Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH AL-QUR’AN

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Faizah Ali Sybromalisi, MA

Kelompok 1 :

Moh. Anas Al-Mubarok

Sarah Safira

Supyandi

UU Abdullah

PENDIDIKAN KADER ULAMA

MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih


dan Penyayang. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang dengan ridhonya saya dapat
menyelessikan makalah dengan baik dan lancar. Makalah ini dibuat berdasarkan referensi
yang didapat dari berbagai sumber diantaranya Buku dan Internet.

Makalah ini diharapkan bisa menambah pengetahuan dan wawasan bagi prmbaca dan
bagi penulis. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ulumul Quran”
Pendidikan Kader Ulama MUI DKI Jakarta.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran semoga makalah ini
dapat lebih bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi penulisnya. Aamiin.

Jakarta, 29 Maret 2023

Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al- Qur’an adalah mukjizat islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan. Semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah SWT menurunkannya
kepada Nabi Muhammad SAW , demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan
hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah
menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli arab yang sudah
tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi
mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya
kepada Rasulullah SAW.1
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad
Saw, yang keotentikan (keaslian) al-Qur’an dijamin oleh Allah SWT. Hal ini sesuai
dengan firman-Nya dalam Q. S al-Hijr ayat 9, yaitu:

‫َح ِفظُو َن‬ ِ


ََٰ ‫إِنَّا نَ ْح ُن نَ َّزلْنَا ٱلذ ْك َر َوإِنَّا لَهُۥ ل‬
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.2
Ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa penurunan al-Qur’an dan
pemeliharaan kemurnian-Nya adalah merupakan urusan Allah SWT. Dia-lah yang
menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat
Jibril, dan Dia pulalah yang akan mempertahankan keaslian atau orisinalitasnya
sepanjang waktu.3
Namun demikian, tidak berarti kaum muslimin boleh berpangku tangan begitu
saja, tanpa menaruh kepedulian sedikitpun terhadap pemeliharaan al-Qur’an.
Sebaiknya kaum muslimin harus bersikap pro aktif dalam memelihara keaslian kitab
sucinya.
Dalam firman Allah yang telah penulis sebutkan di atas, tepatnya pada kata
nahnu dan nazzalna serta wa-inna yang menggunakan redaksi jamak (mutakallim ma’a

1 H. Aunnur Rafiq El -Mazni, Lc, MA, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,terjemah Mabahits Fi Ulumul

Qur’an, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2006), h.3.


2 https://tafsirweb.com/4159-surat-al-hijr-ayat-9.html, di Download pada Rabu, 29 Maret 2023 Pukul

22:51
3 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 1, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.48.
al-ghar) bukan mutakallim wahdah yang menunjukkan kemahatunggalan Allah Yang
Maha Esa, mengindikasikan keharusan keterlibatan kaum muslimin dalam
mempertahankan kemurnian kitab suci al-Qur’an. Upaya demikian memang telah
berjalan sepajang sejarah kaum muslimin sejak Nabi Muhammad Saw, dan terus
berlanjut hingga kini dan di masa-masa mendatang.
Sejarah telah membuktikan kebenaran pemeliharaan al-Qur’an dari
kemungkinan ternodanya wahyu Allah SWT ini. Adapun Sejarah Al-Qur’an itu sendiri
secara umum ada beberapa tahap, yaitu: Sejarah al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad
Saw, Sejarah al-Qur’an pada Masa Khulafaur Rosyidin, dan Sejarah al-Qur’an pada
Masa Usmani.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, kami merumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Pengertian Al-Qur’an
2. Sejarah Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad Saw
3. Sejarah Al-Qur’an pada Masa Khulafaur Rosyidin
4. Sejarah Al-Qur’an pada Masa Usmani
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Quran menurut pendapat yang paling kuat seperti yang
dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al-
Quran itu berbentuk masdar dengan arti isim maf‟ul yaitu maqru”
Berbicara tentang pengertian Al-Quran, apakah itu dipandang dari
sudut bahasa maupun istilah. Banyak para ulama berbeda pandangan dalam
mendefinisikannya. Qara’a mempunyai arti mengumpulkan dan
menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu
dengan yang lain dalam suatu ucapan yang terusun rapi. Quran pada mulanya
seperti qira’ah, yaitu masdar (infinitive) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan,
Sebagaimana firman Allah :

