PENDAHULUAN
Al-Quran diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat
Jibril. Al Quran terdiri dari 30 Juz, 6666 ayat, 114 surah dan diturunkan setahap demi setahap
selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Al Quran diturunkan kepada nabi Muhammad dengan tiga cara, yaitu pertama malaikat
Jibril turun dalam wujud manusianya dan membacakan ayat-ayat Al Quran kepada nabi
Muhammad, kemudian beliau mengikutinya. Kedua, adalah Al Quran turun tanpa perantara
malaikat Jibril, sehingga tiba-tiba saja ayat-ayat Al Quran tersebut muncul dalam pikiran nabi
Muhammad dan yang ketiga adalah Al Quran turun dengan didahului terdengarnya suara
gemerincing lonceng yang sangat kuat. Cara terakhir adalah cara yang dirasa nabi
Muhammad sangat berat saat menerima wahyu Allah SWT.
Al Quran yang telah diturunkan ini kemudian diajarkan kepada keluarga dan sahabat-
sahabat nabi terlebih dahulu sebelum akhirnya disyiarkan secara terang-terangan kepada
masyarakat luas. Pada awalnya Al Quran ini hanya dituliskan pada media seadanya saja
seperti kulit unta, tulang binatang dan lain-lain, mengingat pada zaman itu belum ditemukan
manfaat kertas sebagai media untuk menuliskan Al Quran.
Pada zaman nabi Muhammad, Al Quran tidak diperbolehkan untuk ditulis, melainkan
hanya dihafalkan saja di luar kepala baik oleh nabi Muhammad maupun sahabat-sahabatnya.
Sementara itu, untuk menjaga kemurnian Al Quran, setiap malam di bulan Ramadhan
malaikat Jibril turun ke bumi dan membacakan ayat-ayat Al Quran tersebut dan nabi
Muhammad mendengarkannya dengan seksama. Nabi Muhammad sendiri melarang
penulisan Al Quran ini dalam media apapun dalam satu kesatuan.
Setelah nabi Muhammad meninggal dunia, tongkat kepemimpinan Islam diberikan kepada
kalifah Abu Bakar As syidiq. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar ini, orang-orang Islam
yang tipis imannya mulai banyak yang meninggalkan Islam. Mereka meninggalkan semua
perintah-perintah Allah seperti shalat, puasa dan zakat. Selain itu, bermunculan pula nabi-
nabi palsu yaitu orang-orang yang mengaku sebagai penerus nabi Muhammad.
Bayangkan saja, ternyata sejak ratusan tahun yang lalu sudah banyak bermunculan nabi-
nabi palsu ke dunia ini. Maka tentu bukan suatu hal yang mengherankan jika sampai posting
ini ditulispun masih saja ada orang-orang yang mengaku dirinya adalah nabi. Di Indonesia
yang sebagian besar penduduknya muslim ini saja ada banyak kasus kemunculan nabi palsu.
Di antaranya Ahmad Mussadeq, Lia Eden dan lain-lain.
Kasus terbaru dan masih hangat adalah masalah aliran Ahmadiyah yang menganggap
bahwa Ahmad Mirza adalah nabi penerus nabi Muhammad. Padahal Ahmad Mirza adalah
nabi yang diangkat oleh ratu Inggris atas jasa-jasanya memimpin sebagian umat muslim
Pakistan untuk berperang melawan muslim-muslim yang memberontak kepada kerajaan
Inggris yang saat itu menjajah Pakistan. Ratu Inggris kemudian menyatakan bahwa Ahmad
Mirza adalah “Nabi baru umat Islam yang cinta perdamaian”.
Kembali lagi ke zaman Kalifah Abu Bakar, dengan munculnya nabi-nabi palsu ini, maka
Kalifah Abu Bakar kemudian memerintahkan para sahabat untuk memerangi nabi-nabi palsu
dan umat Islam yang tipis imannya itu. Sayangnya, banyak sahabat nabi yang hafal Al Quran
dalam rangka menegakkan agama Islam kemudian berguguran satu demi satu.
