PEMELIHARAAN AL-QURAN
Sejak Masa Nabi Muhammad Saw Sampai Masa Kini
Dosen Pengampu :
Dr. H. M. SA’AD IBRAHIM, MA.
Disusun Oleh:
Nur Majdi
NIM. 14781014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
BAB II AL-QURAN
A. Pemeliharaan Al-Quran
B. Pengumpulan Al-Quran
C. Pola Tulisan Al-Quran
D. Penambahan Tanda Baca Al-Quran
E. Penambahan Tanda huruf Al-Quran
F. Pengubahan Kalimat Al-Quran
G. Pencetakan Al-Quran
H. Al-Quran berupa Peranti Lunak
I. Al-Quran Diturunkan dalam Tujuh Huruf
J. Pandangan Orientalis terhadap Al-Quran
1. Penulisan Al-Quran
2. Pandangan Orientalis terhadap Qira’at Al-Quran
BAB III KAJIAN ANALITIS
A. Pemeliharaan Al-Quran
B. Pengumpulan Al-Quran
C. Dialek dalam membaca Al-Quran
BAB IV KAJIAN KRITIS
Pandangan Orientalis terhadap Penulisan Al-Quran
BAB V PENUTUPAN
A. Ringkasan
B. Kesimpulan
ِ َو هللا أعْ ل ُم بالصّوا
ب
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan,
yaitu :
1. Bagaimana proses pemeliharaan al-Quran dari masa Nabi Muhammad SAW sampai zaman
ini?
2. Bagaimanakah proses pemeliharaan al-Quran yang paling utama untuk dilaksanakan?
3. Bagaimanakah kritik para orientalis terhadap proses pemeliharaan al-Quran?
BAB II
AL-QURAN
A. Pemeliharaan Al-Quran
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya merupakan
salah satu rukun Iman. Al-Quran adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW mulai dari surat al-fâtihah sampai dengan surat an-Nâs.Secara bahasa,
kata quran sama dengan qira’at, yang merupakan bentuk mashdar menurut wazn fu’lan (
)فعالن, seperti kata syukran ()شكران. Bentuk kata kerjanya adalah qara’a, yang berarti membaca,
menghimpun dan mengumpulkan.[4]Dengan demikian, kata quran dan qira’at berarti
memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya. [5]
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu.”(QS al-Qiyamah 17)
Dalam definisi di atas, dapat diketahui empat sifat terhadap pengertian pokok al-
Quran, yaitu:
1. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW memiliki unsur i’jaz. Artinya
tidak bisa ditandingi oleh siapa pun.
2. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW ditulis dan dibukukan dalam
mushaf.
3. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diriwayatkan secara
mutawatir.
4. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bila dibaca memiliki nilai
ibadah tersendiri.
Pendapat lain tentang definisi al-Quran yaitu:
المتعب د، المتح دى ب ه الع رب، المعج زة المؤي دة ل ه،الكالم الم نزل على محم د ص لى اهلل علي ه و س لم باللغ ة العربي ة
]7[. المنقول الينا بالتواتر،بتالوته
“Kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab,
bersifat mukjizat yang menguatkan ke-Nabian beliau dan merupakan tantangan bagi bangsa
Arab, yang membacanya dinilai ibadah, dan dinukilkan secara mutawatir.”
Kalam dalam definisi di atas, mencakup segala kalam. Dengan dikaitkannya kalam
tersebut dengan Allah SWT, maka tidak termasuk kalam manusia, jin, dan malaikat.
Selanjutnya al-munazzal menunjukkan tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang tidak
diturunkan, sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipunKami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".( Q.S. Al-Kahfi: 109)
D. Penambahan Tanda Baca Al-Quran
Pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, banyak ditemukan
kesalahan dalam membaca kitab suci al-Quran. Sehingga Ziyad bin Samiyyah meminta Abu
al-Aswad ad-Duali agar membubuhkan tanda bacaan dalam al-Quran untuk menghindarkan
kaum muslimin dari kesalahan membaca al-Quran. Akhirnya dibubuhkan tanda fathat,
dengan membubuhkan titik satu di atas huruf, tanda kasrat dengan membubuhkan tanda titik
satu di bawah huruf, tanda dhammat dengan membubuhkan tanda titik satu di antara bagian-
bagian huruf, sedangkan tanda sukun, tidak dibubuhkan tanda apapun pada huruf yang
bersangkutan.[18]
Pada masa khilafah Abbasiyah, seorang ulama’ bernama al-Khalil bin Ahmad
membuat tanda fathat dengan membubuhkan huruf alif kecil di atas huruf, tanda dhammah
dengan huruf wawu kecil di atas huruf, tanda kasrat dengan huruf ya’ kecil di bawah huruf,
tanda sukun dengan tanda kepala huruf ha’ ح, terletak di atas huruf, dan syiddat dengan tanda
kepala huruf sin terletak di atas huruf.