‫ فَِإذَا قَ َرْأنََٰ ُه فَٱتَّبِ ْع قُ ْر َءانَ ُهۥۥ‬, ‫إِ َّن َعلَْي نَا َج ْم َع ُهۥ َوقُ ْر َءانَ ُه‬
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. 4
Al-Qur’an menurut istilah, antara lain, adalah: Firman Allah swt yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang memiliki kemukjizatan lafal,
membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, yang tertulis
dalam mushhaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
al-Nas.5
M. Qurais Shihab (1997) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai : “firman-
firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksinya kepada
Nabi Muhammad saw, dan diterima oleh ummat Islam secara tawatur.
Maka dapat didefinisikan bahwa: Al-Qur’an adalah firman Allah swt
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat
Jibril a.s sesuai dengan redaksinya, yang memiliki kemukjizatan lafal, yang

4 https://media.neliti.com/media/publications/293616-pendekatan-dalam-studi-al-quran-studi-te-

d152fd5b.pdf, di Download pada 29 Maret 2023 Pukul 09.42 WIB


5 Muhammad Abu Syahbah, Madkhal li dirasatil-Qur'anil-Karim, (As-Sunnah, 1992)
tertulis dalam mushaf, dimulai dari suruh al-Fatihah sampai pada suruh al-
Nas, dan disampaikan secara mutawatir kepada umat Islam, dimana
membacanya dinilai sebagai ibadah.
2. Sejarah Al-Qur’an Masa Rasulullah SAW
Allah menurunkan ayat-ayat al-Qur'an kepada Nabi Muhammad tidak turun
sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari,
ataupun selama 23 tahun, dimana menurut pendapat yang kuat menjelaskan bahwa 13
tahun ketika berada di Mekkah dan 10 tahun berada di kota Madinah.6
Dimulai sejak beliau memasuki usia 40 tahun, ini merupakan mu’jizat terbesar
yang diberikan Allah kepada seorang hamba yang memasuki masa tua dan ummiy,
untuk menerima risalah bagi umat manusia. Adapun bentuk jamaknya adalah
ummiyyin yang menurut beberapa mufassir seperti Al Qurtubi, Ibnu Jawazi
mengartikan kata ummiyyin sebagai ungkapan bagi masyarakat Arab yang tidak
memiliki kitab suci, penyembah berhala atau orang-orang musyrik Arab.7
Risalah yang disampaikan dengan perantara Malaikat Jibril dengan surat
pertama yang disebut Surat Al-‘Alaq ayat 1-5, ketika disampaikan ayat pertama
dengan lafadz “iqra” yang artinya bacalah, lalu Nabi menyambutnya dengan
perkataan “ma ana biqari’i”. Penyampaian risalah yang disampaikan secara
berulang-ulang yang pada akhirnya mampu dilakukan Nabi Muhammad. Adapun
Nabi dalam menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan
diantaranya :
a. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hatinya.
b. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah
yang dirasa paling berat oleh Nabi.
c. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi dengan wujud aslinya 8
Dalam bukunya Athaillah menjelaskan bahwa penyampaian kalam Allah yang
tanpa melalui perantara ada dua macam, yaitu :
a. Langsung menerimanya dari Allah dalam bentuk makna (ide), namun
tidak mendengar kalam Allah tersebut

6 Manna Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), h. 154
7 Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut:Muassasah al -Risalah,2006), h. 34
8 Manna Al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh:Muassasah al-Risalah,1987), h.29
b. Langsung menerimanya dari Allah, dan mendengar bunyinya secara
jelas.9
Pada saat diturunkannya al-Qur’an, Rasulullah menganjurkan supaya
al-Qur’an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkannya membacanya
dalam shalat.10
Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an, Rasulullah Saw mengangkat
beberapa orang sahabat, yang bertugas merekam dalam bentuk tulisan
semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Di antara mereka
ialah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab dll.11
Adapun alat yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu masih
sangat sederhana. Para sahabat menulis al-Qur’an pada ‘usub (pelepah
kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang
unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung
unta). Salah seorang sahabat yang paling banyak terlibat dalam penulisan
al-Qur’an pada masa nabi adalah Zaid bin Tsabit. Dan juga Ia terlibat
dalam pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an masing-masing di masa
Abu bakar dan Utsman bin Affan.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat
alQur’an dengan lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka Beliau tidak
membenarkan seseorang sahabat menulis apapun selain al-Qur’an.
Larangan Rasulullah untuk tidak menuliskan selain al-Qur’an ini, oleh Dr.
Adnan Muhammad, yang disebutkan oleh Kamaluddin Marzuki dalam
bukunya, dipahami sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk
menjamin nilai akurasi (keakuratan) al-Qur’an.12
Setiap kali turun ayat al-Qur’an, Rasulullah memanggil juru tulis
wahyu dan memerintahkan sahabatnya agar mencatat dan menempatkan
serta mengurutkannya sesuai dengan petunjuk Beliau. Pada masa
Rasulullah, Keseluruhan al-Qur’an telah ditulis, namun masih belum
terhimpun dalam satu tempat artinya masih berserak-serak. Mengingat

