu dengan
ilham adalah ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk
mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Cara
wahyu diturunkan kepada malaikat:
1) Kalam Allah kepada para malaikat ada pada Qur’an Surat al-
Baqarah ayat 30 yang artinya “ingatlah ketika tuhanmu berfirman:
‘sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.
Mereka berkata ‘mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan didalamnya?’” dan surat al-Anfal ayat
12 yang artinya “ ingatlah ketika uhanmu mewahyukan kepada
malaikat:’sesungguhnya aku besama kamu, maka teguhkanlah pendirian

5
orang yang beriman.’”. ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah
berbicara kepada para malaikat tanpa perantara dan dengan perbicaraan yang
dipahami oleh para malaikat.
2) Telah nyata pula bahwa al-Qur’an telah dituliskan di lauhul
mahfuz. Dari Ibn Abbas dengan hadis mauquf. “Qur’an itu diturunkan
sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Kemudian setelah itu
diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibn Abbas membacakan:’tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil,
melainkan kemi datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang baik
penyelesaiannya’ (al-Furqon:33). Ada beberapa pendapat cara turunnya
wahyu Allah yang berupa Qur’an kepada Jibril (1) Bahwa Jibril menerimanya
secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus. (2) bahwa Jibril
menghafalnya dari lauhul mahfuz. (3) bahwa maknanya disampaikan kepada
Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.

Cara wahyu Allah turun kepada para Rasul adalah


1) Melalui malaikat Jibril. Cara apertama adalah datang
kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang
mempengaruhi factor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala
kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara kedua adalah malaikat
menjelma kepada Rasulullah sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia.
2) Tanpa melalui perantara, diantaranya adalah mimpi yang benar
dalam tidur. Mimpi yang benar tidaklah khusus bagi para Rasul saja. Mimpi
yang demikian itu tetap adal pada kaum mukminin, sekalipun mimpi itu bukan
wahyu. Contohnya adalah yang terjadi pada nabi Musa dalam Qur’an
dijelaskan dalam surat al-A’raf ayat 143 yang artinya “dan tatkala musa
datang untuk munajat dengan kami diwaktu yang telah kami tentukan dan
tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata: ‘wahai tuhan
tampakkanlah dirimu kepadaku agar aku dapat melihat engkau.” Dan ada
pada surat al-Ma’idah ayat 164 yang artinya “Dan Allah telah berbicaa
kepada Musa secara langsung.”

Keraguan orang-orang yang ingkar terhadap wahyu yang pertama


adalah mereka mengira bahwa Qur’an dari pribadi nabi Muhammad, yang
kedua orang-orang jahiliyah dahulu dan sekarang menyangka bahwa
Rasulullah s.a.w. mempunyai ketajaman otak kedalam penglihatan, kekuatan

6
firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar dan
menjadikannya memahami atas semuanya. Ketiga orang-orang jahiliyah
dahulu dan sekarang menyangka bahwa Muhammad telah menerima ilmu-
ilmu Qur’an dari seorang guru.
Para ahli ilmu kalam telah tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam
menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang
lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian
yang pertama kalam nafsi yang kekal yang ada pada zat Allah, yang tidak
berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula Bahasa; dan yang kedua kalam lafzi
yaitu yang diturunkan kepada para Nabi yang diantaranya empat kitab. Sedang
mazhab ahlus sunnah wal jama’ah menentukan nama-mana dan sifat-sifat
Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau Rasul dalam hadis shahih yang
datan dari Nabi. Penetapan mengenai apa yang dinisbahkan oleh Allah atau
Rasulullah sekalipun sifat itu juga ditetapkan pada hamba-hamba Allah,
tidaklah mengurangi kesempurnaan kesucian-Nya dan tidak membuat-Nya
serupa dengan hamba-hambanya.

7
Bab 4
Makki dan Madani

Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah Makki dan


Madani. Mereka meneliti Qur’an ayat demi ayat dan surah demi surah untuk
ditertibkan sesuai dengan nuzulnya dengan memperhatikan waktu, tempat dan
pola kalimat. Bahkan lebih dari itu mereka mengumpulkan antara tempat,
waktu dan pola kalimat.

Yang di perhatikan untuk makki dan madani adalah:


1) Yang diturunakn di Mekkah.
2) Yang diturunkan di Medinah.
3) Yang diperselisihkan.
4) Ayat-ayat makkiah dalam surah-surah madaniah.
5) Ayat-ayat madaniah dalam surah-surah makkiah.
6) Yang diturunkan di mekkah dalam kelompok madani.
7) Yang diturunkan di medinah sedang hukumnya maki.
8) Yang serupa dengan yang diturunkan di mekah dalam
kelompok madani.
9) Yang serupa dengan diturunkan di medinah dalam kelompok
makki.
10) Yang dibawa dari Makkah ke Madinah.
11) Yang dibawa dari madinah ke Makkah.
12) Yang turun diwaktu malam dan turun di waktu siang.
13) Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14) Yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.

Faedah mengetahui Makki dan Madani


1) Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an.
2) Meresapi gaya Bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam
metode berdakwah menuju jalan Allah.
3) Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat Qur’an

Perbedaan Makki dan Madani pertama dari segi waktu turunnya makki
adalah yang diturunkan sebelum hijriah meskipun bukan di Makkah dan

8
madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah.
Kedua dari segi tempat turunnya makki yang turun di Makkah dan sekitarnya,
seperti Mina, Arofah, dan Hudaibiyah dan madani adalah yang turun di
Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba, dan Sil’. Ketiga dari segi
sasarannya makki adalah yang seruannya dutujukan kepada penduduk
Makkah dan madani adalah yang seruannya di tujukan kepada penduduk
Madinah.
Para ulama telah meneliti surah-surah makki dan madani dan
menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang
menerangkan ciri-ciri khas gaya Bahasa dan persoalan-persoalan yang
dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan
ciri-ciri tersebut.

Ketentuan makki dan ciri khas temanya


1) Setiap surat yang didalamnya mengandung “sajdah” maka
surah itu makki
2) Setiap surah yang mengandung lafal kalla berarti makki.
3) Setiap surah yang mengandung ya ayyuhannas dan tidak
mengandung ya ayyuhal ladzina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian
sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah makki.
4) Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat
terdahulu adalah makki, kecuali surah al-Baqoroh.
5) Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah
Makki, kecuali al-Baqoroh.
6) Setiap surah yang dibuka dengan huruf singkatan, seperti alif
lam mim dll adalah makki, kecuali surah al-Baqoroh dan al-Imran. Sedeng
surah ar-Ra’d masih diselisihkan.
Dan ciri-iri makki dari segi tema dan gaya bahasa:
1) Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah,
pembuktian tentang risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan
keringanannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi
terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-
ayat kauniah.
2) Peletakkan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan
akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat.

9
3) Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai
pelajaran bagi kita.
4) Suku katanya pendek-pendenk disertai kata-kata yang
mengesankan sekali.

Ketentuan Madani dan ciri khas temanya


1) Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah
Madani.
2) Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik
adalah madani, kecuali surah al-Ankabut.
3) Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab
adalah Madani
4) Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan,
jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun
perang, kaidah masalah perundang-undangan.
5) Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan yahudi dan Nasrani
dan ajakan kepada mereka untuk masuk islam.
6) Menyingkap perilaku orangmunafik, menganalisis
kewajibannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi
agama.
7) Suku kata dan ayatnya Panjang-panjang dengan gaya Bahasa
yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.

10
Bab 5
Pengetahuan Mengenai Yang Turun Pertama dan
Terakhir

1) Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun


ialah firman Allah
َ ‫علَق ٱ ْق َرأْ َو َربُّكَ ْٱْل َ ْك َر ُم ٱلذِى‬
‫عل َم‬ ِ ْ َ‫عل َملَم ٱ ْق َرأْ ِبٱس ِْم َر ِبكَ ٱلذِى َخلَقَ َخلَق‬
َ ٰ ‫ٱْلن‬
َ ‫سنَ مِ ْن‬ َ ‫ِب ْٱلقَلَ ِم‬
‫سنَ َما لَ ْم يَع‬ ِْ
َ ٰ ‫ٱْلن‬
“bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan tuhanmu
lebih pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS.al-Alaq:1-5).
2) Dikatakan pula bahwa yang diturunkan pertama kali turun
adalah firman Allah: ya ayyuhal muddassir (wahai orang yang berselimut). Ini
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadis.
3) Dikatakan pula, bahwa pertama kali turun adalah surah
Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surah pertama kali turun secara
lengkap.
4) Disebutkan juga bahwa pertama kali turun adalah
bismillahirrahmannirrahim. Karena bismillah itu turun mendahului setiap
surat.
5) Dikatakan bahwa yang terakhir diturunkan adalah ayat
mengenai riba.
6) Dikatakan pula bahwa ayat Qur’an yang terakhir diturunkan
ialah firman Allah surah al-Baqarah ayat 281 yang artinya “dan peliharalah
dirimu dari azab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah”
7) Dikatakan juga bahwa yang terakhir turun itu ayat mengenai
hutang yaitu QS al-Baqarah ayat 282.
8) Dikatakan pula bahwa yang terakhir turun adalah ayat
mrngrnai kalalah yaitu QS. An-Nisa ayat 176.
9) Pendapat lain menyatakan bahwa yang terakhir turun adalah
firman Allah yang artinya “sesungguhnya telah datang kepadamu seorang
easul dari kaummu sendiri…”

11
10) Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surah al-
Maidah.
11) Juga dikatakan bahwa yang terakhie turun adalah firman Allah
yang artinya “maka tuhan mempekenankan permohonan mereka:’aku tidak
menyia-nyiakan aman orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-
laki ataupun perempuan, kerena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain”. (QS. Ali ‘Imran:195)
12) Ada juga dikatakan bahwa yang terakhir turun ialah (QS. An-
Nisa:93).
13) Dari Ibn Abbas dikatakan “surah terakhir yang diturunkan ialah
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.