E. Penambahan Tanda huruf Al-Quran
Pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan, al-Hajjaj bin Yusuf al-
Saqafi, Nashr bin Ashim, dan Yahya bin Ya’mur menciptakan tanda huruf al-Quran agar
tidak terjadi kesulitan dan kekeliruan dalam membaca al-Quran.[19]
Tanda tersebut berupa pembubuhan tanda titik untuk membedakan huruf yang satu
dengan yang lainnya.
F. Pengubahan Kalimat Al-Quran
Al-Hajjaj bin Yusuf al-Saqafi juga mengubah beberapa kalimat dalam mushaf yang
ditulis pada zaman Utsman R.A., yang mana kalimat tersebut dianggap salah dalam
penulisannya. Perubahan tersebut terdapat dalam 12 tempat, yaitu:[20]
No Surat Perubahan dari al-Hajjaj Mushaf Utsmani
1 2:259 لم يتسنه وانظر لم يتسن وانظر
2 5:48 شرعة و منهاجا شريعة و منهاجا
3 10:22 هو الذى يسيركم هو الذى ينشركم
4 12:45 انا انبئكم بتأويله انا اتيكم بتأويله
5 23:87 سيقولون هلل سيقولون هللا
6 23: 89 سيقولون هلل سيقولون هللا
7 26:116 من المرجومين من المخرجين
8 26:167 من المخرجين من المرجومين
9 43:32 نحن قسمن بينهم معيشتهم نحن قسمن بينهم معيشهم
10 47:15 من ماء غير اسن من ماء غير ياسن
11 57:7 منكم وانفقوا منكم واتقوا
12 81:24 بضنين بظنين
Namun, ada sebuah tuduhan yang dialamatkan kepada al-Hajjaj oleh Auf bin Abi
Jamilah, ia dituduh telah melakukan beberapa perubahan dalam mushaf utsmani dalam
12 tempat, sebagaimana yang tercantum di atas.
Jauh sebelum ‘Auf bin Abi Jamila menuduh al-Hajjaj, ilmuwan-ilmuwan telah
berdebat tentang naskah Mushaf Utsmani yang resmi dan dengan teliti membandingkannya
huruf demi huruf; perbedaan yang disebutkan oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu tidak sesuai
dengan perbedaan yang disebutkan oleh `Auf. Mushaf yang dibuat oleh Utsman tidak
terdapat titik, dan hingga pada zaman al-Hajjaj, titik tidak digunakan di mana-mana. Ada
beberapa kata di tabel atas tadi, yang jika titiknya dibuang, tetap sama identiknya. Kemudian
jika tidak ada titik dan kerangka huruf sama, bagaimana dia bisa memodifikasi kata-kata
ini. Tidak ada satu pun yang diklaim ada perubahan mengandung makna lain ayat tersebut,
dan tuduhan itu sendiri (berdasarkan kepada yang di atas) kelihatannya tidak berdasar.[21]
Pendapat yang paling kuat, datang dari al-Hajjaj. Dalam kitabnya al-Furqan. Al-
Hajjaj menyatakan tidak mengubah kata dalam al-Quran kecuali setelah penelitian dan
ijtihadnya bersama para hafidz al-Quran, dan fuqaha’. Menurut al-Hajjaj, terdapat kesalahan
penulisan al-Quran yang ditulis para penulis dan penyalin pada masa Utsman R.A., hal ini
kemungkinan dikarenakan ketidaktahuan penulis terhadap dasar-dasar penulisan dan kaidah-
kaidah imla’, dan kurang telitinya penulis dalam mendengar ayat-ayat al-Quran yang
disampaikan.[22]
G. Pencetakan Al-Quran
Al-Quran dicetak pertama kali di Jerman pada tahun 1113 H, yang konon terdapat di
Dar al-Lutub al-Arabiyyah, Kairo Mesir. Pada tahun 1342 H. di Mesir, dicetak al-Quran
dengan pola tulisan dan huruf seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf tersebut ditulis sesuai
qira’at Hafs ‘an Ashim, yang dicetak ulang jutaan eksemplar setiap tahunnya.[23]
H. Al-Quran berupa Peranti Lunak
Dewasa ini, Al-Quran tidak hanya dicetak ulang melalui percetakan saja. Namun,
dengan kemajuan teknologi yang ada, saat ini al-Quran sudah tersedia berupa peranti /
perangkat lunak, yang berupa aplikasi, program, rekaman suara (mp3), yang bisa digunakan
melalui komputer, handphone, gadget, dan lain-lain. Aplikasi ini dapat dibuka dan dibaca
kapanpun dan dimanapun.