9 H.A. Athaillah, Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), h.115


10 Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.29
11 Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h.67
12 Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h.68
pada masa itu belum dikenal zaman pembukuan, maka tidaklah
mengherankan jika pencatatan al-Qur’an bukan dilakukan pada kertas-
kertas seperti dikenal pada zaman sekarang, melainkan dicatat pada benda-
benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis-menulis terutama
pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit hewan, tulang belulang, bebatuan dan
juga dihafal oleh para hafizh muslimin. Sebelum wafat, Rasulullah telah
mencocokkan al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Beliau dengan al-
Qur’an yang dihafal para hafizh, surat demi surat, ayat demi ayat.8 Maka
al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu merupakan duplikat al-Qur’an yang
dihafal oleh Rasulullah Saw.13
Dengan demikian terdapatlah di masa Rasulullah Saw tiga unsur yang
saling terkait dalam pemeliharaan al-Qur’an yang telah diturunkan, yaitu:
Hafalan dari mereka yang hafal al-Qur’an, Naskah-naskah yang ditulis
untuk nabi, dan naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai
menulis dan membaca untuk mereka masing- masing. Setelah para
penghafal dan menguasai dengan sempurna, para hafizh (penghafal ayat-
ayat al-Qur’an) menyebarluaskan apa yang telah mereka hafal,
mengajarkan-nya kepada anak-anak kecil dan mereka yang tidak
menyaksikan saat wahyu turun, baik dari penduduk Makkah maupun
Madinah dan daerah sekitarnya.14
3. Sejarah Al-Qur’an Masa Khulafaur Rosyidin
Setelah Rasulullah Saw. wafat, kemudian Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah, ketika itu terjadi banyak sekali pergolakan di antara suku bangsa
arab, salah satunya adalah sebagian yang sudah Islam kembali menyatakan
keluar dari Islam (murtad), timbulnya orang-orang yang enggan untuk
membayar zakat, sampai sebagian orang yang mengaku telah mendapat
risalah kenabian (nubuwwah) sepeninggal Rasulullah Saw. seperti;
Musailimah al-Kadzzab. Saat itu Abu Bakar yang diangkat sebagai pemimpin
pengganti (khalifah) sesudah Rasulullah Saw. wafat mengambil inisiatif untuk
meredam pergolakan dengan mengirim pasukan ke beberapa suku yang

13 Ibrahim Al lbyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, Penej. Saad Abdul Wahid, Cet. II, (Jakarta: Raja

Gravindo Persada, 1993), h.70.


14 Abdullah al-Zanjani, Sejarah Al-Qur’an, Penerj. Kamaluddin Marzuki, A. Qurtubi Hasan, Cet. I, (Jakarta:

Hikmah, 2000), h.31.