Pengetahuan mengenai ayat-ayat yang pertama kali dan terakhir


diturunkan mempunyai banyak faedah, yang terpenting adalah menjelaskan
perhatian yang diperoleh Qur’an guna menjaganya dan menentukan ayat-
ayatnya. Mengetahui rahasia perundnag-undangan islam menurut sejarah
sumbernya yang pokok. Membedakan yang nasikh dengan yang Mansukh.

12
Bab 6
Asbabun Nuzul

Para penyidik ilmu-ilmu QUr’an menaruh perhatian besar terhadap


pengetahuan tentang asbabun nuzul. Untuk menafsirkan Qur’an ilmu ini
diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang menghususkan diri dalam
pembahasan mengenai bidang ini.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah
Riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah atau sahabat. Jalan yang di tempuh
ulama salaf sangat hati-hati untuk mengatakan sesuatu tentang asbabun nuzul
tanpa pengetahuan yang jelas.
Sebab diturunkannya suatu ayat itu berkaisar pada dua hal; (1) bila
terjadi suatu peristiwa maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu. (2)
bila Rasulullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat Qur’an
menerangkan hukumnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus
mencari sebab turun suatu ayat, karena tidak semua ayat Qur’an diturunkan
karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan.
Tetapi diantara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab,
mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat Allah dalam kehidupan
probadi dan sosial.

Pengetahuan mengenai asbabun nuzul mempunyai banyak faedah, yang


terpenting adalah:
1) Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan
perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala
peristiwa, karena sayangnya kepada umat.
2) Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan
sebab yang terjadi, bila hukum itu ditanyakan dalam bentuk umum.
3) Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat
dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul
membatasi pengkhususan itu hsnys terhadap selain bentuk sebab.
4) Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami
makna Qur;an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat
yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.

13
5) Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu
diturunkan sehingga ayat tersebut tidak ditetapkan kepada orang lain karena
permusuhan dan perselisihan.
Apabila ayat yang diturunkan sesuai sebab secara umum, atau sesuai
dengan sebab secara khusus, maka yang umum (‘amm) diterapkan pada
keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal
umum yang bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambildari lafal yang
umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yan
serupa dengan itu. Dan segolongan ulama berpendapat bahwa yang menjadi
pegangan adalah sebab yang husus, bukan lafal yang umum, karena lafal yang
umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh kerena itu untuk
dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias
dan sebagainya, sehingga pemindangan Riwayat sebab yang khusus itu
mengandung faedah dan sebab tersebut sesuai dengan mesababnya seperti
hanya pertanyaan dengan jawabannya.
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa
pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang
hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk kedua yaitu redaksi
yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan
kandungan hukum ayat.

Terdapat beberapa Riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam


keadaan demikian, sikap seorang musafir kepadanya sebagai berikut:
1) Apabila bentuk-bentuk redaksi Riwayat itu tidak tegas, maka
tidak ada kontradiksi di antara Riwayat-riwayat itu, sebab maksud Riwayat-
riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk
kedalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab
nuzul, kecuali bila ada karinah atau infikasi pada salah satu Riwayat bahwa
maksudnya adalah penjelasan nuzul.
2) Apabila salah satu bentuk redaksi Riwayat itu tidak tegas, maka
yang menjadi pegangan adalah Riwayat yang menyebutkan sebab nuzul
dengan tegas dan Riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
3) Apabila Riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab
nuzul, sedang salah satu Riwayat di antaranya itu sahih, maka yang menjadi
pegangan adalah Riwayat sahih.

14
4) Apabila Riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat
segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah
tersebut, atau salah satu dari Riwayat-riwayat itu lebih sahih, maka Riwayat
yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5) Apabila Riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka Riwayat-
riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin hingga dinyatakan
bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena
jaraj wajtu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
6) Bila Riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena
jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian
dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul.
Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu itu banyak, maka terkadang
semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang
sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan
sebab.
1) Apabila semuanya tidak tegasdalam menunjukkan sebab, maka
tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir
dan kandungan ayat.
2) Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka
yang menjadi pegangan adalah yang tegas.
3) Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari
kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila yang
satunta sahih sedang yang lain tidak, maka yang sahih yang dijadikan
pegangan.
4) Apabila semanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila
mungkin.
5) Bila tidak mungkun dengan pilihan demikian, maka dipadukan
bila mungkin.
6) Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu
diturunkan beberapa kali dan berulang.

Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam
hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat
yang turun di dalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa.

15
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dan
Qur’an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu banyak ayat yang
turun mengenainya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi.
Asbabun nuzul ada kalanya berupakisah tentang peristiwa yang terjadi,
atau berupa pernyataan yang disampaikan kepada Rasulullah untuk
mengetahui hukum suatu masalah, sehingga Qur’an turun sesudah terjadi
peristiwa atau pernyataan tersebut. Para pendidik dalam dunia Pendidikan dan
pengajaran di bangku-bangku sekolah ataupun Pendidikan umum, dalam
memberikan bimbingan dan penyuluhannya perlu memanfaatkan konteks
asbabun nuzul untuk memberikan rangsangan kepada anak duduk yang tengah
belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. Cara demikian merupakan cara
paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan Pendidikan
tersebut dengan mempergunakan metode pemberian oengertian palimng
menarik dan bentuk paling tinggi.
Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang mempunyai
pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan
tentang muhasabah atau kolerasi antara ayat dengan ayat dan surah dengan
surah juga membentu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik
dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama mengkhususkan dirinya untuk
menulis buku mnegenai pembahasan ini. Munasabah (kolerasi) dalam
pengertian Bahasa berarti kedekatan. Yang dimaksud munasabah ialah segi
hubungan antara satu kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan
ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah lain.
Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami
keserasian antar makna, mukjizat Qur’an secara retorik, kejelasan
keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan bahasanya.
Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti
hubungan yang menyatikan, seperti perbandingan atau perimbangan.

16
Bab 7
Turunnya Qur’an

Allah menurunkan Qur’an kepada rasul kita Muhammad untuk memberi


petunjuk kepada manusia. Turunnya Qur’an merupakan perstiwa besar
sekaligus menyatakan kedudukannya bagi langit dan bumi. Turunnya Al-
Qur’an pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan
kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan
umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru
agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Allah
berfirman pada Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 yang artinya “bulan
Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
antara yang hak dengan yang batil.” Dan firman yang lainnya ada pada surah
al-Qodr ayat 1 yang artinya “sesungguhnya kami telah menurunkannya
(Qur’an) pada malam lailatul qadar.” Dan firman lainnya ada pada surah ad-
Dukhan ayat 3 yang artinya “sesungguhnya kami telah menurunkannya
(Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.” Ketiga ayat diatas tidak
berhubungan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qodar
dalam bulan Ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan
kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah, dimana Qur’an turun kepadanya
selama dua puluh tiga tahun. Dalam hal ini, para ulama mempunyai dua
mazhab pokok:
1) Mazhab pertama, adalah yang dimaksud turunnya Qur’an
dalam ketiga ayat diatas ialah turunnya Qur’an sekaligus ke Baitul ‘Izzah
dilangit dunia agar para malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian
setelah itu al-Qur’an diturunkan kepada Rasul kita Muhammad s.a.w. secara
bertahap selama dua puluh tiga tahun sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan
kejadian-kejadian sejak beliau diutus hingga wafatnya.
2) Mazhab kedua, bahwa yang dimaksud dengan turunnya Qur’an
dalam ketiga ayat diatas adalah permulaan turunnya Qur’an kepada
Rasulullah. Permulaan turunnya pada malam lailatul qadar di bulan
Ramadhan, yang merupakan malam yang diberkahi. Kemudian turnyya itu
berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-
peristiwa selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.

17
3) Mazhab ketiga, berpendapat bahwa Qur’an diturunkan ke
langit dunia selama dua puluh tiga malam lailatul qadar yang pada setiap
malamnya selama malam-malam lailatul qodar itu ada yang ditentukan Allah
untuk diturunkanpada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyu yang diturunkan ke
langit dunia di malam lailatul qadar untuk masa satu tahun penuh itu
kemudian diturunan secara benrangsur-angsur kepada Rasulullah sepanjang
tahun. Mazhab ini adalah hasil ijtihad seorang musafir. Pendapat ini tidak
mempunyai dalil.
Al-Qur’anul karim adalah kalam Allah dengan lafalnya yang berbahasa
arab;dan bahwa Jibril telah menurunkannya kedalam hati Rasulullah dan
bahwa turunnya ini bukan turunnya yang pertama kali ke langit dunia. Tetapi
yang dimaksudkan adalah turunnya Qur’an secara bertahap. Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun: tiga belas
tahun di Makkah menurut pendapat yang kuat dan sepuluh tahun di Madinah.
Penjelasan turunnya Qur’an secara berangsur-angsur terdapat pada firman
Allah surah al-Isra’ ayat 106 yang artinya “dan Qur’an itu telah kami
turunkan denganberangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan
kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian”. Adapun
kitab-kitab samawi yang lain seperti taurat, injl dan zabur turunnya sekaligus,
tidak turun secara berangsur-angsur, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh
surah sl-Furqon ayat 32 yang artinya “dan berkatalah orang-orang kafir:
mengapa Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?
Demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami
membacakannya kelompok demi kelompok”. Penelitian terhadap hadis-hadis
sahih emnyatakan bahwa Qur’an turun menurut keperluan, terkadang lima
ayat, terkadang sepuluh ayat, erkadang lebih banyak atau lebih sefikit dari itu.