Melihat hal ini, kemudian Umar bin Khatab menyarankan kepada Kalifah Abu Bakar untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al Quran dan menuliskannya menjadi satu kitab saja. Awalnya, ide
ini ditentang oleh Kalifah Abu Bakar, karena menurut beliau nabi Muhammad sendiri yang
melarang penulisan ayat-ayat Al Quran tersebut, namun setelah melalui perdebatan panjang
dan demi menegakkan agama Islam, akhirnya Kalifah Abu Bakar pun mengalah. Setelah itu,
dibentuklah panitia pengumpulan dan penulisan Al Quran tersebut. Ayat-ayat Al Quran itu
kemudian dikumpulkan dan ditulis ulang oleh Zaid bin Tsabit. Pada masa Kalifah Umar bin
Khatab, kitab Al Quran hanya berjumlah lima buah dan disimpan di lima tempat yang
berbeda antara lain, Mekkah, Basrah, Madinah, dan disimpan oleh Kalifah Umar sendiri.
Pada era kepemimpinan Utsman bin Affan, beliau berhasil menaklukkan Syria yang
terlebih dahulu sudah mengenal kertas sebagai media untuk menulis. “Teknologi baru“ ini
kemudian dimanfaatkan untuk memperbanyak kitab Al Quran. Akibatnya, sekarang semua
orang dapat membaca, mengkaji dan memperdalam Al Quran dimanapun dan kapanpun juga.
Bahkan, pada zaman sekarang Al Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan
tentu saja tetap menuliskan ayat-ayat asli Al Quran yang masih berbahasa Arab, sehingga
kemurnian Al Quran Insya Allah masih terjaga kemurniannya bahkan sampai sekarang
sekalipun. Terjemahan yang ada dalam Al Quran ini semata-mata hanya untuk mempermudah
umat Islam untuk mempelajari Al Quran.
Dalam bahasa Arab, mukjizat berasal dari kata ‘ajz yang berarti lemah, kebalikan dari
qudrah (kuasa). Sedangkan i’jaz berarti membuktikan kelemahan. Mu’jiz adalah sesuatu yang
melemahkan atau membuat yang lain menjadi lemah, tidak berdaya. Setiap mukzijat biasanya
turun untuk memberikan tantangan bagi situasi zaman itu. Ketika pada zaman Nabi Musa
para tukang sihir sangat berkuasa dan mereka mencapai puncak kemampuannya dalam ilmu
sihir, Nabi Musa datang dengan membawa mukjizat yang mampu melumpuhkan tipu daya
para tukang sihir tersebut. Bukankah mukjizat berarti yang melumpuhkan atau yang membuat
lemah? Rasulullah saw. pun hadir pada suatu zaman ketika sastra Arab mencapai puncak
ketinggiannya. Beliau datang dengan Al-Quran yang memiliki gaya bahasa tingkat tinggi
yang mampu melumpuhkan seluruh penyair yang ada pada zaman itu.
Selain keindahan gaya bahasanya, ada petunjuk-petujuk sangat jelas lainnya yang
memperlihatkan bahwa Al-Quran datang dari Allah Swt. dengan segala kemukjizatannya.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan misalnya, dapat meyakinkan setiap
orang yang mau berpikir bahwa Al-Quran adalah firman-firman Allah Swt., tidak mungkin
ciptaan manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw. yang ummi (QS 7:158) yang hidup
pada awal abad keenam Masehi (571-632 M). Di antara ayat-ayat tersebut umpamanya: QS
39:6; QS 6:125; QS 23:12,13,14; QS 51:49; QS 41:11-41; QS 21:30-33; QS 51:7,49, dan
lain-lain.