menentang (bughat) agar kembali pada keyakinan Islam yang benar (Ismail,
1997: 11).15
Dari sekian anggota pasukan yang ditugaskan Khalifah Abu Bakar (632-634
M) untuk mengatasi pergolakan di Yamamah (tahun 12 H), sebagian besar
adalah para qurra’ (penghafal Al-Qur’an), dari sinilah berawal bencana besar
yang menggugah kekritisan Umar bin Khattab, fenomena banyak terbunuhnya
para qurra’ (penghafal AlQur’an), estimasi jumlah yang meninggal menurut
satu riwayat mencapai 70 orang, dalam riwayat lain dinyatakan 500 orang
(Shihab, 2001: 28); (Akaha, 1996: 29). Bahkan menurut Muhammad Makky
Nasr, pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid tersebut berjumlah 1200
orang, 700 diantaranya adalah qurra’(al-Juraisy, 1999: 245). Ketika melihat
kejadian itu, Umar menyarankan dengan sangat kepada Khalifah Abu Bakar
untuk segera mengambil tindakan kongkrit dalan membukukan Al-Qur’an
(jam’u Al-Qur’an), karena kekhawatirannya Al-Qur’an akan berangsur-angsur
hilang bila hanya mengandalkan hafalan semata, apalagi para penghafalnya
(qurra’) semakin berkurang (Ismail, 1997: 11). Peristiwa ini yang kemudian
dikenal sebagai sejarah kodifikasi mushaf Al-Qur’an pertama kali.16
Pada awalnya Abu Bakar dalam sebuah riwayat al-Bukhari dengan sanad
dari Zaid bin Tsabit, menolak usulan Umar bin Khattab, dengan
menjawabnya; “Wahai Umar! Bagaimana saya harus melakukan sesuatu yang
Rasulullah Saw. tidak melakukannya?.” Umar pun berargumen dan
bersikukuh; ”Demi Allah, hal ini (pengumpulan Al-Qur’an) adalah baik.”
Begitupun dalam beberapa kesempatan Umar selalu berusaha meyakinkan
Abu Bakar tentang kebenaran usulannya, sampai akhirnya Abu Bakar
menyetujuinya dan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua Tim Lajnah
Kodifikasi Mushaf Al-Qur’an (Ismail, 1997: 12).
Sepeninggal Abu Bakar, estafet pemerintahan beralih kepada Umar bin
Khattab, pada periode inilah mushaf zaman Khalifah Abu Bakar disalin dalam
lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah yang ada,
karena motif awalnya memang dipergunakan sebagai naskah asli (original),
bukan sebagai naskah hafalan. Setelah semua rangkaian naskah selesai, naskah

15 As-Shalih, Subhi. 1988. Mabahis Fi Ulum Al-Quran. Beirut: Darul Ilmi. Hal. 361-362.
16 As-Suyuti, Jaluddin. 1978. Al-Itqoan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Darul Ma’arif. Juz 5.
tersebut diserahkan kepada Hafshah, istri Rasulullah untuk disimpan.
Pertimbangannya, selain istri Rasulullah, Hafshah juga dikenal sebagai orang
yang pandai membaca dan menulis (Shihab, 2001: 29).17
4. Sejarah Al-Qur’an Masa Usmani
Babak baru sejarah penulisan Al-Qur’an, muncul saat Utsman bin Affan
(644- 655 M) terpilih menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin
Khattab. Saat itu dunia Islam telah meluas sampai ke berbagai daerah dan
kota. Di setiap daerah telah tersebar dan populer bacaan Al-Qur’an dari para
sahabat yang telah mengajar kepada mereka. Penduduk Syam membaca Al-
Qur’an mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti
Bacaan Abdullah bin Mas’ud, penduduk Bashrah mengikuti bacaan Abu
Musa al-Asy’ari (ash-Shabuni, 1999: 108), penduduk Hims mengikuti bacaan
Ubadah bin Shamit dan penduduk Damaskus mengikuti bacaan Abu Darda.‟
begitu seterusnya (Akaha, 1996: 29). Di antara mereka terdapat perbedaan
bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini kemudian mulai membawa
mereka kepada pintu perpecahan dan pertikaian antar sesama.
Menurut M.M al-A„zami, sesungguhnya perbedaan bacaan Al-Qur’an
(qira’ah) sebenarnya bukan barang baru, sebab Umar pernah mengantisipasi
bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibnu
Mas’ud ke Irak, setelah Umar diberitahukan bahwa Ibnu Mas’ud mengajarkan
Al-Qur’an dengan dialek Hudhail, Umar sempat marah (al-A’zami, 2005: 99-
100).18
Setidaknya terdapat beberapa riwayat dan hasil penelitian yang
melatarbelakangi Khalifah Utsman kembali mengadakan penyalinan Al-
Qur’an -meminjam terminologi Manna’Khalil al-Qattan- merupakan
kodifikasi kedua (al-jam’u al-tsani) setelah masa kekhalifahan Abu Bakar;
a. Menurut riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik, proses penulisan
mushaf Al-Qur’an di zaman Utsman adalah bermula ketika Hudzaifah
bin al-Yamani datang menemui Utsman, setelah sebelumnya ikut
berperang dengan penduduk Syam dan Irak dalam pembukaan (futuh)
Armenia dan Azerbaijan. Yang mana perbedaan mereka dalam bacaan

