PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika dalam Orientasi Studi Al-Qur’an, Belukar, Yogyakarta,
2007, h.12.
2
Muhammad Ata Al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan, Terj. Ilham BSaenong, Teraju,
Bandung, 2004, h. 136.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar benar memeliharanya.3
Dalam Ayat ini dijelaskan memberikan jaminan tentang kesucian dan
kemurnian Al Quran selama-lamanya. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan
bahwa proses kodifikasi dan penulisan Qur'an dapat menjamin kesuciannya secara
meyakinkan. Qur'an ditulis sejak Nabi masih hidup. Begitu wahyu turun kepada
Nabi, Nabi langsung memerintahkan para sahabat penulis wahyu untuk
menuliskannya secara hati-hati. Begitu mereka tulis, kemudian mereka hafalkan
sekaligus mereka amalkan.
3
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, 2017
B. Rumusan masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kodifikasi al-qur’an?
2. Bagaimana sejarah kodifikasi al-qur’an perspektif islam Revivalisme dan
Revisionisme?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini akan membahas tentang:
1. Menjelaskan sejarah kodifikasi al-qur’an!
2. Mendeskripsikan sejarah kodifikasi al-qur’an perspektif islam
Revivalisme dan Revisionisme!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an
4
Al-Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi Ulum
Al-Qur’an, 2002 hal. 259
5
Manna Khalil Al-Khattan (2001:178-
179) dalam bukunya Mabahis fi Ulumil Qur’an
66
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, 2017
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu.
19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan
bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai
membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami
betul-betul ayat yang diturunkan itu.
7
M. M. Al-‘Azami, Sejarah Teks Al-Aur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Gema
Insani Press, 2014) h. 48
8
As-Suyuti, al-itqan i:117
Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Kaab dan Tsabit bin
Qeis.9
Al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur baik di Mekah maupun di
Madinah sangat memudahkan dokumentasi yang dilakukan para sahabat. Al-
Qur’an tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di toko akan tetapi sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Alquran diturunkan secara terpisah
(perayat atau beberapa ayat) tidak persurah, maka yang diturunkan di Mekah kami
tetapkan di Mekah walaupun penyempurnaannya di Madinah. Demikian juga
yang diturunkan di Madinah, bahwasanya Alquran itu dipisah antara satu surah
dengan surah yang lain, apabila turun Bismillahirrahmanirrahim maka mereka
(para sahabat) mengetahui bahwa surah yang pertama sudah selesai dan dimulai
dengan surah yang lain”.
Al-Qur’an kala itu dituliskan dalam media yang seadanya yang tersedia
saat itu, seperti: ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf
(tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Jumlah sahabat yang bertugas
menulis al-qur’an mencapai 40 Orang hal ini dikuatkan dalam hadist takhrij
(dikeluarkan) oleh Al-Hakim, dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a.,
ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al-
Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari kebiasaan menulis Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah
(manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang
terkenal adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin
Tsabit dan Salin bin Ma'qal.12
2. Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan
Utsman bin Affan
Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Pada masa Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi perang
Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para huffazh
(penghafal al-Qur`an) terbunuh. Pada pertempuran itu Abu Bakar menyiapkan
pasukan yang terdiri dari 4000 pengendara kuda yang menggempur mereka.
Kemudian banyak di antara para sahabat yang gugur, selain itu syahid pula 70
orang penghafal Al-Qur’an. Serangan terhadap Musailamah tersebut dinamakan
peperanganYamamah.13 Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa
khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an akibat wafatnya para
huffazh. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di
lembaran-lembaran.
11
Ibid, h.6
12
Ibid, h.7
13
Ash-Shiddiqie, Sejarah Ilmu danPengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, 2000. h. 80
Zaid bin Tsabit ra berkata: Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku
tentang korban Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berada di
sisinya. Abu Bakar ra berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia
berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa
para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya
peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di
negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar al-Qur`an. ”Abu Bakar
berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum
pernah dilakukan oleh Rasul saw. ”Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah
sesuatu yang baik. ”Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu Bakar hingga
Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar tentang perkara itu. Lalu
Abu Bakar berpendapat seperti apa yang dipandang oleh Umar. Zaid bin Tsabit
melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan kepadaku, “Engkau laki-laki
yang masih muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan
atas dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga
engkau selalu mengikuti al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia. ”Demi Allah
seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya,
maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku
mengenai pengumpulan al-Qur`an. Aku bertanya: “Bagaimana kalian melakukan
perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw? ” Umar menjawab
bahwa ini adalah sesuatu yang baik. Umar selalu mengulang- ulang perkataaannya
sampai Allah memberikan kelapangan pada dadaku seperti yang telah
diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra.14
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh
terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar berupa mengumpulkan Al
Quran menjadi sebuah Mushaf. Maka aku mulai menyusun al-Qur`an dan
mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu tipis, serta
dari hafalan para sahabat, Pengumpulan al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit
ini tidak berdasarkan hafalan para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih
dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah saw. Lembaran-lembaran al-
Qur`an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di
14
Al-Khatib, Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid1 op.cit : 2 h. 954
depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan
lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil
kecuali memenuhi dua syarat: 1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang
sahabat. 2) Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat. Saking
telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak
bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-
Taubah tersebut ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah
saja.