Ada juga orientalis yang menyimpan mushaf al-Quran dalam bunker, yakni lubang
perlindungan di bawah tanah, atau ruangan yg dipakai untuk pertahanan dan perlindungan.
I. Al-Quran Diturunkan dalam Tujuh Huruf
Hadits dari Umar bin Khaththab yang berbunyi:
ٍ َت ِإ َّن ه َذا ال ُقرآ َن ُأنْ ِز َل َعلَى س بع ِة َأح ر َ ِ « َك َذل:صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم
فَ اق َْرءُوا،ف ُ ْ ََْ ْ َ ْ ك ُأنْ ِزل َ ِ هَّللا ول
ُ ال َر ُس
َ َف َق،
)(رواه البخاري ُس َر ِم ْنه َّ ََما َتي
Para ulama’ berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan tujuh huruf, yaitu:
[24]
Pertama, sebagian besar Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh macam bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu
makna. Dalam artian, jika bahasa mereka berbeda dalam mengungkapkan satu makna, maka
al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut
tentang satu makna itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya
mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam
menentukan ketujuh bahasa (dialek) tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah
dialek Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Pendapat pertama inilah yang paling kuat menurut jumhur ulama. Sebagian ulama
juga berpendapat bahwa al-Quran boleh dilantunkan sesuai dengan dialek daerah masing-
masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus memperhatikan dengan teliti hukum
tajwidnya.
Kedua, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-
bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah al-Qur'an diturunkan. Dalam artian bahwa
kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi,
yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam
bahasa (dialek) Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin,
Kinanah, Tamim atau Yaman, karena itu maka secara keseluruhan al-Qur’an mencakup
ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan
tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh dialek yang bertebaran di berbagai surat al-
Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu Ubaid, yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh
bahasa, tetapi tujuh bahasa (dialek) tersebut bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagiannya bahasa
Quraisy, sebagian yang lain Hudzail, Hawazin, dan Yaman. Dan selain mereka
berkata:”Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung dari yang lain dan lebih banyak
persentasenya dalam al-Qur’an.”
Ketiga, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan huruf adalah
tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
1. Perbedaan asmaa’ (perbedaan kata benda); dalam bentuk mufrad (tunggal), mudzakar
(menunjukkan laki-laki) dan cabang-cabangnya seperti tatsniyyah (menunjukkan dua), jama’
(menunjukkan lebih dari dua), dan ta’nits (menunjukkan perempuan).
2. Perbedaan dalam segi I’rab (akhir harakat dari kata dalam bahasa Arab), seperti rafa’
(dhammah), nashab (fathah), majrur (kasroh) dan majzum (sukun). Karena dalam masalah ini
para Qari’ berbeda pendapat dalam membacanya.
3. Perbedaan dalam tashrif (perubahan posisi dan bentuk dalam ilmu nahwu/tata bahasa Arab).
4. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan suatu kalimat atas kalimat yang lain) dan
ta’khir (mengakhirkan).
5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, ataupun
penggantian lafazh dengan lafazh, dan bisa jadi penggantian pada perbedaan makhraj (tempat
keluarnya huruf).
6. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan.
7. Perbedaan lahjah (dialek) dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis),fathah, dan
imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashiil, isymam dan lain-lain.
Keempat, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa
diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan
menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa
bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan
orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab, lafazh sab’ah (tujuh)
dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan,
seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam ratusan. Kata-kata itu tidak
dimaksudkan untuk bilangan tertentu.