17 Anwar, Rosihan. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.h.50


18 Al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an. Tarj. Mudzakkir
Al-Qur‟an membuat Hudzaifah tercengang dan kaget. Hudzaifah
berkata kepada Utsman.”Wahai Amirul Mukminin!, satukanlah umat
ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur‟an seperti perselisihan
Yahudi dan Nasrani.” Setelah itu Utsman meminta kepada istri
Rasulullah, Hafshah untuk meminjamkan Mushaf yang dititipkan
kepadanya, selanjutnya memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdurrahman bin Harist
bin Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Utsman
berpesan bila terjadi perselisihan tentang sesuatu dalam Al-Qur‟an,
maka tulislah dengan bahasa Quraisy, karena sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa mereka. Setelah selesai penyalinan utsman
kemudian mengembalikan mushaf (Abu Bakar) itu kepada Hafshah.
Lalu mengirim ke setiap pelosok negeri dengan mushaf yang telah
disalin, seraya memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
membakar setiap lembaran dan mushaf yang bertuliskan Al-Qur’an
selainnya (al-Qattan, 1973: 129).
b. Menurut riwayat „Imarah bin Ghaziyah, dalam Fath al-Bari Syarh
al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-„Asqalani, proses penulisan mushaf di
zaman Utsman, bermula saat Hudzaifah pulang dari perang dan tidak
langsung masuk ke rumahnya, sehingga datang menemui Utsman, lalu
berkata:” Wahai Amirul Mukminin!, aku mendapatkan orang-orang
saling menyalahkan satu dengan yang lain, saat aku ikut berperang
dalam pembebasan Armenia. Aku melihat penduduk Syam membaca
qira’ah Ubay bin Ka’ab, mereka datang dengan bacaan yang tidak
pernah didengar oleh penduduk Irak. Sedang penduduk Irak membaca
dengan qira’ah Abdullah bin mas’ud, mereka pun datang dengan
bacaan yang tidak pernah didengar penduduk Syam, lalu sebagian dari
mereka mengkafirkan yang lain (Akaha, 1996: 38).
c. Menurut Ibnu Jarir riwayat dari Abu Qalabah, kecendrungan
perbedaan bacaan Al-Qur’an telah mulai pada perintahan Utsman,
pada saat itu terdapat beberapa guru (mu‟allim) Al-Qur’an yang
mengajarkan kepada anak-anak atas bacaan Al-Qur’an yang berbeda,
sehingga mereka saling berselisih bacaan tentang Al-Qur’an. Akhirnya
Utsman berpidato,” Di sisiku, kalian semua sudah berselisih bacaan
dalam Al-Qur’an, bagaimana tidak lebih berselisih lagi orang-orang
yang lebih jauh lagi dariku, bersatulah wahai pengikut Muhammad,
buatkanlah tulisan Al-Qur’an yang dapat menjadi imam (pemersatu)
bagi sekalian manusia” (Ismail, 1997: 17).
d. Menurut riwayat Ibnul Asir, dikatakan; saat Hudzaifah bin al-
Yamani menuju Azerbaijan dengan disertai Sa’id bin Ash, sementara
Sa’id tinggal di Azerbaijan, sampai Hudzaifah kembali dari
perjalanannya. Lalu kemudian keduanya kembali ke Madinah. Di
tengah perjalanan, Hudzaifah berkata kepada Sa’id bin al-Ash, tentang
persoalan umat Islam yang berselisih bacaan dalam Al-Qur’an,. Saat
Sa’id bertanya lebih lanjut, Hudzaifah pun menjelaskan bagaimana
penduduk Hims yang mengambil bacaan Al-Qur’an dari Miqdad
menganggap bacaan mereka lebih baik dari yang lainnya, begitupun