Hikmah turunnya Qur’an secara bertahap


1) Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah s.a.w.
2) Tantangan dan mukjizat,
3) Mempermudah hafalan dan pemahamannya.
4) Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pentahapan dalam
penetapan hukum.
5) Bukti yang pasti bahwa Qur’anul karim diturunkan dari sisi
yang maha bijaksana dan maha terpuji..

18
Bab 8
Pengumpulan dan Penertiban Qur’an

Pengumpulan Qur’an dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati).


Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang
menghafalnya dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan firman Allah
kepada nabi-nabi senantiasa menggerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk
membaca Qur’an ketika Qur’an itu turun kepadanya sebelum Jibril seseudah
membacakannya. Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan
Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-
surahnya atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam
satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-
surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam
hati, sebab bangsa arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang
kuat. Hal itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan
berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati
mereka.
Rasulullah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat
terkemuka seperti, Ali, Mu’awiyah, ‘Ubai bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Bila
ayat turun ia memerintahkan menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat
tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu
penghafalan di dalam hati. Di samping itu sebagian sahabatpun menuliskan
Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri tanpa diperintah oleh nabi;
mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar,
kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin
Tsabit berkata “kami Menyusun Qur’an du hadapan Nabi pada kulit
binatang”. Ini menunjukkan betapa besar keseulitan yang dipikul para sahabat
dalam menuliskan Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka,
selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur’an
semakin menambah hafalan mereka. Tulisan-tulisan Qur’an pada masa Nabi
tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada seseorang belum tentu
dimiliki oleh orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan
dari mereka telah menghafal seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan

19
mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang terakhir yang
membacakan Qur’an dihadapan Rasulullah diantara mereka.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar memberi usul agar
mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah
sebab peperangan Yamamah telah membunuh banyak qori. Awalnya Abu
Bakar tidak sepakat karena hal itu tidak pernah diperintahkan oleh nabi.
Setelah diberi pengertian oleh Umar, Abu Bakaar akhirnya setuju untuk
mengumpulkan Qur’an dan memberi perintah kepada Zaid bin Tsabit. Pada
awalnya Zaid bin Tsabit pun tidak setuju dengan pendapat tersebut namun
lama kelamaan ia memahami jika tidak dikumpulkan Qur’an akan musnah.
Zaid bin Tsabit melakukan tugasnya dengan berat ini dengan bersandar pada
hafalan yang ada di dalam hati para qori. Kemudian lembaran-lembaran
(kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat tahun
ke-3 Hijti, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada
di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan
Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, beliau memintanya
dari Hafsah. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang
mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping
terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf
Ali, mushaf Ubai dan mushaf Ibn Mas’ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak
dihimpun secara tertib. Pada masa kekhalifahan Usman, para sahabat
bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu
Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan
yang tetap pada satu huruf.
Perbedaan antara pengumpulan Qur’an Abu Bakar dan Usman. Motif
Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena
banyaknya pafa huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan
korban dari pada qori. Pengumpulan Abu Bakar dilakukan dengan cara
memindahkan semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran
kemudian dikumpulkan dalan satu mushaf dengan ayat-ayat dan surah-
surahnya yang tersusun serta terbatas oada bacaan yang tidak dimanasukh dan
mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an diturunkan. Motif Usman
yaitu untuk mengumpulkan Qur’an adalah karena banyaknya perbedaan dalam
cara-cara membaca dan mereka saling menyalahkan satu sama lain.
Pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya dalam satu huruf

20
diantara ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu
mushaf dan satu huruf yang mereka baca tampa keenam huruf lainnya.

Keraguan yang harus ditolak:

1) Mereka berkata, sumber-sumber lama (asar) menunjukkan


bahwa ada beberapa bagian Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-
mushaf yang ada ditangan kit aini.
2) Mereka mengatakan, dalam Qur’an terdapat sesuatu yang
bukan Qur’an.

Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah


disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan
dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan
Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.

Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh
nabi sebangaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah tuhan. Tertib
surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib
didalam mushaf-mushaf mereka. Sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan
sebagian lainnya berdasarkan ijtihat para sahabat, hal ini karena terdapat dalil
yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Surah-surah dalam
Qur’an itu ada empat bagian; (1) at-Tiwal, (2) al-Mi’un, (3) al-Masani dan (4)
al muffasal.

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watakpembawaan orang-orang Arab yang masih
murni, sehingga tidak memerlukan syakal dan harakat dan pemberian titik.
Perbaikan rasm mushaf itu secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik:
fathah berupa satu titik diatas awal hurufm dammah berupa satu titik di atas
akhir huruf, dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian
terjadu perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulahyang
dilakukan Khalil. Pada abad ketiga hijri terjadi perbaikan dan penyempurnaan
rasm mushaf. Dan orangpun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang
baik dan menemukan tanda-tanda yang khas.

Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah mencapai


puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).

21
Al-Qur’anul karim mempunyau stem yang unik dalam fasilah maupun
ras’ul ayatnya. Yang dimaksud fasilah ialah kalam (pembicaraan) yang
terputus dengan kalam sesudahnya. Fasilah itu terkadang berupa ras’ul ayat
dan terkadang bukan ras’ul ayat, dan fasilah ini terjadi pada akhir penggalan
pembicaraan.

22
Bab 9

Turunnya Qur’an dengan Tujuh Huruf


Para ulama berbeda berpendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini
dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan
mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf
menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu
bertumpang tindih. Dibawah ini pendapat yang paling mendekati:

1) Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud


dengan tujuh huruf adalah tujuh macam dari Bahasa-bahasa arab mengenai
satu makna; dengan pengertian jika Bahasa mereka berbeda-beda delam
mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah
lafaz sesuai dengan ragam tersebut tentang makna satu itu. Dan jika tidak
terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih
saja.
2) Suatu kaum berpendapat bahwa yang dimaksud denga tujuh
huruf ialah tujuh macam Bahasa-bahasa Arab dengan mana Qur’an
diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara
keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam Bahasa tadi, yautu Bahasa paling
fasih di kalangan bangsa arab, meskipun sebagian besarnya dalam Bahasa
Quraisy. Sedang yang lain dalam Bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah,
Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur’an mencakup
ketujuh Bahasa tersebut.
3) Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
tujuh huruf ialah tujuh wajah, yaitu amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d
(janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan masal
(perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, metasybih dan
amsal.
4) Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf
(perbedaan), dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya
terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu;
a) ikhtilaful asma (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad,
muzakkar dan cabang-cabangnya seperti tasniyah, jamak dan ta’nis.
b) I’rab (harakat akhir kata)
23
c) Tasrif
d) Taqdim (mendahulukan) dan takhir (mengakhirkan)
e) Ibdal (penggantian)
f) Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan. Ikhtilaf
dengan penambahan (ziyadah) atau karena perbedaan pengurangan (naqs).
g) Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan
tarqiq (menipiskan), fathah dan imalah, izhar dan idghom, hamzah dan tashil,
isyaman, dan lain-lain.
5) Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh
itu tidak diartikan sebagai harfiah (maksudnya, bukan bilangan antara enam
delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan
menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka kata tujuh adalah
isyarat bahwa Bahasa dan susuna Qur’an merupakan batas dan sumber utama
bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan
tertinggi. Sebab, lafaz sab’ah (tujuh) diperhunakan pula untuk menunjukkan
jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh”
dalam bilangan puluhan, dan “tujuh ratus” dalam bilangan ratusan. Tetapi
kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjuk bilangan tertentu.
6) Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.

Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat yang


pertama, yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
dari Bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama.
Bisalnya: aqbil, ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafaz-lafaz yang berbeda ini
digunakan untuk menunjukkan satu maksa yaitu perintah atau menghadap.
Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin’Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb, dan
lainnya.

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh


huruf adalah tujuh macam Bahasa dari Bahasa-bahasa Arab dengan nama
Qur’an diturunkan; dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara
keseluruhan tidak keluar dari ketujuh Bahasa tadi, kerena itu himpunan Qur’an
telah mencakupnya. Dapat dijawab bahwa Bahasa Arab itu lebih banyak dari
tujuh macam, disamping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim kedua
duanya adalah orang Quraisy yang mempunyai Bahasa yang sama dan kabilah
yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan) kedua orang itu berbeda dan mustahil

24
Umar mengingkari Bahasa Hisyam (namun ternyata Umar mengingkarinya).
Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud denga tujuh huruf bukanlah
apa yang mereka kemukakkan, tetapi hanyalah peprbedaan lafaz-lafaz
mengenai makna yang sama dan itulah pendapat yang kita kukuhkan.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf


adalah tujuh hal (makna). Dijawab bahwa zahir hadis-hadis tersebut
menunjukkan tujuh huruf itu adalah satu kata yang dapat dibaca dengan dua
atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat; padahal sesuatu
yang satu tidak mungkin dinyatakan halal haram di dalam satu ayat, dan
keleluasaan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal,
penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna
tersebut. Dalam hadis-hadis terdahulu ditegaskan bahwa para sahabat yang
berbeda beda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi, lalu setiap orang
diminta menyampaikan bacaan masing-masing, kemudian Nabi membenarkan
semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu berbeda satu dengan yang
lain, sehingga keputusan nabi ini menimbulkan keraguan sebagian dari
mereka. Maka kepada mereka yang masih ragu terhadap keputusan nabi
berkata: “sesungguhnya Allah memerintahku untuk membaca Qur’an dengan
tujuh huruf”. Pendapat demikian, jika memang ada berarti menetapkan apa
yang telah ditiadakan oleh Allah yang maha terpuji dari Qur’an dan hukum
kitab-Nya. Allah berfirman dalah Qur’an surah an-Nisa ayat 82 yang artinya
“maka abapakah mereka tidak memperhatikan Qur’an? Kalau sekiranya
Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan
didalamnya.” Peniadaan hal tersebut (kontradiksi dalam Qur’an) oleh Allah
yang maha terpuji dari kitab-Nya yang muhkam merupakan bukti paling jelas
bahwa Dia tidak menurunkan kitab-Nya melalui lisan Rasulullah kecuali
dengan satu hukum yang sama bagi semua makhluk-Nya, bukan dengan
hukum-hukum yang berbeda dari mereka.