Ada pula ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah seperti tentang kekuasaan di Mesir,
Negeri Saba’. Tsamud, ’Aad, Nabi Adam, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi
Musa, dan sebagainya. Ayat-ayat ini dapat memberikan keyakinan kepada kita bahwa Al-
Quran adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan
ramalan-ramalan khusus yang kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa
Romawi, berpecah-belahnya Kristen, dan lain-lain juga menjadi bukti lagi kepada kita bahwa
Al-Quran adalah wahyu dari Allah Swt. yang disampaikan melalui lisan utusan-Nya.
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang
sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika
seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum
bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-
Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.
”Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-
Waqiah 56:77-79)”.
a. Pendapat pertama
Pendapat kelompok pertama meyakini seseorang diharuskan berwudhu sebelum
menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara
literal dari surah Al Waaqi'ah di atas. Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah
salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai
bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al-Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan
serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk
mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang
lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
b. Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surah Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur'an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana
ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan
oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah
diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak
boleh menyentuh atau memegang Al-Qur'an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan
hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya
tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-
Qur'an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni dengan bentuk faa'il (subjek/pelaku) bukan
maf'ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur'an)
kecuali mereka yang telah disucikan", yakni dengan bentuk maf'ul (objek) bukan sebagai
faa'il (subjek).
"Tidak ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci."[69] Yang dimaksud oleh
hadis di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur'an kecuali orang mu'min, karena orang
mu'min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. "Sesungguhnya orang mu'min itu
tidak najis".
Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum
Muhammad S.A.W yakni Shuhuf Ibrahim, Kitab Taurat, Zabur, maupun Injil, Di antara kitab-
kitab suci tersebut, Allah secara khusus menyebut kedudukan "Al-Kitab yang diberikan
kepada Musa" memiliki kaitan paling erat dengan Al-Qur'an. Terdapat berbagai ayat di Al-
Qur'an tentang penegasan kedudukan terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah beberapa
pernyataan Al-Qur'an, mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
1. Bahwasanya Al-Qur'an menuntut kepercayaan umat Islam terhadap kebenaran kitab-kitab
tersebut.
2. Bahwasanya Al-Qur'an diposisikan sebagai penggenapan dan batu ujian (verifikator) bagi
kitab-kitab sebelumnya.
3. Bahwasanya Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat
antara umat-umat rasul yang berbeda.
4. Bahwasanya Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat riwayat-riwayat
mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai
kehidupan para rasul tersebut serta meluruskan beberapa aspek penting pada teks-teks lain di
kalangan Bani Israil, Ahli Kitab, Yahudi dan Kristen.
5. Bahwasanya Taurat, Injil beserta Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh yang saling berkaitan
dalam keimanan terhadap Kitab-Kitab Allah.
2.6. Pendekatan Memahami Al-Qur’an
Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al Qur’an, terdapat dua term
atau istilah, yakni Tafsir dan Takwil.
Imam al-Alusi berpendapat, bahwa menurutnya tafsir adalah pejelasan makna Al Qur’an
yang zahir (nyata), sedangkan takwil adalah penjelasan para ulama dari ayat yang maknanya
tersirat, serta rahasia-rahasia ketuhanan yang terkandung dalam ayat Al Qur’an. Dapat juga
dipahami bahwa Takwil mempunyai beberapa arti yang mendalam, yaitu berupa pengertian-
pengertian tersirat yang di istinbathkan (diproses) dari ayat-ayat Al Qur’an, yang memerlukan
perenungan dan pemikiran serta merupakan sarana membuka tabir. Apabila mendapati ayat
yang mempunyai kemungkinan beberapa pengertian, para mufassir menentukan pengertian
yang lebih kuat, lebih jelas dan gamblang. Namun hal tersebut sifatnya tidak pasti, sebab
kalau makna atau arti tersebut dipastikan berarti mufasir tersebut telah menguasai Al Qur’an,
sedangkan hal tesebut tidak dibenarkan sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur;an (Q.S Ali
Imran : 7).