penduduk Damaskus yang mengambil bacaan dari Abdullah bin
Mas’ud, penduduk Bashrah yang mengambil bacaan Abu Musa al-
Asy’ari. Ketika di Kufah Hudzaifah mengutarakan kekhawatirannya
tentang banyaknya prselisihan bacaan Al-Qur’an. Pada saat itu para
sahabat dan tabi’in menerima terhadap pendapat Hudzaifah, namun
para sahabat Ibnu Mas’ud tidak menyetujuinya. Karena itu Hudzaifah
sempat marah, begitupun Sa’id. Sampai akhirnya Hudzaifah
bersumpah dengan nama Allah, sesampainya di Madinah ia akan
meyampaikan apa yang telah terjadi di antara umat Islam kepada
Khalifah Utsman. Selanjutnya Utsman mengumpulkan para sahabat
dan berkeputusan untuk meminta mushaf meminta Hafshah untuk
bersedia meminjamkan yang ada padanya untuk disalin. Mushaf
tersebut adalah mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar
(Akaha, 1996: 39).
e. Menurut Sya’ban Muhammad Isma’il, latar belakang kodifikasi
Mushaf Al-Qur’an di masa Utsman adalah karena sebagian sahabat
Nabi Saw. mempunyai salinan mushaf pribadi, yang meng-cover
keseluruhan ahruf sab’ah, yang mana di dalamnya terdapat sebagian
yang dihapus berdasarkan talaqqi Nabi Saw. terakhir sebelum
meninggal (al-„ardhah al-akhirah), sehingga pada waktu itu terdapat
mushaf- mushaf pribadi yang tersebar, seperti; Mushaf Ubay bin
Ka’ab, Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari,
Mushaf al-Miqdad bin Amr dan lain-lain. Dampak dari semua itu,
semua sahabat mengajar dengan mushaf pribadinya masingmasing,
sehingga pintu perbedaan mulai bermunculan. Pada saat itulah Utsman
bin Affan atas nama Khalifah mengambil inisiatif memerintahkan
penyalinan Mushaf Abu Bakar dan membakar mushaf- mushaf yang
lain untuk menghindari fitnah yang lebih besar (Ismail, 1997: 17-18).19
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada Utsman sangat jauh berbeda
dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Dominasi perbedaan bacan
qira’ah Al-Qur’an pada masa Utsman lebih menjadi sebab utama yang
akhirnya melahirkan apa yang dikenal sampai saat ini, dengan meminjam
istilah Manna’Khalil al-Qattan, dalam Mabahist-nya yaitu; “Rasm
Utsmani lil Mushaf” (al-Qattan, 1973: 129).
Adapun tentang teknis yang diambil oleh Khalifah Utsman dalam
menyelesaikan perbedaan yang ada sampai tuntas, masih menurut M.M al-
A’zami terdapat dua riwayat satu diantaranya lebih masyhur;
a. Khalifah Utsman membuat naskah mushaf semata-mata
berasarkan kepada suhuf (Abu Bakar) yang disimpan di bawah
penjagaan Hafshah, istri Rasulullah Saw. untuk itu dibentuklah
tim empat yang beranggotakan; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin
Hisyam, dimana Zaid bin Tsabit merangkap sebagai ketua tim.
b. Riwayat kedua yang tidak begitu terkenal, Khalifah Utsman lebih
dahulu memberi wewenang pengumpulan mushaf dengan
menggunakan sumber utama, sebelum membandingkannya
dengan suhuf yang ada, untuk merealisasikannya Khalifah
Utsman mengangkat sebuah Lajnah Kodifikasi Mushaf yang
terdiri dari dua belas orang, mereka adalah; Sa’id bin al-Ash,
Nafi’bin Zubair bin „Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin
Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Amr

