Anda di halaman 1dari 12

PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas

mata kuliah “studi al-qur’an”

KELAS PAI D

Disusun oleh :

CHINDI SUCI NURYANI (210317121)


Dosen pegampu:

ZAMZAM MUSTHOFA, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKUTLTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
NOVEMBER 20I7
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur-
angsur. Al-Qur’an tidak lansung secara instant kita terima seperti sekarang
ini. Namun, harus melalui proses sejarah yang amat panjang. Mulai dari
Rasulullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ hingga AL-qur’an
mulai dikumpulkan hingga mengalami kodifikasi.
Proses pemeliharaan Al-qur’an pada masa Rasullah SAW tidaklah
mudah, karena pada zaman itu belum banyak para sahabat yang dengan
mudah bisa mempelajari Al-qur’an. Namun karena sanng motivatornya
(Rosulullah SAW ) merupakan penghafal Al-Qur’an sekaligus contoh
terbaik bagi para sahabat khususnya. Akhirnya para sahabat juga
berlomba-lomba dalam menghafal Al-Qur’an. Dalam penyelesaian
makalah ini penulis akan membahas tentang proses pemeliaraan Al-Qur’an
pada masa Nabi Muhammad SAW, hingga Alasan mengapa Al-Qur’an
belum terkodifikasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pemeliharaan Al-Qur’an?
2. Bagaimana pemeliharaan dan penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi?
3. Mengapa alasan Al-Qur’an belum terkodifikasi?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian pemeliharaan Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui pemeliharaan dan penulisan pada masa Nabi
3. Untuk mengetahui alasan belu terkodifikasinya Al-Qur’an
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemeliharaan Al-Qur’an

Pengertian pemeliharaan Al-qur’an yang dimaksud adalah


pemeliharaan dalam bentuk pengumpulan dan penulisan Al-qur’an. 1
Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW termasuk dalam
pembahasan Ilmu Jama’ AL-Qur’an. Kata Jama’ Al-qur’an paling tidak
memiliki dua makna yaitu :

Pertama; hifdzuhu (menghafalnya dalam hati) makna ini sesuai


dengan firman Allah dalam QS Al-Qiyamah : 16-19
Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an
karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas
atnggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat
pandai) membacanya. ApabilaKami telah selesai membacanya Maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah penjelasannya.

Ayat diatas merupakan larangan Allah kepada Nabi Muhammad


SAW untuk menirukan baccan Jibril a.s kalimat demi kalimat, sebelum
Jibril a.s selesai membacaannya, agar Nabi Muhammad SAW dapat
menghafal dan memahami betul-betul ayat yang ditirukan itu.

Kedua, kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya).


Pemeliharaan Al-Qur’an dengan cara menulis pada saat itu. Pandangan
yang berkembang adalah bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang
bodoh/jahiliyah (menutup hati terhadap sesuatu yang baru) dan mayoritas
ummatnya buta aksara. Pada saat itu kondisi mayarakat yang demikian
disebut dalam Al-Qur’an sebagai masyarakat yang Ummi sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-jumu’ah : 2

1
Usman, ulumul qur’an, ( Yogyakarta: Teras), 2009, hal 56.
Artinya : Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah
(As sunnah. Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.

Pada Al-qur’an kata Ummi digunakan sampai tujuh kali. Dari ayat-
ayat tersebut paling tidak menggambarkan tiga keadaan Rasulullah yaitu :
kondisi Rasulullah SAW yang tidak dapat membaca teks tertulis, kondisi
Rasulullah SAW yang tidak menganut Agama Yahudi dan Nasrani, dan
kondisi Rasulullah yang tidak tahu menahu tentang Kitab Taurat dan Kitab
Injil.

Ke-ummi-an Rasulullah bukan berati intelektualnya rendah, Karena


pada masa Rasulullah standar intelektual seseorang adalah didasarkan
pada kemampuan di dalma menangkap dan memaparkan ide secara lisan.
Rasulullah dalam kemampuan ini jangan di ragukan lagi, beliau adalah
orang yang fasih dan baligh dalam kalammnya. Karena itulah beliau
dijuluki oleh masyarakat Arab sebagi Fathonah (cerdas).2

Mengenai penghimpunan Al-Qur’an dalam arti penghafalannya


dan penyemayamannya dengan mantap di dalam hati, telah dikaruniakan
Allah SWT kepada RasulNya lebih dulu sebelum kepada orang lain.
Beliau dikenal sebgai Sayyidul Huffadz dan sebagai Awwalul Jumma’,
manusia pertama penghafal Al-Qur’an , taka da tolok tandingannya. Hal
itu memudahkan para sahabat pilihan yang hidup sezaman dengan
Rasulullah sebagai penghafal Al-Qur’an, dan jumlah mereka itu tidak
sedikit.3