Pendapat keempat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan


tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf. Dijawab,
bahwa pendapat ini meskipun populer dan diterima, tetapi ia tidak dapat tegak
di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan
dengan tgas sebagai perbedaan dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna
sama. Di samping itu sebagian dari perubahan atau perbedaan yang mereka
kemukakkan pun hanya terdapat dalam qiraat-qiraan ahad. Padahal tidak

25
diperselisihkan lagi, bahwa segala sesuatu berupa Qur’an itu haruslah
mutawatir. Begitu juga sebagian besar dari perbedaan-perbedaan itu hanya
mengacu pada bentuk kata atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan
perbedaan lafaz. Perbedaan semacam ini tidak termasuk perbedaan yang
bermacam-macam dalam lafaz makna, sebab cara-cara yang berbeda dalam
pengucapan sesuatu lafaz tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai lafaz
yang satu.

Pendapat kelima menyatakan bilangan tujuh diartikan secara harfiah,


dapat dijawab, bahwa nas-nas hadis menunjukkan hakikan bilangan tersebut
secara tegas seperti “Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf,
kemudian berulang kali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah dan diapun
menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf”. “Dan sesungguhnya
tuhanku mengutusku untuk membaca Qur’an dengan satu huruf, lalu berulang-
ulang aku meminta kepada-Nya untuk memberi kemudahan kepada umatku.
Maka ia mengutusku agar membaca Qur’an denga tujuh huruf.” Jelaslah
hadis-hadis ini menunjukkan hakikat bilangan tertentu yang terbatas pada
tujuh.

Pendapat keenam menyatakan maksud tujun huruf adalah tujuh qiraat,


dapat dijawab bahwa Qur’an itu bukanlah qiraat. Qur’an adalah wahyu yang
diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedang
qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucap lafaz-lafaz wahyu tersebut. Abu
Syamah berkata: “suatu kaum mengira bahwa qiraat tujuh yang ada sekarang
ini itulah yang dimaksudkan dengantujuh huruf dalam hadis. Asumsi ini
sangat bertentangan dengan kesepakatan ahli ilmu, dan yang beranggapan
seperti itu hanyalah sebagian orang-orang bodoh saja.”

Hikmah turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf dapat disimpulkan


sebagai berikut:

1) Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang


ummi, tidak bis abaca tulism yang setiap kabilahnya mempunyai dialek
masing-masing, namun belum bisa menghafal syari’at, apalagi
mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadis, salah satunya
adalah sebagai berikut. “Ubai berkata Rasulullah bertemu dengan Jibril di
Ajrahul Mira’, sebuah tempat di Kuba, lalu berkata:’aku unu diutus kepada

26
umat yang ummi. Di antara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek
tua dan nenek-nenek jompo.’ Maka kata Jibril:’hendaklah mereka membaca
Qur’an dengan tujuh huruf.’”
2) Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar
kebahasaan ornag arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang
sebanding dengan segala macam cabang dialek Bahasa yang telah menjadi
naluru Bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab dapat
menglunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah
menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan
Qur’an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka.
Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap Bahasa melainkan
terhadap naluri kebahasaan mereka sendiri.
3) Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-
hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan
kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan daripadanya
berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an relevan untuk setiap
masa. Oleh karena itu, pada fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan
ijtihad berujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.

27
Bab 10
Qira’at Qur’an dan Para Ahlinya

Al-Qira’at adalah bentuk jamak dari kata 'qira'ah', dan berasal dari kata
'qara'a yaqra'u - qira'atan. 'Menurut istilah, qira'ah ialah salah satu aliran dalam
mengucapkan Al-Quran yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang
berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Quranul Karim. Qira'ah ini
berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasul SAW.

Tujuh imam qira'at yang terkenal masyhur dan disebutkan secara khusus
oleh Abu Bakr bin Mujahid karena menurutnya, mereka adalah ulama yang
terkanal hafalan, ketelitian, dan cukup lama menekuni dunia qira'at serta telah
disepakati untuk diambil dan dikembangkan qira'atnya, adalah:
1. Abu 'Amr bin 'Ala. Dengan dua perawinya yakni Hafs ad-Dauri
dan As-Susi
2. Ibn Katsir, dua perawinya adalah Al-Bazi dan Qunbul
3. Nafi' al-Madani, perawinya adalah Qalun dan Warsy
4. Ibn 'Amr as-Syam, perawinya Hisyam dan Ibn Zakwan
5. 'Asim al-Kufi, perawinya Syu'bah dan Hafs
6. Hamzah al-Kufi, perawinya adalah Khalaf dan Khalad
7. Al-Kisa'i, perawinya Abu al-Haris dan Hafs ad-Dauri

28
Bab 11
Kaidah-Kaidah Yang Diperlukan Para Mufasir
A. Dhamir (kata ganti)
Dhamir memiliki kaidah kebahasaan tersendiri yang disimpulkan oleh
para ahli bahasa dari al-Qur'an, sumber asli bahasa Arab, hadits nabawi, dan
perkataan orang Arab yang kata-katanya dapat dijadikan hujjah baik yang
berupa pusi (nazam) maupun prosa (nashar). Pada dasarnya, dhamir
digunakan untuk mempersingkat perkataan; menggantikan penyebutan kata
yang banyak; dan menempatinya secara sempurna tanpa merubah makna dan
tanpa pengulangan
Setiap dhamir ghaib (kata ganti oran pertama) memerlukan tempat
kembali atau penjelas, yakni kata-kata yang digantikannya. Berbeda dengan
dhamir mutakallim dan dhamir mukhattab yang dapat diketahui secara jelas
melalui keadaan yang melingkupinya. Marji' (tempat kembali) dhamir ghaib
harus didahulukan, terkadang pula dijelaskan dengan lafaz.

B. Ta'rif dan Tankir (Ism Ma'rish dan Nakiroh)


a. Penggunaan Ism Nakiroh
a) Untuk menunjukkan satu, seperti kata ‫ رجل‬dalam surah Yaasin
ayat 20 yang bermakna seorang laki-laki.
b) Untuk menunjukkan macam, seperti pada Surah al-Baqarah :
96 yang artinya "sesuatu macam dari kehidupan", yakni mencari tambahan
untuk masa depan.
c) Untuk menunjukkan satu dan macam sekaligus, misal pada
surah an-Nur : 45 yang maksudnya adalah setiap macam dari segala macam
binatang itu berasal dari air (nuthfah).
d) Untuk memuliakan keadaan, seperti kata ‫( بحرب‬al-Baqarah :
279) yang artinya peperangan yang dahsyat.
e) Untuk menunjukkan arti banyak, seperti kata ‫ االَجرا‬yang
bermakna "pahala yang banyak".
b. Penggunaan Ism Ma’rifat
a) Ta'rif dengan ism dhomir.
b) Ta'rif dengan ism 'alam (nama).
c) Ta'rif dengan ism isyarah.

29
d) Ta'rif dengan ism maushul.
e) Ta'rif dengan alif lam (al)

C. Pengulangan kata benda (ism)


Apabila sebuah ism disebutkan 2 kali, maka dalam hal ini ada empat
kemungkinan; Keduanya ma'rifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah
kedua ma'rifat, yang pertama ma'rifat yang kedua nakiroh.

D. Mufrad dan Jamak


Sebagian lafaz dalam al-Qur'an dimufradkan untuk suatu makna tertentu
dan dijamakkan untuk isyarat khusus. Oleh karena itu, dalam al-Qur'an sering
dijumpai lafaz yang hanya berbentuk jamak dan ketika diperlukan bentuk
mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonimnya (muradif.
Sebaliknya, ada juga lafaz yang berbentuk mufrad, ketika dijamakkan maka ia
dijamak dalam bentuk yang menarik.

E. Pertanyaan dan Jawaban


Pada dasarnya, jawaban harus sesuai dengan pertanyaan. Namun
terkadang jawaban itu menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan.
Hal itu mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.

F. Jumlah Ismiyah dan Fi'liyah


Jumlah ismiyah adalah kalimat nominal yang memiliki arti tetap dan
terus menerus. Sementara jumlah fi'liyah adalah kalimat verbal menunjukkan
timbulnya sesuatu dan temporal. Masing-masing mempunyai tempat
tersendiri dan tidak bisa digantikan oleh yang lain.

30
Bab 12
Perbedaab Muhkam Dengan Mutasyabih
Muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan. Dengan pengertian ini,
Allah mensifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah muhkam. Maksudnya, al-
Qur'an itu kata-katanya kokoh, jelas, indah, dan membedakan antara hak dan
bathil.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh. Yakni bila satu dari dua hal
serupa dengan yang lain. Jadi, mutasyabih adalah kesamaan dan kesesuaian
perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dan dengan
pengertian ini pula Allah mensifati al-Qur'an dengan mutasyabih. Yang
terpenting dalam muhkam dan mutasyabih adalah sebagai berikut:
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya oleh manusia,
sementara mutasyabih hanya diketahui maksudnya oleh Allah
2. Muhkam adalah ayat yang memiliki satu makna, sementara
mutasyabih memiliki banyak makna
3. Muhkam makna ayatnya dapat diketahui secara langsung, sementara
mutasyabih memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.

31
Bab 13
‘Amm dan Khass
'Amm adalah lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang
pantas baginya tanpa ada pembatasan. Juga berarti "kata yang mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.