19 As-Suyuti, Jaluddin. op. cit. h.167.


bin al-Ash (al-A’zami, 2005: 99-100). Namun begitu dalam ke
dua versi riwayat sepaham bahwa suhuf yang ada pada Hafshah
memainkan peranan penting dalam pembuatan Mushaf Utsmani
(al-A’zami, 2005: 98).
Namun dari dua riwayat di atas para sarjana muslim mayoritas
menyepakati bahwa Utsman kemudian membentuk tim lajnah
kodifikasi yang di ketuai oleh Zaid bin Tsabit.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw melalui perantara malaikat Jibril a.s sesuai dengan redaksinya, yang memiliki
kemukjizatan lafal, yang tertulis dalam mushaf, dimulai dari suruh al-Fatihah sampai
pada suruh al-Nas, dan disampaikan secara mutawatir kepada umat Islam, dimana
membacanya dinilai sebagai ibadah.
Pada saat diturunkannya al-Qur’an, Rasulullah menganjurkan supaya al-
Qur’an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkannya membacanya dalam shalat.
Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an, Rasulullah Saw mengangkat beberapa orang
sahabat, yang bertugas merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan
kepada Rasulullah Saw.
Adapun alat yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu masih sangat
sederhana. Para sahabat menulis al-Qur’an pada ‘usub (pelepah kurma), likhaf (batu
halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu
yang biasa dipasang di atas punggung unta).
Setelah Rasulullah wafat, kemudian Abu Bakar diangkat menjadi khalifah.
Umar menyarankan dengan sangat kepada Khalifah Abu Bakar untuk segera
mengambil tindakan kongkrit dalan membukukan Al-Qur’an (jam’u Al-Qur’an),
karena kekhawatirannya Al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang bila hanya
mengandalkan hafalan semata, apalagi para penghafalnya (qurra’) semakin berkurang.
Pada awalnya Abu Bakar dalam sebuah riwayat al-Bukhari dengan sanad dari Zaid
bin Tsabit, menolak usulan Umar bin Khattab,sampai akhirnya Abu Bakar
menyetujuinya dan menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua Tim Lajnah Kodifikasi
Mushaf Al-Qur’an
Sepeninggal Abu Bakar, estafet pemerintahan beralih kepada Umar bin
Khattab, pada periode inilah mushaf zaman Khalifah Abu Bakar disalin dalam
lembaran (shahifah). Umar tidak menggandakan lagi shahifah yang ada, karena motif
awalnya memang dipergunakan sebagai naskah asli (original), bukan sebagai naskah
hafalan. Setelah semua rangkaian naskah selesai, naskah tersebut diserahkan kepada
Hafshah, istri Rasulullah untuk disimpan. Pertimbangannya, selain istri Rasulullah,
Hafshah juga dikenal sebagai orang yang pandai membaca dan menulis.
Saat Utsman bin Affan (644- 655 M) terpilih menjadi Khalifah ketiga
menggantikan Umar bin Khattab. Pengumpulan Al-Qur’an pada Utsman sangat jauh
berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Dominasi perbedaan bacan
qira’ah Al-Qur’an pada masa Utsman lebih menjadi sebab utama yang akhirnya
melahirkan apa yang dikenal sampai saat ini, dengan meminjam istilah Manna’Khalil
al-Qattan, dalam Mabahist-nya yaitu; “Rasm Utsmani lil Mushaf”
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah al-Zanjani, Sejarah Al-Qur’an, Penerj. Kamaluddin Marzuki, A. Qurtubi
Hasan, Cet. I, Jakarta: Hikmah, 2000
Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Beirut:Muassasah al-Risalah,2006
Anwar, Rosihan. 2006. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
As-Shalih, Subhi. 1988. Mabahis Fi Ulum Al-Quran. Beirut: Darul Ilmi.
As-Suyuti, Jaluddin. 1978. Al-Itqoan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Darul Ma’arif.
H. Aunnur Rafiq El-Mazni, Lc, MA, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,terjemah
Mabahits Fi Ulumul Qur’an, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2006
H.A. Athaillah, Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010
Ibrahim Al lbyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, Penej. Saad Abdul Wahid, Cet. II,
Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1993
Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. II, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Manna Al-Qaththan,Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa,2013
Manna Al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh:Muassasah al-Risalah,1987
Muhammad Abu Syahbah, Madkhal li dirasatil-Qur'anil-Karim, As-Sunnah, 1992
Muhammad Amin Suma,Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 1, Cet. I,Jakarta:Pustaka
Firdaus,2000
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1992

Website
https://tafsirweb.com/4159-surat-al-hijr-ayat-9.html, di Download pada Rabu, 29
Maret 2023 Pukul 22:51WIB
https://media.neliti.com/media/publications/293616-pendekatan-dalam-studi-al-quran-
studi-te-d152fd5b.pdf , di Download pada 29 Maret 2023 Pukul 09.42 WIB

Anda mungkin juga menyukai