2
Usman, qur’an, hal
3
Subhi as-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,terjm, (Jakarta: penerbit pustaka
firdaus, 1999), hal 73.
B. Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi SAW

Al-qur’an diturunkan kepada Nabi SAW, secara berangsur-angsur


(gradual), baik satu ayat, dua bahkan satusurat dalam rentang waktu sekitar 23
tahun. Tiap kali Al-Qur’an turun Rasulullah SAW langsung memanggil para
sahabat untuk mencatat ayat yang baru saja diterimanya. ‘Utsman bin ‘Affan
mengatakan : “Tiap kali ada ayat yang turun, Nabi SAW langsung memanggil
pencatat wahyu dan berkata kepadanya ,” letakkanlah ayat ini dalam ayat yang
di dalamnya disebut begini dan begitu”. Bahkan demi menjaga keontentikan
dan kemurnian al-Quran. Menurut Imam Al-Nawawi , larangan ini berlaku
ketika dikhawatirkan tulisan yang bukan Al-Qur’an tercampur jadi satu
dengan Al-Qur’an, sehingga orang tidak bisa membedakan mana yang Al-
Qur’an dan mana yang bukan. Ibnu Hajar al-Asqalani menandaskan bahwa
larangan tersebut berlaku pada masa turunnya wahyu (Waqt nuzul al-qur’an ),
karena khawatir Al-Qur’an bercampur dengan yang lainnya. Dalam
keterangan sahabat yang termasuk sebagai pencatat wahyu (kuttab alwahyu)
mencapai 42 orang. Di antara ke-42 orang tersebut yang mahsyur adalah
adalah Abu Bakar,(w. 13H), Umar bin ‘Al khatab (w.23H), ‘Utsman bin
‘Affan (w.25H), Ali bin Abi Thalib (w.40H), Zaid Bin Tsabit (w.45H), Ubay
bin Ka’ab (w.30H), Mu’awiyah bin Abu Sofyan(w.60 H), Khalid bin
Walid(w.21H), ‘Abban bin Sa’ad (w.13H), dan Tsabit bin Qais (w.12H). dari
jumlah pencatat wahyu tersebut, sebagian besar berperan ketika berada di
Madinah.4 Al hakim di dalam al mustadrak mengutip sebuah hadis dengan
isnad Al-bukhari dan Muslim serta berasal dari Zaid Bin Tsabit yang
mengatakan : “Di kediaman Rasulullah kami dahulu menyusun ayat-ayat Al-
Qur’an yang tercatat dalam Riqa’ ” kata riqa’ adalah jamak dari kata Ruq’ah
yang berarti lembaran kulit, lembaran daun atau lembaran kain. Para sahabat
nabi ketika itu mencatat ayat-ayat di permukaan batu, di atas pelepah kurma,
pada tulang-tulang unta dan kambing yang telah kering ,diatas pelana kuda

4
Tim forum karya ilmiyah Raden, Al-Qur’an kita studi ilmu sejarah dan tafsir kalamullah,
(Kediri:Lirboyo press, 2013), hal 44.
dan dilembaran-lembaran kulit.5 Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan
ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan
kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya disamping kemungkinan
besar tidak mencakup seluruh ayat Al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang
diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a. lembaran-lembaran tadi disebut Shuhuf
kemudian setelah para sahabt menuliskannya diatas benda-benda tadi,
kemudian di tempatkan di rumah Rasulullah. Ada sahabat yang menuliskan
sebagian surat-surat al-Qur’an untuk kepentingan pribadi, seperti yang
dikatakan dalam kisah masuk islammnya Umar Bin Khatab, ketika itu sahabat
Umar masuk ke rumah saudarinya yang bernama Fatimah dan mendapati
saudarinya beserta suaminya sedang dibacakan surat at-Thaha yang terdapat
dalm lembaran oleh Khubab Bin Al-Art. Disamping melalui tulisan, wahyu
yang diterima oleh Nabi SAW juga dihafalkan sendiri dan kemudian
disampaikannya kepada para sahabat. Dalma satu riwayat yang bersumber dari
Ibnu ‘Abbas diceritakan bahwa Nabi SAW tergesa-gesa untuk segera
menghafalkan wahyu yang diturunkan kepadanya takut lupa dan ingin segera
menghafalkannya. Dalam riwayat lain , Malaikat Jibril setiap bulan Ramadhan
datang kepada Nabi SAW untuk bertadarus Al-Qur’an dan Nabi SAW
“menyotorkan” hafalannya kepada Malaikat Jibril. Hal ini tentunya sangat
membantu NABi Saw dalam menjaga hafalan Al-Qur’annya, meskipun Allah
SWt telah menjamin akan menjaga hafalan Nabi SAW. Kendati demikian,
terdapat beberapa riwayat yang mengindikasikann bahwa Nabi SAW, pernah
lupa terhadap salah satu ayat .Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan
oleh ‘Aisyah , ketika Nabi SAW mendengar sahabat yang sedang membaca al-
Qur’an di Masjid kemudian beliau berkata, “Semoga Allah merahmatunya
(rahimahullah), sungguh ia telah mengingatkan atas ayat ini dan itu yang aku
gugurkan (Asqaituha) dalam riwayat lain menggunakan redaksi redaksi
(Ansaituha), yang aku lalaikan) dari surat lain dan itu.”