Kelima, ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah qira’at sab’ah (model bacaan yang tujuh). Yaitu, qira’at Ibn Amir, qira’at Ibn Katsir,
qira’at Ashim, qira’at Abu Amr, qira’at Hamzah, qira’atNafi’, dan qira’at al-Kisa’i. [25]
J. Pandangan Orientalis terhadap Al-Quran
1. Penulisan Al-Quran
Banyak dari para orientalis yang mengkritik al-Quran dan pembukuannya, di
antaranya yaitu, Theodor Noldeke, Gold Dziher, dan Arthur Jeffry. Para orientalis
sebagaimana yang disebutkan, memiliki pendapat bahwa perbedaan qira’at al-Quran itu
merupakan rekayasa dan ciptaan para ulama ahli qira’at, yang bukan berdasarkan sanad atau
riwayat dari Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, hal ini disebabkan ketiadaan tanda
baca dan tanda huruf di mushaf Utsmani.
Mereka manambahkan, bahwa dalam proses penulisan al-Quran terdapat
kemungkinan adanya ayat-ayat yang tertinggal, yang tidak termasuk dalam al-Quran saat ini.
Serta, ada kemungkinan mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman, bukan merupakan
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pernyataan mereka yakni:
a. Di dalam mushaf Ubay bin Ka’ab, terdapat ayat Quran berupa qunut yang dinamakan surat
al-Khal’u dan surat al-Hafdu, yang tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Mereka
beranggapan bahwa sahabat telah membuang sebagian ayat al-Quran.
b. Ibn Mas’ud tidak menulis surat al-Fatihah, surat al-Falaq, dan surat an-Nas di dalam
mushafnya. Hal ini dikarenakan ia tidak menganggap tiga surat tersebut sebagai al-Quran.
Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam mushaf Utsmani terdapat surat yang bukan al-
Quran.
Bantahan terhadap pernyataan dan dakwaan di atas, bahwa hal itu sama sekali tidak
benar. Dikarenakan para sahabat sangat berhati-hati dalam pengumpulan al-Quran. Mereka
tidak memasukkan ke dalam mushaf kecuali yang benar-benar telah diakui
kemutawatirannya. Maka, apabila ternyata apa yang termuat dalam mushaf Ubay bin Ka’ab
tidak tertulis dalam mushaf Utsmani, ini berarti yang tidak termuat dalam mushaf Utsmani
bukan al-Quran.
Kemudian pendapat para ulama yang membantah tudingan mushaf Ibn Mas’ud yang
tidak memuat surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain. Ada kemungkinan, yang diriwayatkan
Ibn Mas’ud yang mengingkari al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain sebagai al-Quran adalah
tidak benar. Karena para muslimin telah sepakat ketiga surat tersebut diakui secara mutawatir
dan termasuk dalam al-Quran.[26]
2. Pandangan Orientalis terhadap Qira’at Al-Quran
Beberapa orientalis berpendapat bahwa perbedaan qira’at al-Quran merupakan
rekayasa dan ciptaan ulama ahli qira’at, yang bukan berdasarkan sanad atau riwayat Nabi
Muhammad SAW. Meurut mereka, hal ini disebabkan ketiadaan tanda baca dan tanda huruf.
Theodor Noldeke juga berpendapat, bahwa huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada
awal sebagian surat-surta al-Quran, merupakan huruf awal dari nama-nama sebagian para
sahabat Nabi Muhammad SAW.[27]
Untuk membutikan ketidakbenaran pendapat orientalis tersebut, berikut bantahan
para ulama terhadap pernyataan mereka, yakni:
a. Sejarah mencatat bahwa al-Quran dan termasuk berbagai qira’atnya telah dihafal oleh para
sahabat sebelum al-Quran dibukukan dalam mushaf pada masa khilafah Abu Bakar, dan hal
ini berlanjut sampai dengan masa para imam qira’at.
b. Allah SWT telah menjanjikan dalam firman-Nya, untuk menjaga serta memelihara al-Quran
dari pengubahan, penggantian, dan lain-lain.
c. Tidak ada kitab samawi mana pun selain al-Quran yang diriwayatkan secara mutawatir
melalui sanad yang shahih, adil lagi dlabith. Ia langsung diterima dari Nabi SAW.
BAB III
KAJIAN ANALITIS
A. Pemeliharaan Al-Quran
Dalam memelihara al-Quran, bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan
menulisnya. Pada masa Nabi Muhammad, pengumpulan al-Quran dilakukan dengan dua cara,
yakni menghafal dan menulis. Menghafal merupakan metode pengumpulan yang primer
(utama), sedangkan menulis merupakan metode pengumpulan sekunder (kedua).