Macam-macam ‘Amm
1. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-'amm al-baqt 'ala
‘umumih). Qadi Jalaluddin al-Balqini mengatakan, 'amm seperti ini Jarang
ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafaz âmm kecuali dalamnya terdapat
takhsis (pengkhususan). Tetapi Zarkasyi dalam Burhan mengemukakan, 'âmm
demikian banyak terdapat Our'an. In mengajukan beberapa (an-Nisa' [4]:176),
(al-Kahfi [18]:49), dan (an-Nisa’ [4]:23). ‘Amm dalam ayat-ayat ini tidak
mengandung kekhususan.
2. 'Âmm yang dimaksud khusus (al-'âmm al-murad bihi al-
khusus). Misalnya firman Allah dalam (Q.S. Ali 'Imran [3]:173). Yang di
dalam ayat ini ada dua lafadz “an-nas”.Yang dimaksud dengan "an-nâs" yang
pertama adalah Nu'aim bin Mas'ud, sedang "an-nâs" kedua adalah Abu
Sufyan. Kedua lafaz tersebut tidak dimaksudkan untuk makna umum.
3. Âmm yang dikhususkan (al-'âmm al-makhşas). 'Âmm macam
ini banyak ditemukan dalam Qur'an. Di antaranya adalah: (al-Baqarah
[2]:187) dan (Ali 'Imran [3]:97).

Ciri-ciri 'amm:
1. Lafaz ‫ كل‬dan ‫حميع‬
2. Lafaz jamak disertai alif-lam
3. Kata benda tunggal (ism mufrad) yang dirofa'kan dengan alif-lam
jinsiyah
4. Ism maushul, ism isyarat, ism nakirah nafi'
5. Jamak yang dima'rifatkan dengan idhafah.

Khass dalam nash syara' adalah menunjukkan pada dalil qath'iyyah


(dalil yang pasti) terhadap makna khusus yang dimaksud. Khass digunakan
untuk:
1. Mentakhsish ayat al-Qur'an dengan al-Qur'an
2. Mentakhsish ayat al-Qur'an dengan Sunnah

32
3. Mentakhsish Sunnah dengan al-Qur'an
4. Mentakhsish Sunnah dengan Sunnah
5. Mentakhsish al-Qur'an dengan Ijma'
6. Mentakhsish al-Qur'an dengan Qiyash

33
Bab 14
Nasikh dan Mansukh
Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan).
Nasikh ialah menghapuskan hukum syara' dengan dalil hukum syara' yang
lain. Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Singkatnya,
nasikh adalah yang menghapus, sementara mansukh adalah yang dihapus.

Dalam naskh diperlukan beberapa syarat, yaitu:


1. Hukum yang menghapus dan dihapus adalah hukum syara'
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar'i yang
datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya dimansukh
3. Hukum yang dihapus tidak dibatasi waktu.
Macam-macam Naskh dalam Qur’an
1. Naskh lafadz dan hukum.
2. Naskh hukum, sedang lafadz tetap.
3. Naskh lafadz, sedang hukumnya tetap.

Hikmah Naskh
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya
atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika
nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan
pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.

34
Bab 15
Mutlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu
yang qayyid atau membatasi. Jadi ia hanya menunjukkan kepada satu individu
tidak tertentu dari hakikat tertentu Lafaz muthlaq ini pada umumnya berbentuk
nakirah dalam konteks kalimat positif.
Muqayyad adalah lafaz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid
(batasan), seperti kata-kata “raqabah” (budak) yang dibatasi dengan “iman”
dalam ayat: ‫ير َرقَبَة ُمؤْ مِ نَة‬
ُ ‫( فَتَ ْح ِر‬Maka [hendaklah pembunuh itu) memerdekakan
seorang budak yang beriman). (an-Nisa’ [4]:92).

Macam-macam bentuk Mutlaq dan Muqayyad


1. Sebab dan hukumnya sama
Seperti dalam puasa untuk kaffaroh sumpah. Mutlaqnya, lafadz itu
dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara
mutlak: َ‫اص َيا ُم ث َ ََلث َ ِة ايَّام ٰذلِك‬
ِ َ‫( ف‬maka kafarahnya puasa selama tiga hari). Sedangkan
muqayyadnya, dibatasi dengan “tatabu” (berturut-turut) dalam qira’ah Ibnu
Mas’ud. Dalam hal seperti ini, lafaz mutlaq dibawa kepada muqayyad. Artinya
yan dimaksud lafaz mutlaq itu sama dengan yang muqayyad.
2. Sebab sama namun hukumnya berbeda
Seperti kata “tangan” dalam wudu dan tayamum. Membasuh tangan
dalam berwudu dibatasi sampai siku. Allah berfirman “Basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku...” (al-Ma’idah [5]:6). Dalam hal ini lafaz yang
mutlak tidak di bawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya.
3. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama
Terbagi pada dua:
a. Taqyid, hanya satu batasan
Seperti pada ayat yang pertama tadi: “Dan tidak patut bagi seorang yang
beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman..”. (an-
Nisa’ [4]:92). Muqayyad disini hanya memiliki satu batasan yaitu “beriman”
b. Lebih dari satu batasan
Sedang dalam kafarah zihar ia diungkapkan secara mutlaq: “Dan orang-
orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang

35
budak sebelum kedua suami istri itu bercampur”. (al-Mujadalah (58) 3). Disini
ada dua batasan, yaitu “memerdekakan seorang budak” dan “sebelum suami
istri bercampur”
4. Sebab berbeda dan hukumnya berlainan
Seperti dalam kata “tangan” yang berbeda dalam bab berwudu dan
pencurian. Dalam bab berwudu, tangan dibatasi sampai dengan siku pada Al-
Maidah :6. Dalam bab pencurian, tangan tidak dibatasi pada Q.S Al-Maidah
:38. “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri potong lah
tangan keduanya...” Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa
kepada muqayyad karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan.

36
Bab 16
Mantuq dan Mafhum
Manthuq adalah lafaz yang diucapkan sebagaimana yang diucapkan.
Sedangkan mafhum adalah suatu ketentuan yang dipahami dari manthuq
tersebut.

Manthuq terbagi pada tiga, yaitu:


1. Nass, yaitu lafaz yang bentuknya telah dapat menunjukkan
makna yang dimaksud secara tegas (sarih).
2. Zhahir, ialah lafaz yang maknanya dapat segera dipahami
ketika diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah.
3. Mu'awwal adalah lafaz yang diartikan dengan marjuh karena
ada suatu dalil yang menghalangi maksud makna yang rajih.

Sedangkan mafhum, secara garus besar terbagi pada dua, yaitu:


1. Mafhum muwafiqah (perbandingan yang sepadan)
a. Fahwal khitab, yakni apabila yang dipahami 'illatnya lebih
tinggi. Misal berkata “ah” kepada orang tua, maka memukul jelas dilarang.
b. Lahnal khitab, yakni apabila yang dipahami tarafnya sama.
Misal, larangan memakan harta anak yatim, maka menyianyiakan atau yang
senilai dengannya juga dilarang.
2. Mafhum mukholafah (perbandingan terbalik)
a. Mafhum shifat, berdasarkan sifat. Contoh dalam al-Hujurat : 6
"Apabila orang fasik datang membawa berita kepadamu maka periksalah",
maka mafhumnya 'orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa.
b. Mafhum syarat, berdasarkan syarat yang ada. Contoh dalam
ath-Thalaq : 6 "apabila mentalak dalam keadaan hamil maka berilah
nafkahnya". Mafhumnya “jika tidak hamil tak perlu dinafkahi lagi”.
c. Mafhum ghayyah, berdasarkan tercapainya ghayyah. Ditandai
dengan kata, dsb.
d. Mafhum hasr, berupa pembatasan. Contoh (QS Al. Fatihah : 5)
"hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami
meminta pertolongan", mafhumnya ‘tidak boleh meminta dan menyembah
selain Allah’.

37
Bab 17
Kemukjizatan Al-Qur’an
I'jaz adalah menetapkan kelemahan, yakni kelemahan/ketidakmampuan
mengerjakan sesuatu, lawan dari mampu. Apabila kemukjizatan terbukti,
maka nampaklah kemampuan “mu'jiz” (sesuatu yang melemahkan). Banyak
sekali mukjizat yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW, salah satunya
adalah al-Qur'an.

Aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an:


1. Tingkatan Balagah atau Bahasanya sangat tinggi
2. Mengandung Badi’
3. Memberitakan tentang hal yang ghaib
4. Mengandung Ilmu Hikmah
Dan masih banyak lagi. Dengan aspek-aspek kemukjizatan tersebut,
tidak satupun seseorang dapat membuat sesuatu yang bisa menandingi al-
Qur,an walaupun hanya satu ayat.
Bahkan Rosulullah pernah menantang orang Arab yang fasahih dan ahli
bahasa serta sastra (balaghah) dengan 3 tahapan:
1. Menantang mereka dengan seluruh a-Qur'an, dengan mengajak
siapapun yang mereka punya (QS al-Isra : 88).
2. Menantang mereka dengan 10 surah saja dari al-Qur'an (QS
Hud : 13-14).
3. Menantang mereka dengan satu surah saja (QS Yunus : 38).

38
Bab 18
Amsalul Qur’an
Definisi Amsal
Amsal adalah bentuk jamak dari kata Masal, Misl, dan masil yang
artinya Misal, permisalan, contoh atau bisa bermakna analogi atau
perumpamaan. Maka Amsalul Qur'an adalah analogi-analogi atau pemisalan-
pemisalan dalam al Qur'an yang membantu kita memahami isi al Qur'an
dengan Tamsil yang menampilkan makna-makna yang hidup dalam pikiran,
seperti menyerupakan sesuatu yg ghaib dengan yang hadir, yang abstrak
dengan yang konkrit.