Secara garis besar istilah antara tafsir dengan takwil tidak terdapat perbedaan yang
mendasar, kedua-duannya mempunyai semangat untuk menggali, mengkaji dan memahami
maksud dari ayat-ayat Al Qur’an guna dijadikan sebagai pedoman dan rujukan umat Islam
tatkala mengalami berbagai macam persoalan dalam kehidupan di dunia.
Sebagai upaya untuk menjelaskan maksud dari ayat Al Qur’an, obyek yang dijadikan
kajian dalam menafsirkan Al Qur’an adalah kalam Allah, maka dalam konteks ini Ia tidak
perlu diragukan dan diperdebatkan kembali mengenai kemuliaannya.
Kandungannya meliputi aqidah-aqidah yang benar, hukum-huikum syara’ dan lain-lain.
Tujuan akhirnya adalah dapat diperolehnya tali yang amat kuat dan tidak akan putus serta
akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Dan oleh karenanya, ilmu
tafsir merupakan pokok dari segala ilmu agama, sebab ia diambil dari Al Qur’an, maka ia
menjadi ilmu yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
Metodologi tafsir adalah ilmu tentang metode menafisirkan Al Qur’an dan pembahasan
ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al Qur’an, pembahasan yang berkaitan dengan cara
penerapan metode terhadap ayat-ayat Al Qur’an disebut Metodik, sedangkan cara menyajikan
atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran. Metode
penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dibagi dalam empat macam metode, namun hal
tersebut tergantung pada sudut pandang tertentu :
a. Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya.
b. Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya.
c. Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan.
d. Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.
Ayat-ayat Al Qur’an yang sangat banyak ini sejatinya dapat menjawab semua persoalan
yang terjadi pada masyarakat. Namun kesan yang ada pada saat ini seakan-akan ayat Al
Qur’an masih mengandung misteri, sehingga belum mampu menjawab semua persoalan yang
ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari ”miskin”nya cara, metode dan
pendekatan dalam memahami dan menafsirkan ayat Al Qur’an. Metodologi tafsir Al Qur’an
adalah salah satu cara untuk mengkaji, memahami dan menguak lebih jauh maksud dan
kandungan dari ayat-ayat Al Qur’an. Metode tafsir yang adapun sangat beragam model,
bentuk dan pendekatannya.
Adalah suatu hal yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami macam-
macam metode tafsir ayat Al Qur’an yang ada dengan berbagai macam pendekatannya, jika
hal ini telah kita ketahui, maka ayat-ayat Al Qur’an semakin hidup dan mampu untuk
menjawab segala persoalan masyarakat yang berkembang begitu cepat. Hal ini semakin
mempertegas bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi rujukan dan sumber utama
semua umat Islam.
Metode dan pendekatan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lainnya
dalam melakukan kajian atau penelitian. Kedua-duanya saling melengkapi.Pendekatan adalah
upaya untuk menafsirkan, memahami dan menjelaskan sebuah ayat atau obyek tertentu sesuai
dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh seseorang.
3.1 KESIMPULAN
Al Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang utama. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an menyajikan tingkat
tertinggi dari segi kehidupan manusia. Sangat mengagumkan bukan saja bagi orang mukmin,
melainkan juga bagi orang-orang kafir. Al Qur’an pertama kali diturunkan pada tanggal 17
Ramadhan (Nuzulul Qur’an). Wahyu yang perta kali turun tersebut adalah Surat Alaq, ayat 1-
5.
Fungsi atau peranan Al Quran yang sangat penting untuk dipahami seorang Muslim, Yakni
Al Qur’an berfungsi sebagai mukjizat bagi Rasulullah Muhammad saw, sebagai
Kalamullah,sebagai Sumber Hukum Islam, sebagai pedoman hidup bagi setiap Muslim, serta
sebagai korekter atau penyempurna terhadap kitab-kitab yang pernah Allah Swt. bernilai
abadi atau berlaku sepanjang zaman.
Sedangkan pendekatan untuk memahami al qur’an yakni dengan ulumul qur’an dan tafsir
al qur’an yang didalamnya berisi tentang sumber utama ajaran agama islam.