Penulisan ayat al-Quran pada masa Nabi Muhammad dilakukan oleh para Sahabat.
Hasil tulisan Sahabat yang ditunjuk menulis ayat-ayat secara resmi, selanjutnya disebut
dokumen resmi (dokumen negara). Sedangkan Hasil tulisan Sahabat yang menulis atas
inisiatif sendiri, selanjutnya menjadi milik Sahabat itu sendiri.
Pertanyaan yang timbul, mengapa menghafal al-Quran menjadi metode yang utama
dalam memelihara al-Quran?. Sebab, di antaranya yaitu:
1. Dengan menghafal, seseorang dapat memebaca tulisan tanpa adanya tanda baca dan huruf.
2. Kebiasaan bangsa Arab, menganut kesukuan, yang mana mempunyai kelebihan dalam hal
kuatnya daya hafal (memori) terhadap jalur nasab keluarga.
3. Banyak ungkapan dalam al-Quran yang tidak bisa diungkapkan melalui tulisan.
Misalnya, Imalah, Isymam, Tashil. Karena ungkapan ini harus dengan metode hafalan
dan sima’.
4. Membaca al-Quran, tidak bisa secara maknawi. Karena akan merubah makna dari ungkapan
tersebut
5. Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf, yang maksudnya adalah dialek-dialek dalam membaca
al-Quran, dan dialek yang utama adalah dialek Quraisy. Sehingga cara memahami dialek
tersebut adalah dengan menghafal.
6. Al-Quran akan menjadi syafa’at bagi shahibul Quran. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang
menghafalkannya di hati”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اقرأوا القرآن فإنه يأيت يوم القيامة شفيعا ألصحابه
“bacalah Al Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at bagi shahibul
Qur’an” (HR. Muslim 804)
7. Menghafal adalah landasan awal ketika Rasulullah menerima al-Quran dari Malaikat Jibril.
Allah berfirman yang artinya: “Bahkan al-Quran itu adalah ayat-ayat yang menjelaskan
(terdapat) di dalam dada-dada orang-orang yang diberikan ilmu” (QS al-Ankabut: 49)
8. Menjaga keautentikan al-Quran. Salah satu keistimewaan al-Quran adalah keautentikannya
terjaga, dan slah satu sebab terjaganya hal tersebut adalah banyak kaum Muslimin yang
menghafalkan al-Quran dalam dada-dada mereka.
9. Menghafal al-Quran merupakan fardhu kifayah. Sebagian ahli ilmu menegaskan bahwa
menghafal al-Quran merupakan kewajiban atas umat Islam, yang apabila telah dilakukan oleh
sebagian orang, maka akan terbebaslah kaum yang lain dari dosanya.
10. Akan ditempatkan bersama duta-duta yang mulia lagi berbakti. Dari Aisyah radiyallahu anha
bahwa nabi shallahu alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaan orang yang membaca al-
Qur'an sementara ia hafal akan ditempatkan bersama para duta-duta Allah yang mulia lagi
berbakti. Dan perumpamaan orang yang membacanya dalam keadaan berat namun ia tetap
berusaha, maka baginya dua pahala."(HR. Bukhari).
B. Pengumpulan Al-Quran
Pada zaman kekhilafahan Utsman ibn Affan, al-Quran dikumpulkan dalam satu
mushaf oleh Sahabat yang ditunjuk oleh Utsman ibn Affan. Pengumpulan dalam satu mushaf
yang dilakukan pada zaman Utsman berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Nabi
Muhammad, maka, jalan apakah yang ditempuh oleh Utsman terkait pengumpulan tersebut?
Sahabat mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf adalah semata-mata
karena maslahah mursalah, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan
kemutawatirannya, dikarenakan meninggalnya sejumlah besar penghafal al-Quran dari
generasi Sahabat.
Penduplikasian dan pencetakan al-Quran, menggunakan jalan qiyas terhadap
Penulisan al-Quran pada zaman Nabi Muhammad, sedangkan merekam al-Quran (mp3) dan
memperdengarkannya melalui radio, menggunakan jalan qiyas terhadap metode menghafal
al-Quran pada zaman Nabi Muhammad.