Macam-macam amsal dalam Qur’an:


1. Amsal musarrohah
ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafaz masal atau sesuatu yang
menunjukkan tasybih.
2. Amsal kaminah
yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih
secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
3. Amsal mursalah
aitu yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamsil
(pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam
kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan
kepada yang serupa dengannya.

Faedah-faedah amsal:
1. Menonjolkan sesuatu ma'qul (yang hanya bisa dijangkau akal,
abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga
akal mudah menerimanya; sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan
tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang
dekat dengan pemahaman.
2. Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu
yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
3. Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam
ungkapan yang padat.
4. Mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai
dengan isi masal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa.

39
5. Menjauhkan (tanfir, kebalikan no.4), jika isi masal berupa
sesuatu yang dibenci jiwa.
6. Untuk memuji orang yang diberi masal.
7. Untuk menggambarkan (dengan masal itu) sesuatu yang
mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
8. Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam mem
berikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat
memuaskan hati. Allah banyak menyebut amsal i dalam Qur'an untuk
peringatan dan pelajaran.

40
Bab 19
Qosam-Qosam Al-Qur’an
Menurut bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang
berarti sumpah. Sedangkan istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan
yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan
dengan menggunakan kata-kata qasam.
Yang dimaksud dengan aqsamul qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu
tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia
sumpah-sumpah Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur’an. Selain pengertian
diatas, qasam dapat pula diartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an menegaskan
atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan menyebut nama Allah atau
ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam al-Qur’an, ungkapan untuk
memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqsama, dan kadang-
kadang dengan menggunakan kata halafa

Huruf qasam yang dipakai ada tiga, yakni:


1. Huruf ‫“ و‬wawu”,seperti kata "‫"وهلل‬
2. Huruf ‫“ ب‬ba”,seperti kata "‫ "بالقيامة‬Bersumpah dengan
menggunakan huruf ba bisa disertai kata yang menunjukkan sumpah, dan
boleh pula tidak menyertakan kata sumpah. Sumpah dengan menggunakan
huruf ba juga bisa menggunakan kata terang, dan bisa pula menggunakan kata
pengganti (dhomir) sebagaimana dalam ucapan keseharian.
3. Huruf ‫“ ت‬ta”,seperti kata "‫ "تاهلل‬Sumpah dengan menggunakan
huruf ta tidak boleh menggunakan kata yang menunjukkan sumpah dan
sesudah ta harus disebutkan kata Allah atau rabb.
4. Huruf ‫“ ال‬La” nafy. Di beberapa fi’il qasam terkadang didahului
“La” nafy, seperti “ ‫( ”الآقسم‬Tidak, Aku bersumpah...).

Unsur-unsur Qasam Qasam terbagi menjadi tiga unsur yaitu adat qasam,
muqsam bih dan muqsam ‘alaih.
1. Adat qasam adalah sighat yang digunakan untuk menunjukkan
qasam, baik dalam bentuk fi’il maupun huruf seperti ba, ta, dan wawu sebagai
pengganti fil’il qasam.
2. Al-Muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh
Allah. Sumpah dalam al-Qur’an ada kalanya dengan memakai nama yang
Agung (Allah), dan ada kalanya dengan menggunakan nama-nama ciptaan-

41
Nya. Qasam dengan menggunakan nama dalam Al-Qur’an hanya terdapat
dalam tujuh tempat yaitu:
1) QS. Adz-dzariyat ayat 43
2) QS. Maryam ayat 68
3) QS. Yunus ayat 53S.
4) QS. Al-Hijr ayat 92
5) QS. At-Taghabun ayat 17
6) QS. An-Nisa ayat 65
7) QS. Al-Ma’arij ayat 40

3. Al-Muqsan ‘alaih kadang juga disebut jawab qasam. Muqsam


‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi
sebagai jawaban dari qasam. Di dalam Qur’an terdapat dua muqsan ‘alaih,
yaitu yang disebutkan secara tegas atau dibuang jenis yang pertama.

42
Bab 20
Jadal dalam Qur’an
Jadal jadwal dan jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan
berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari ‫َحدَ ْلتُ ْال َحب ُل‬
yang maknanya pihak yang berdebat itu mengokohkan pendapatnya masing-
masing.
Dikatakan dalam Qur’an (al-Kahfi [18]:54) bahwa jadal atau berdebat
adalah tabiat manusia. Dan dalam Qur’an (an-Nahl [16]:125), Rosulullah
diperintahkan mendebat kaum musyrikin dengan cara yang baik. Disampipng
itu, Allah memperbolehkan kita berdisjusi dengan dengan orang kafir dengan
cara yang baik, itu tertera dalam (QS. an-Ankabut [29]:46).
Dalam al-Qur’an pun banyak sekali perdebatan. Seperti perdebatan nabi
Musa dengann kaumnya, perdebatan nabi Isa dengan kaumnya, perdebatan
hawariyyun dengan musuh nabi isa, pembelaan Allah terhadap nabi
Muhammad, dan masih banyak lagi.

43
Bab 21
Kisah-Kisah Qur’an
Kisah berasal dari kata “al-qassu” yang artinya mencari atau mengikuti
jejak. Kata “al-qassu” masdaranya adalah “Qasas” yang artinya berita yang
berurutan.
Qasas Alquran adalah pemberitaan Quran terhadap hal ihwal umat yang
terdahulu, nubuat kenabian yang terdahulu, dan peristiwa yang telah terjadi.
Al-Qur'an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu,
sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri, dan peninggalan atau jejak setiap
umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan
mempesona.

Macam-macam kisah dalam Qur’an:


▪ Kisah Para Nabi, seperti kisah nabi Nuh, Ibrahim, Musa Harun, Isa,
Muhammad, dan nabi serta rosul lainnya.
▪ Kisah orang-orang sholeh yang tidak dipastikan kenabiannya, seperti
Talut dan Jalut, Habil dan Qobil, Penghuni gua, Dzulqornain, Qorun, Maryam,
Ashabul Ukhdud, Ashabul Kahfi, Ashabus sabti, dan lain-lain.
▪ Kisah-kisah yang terjadi pada zaman Rosulullah.
▪ Kisah-kisah yang akan terjadi.

Faedah kisah-kisah Qur’an


1) 1) Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan
menjelaskan pokok-pokok syari'at yang dibawa oleh para nabi.
2) Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas
agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya
kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para
pembelanya.
3) Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan
terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
4) Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya
dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu
sepanjang kurun dan generasi.
5) Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang
membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan

44
menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah
dan diganti.
6) Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik
perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang lerkan- dung di
dalamnya ke dalam jiwa.

45
Bab 22
Terjemah Al Qur’an
Terjemah terbagi pada tiga:
1. Harfiyyah, yakni terjemahan lafaz dari satu bahasa ke lafaz
bahasa lain sehingga susunan tertib bahasa kedua seperti bahasa pertama. Hal
seperti ini dilarang karena Allah mengeluarkan al-Qur'an dengan bahasa Arab
yang memiliki kaidah lafaz dan huruf yang sempurna.
2. Maknawiyyah, menjelaskan makna pembicaraan dengan
bahasa lain tanpa terikat dengan tertib bahasa pertama. Pendapat yang dipilih
oleh siapa yang dianggapnya sebagai hujan tentang kebolehan menerjemahkan
makna asli Alquran tidaklah mutlak sebab Sebagian ulama membatasi
kebolehan penerjemahan itu sesuai dengan keadaan darurat dalam
menyampaikan dakwah yaitu yang berkenan dengan tauhid dan rukun rukun
ibadah tidak lebih dari itu sedang bagi mereka yang ingin menambah
pengetahuannya diperintahkan untuk mempelajari.
3. Tafsiriyyah, penafsiran al-Qur'an dengan cara mendatangkan
makna yang dekat mudah dan kuat kemudian penafsiran ini diterjemahkan
dengan penuh kejujuran dan kecermatan. Usaha seperti ini tidak ada
halangannya karena Allah mengutus Muhammad untuk menyampaikan
risalah Islam kepada seluruh umat manusia dengan segala bangsa dan ras yang
berbeda-beda. Dalam pada itu juga salah satu syarat risalah ialah balik dalam
Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab itu penyampaiannya kepada
umat Arab merupakan suatu keharusan. Tetapi umat lain yang tidak pandai
bahasa Arab atau tidak mengerti sama sekali, penyampaian dakwah kepada
mereka bergantung pada penerjemahan dakwah itu ke dalam bahasa mereka.
Padahal kita telah mengetahui sebagaimana uraian tadi kemustahilan
terjemahan harfiah dan keharamannya juga kemustahilan tentang makna sulit
menerjemahkan makna yang asli dan bahaya juga apa yang terdapat di
dalamnya. Oleh karena itu jalan satu-satunya dapat ditempuh ialah
menerjemahkan tafsir al-Qur'an yang mengandung asas dakwah dengan cara
yang sesuai dengan nama kitab-kitab dan Sunnah al-Qur'an ke dalam bahasa
setiap suku bangsa maka dengan cara ini sampailah dakwah kepada mereka
dan tegaklah kehujahan.

46
Bab 23
Tafsir dan Takwil
Definisi
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-
fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba –
yadribu” dan “nasara – yansuru”.
Tafsir menrurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah:
“Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Quran, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik Ketika berdiri sendiri maupun
Ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya Ketika
tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
”Menurut Az-Zarkasyi: “Tafsir adalah ilmu untuk memahamii
Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-
maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikamhnya.”