Terjemahan:
15
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, tahun
semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan
Al Quran,
selain itu juga Abu Bakarlah yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai
Mushaf.”
Masa Usman Bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah
Islam di luar Jazirah Arab sehingga menyebabkan umat Islam bukan hanya terdiri
dari bangsa Arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan
negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al-Quran, karena
bahasa asli mereka bukan bahasa Arab. Fenomena ini ditangkap dan ditanggapi
secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang
pasukan Muslim yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu
memimpin pasukan Muslim untuk wilayah Syam (sekarang Syiria) mendapat misi
untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk Soviet) dan Iraq
menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi
dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata : “wahai Usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara
bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga
menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani “. Lalu Usman meminta Hafsah
meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah
dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid
bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan
lain-lain.
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun
25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu
pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa
mereka. Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar
dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk
membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil
salinannya yang berjumlah 6 Mushaf. Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke
kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan
satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf
al-Imam. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil
meredam perselisihan dikalangan umat Islam sehingga ia menuai pujian dari umat
Islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu
Bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakai
oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada
Rasm al-Anbath tanpa harakat atau Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat
mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh
Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan
di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh
kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard
(sekarang St.PitersBurg) dan umat Islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin
memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun
1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya
meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya
yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian Asia Tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo Mesir dan Mushaf
ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat Islam tetap
mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya. Sampai suatu saat
ketika umat Islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari
berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi
kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada
waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca
(Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
B. Menurut Perspektif Islam Revivalisme dan Revisionisme memandang
Al-Qur’an
Revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali
kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis adalah
Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn „Abd al-Wahhab
(1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di India, Uthman Dan Fodio
(1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah
di Libya yang dinisbatkan kepada Muhammad Ali al-Sanusi (1787-1859).
Chouieri melihat adanya kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-
gerakan revivalis Islam tersebut, yaitu: (a) kembali kepada Islam yang asli,
memurnikan Islam dari tradisi lokal dan pengaruh budaya asing; (b) mendorong
penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid; (c) perlunya hijrah dari wilayah
yang didominasi oleh orang kafir (dar al-kufr); (d) keyakinan kepada adanya
pemimpin yang adil dan seorang pembaru. Sementara itu, Dekmejian menyatakan
bahwa munculnya pelbagi orientasi ideologi revivalis Islam dipengaruhi oleh
adanya perbedaan yang timbul dari penafsiran yang berbeda terhadap al-Qur‟an,
al-Sunnah dan sejarah Islam awal. Selain itu ada faktor lain seperti watak dari
situasi krisis, keunikan dalam kondisi sosial dan gaya kepemimpinan dari masing-
masing gerakan. Atas dasar itu, Dekmejian mengidentifikasi empat kategori
ideologi revivalis: (a) adaptasionis-gradualis (al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir,
Iraq, Sudan, Jordan, Afrika Utara; dan Jama’at-i Islami di Pakisan); (b) Shi‟ah
revolusioner (Republik Islam Iran, Hizb al-Da’wah Iraq, Hizbullah Libanon,
Jihad Islam Libanon; (c) Sunni revolusioner (al-Jihad Mesir, Organisasi
Pembebasan Islam Mesir, Jama’ah Abu Dharr Syria, Hizb al-Tahrir di Jordania
dan Syria; (d) primitivis-Mesianis (al-Ikhwan Saudi Arabia, al-Takfir wa al-
Hijrah Mesir, Mahdiyyah Sudan, Jama’at al-Muslimin lil-Takfir Mesir.16
Revivalisme Islam juga berhubungan dengan fundamentalisme. Gerakan dan
pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
modernisme dan sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan. Peradaban
modern-sekular menjadi sasaran kritik fundamentalisme Islam, dan di sini
fundamentalsime memiliki fungsi kritik. Seperti ditipologikan oleh Fazlur
Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam) merupakan reaksi
terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut
terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada
kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya,
fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali kepada
sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu yang
berasal dari warisan modernisme Barat.
16
M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam..., xv-xvi.
Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme Islam ialah
pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur‟an dan al-Sunnah).
Literalisme kaum fundamentalis tampak pada ketidaksediaan mereka untuk
melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat
penafsiran- sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat
ideologis. Literalisme ini berkoinsidensi dengan semangat skripturalisme,
meskipun Leonard Binder membuat kategori fundamentalisme non-skriptural
untuk pemikir fundamentalis seperti Sayyid Qutb.
Pembedaan yang signifikan antara revivalisme dan fundamentalisme
adalah, revivalisme Islam (Islamic revivalism) atau Islamic resurgence
mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam, misalnya Wahhabiyyah, yang
dia anggap sebagai representasi dari prototipe Islam fundamentalis modern.
Terlepas dari beberapa perbedaan perspektif dan implikasi yang ditimbulkannya,
korelasi, kaitan atau kemiripan karakteristik dasar antara fundamentalisme,
revivalisme, Islamisme dan radikalisme tidak bisa dikesampingkan.