KALANGAN ORIENTALIS
April 12, 2016
BAB.I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya mencari kelebihan dan kekurangan sesuatu untuk menemukan kebenaran Kritik
yaitu masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki
pekerjaan.Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kritiks yang membedakan,
kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuna krits, artinya orang yang
memberikan pendapat beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi,
atau pengamatan. Istilah ini biasa dipergunakan untuk menggambarkan seorang
pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan. hal yang wajar
berlaku dalam studi ilmiah. Demikian pula terhadap hadis dan para ulama hadis. Kajian
hadis dan ulama hadis juga menuai kritik, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari
orang-orang non-Islam.
Jika di kalangan Islam, kritik hadis bertujuan untuk mengetahui mana hadis yang
diterima (maqbul) dan mana yang tertolak (mardud), untuk diketahui pula apakah hadis
tersebut dapat dijadikan dasar ajaran Islam atau tidak, maka lain halnnya dengan kritik
yang datang dari orang non-Islam. Mereka (non-Islam) melakukan kritik terhadap hadis
dengan tujuan mencari kesalahan dan kelemahan, untuk digunakan sebagai alat
melemahkan Islam.
Mereka yang melakukan kajian dunia Timur (Islam) secara umum, baik Timur Dekat
maupun Timur Jauh, baik dalam bidang bahasa, sastra, peradaban, maupun
agamanya, ini kemudian dikenal dengan istilah orientalis.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan orientalis?
2. Siapa saja orientalis yang melakukan kajian hadis?
3. Bagaimana sanggahan dan bantahan dari ulama Muslim terhadap kritik orientalis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang orientalis.
2. Mengetahui siapa saja orientalis yang melakukan kajian hadis.
3. Mengetahui bagaimana sanggahan dari ulama muslim terhadap kritik orientalis
BAB.II
PEMBAHASAN
A. Definisi Orientalisme dan Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis
1. Definisi Orientalism
Istilah orientalis berasal dari kata orient yang berarti timur, dan kata Ism yang
berarti paham. Jadi secara bahasa orientalis berarti paham tentang dunia
timur/ketimuran. Atau orang yang memiliki concern terhadap kultur timur disebut
Orientalis. orientalisme (dengan penambahan kata isme yang berarti aliran, pendirian,
ilmu, paham, keyakinan, dan sistem) secara etimologis, dapat diartikan sebagai ilmu
tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. dalam karya monumentalnya,
Orientalism, Edward Said secara lebih komprehensif menyatakan bahwa orientalisme
dpat di jelskan melalui tiga hal yang sangat berkaitan; pertama, seseorang orientalis
adalah orang yang mengajarkan, menulis atau meneliti tentang Timur, dengan kata lain
orientalis adalah mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang budaya timur; kedua, orientalisme merupakan
model pemikiran yang didasarkan kepada pembedaan ontologis dan epistemolohis
tentang timur dan barat; ketiga, orientalisme merupakan suatu institusi berbadan hukum
untuk menghadapi dunia timur, yang memiliki kepentingan membuat pernyataan
tentang timur, membenarkan pandangan tentang timur, mendiskripsikan, mengajarkan,
memposisikan dan menguasainya.[1]
Dr. Qasim Assamurai, seorang ahli orientalis, telah mencoba merangkum beberapa
pendapat tentang kemunculan orientalis yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Segala sesuatu yang di sebar luaskan oleh media masa barat, baik menggunakan
bahasa mereka ataupun bahasa arab yang menyangkut islam dan kaum muslimin.
(2) Segala sesuatu yang ditetapkan oleh para peneliti dan politisi barat dalam berbagai
konferensi dan seminar mereka, baik yang te rbuka maupun yang rahasia.[2]
(3) Segala sesuatu yang di tulis oleh orang arab kristen, seperti kaum maronit yang
memandang islam dengan kacamata barat.
(4) Segala sesuatu yang disebarluaskan oleh para peneliti musim, yang belajar kepada
para orientalis, dan mengadopsi anyak fikiran kaum orientalis, hingga sebagian murit
orientalis itu bahkan melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan teknik dan
metode yang lazim dalam orientalisme.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kritik orientalis pada
pembahasan ini adalah orang-orang Barat non-Muslim yang melakukan kajian terhadap
hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai dasar penetapan hukum.[3]
2. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya
adalah hadis nabi. Siapakah orientalis yang pertama melakukan kajian dibidang ini
belum direntukan kepastian sejarahnya karna para ahli berbeda pendapat.