Ta’wil secara Bahasa berasal dari kata “awl”, yang berarti Kembali ke
asal. Ta’wil dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya
mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau
sesuatu makna yang kepedanya suatu kalam dikembalikan. Kalam ada dua
macam, insy’ dan ikhbar. Salah satu yang termasuk insya adalah amr
(kalimat perintah).
Maka ta’wilul amr ialah esensi perbuatan yang diperintahkan.
Sedang ta’wilul ikhbar ialah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang
benar-benar terjadi.
Kedua, ta’wilul kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya.
Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibn Jarir at-Tabari dalam Tafsirnya
dengan kata-kata: “Pendapat tentang ‘ta’wil’ berbeda pendapat tentang ayat
ini. “ Jadi dimaksud dengan kata “ta’wil” di sini adalah tafsir.

Perbedaan Tafsir dan Takwil:


1) Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan
perkataan dan menjelaskan maknanya, makna “ta’wil” dan “tafsir” adalah
dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.

47
2) Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud
dari suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntutan) adalah esensi
perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi
sesuatu yang diberikan.
3) Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam
Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang yang sahih karena
maknanya telah jelas dan gambling. Sedangkan ta’wil adalah apa yang
disimpulkan para ulama.
4) Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam
(menerangkan) lafadz dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak
dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.

48
Bab 24
Syarat-Syarat dan Adab Bagi Mufasir
Syarat-syarat bagi mufasir
Para ulama merumuskan syarat-syarat untuk menjadi seorang mufasir.
Syarat ini dirumuskan agar tidak terjadi pelencengan dari ayat ataupun
makna al-Qur’an, setidaknya ada sembilan:
1. Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap
jiwa pemiliknya dan seringkali mengubah dan berkhianat dalam penyampaian
berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong
untuk membela kepentingan diri sendiri
3. Menafsirkan lebih dulu Qur’an dengan Qur’an, karena sesuatu
yang masi global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu
yang dikemukakan secara ringkas ringkas, di suatu tempat, telah diuraikan di
tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunah befungsi sebagai
pensyarah Qur’an dan penjelasnya
5. Apabila tidak didapat penafsiran dalam sunah, hendaklah
meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang
tafsir Qur’an
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunnah
maupun dalam pendapat para sahabat maka Sebagian besar ulama dalam hal
ini menganjurkan untuk memeriksa pendapat tabi’in
7. Pengetahuan Bahasa Arab dengan segala cabangnya, karena
Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab dan pemahaman tentang amanat
bergantung pada penguraian mufradat (kosa kata) lafadz-lafadz dan
pengertian-pengertian
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan
Al-Qur’an, seperti ilmu qira’ah karena dengan ilmu ini dapat diketahui
bagaimana cara mengucapkan lafadz-lafadz dengan benar
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat
mengukuhkan sesuatu makna atas yang lain atau menimpulkan makna yang
sejalan dengan syariat-syariat.

Adab-adab bagi mufasir:

49
1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu
bergantung pada niat.
2. Berakhlak baik, karena musafir seperti seorang pendidik yang
didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan
yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.
3. Taat dan beramal, karena Ilmu akan lebih dapat diterima
melalui orang yang mengamalkannya ketimbang mereka yang pintarcnamun
tidak mengamalkan ilmunya.
4. Jujur dan Teliti dalam penukilan, Sehingga mufasir tidak
berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkan.
5. Tawadu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah
merupakan dinding kokoh yang menghalagi antara seorang alimm dengan
kemanfaatan ilmunya.
6. Berjiwa mulia, memang sudah seharusnya seorang alim
menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu
kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta yang buta.
7. Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling
utama adalah menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa yang
zalim.
8. Berpenampilan baik, sehingga menjadikan mufasir berwibawa
dan terhormat.
9. Bersikap tenang dan mantap. Mufasir hendaknya tidak tergesa-
gesa dalam berbicara seorang mufasir hendaknya berbicara dengan tenang dan
jelas.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya.
Seorang mufasir hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan
orang yang lebih pandai.
11. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran
secara baik, seperti memulai menyebutkan asbabun nuzul, kosakata,
menerangkan susunan kalimat, dan lain sebagainya.

50
Bab 25
Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
A. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Nabi memahami Qur'an secara global dan terperinci. Dan adalah
kewajibannya menjelaskannya kepada para sahabatnya. Para sahabat juga
memahami Qur'an karena Qur'an diturunkan dalam bahasa mereka, sekalipun
mereka tidak memahami detail-detailnya. Ibn Khaldun dalam
Muqaddimahnya menjelaskan: "Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab dan
menurut uslub-uslub balagahnya. Karena itu semua orang Arab memahaminya
dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan
kalimatnya." Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya,
sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka boleh jadi
diketahui oleh yang lain. Para sahabat dalam menafsirkan Qur'an pada masa
ini berpegang pada:
❖ Qur'anul Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di
satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula
sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul
oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang
dinamakan "Tafsir Qur'an dengan Qur'an". Penafsiran seperti ini cukup
banyak contohnya.
❖ Nabi mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan
Qur'an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepadanya ketika
mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Di antara kandungan
Qur'an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta'wilnya kecuali melalui
penjelasan Rasulullah.
❖ Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak
mendapatkan tafsiran dalam Qur'an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun
yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, mereka melakukan ijtihad
dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka
adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab,
memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalagahan yang
ada di dalamnya.

B. Tafsir pada masa Tabi’in


Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan
tafsir, maka sebagian tokoh tabiin yang menjadi murid dan belajar kepada

51
mereka pun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir, para tabiin
berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di
samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan
pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi
dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Qur'an, sehingga
mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud.
Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi,
sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang
kuat ialah jika para tabiin sepakat atas sesuatu pendapat, maka bagi kita
wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil yang
lain. Ibn Taimiyah berkata: Syu'bah bin Hajjaj dan lainnya berpendapat,
"Pendapat para tabiin itu bukan hujjah." Maksudnya, pendapat-pendapat itu
tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka.
Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka
tidak diragukan kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka
berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik
bagi kalangan sendiri (tabiin) maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam
keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa Qur'an, sunah,
keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut. Pada
masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan
periwayatan (talaqqi wa talqin).

C. Tafsir pada masa Pembukuan


Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayyah dan awal
dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadis mendapat prioritas utama dan
pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah
satu bab dari sekian banyak bab yang di cakupnya. Pada masa ini penulisan
tafsir belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir Qur'an, surah
demi surah dan ayat demi ayat, dari awal Qur'an sampai akhir. Perhatian
segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi,
sahabat atau tabiin sangat besar di samping perhatian terhadap pengumpulan
hadis. Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai
kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus
meningkat, masalah-masalah "Kalam" semakin berkobar, fanatisme mazhab
menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampur baur

52
dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhab
masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda polusi udara tidak
sehat tersebut. Sehingga para mufasir dalam menafsirkan Qur'an berpegang
pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan.

D. Tafsir Tematik (Maudu’)


Pada masa pembukuan di samping tafsir bercorak biasa atau umum,
tafsir tematik yang mengkaji masalah-masalah khusus berjalan beriringan
dengannya. Misalnya, Ibn Qayyim menulis kitab at-Tibyān fi Aqsāmil Qur'ān,
Abu 'Ubaidah menulis sebuah kitab tentang Majāzul Qur 'ān, ar-Rāgib al-
Asfahani menyusun Muf- rādatul Qur 'ān, Abu Ja'far an-Nahas menulis an-
Nāsikh wal Mansükh, Abul Hasan al-Wahidi menulis Asbābun Nuzül dan al-
Jassās menulis Ahkāmul Qur 'ān. Dan kajian-kajian Qur'ani pada masa
modern, tidak satu pun yang terlepas dari penafsiran sebagian ayat-ayat Qur'an
untuk salah satu aspek dari aspek-aspek tersebut.

E. Tafsir bil-Ma’sur
Tafsir bil-ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada al-Qur'an atau
riwayat yang shahih sesuai urutan yang telah disebutkan di muka dalam
syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an (ayat
dengan ayat), al-Qur'an dengan Sunnah, perkataan sahabat karena merekalah
yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar
tabi'in. Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Dalam hal ini
ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada
dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna untuk
diketahui selama tidak ada riwayat yang shahih mengenainya.
Tafsir bil-ma'sûr adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena
ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman
untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami
Kitabullah.

F. Tafsir bil-Ra’yi
Tafsir bir-ra'yi ialah, tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya
mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat)
yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk dalam pemahaman
(terhadap Qur'an) yang sesuai dengan roh syari'at dan didasarkan pada nas-

53
nasnya. Menafsirkan Qur'an dengan ra'yu dan ijtihad semata tanpa ada da- sar
yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan.

G. Tafsir dengan Riwayat Isro’iliyat


Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka masih membawa pengetahuan
keagaman mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat
membaca kisah-kisah dalam al-Qur'an, terkadang mereka memaparkan rincian
kisah itu seperti yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Adalah para sahabat
cukup berhati-hati terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan itu, sesuai
dengan pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: "Janganlah kamu
membenarkan (berita-berita yang dibawa) Ahli Kitab dan jangan pula
mendustakannya, tetapi katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kami..." (HR. Al-Bukhari)
Mereka pun terkadang menceritakannya juga, karena menurut hemat
mereka, hal tersebut diperkenankan berdasarkan sabda Rasulullah,
"Sampaikanlah dariku waklaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah
dari Bani Israil, karena yang demikian tidak dilarang. Tetapi barangsiapa
berdusta alas namaku dengan sengaja, maka bersiap-siaplah menempati
tempat duduknya di neraka." (HR. Al-Bukhari)
Maksudnya, ceritakanlah dari Bani Israil sesuatu yang tidak kamu
ketahui kedustaannya. Adapun pengertian hadits pertama, "Janganlah kamu
membenarkan Ahli Kitab dan janganlah pula mendustakannya...." diterapkan
pada hal-hal yang diceritakan mereka itu, mungkin benar dan mungkin pula
dusta. Dengan demikian, tidak ada kontradiksi antara kedua hadits tersebut.