5
As-shalih,Alqur’an, hal 79.
Riwayat yang seperti ini memberi pemahaman bahwa Nabi SAW
pernah lupa beberapa bagian ayat Al-Qur’an. Nabi SAW tidak hanya lupa
terhadap ayat Al-Qur’an, beliau juga pernah lupa dalam menjalankan
hukum-hukum agama. Imam al-Nawawi mengomentari hadis diatas
mengatakan sah sah saja Rasulullah SAW. Bukti pernah lalainya Nabi
SAW terhadap beberapa ayat al-Qur’an tidak akan pernah menggoyangkan
kotentikan al-Qur’an. Hal ini dikarenakan beberapa alas an mendasar,
antaralain ; kelalaian Nabi Saw pada beberapa ayat Al-Qur’an terjadi
setelah beliau menyampaikannya pada sahabat, setiap kali Nabi SAW
menerima wahyu beliau langsung memanggil para penulis wahyu untuk
mencatatnya sehingga dipastikan tidak ada satu ayat pun yang tersia-siakan.
Semuanya telah didengar oleh sahabat dan tertulis diatas bahan-bahan
tradisional. Sahabat yang hafal Al-Qur’an pada masa Nabi Saw sangat
minim sekali, akan tetapi tidak demikian sejatinya. Riwayat lain
diinformasikan bahwa banyaknya jumlah Huffadz al-Qur’an yang gugur
dalam peperangan. Anas bin Malik meriwayatkan, dalam perang Uhud
terdapat sekitar 70 sahabat yang mati yahid, begitu juga dalam perang Bi’r
al Mau’unah dan perang Yamamah.6 Dalam uraian sebelumnya
dikemukakan bahwa ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan
penghafal Al-Quran yang gugur. Hal ini menjadikan 'Umar ibn Al-
Khaththab menjadi risau tentang "masa depan Al-Quran". Karena itu,
beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan
tulisan-tulisan yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada
mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa
pengumpulan semacam itu tidak dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada
akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat
membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit dalam rangka
melaksanakan tugas suci dan besar itu.

Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas
tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan --apalagi beliau termasuk salah
6
Tim karya ilmiyah, tafsir kalamullah, hal 47-49
seorang yang ditugaskan oleh Rasul pada masa hidup beliau untuk
menuliskan wahyu Al-Quran. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat
Nabi, Zaid pun memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada
seluruh kaum Muslim untuk membawa naskah tulisan ayat Al-Quran yang
mereka miliki ke Masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh Zaid dan
timnya. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tersebut
tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat:
Pertama, harus sesuai dengan hafalan para sahabat lain. Kedua,
tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan di
hadapan Nabi saw. Karena, seperti yang dikemukakan di atas, sebagian
sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri. Untuk membuktikan syarat
kedua tersebut, diharuskan adanya dua orang saksi mata.. Sejarah mencatat
bahwa Zaid ketika itu menemukan kesulitan karena beliau dan sekian
banyak sahabat menghafal ayat Laqad ja'akum Rasul min anfusikum 'aziz
'alayh ma 'anittun harish 'alaykum bi almu'minina Ra'uf al-rahim (QS
9:128). Tetapi, naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw. tidak ditemukan.
Syukurlah pada akhirnya naskah tersebut ditemukan juga di tangan seorang
sahabat yang bernama Abi Khuzaimah Al-Anshari. Demikianlah, terlihat
betapa Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan
naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara
keotentikan Al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja
dan data-data sejarah bahwa Al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah
otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca
oleh Rasulullah saw, lima belas abad yang lalu.7
C. Alasan Belum Terkodifikasinya Al-Qur’an
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran
agama Islam, bangsa Arab - tempat diturunkannya al-Qur’an tergolong ke
dalam bangsa yang buta huruf; sangat sedikit di antara mereka yang pandai
menulis dan membaca.3 Mereka belum mengenal kertas, sebagaimana