C. Dialek dalam membaca Al-Quran
Berdasarkan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab, terdapat
tujuh dialek. Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh macam bahasa (dialek) dari bahasa-bahasa (dialek-dialek) Arab dalam satu
makna. Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa (dialek)
tersebut. Dikatakan bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek Quraisy, Hudzail, Tsaqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Kemudian, bagaimana jika seseorang tidak membaca al-Quran dengan salah satu
dialek di atas? Sebagian ulama juga berpendapat bahwa al-Quran boleh dilantunkan sesuai
dengan dialek daerah masing-masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus sesuai
dengan kaidah hukum tajwid. Agar tidak mengubah substansi dari ayat al-Quran.
BAB IV
KAJIAN KRITIS
BAB V
PENUTUPAN
A. Ringkasan
Secara bahasa, kata quran sama dengan qira’at. Bentuk kata kerjanya
adalah qara’a, yang berarti membaca, menghimpun dan mengumpulkan. Dengan demikian,
kata quran dan qira’at berarti memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian
lainnya.
Kalam dalam definisi di atas, mencakup segala kalam. Dengan dikaitkannya kalam
tersebut dengan Allah SWT, maka tidak termasuk kalam manusia, jin, dan malaikat.
Selanjutnya al-munazzal menunjukkan tidak termasuk di dalamnya kalam Allah yang tidak
diturunkan.
Dalam memelihara al-Quran, bisa dilakukan dengan cara menghafalnya dan
menulisnya. Yang dimaksud dengan pembukuan al-Quran yaitu, proses penyampaian,
penghafalan, pencatatan, dan penulisan al-Quran, sampai dihimpunnya tulisan-tulisan tersebut
dalam satu mushaf secara lengkap dan tersusun secara tertib.
Para ulama’ yang memakai istilah jam’ al-Quran mengartikannya dengan al-jam’ fi al-
shudur (proses penghafalan) dan al-jam’ fi al-suthur (proses pencatatan dan penulisan)
Pemeliharaan al-Quran telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad hidup, yakni dengan
dihafal dan ditulis di pelepah-pelepah kurma atau batu. Kemudian Abu Bakar melanjutkan
pembukuan al-Quran dengan mengumpulkannya dalam satu mushaf. Sedangkan pada masa
Utsman bin Affan, al-Quran diduplikasi dan disebarluaskan ke luar kota.
Kemudian, al-Quran dibubuhi tanda baca dan tanda huruf, agar memudahkan dalam
membacanya bagi orang-orang non arab. Al-Quran dicetak pertama kali di Jerman pada tahun
1113 H, yang konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyyah, Kairo Mesir. Pada tahun 1342 H. di
Mesir, dicetak al-Quran dengan pola tulisan dan huruf seperti yang kita kenal saat ini. Mushaf
tersebut ditulis sesuai qira’at Hafs ‘an Ashim, yang dicetak ulang jutaan eksemplar setiap
tahunnya.
Seiring perkembangan zaman, al-Quran banyak ditemui di komputer, handphone, dan
gadget. Bisa berupa program atau aplikasi, maupun berupa hasil rekaman (mp3). Hal ini,
dikarenakan al-Quran dijadikan sebagai peranti lunak yang bisa dibuka melalui perangkat yagn
disebutkan di atas
B. Kesimpulan
Dalam rangka memelihara al-Quran, manakah yang lebih utama di antara menghafal
al-Quran dan Menulis al-Quran. Dalam hal ini, pendapat yang paling kuat adalah menghafal
lebih utama daripada menulis. Salah satu alasannya adalah berdasarkan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (QS al-Hijr: 9)
Praktek Sahabat yang mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf adalah semata-
mata karena maslahah mursalah, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan
kemutawatirannya, dikarenakan meninggalnya sejumlah besar penghafal al-Quran dari generasi
Sahabat.
Sedangkan penduplikasian dan pencetakan al-Quran, menggunakan jalan qiyas
terhadap Penulisan al-Quran pada zaman Nabi Muhammad, sedangkan merekam al-Quran
(mp3) dan memperdengarkannya melalui radio, menggunakan jalan qiyas terhadap metode
menghafal al-Quran pada zaman Nabi Muhammad.
Dialek dalam membaca ayat al-Quran, dibolehkan menggunakan dialek sesuai dengan
daerah masing-masing. Namun, dengan syarat pelantunannya harus sesuai dengan kaidah-
kaidah hukum tajwid. Agar tidak mengubah substansi dari ayat al-Quran.