H. Tafsir Sufi
Apabila yang dimaksud dengan tasawwuf adalah perilaku ritual yang
dilakukan untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari kemegahan
duniawi melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, maka yang demikian
merupakan hal yang tidak diragukan lagi, jika tidak dikatakan sangat disukai.
Akan tetapi sekarang ini "tasawwuf" telah berpecah menjadi filsafat teoritis
khusus yang tidak ada hubungannya dengan wara, takwa dan kesederhanaan,
serta fil safatnya pun telah mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan
dengan Islam dan akidahnya.
Menafsirkan Qur’an dengan pandangan sufi yang salaf diperbolehkan,
karena tasawwuf tidak bertentangan dengan Islam. Namun jika tafsir yang

54
digunakan adalah tafsir sufi yang sesat atau diperdebatkan, maka tafsirnyapun
diragukan bahkan bisa haram digunakan.

I. Tafsir Isyari
Tafsir Isyari adalah tafsir kalangan sufi yang lurus. Tafsir yang
menyingkap pesan-pesan tersirat dalam al-Qur’an. Setiap ayat mempunyai
makna zahir dan makna batin. Yang zahir ialah apa yang segera mudah
dipahami akal pikiran sebelum yang lain, sedang yang batin ialah isyarat
isyarat tersembunyi di balik itu yang hanya nampak bagi ahli sulik. Tafsir
isyari ini jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan menjadi suatu
kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbat yang baik dan sesuai dengan
apa yang ditunjukkan oleh zahir bahasa Arab serta didukung oleh bukti
kesahihannya, tanpa per tentangan, maka ia dapat diterima.

J. Gara’ibut Tafsir (tafsir yang janggal)


Di antara mufasir ada yang sangat suka mengemukakan kata kata yang
asing atau janggal dalam menafsirkan Qur'an sekalipun ia menyimpang dari
jalan lurus dan menempuh jalan berbahaya. Mereka membebani diri sendiri
dengan hal-hal yang tidak mampu dikerjakan dan memeras pikiran untuk
sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali melalui tanqifi (penjelasan dari
Nabi). Maka mereka tampil dengan membawa kedunguan dan kesesatan yang
dipandang hina oleh akal mereka sendiri.

55
Bab 26
Kitab-Kitab Tafsir Terkenal
1. Tafsir Ibn Abbas, dikenal dengan julukan "Turjumanul
Qur'an". Rawi dari Ibn Abbas cukup banyak jumlahnya dan berbeda tingkat
shahih-dhaif. Berikut periwayatannya yang paling masyhur:
a. Melalui Mu'awiyah bin Salih - 'Ali bin Abi Thalhah - Ibn
Abbas. Bukhari berpegang pada riwayat ini.
b. Qais bin Muslim - 'Ata bin as-Sa'ib - Sa'ib bin Jubair - Ibn
Abbas. Dianggap shahih oleh Bukhari-Muslim.
c. Ibn Ishaq - Muhammad bin Muhammad - Zaid bin tsabit -
Ikrimah - Ibn Abbas.
2. Jam'ul Bayan fi Tafsiril-Qur'an, Ibn Jarir ath-Thabari, terdiri
dari 30 jilid. Beraliran tafsir bil-ma'sur. Tafsir ini adalah kitab tafsir tertua
yang sampai kepada kita secara lengkap.
3. Al-Muharrarul Wajiz fi Tafsiril Kitabil-'Aziz, Ibn 'Athiyah.
Seorang hakim di Andalusia yang terkenal. Didalamnya tidak terbatas pada
tafsir bil-manqul, tapi ditambah semangat ilmiah sebagai refleksi kecerdasan
yang membuat tafsir ini sangat digemari. Berbentuk sepuluh jilid. Menurut Ibn
Taimiyyah, tafsir Ibn 'Athiyah lebih baik dibanding tafsir Zamakhsyari.
4. Tafsirul Qur'anul-'Azim, Ibn Katsir. Menafsirkan berdasarkan
hadits dan atsar yang disandsrkan kepada pemiliknya. Keistimewaanya
terletak pada penolakannya terhadap riwayat yang munkar.
5. Mafatihul Gazi, ar-Razi. Terdiri dari 8 jilid besar.
Mengkorelasikan ayat dengan ayat sehingga banyak menguraikan ilmu
eksakta, filsafat, falak, dan kajian ketuhanan lainnya. Kitab ini menjadi
ensiklopedi ilmiah tentang Ilmu Kalam.
6. Al-Bahrul Mu'it, Ibn Hayyan. Terdiri dari 8 jilid besar. Banyak
menerangkan i'rab dan masalah nahwu.
7. Al-Kasyaf'an Haqa'qit-Tanzil wa 'Uyunil Aqawil fi Wujuhit-
Ta'wil, az-Zamakhsyari. Ulama jenius ahli nahwu yang berhasil
mengemukakan al-Qur'an secara indah secara lughowi.

56
Bab 27
Riwayat Hidup Beberapa Mufasir
A. Ibn Abbas
➢ Nama lengkap : Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin
Hasyim bin Abdul Manaf (sepupu Rosulullah)
➢ Kedudukan/Gelar : Turjumanul Qur'an (juru tafsir Qur'an)
➢ Karangan : tidak, namun diriwayatkan oleh banyak perawi
➢ Tafsir : Tafsir Ibn Abbas
➢ Riwayat singkat : Merupakan salah satu sahabat utama Nabi
SAW. yang cukup banyak meriwayatkan hadis. Wafat di Taif 65 H.

B. Mujahid bin Jabr


➢ Nama lengkap : Mujahid bin Jabr al-Makki
➢ Kedudukan/Gelar : Pemimpin mufassir generasi tabi'in
➢ Karangan : al-Bidayah wan-Nihayah
➢ Tafsir : Tafsir al Qur’an
➢ Riwayat singkat : Meriwayatkan dari 'Ali, Sa'ad bin Abi
Waqash, dll. Lahir pada 21 H wafat 102-104 H. Mempelajari tafsir Ibn Abbas
sebanyak 30 kali.

C. Ath-Thabari
➢ Nama lengkap : Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin
Katsir Abu Ja'far at-Thabari.
➢ Kedudukan/Gelar : Ulama yang sangat sulit dicari
penggantinya.
➢ Karangan : Jami'ul Bayan fi Tafsiril Qur'an, Tarikhur-Rijal,
Ikhtilaful Fuqaha, Kitabul Basit fil Fiqh, dan lainnya.
➢ Tafsir : Jami'ul Bayan fi Tafsiril Qur'an, rujukan bagi tafsir bil-
ma'tsur.
➢ Riwayat singkat : Ulama yang menguasai banyak ilmu, perawi
hadits. Berasal dari Amol, lahir 224 H. dan wafat 310 H di Baghdad.

D. Ibn Katsir
➢ Nama lengkap : Isma'il bin Amr al-Quraisy bin Kasir ad-
Dimasyqi

57
➢ Kedudukan/Gelar : Imaduddin Abul Fida al-Hafiz al-Muhaddis
asy-Syafi’i, Ahli fiqh dan hadits, sejarawan ulung dan mufasir paripurna.
➢ Karangan : al-Bidayah wan-Nihayah (sejarah), al-Kawakibud
(sejarah), Jami’ul Masanid, dan al-Wadihun Nafis fi Manaqibil Imam
Muhammad bin Idris.
➢ Tafsir : Tafsirul Qur'an; al-Ijtihad fi Talabil Jihad
➢ Riwayat singkat : Lahir 705 H. dan wafat 774 H. Ulama’ yang
sarat dengan keilmuan. Tafsir nya memiliki ciri khas : tafsir al-Qur'an dengan
al-Qur'an.

E. Fakhruddin ar-Razi
➢ Nama Lengkap : Muhammad bin Umar bin Hasan at-Tamimi
al-Bakri at-Tabaristani Fakhruddin ar-Razi.
➢ Kedudukan/Gelar : Ibnul Khatib asy-Syafi’i al-Faqih
➢ Karangan : Ihkamul Ahkam, Risalatul Juhar, al-Milal wan-
Nihal, dan masih banyak lagi.
➢ Tafsir : Mafatihul Gaib dan Asrarut Tanzin wa Anwarut Ta’wil
➢ Riwayat singkat : Lahir di Ray 543 H. dan wfafat di Harah 606
H.

F. Az-Zamakhsyari
➢ Nama lengkap : Abdul Qasim Mahmud bin Umar al-
Khawarizmi az-Zamakhsyari.
➢ Kedudukan/Gelar : Jarullah, Imam ilmu bahasa, ma’ani dan
bayan.
➢ Karangan : al-Minhaj, al-Mufassal, Asasul Balaghah, al-Fa’iq,
Ru’usul Masa’ilil Fiqhiyah
➢ Tafsir : al-Kasysyaf
➢ Riwayat singkat : Lahir 27 Rajab 467 H. di Zamakhsyar,
Khawarizm, Turkistan. Dan wafat 538 H. di Jurjaniah, Khawarzm.

G. Asy-Syaukani
➢ Nama lengkap : Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-
Syaukani as-San’ani
➢ Kedudukan/Gelar : Imam Mujtahid

58
➢ Karangan : Fathul Qadir, Nailul Autar, Irsyadul Fuhul, al-
Fathur ar-Rabbani
➢ Tafsir : Fathul Qadir
➢ Riwayat singkat : Lahir di Syaukan 1173 H., dibesarkan di
San’a, dan wafat 1250 H.

59
Daftar Pustaka
● Al Qattan, Manna', Khalil. 2016. Studi Ilmu Ilmu Qur'an. Jakarta:
Litera Antarnusa

60

Anda mungkin juga menyukai