7
M. Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat,(Bandung : Mizan, 1996) hal 9-10.
kertas yang dikenal sekarang. Bahkan, Nabi Muhammad Saw sendiri
dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca
dan menulis. Buta huruf bangsa Arab pada saat itu dan ke-ummi-an Nabi
Muhammad Saw, dengan tegas disebutkan dalam al-Qur’an surat al-
Jumu’ah ayat 2, yaitu:
Artinya: Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf,
seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat-
Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
alKitab (al-Qur’an) dan hikmah; dan sesungguhnya mereka itu
sebelumnya benar-benar (berada) dalam kesesatan yang nyata (Q. S
alJumu’ah: 2).
Kendatipun bangsa Arab pada saat itu masih tergolong buta huruf
pada awal penurunan al-Qur’an, tetapi mereka dikenal memilki daya ingat
(hafal) yang sangat kuat. Mereka terbiasa menghafal berbagai sya’ir Arab
dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak. Dengan
demikian, pada saat diturunkannya al-Qur’an, Rasulullah menganjurkan
supaya al-Qur’an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkannya
membacanya dalam shalat. Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an,
Rasulullah Saw mengangkat beberapa orang sahabat, yang bertugas
merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw. Di antara mereka ialah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Ka’ab,5 dan beberapa sahabat lainnya. 8
Nabi melarang penulisan AL-Qur’an karena ditakutkan akan
tercampur dengan yang lain. Maka,Setiap kali turun ayat al-Qur’an,
Rasulullah memanggil juru tulis wahyu dan memerintahkan sahabatnya
agar mencatat dan menempatkan serta mengurutkannya sesuai dengan
petunjuk Beliau.

8
5 Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
hal 67
Pada masa Rasulullah, Keseluruhan al-Qur’an telah ditulis, namun
masih belum terhimpun dalam satu tempat artinya masih berserak-serak.
Mengingat pada masa itu belum dikenal zaman pembukuan, maka tidaklah
mengherankan jika pencatatan al-Qur’an bukan dilakukan pada kertas-
kertas seperti dikenal pada zaman sekarang, melainkan dicatat pada benda-
benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis-menulis terutama
pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit hewan, tulang belulang, bebatuan dan
juga dihafal oleh para hafizh muslimin. Sebelum wafat, Rasulullah telah
mencocokkan al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Beliau dengan al-
Qur’an yang dihafal para hafizh, surat demi surat, ayat demi ayat.8 Maka
al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu merupakan duplikat al-Qur’an yang
dihafal oleh Rasulullah Saw. 9

BAB III
KESIMPULAN

9
Muhammad Ichsan Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012.
1. Pengertian pemeliharaan adalah pemeliharaan dalam bentuk pengumpulan
dan penulisan Al-qur’an. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW
termasuk dalam pembahasan Ilmu Jama’ Al-Qur’an.
2. Pemeliharaan pada masa Nabi SAW dilakukan dengan cara menghafal
dala hati Nabi SAW dan diajarkan kepada para sahabat, setelah dihafalkan
nabi menyuruh sahabatnya untuk mencatat wahyu yang telah turun sesuai
dengan petunjuk beliau. Dicatatnya wahyu (Ayat al-qur’an) ditulis di alat
tradisional seperti kulit hewan, batu-batuan, pelepah kurma dll.
3. Alasan belum terkodifikasinya Al-Qur’an pada masa Nabi SAW karena
ditakutkan adanya campuran ayat Al-Qur’an dengan fatwa atau hadis nabi,
namun pada masa itu para sahabat ada yang menuliskan ayat-ayat Al-
Qur’an sendiri yang masih berbentuk lembaran-lembaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ichsan, Muhammad. 2012. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April.


Shihab, M. Quraish. 1996. membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan,.
As-Shalih, Subhi, 1999. Membaha. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,terjm. Jakarta:
penerbit pustaka firdaus,
Tim forum karya ilmiyah Raden. 2013. Al-Qur’an kita studi ilmu sejarah
dan tafsir kalamullah. Kediri: Lirboyo press.
Usman. ulumul qur’an. 2009. Yogyakarta: Teras.

Anda mungkin juga menyukai