Dalam hal ini Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas
hadis yang di lengkapi dengan studi-studi ilmiyah yang dilakukanya, sehingga karyanya
dianggap sebagai Kitab Suci oleh para orientalis sendiri. di samping itu , kehadiran
Joseph Schacht melalui bukunya: the origin of Muhammadaan Jurisprudence, terbit
pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggab sebaggai kitab sucu kedua oleh
para orientalis berikutnya, juga telah membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah
penelitian kajian hadis dikalangan orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Yaqub,
untu mengetahui kajian hadis cukup hanya dengan menelusuri kedua pendapat tokoh
ini (goldziher dan joseph), karena para orientalis sesudah mereka pada umumnya
hanyaa mengikuti pendapat keduanya.
Namun ada pula orientalis yang memiliki padangan yang lebih jernih dan bertentangan
dengan kedua ilmuan diatas. Freedland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and
Pakistan (1908) membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar:
(1) Hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara Umum
(2) Hadis yang diprmasalahkan karena hais-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan
Nabi,
Jadi dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat
tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Goldziher dan Schacht, namun
ada pula yang sependapat dengan mereka dala memandang Islam umumnya dan hadis
khususnya.
B. Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Kususnya Kajian Hadis
Perbedaan orientalis dalam memandang Islam termasuk hadis, tidak terlepas dari
motivasi dan sikap mereka di dalam mengkaji Islam. Sikap mereka itu dapat dibedakan
menjadi tiga. pertama, sikap netral terjadi pada awal persentuhan antara Timur dan
Barat pada masa jauh sebelum perang salib. Kedua, pasca-perang salib sikap tersebut
bergeser ke arah pendistorsian islam dilatarbelakangi oleh sentimen kegamaan yang
semakin menguat. Ketiga, silkap mulai mengapresiasi islam yang terjadi pada
perkembangan orientalisme kontemporer yang didorong oleh semangat perkembangan
intelektual yang rasional. Meskipun belum seratus persen objektif, pada masa ini
penghargaan dan penghormatan terhadap islam mulai terlihat.
Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan
pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan
tentang hadis akan selalu berhubungan dengan Muhammad yang perkataan,
perrbuatan, dan persetujuanya melahirkan hadis. Dalam konteks ini, pencitraan
Muhammad dimata orientalis dapat di pandang dari dua sisi. Satu sisi Muhammad
dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang telah membebaskan manusia dari kezaliman
Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh De Boulavilliers dan Savary, sisi lain
Muhammad dianggab sebagai paganis, penganut kristen dan yahudi, intelektual pintar
yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seseorang tukang sihir yang
berpenyakit ayan. Pandangan ini di kemukakan antara lain oleh DHerbelot, Dante
Alighieri, washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Schacht.
Sikap kedua diatas telah membentuk citra yang sama teerhadap hadis. Dalam
pengertian bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan
berpandangan negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknnya. meskipun hal ini
tidak menunjukan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasikan secara keseluruhan
ternyata kelompok orientalis yang mencela hadis lebih banyak di banding kelompok
yang mengakui eksistensi hadis. Dalam pandangan banyak orientalis, hadis hanya
merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama
yang multidimensional, mereka menganggab bahwa hadis tidak lebih dari sekedar
ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan Kristen.[5]
C. Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum
Pandangan orientalis terhadap hadis sebagai sumber hukum dapat ditelusuri dari
pandangan mereka tentang peranan Nabi Muhammad dalam pembentukan hukum.
Sebagaimana terlihat pada pandangan Joseph Schacht, Anderson, Snouck Hurgronje,
dan E. Tyan. Menurut Schacht , tujuan Muhammad selaku Nabi bukanlah untuk
membuat sistem hukum yang baru, tetapi sekedar mengajarkan manusia bagaimana
harus bertindak agar selamat menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan agar
masuk surga. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Anderson bahwa Muhammad
tidak berusaha menyelesaikan sistem hukum yang Komperehensif, tetapi hanya
melakukan sedikit amandemen terhadap hukuum adat yang sudah ada.
Keterangan diatas juga menunjukan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad
sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka tentang sunnah itu sendiri yang
mereka yakini sebagai sesuatu yang bukan berasal dari Nabi. Mereka beranggapan
bahwa sanad dan matan yang berada pada kitab-kitab hadis adalah uatan ulama dan
umat isam pada abad kedua dan ketiga hijriah.untuk mendukung keyakinan ini mereka
kemudian mencari-cari argumentasi sehingga sanad_dan otomatis matan_ dipahami
sebagai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan merupakan perkataan
mereka.[8]
E. Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah
Dalam pandangan kaum orientalis, hadis juga dipandang berbeda dengan sunnah.
Perbedaan ini antara lain terlihat pada pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa
hadis bermakna suatu disiplin ilmu yang bersifat teoretis, sedangkan sunnah berisi
aturan-aturan praktis. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah
dan hukum yang di akui sebagai tta cara kaum muslimin periode awal yang dipandang
autoritatif dan telah dipraktikkan dimnamakan sunnah. Sedangkan peryataan tentang
tata cara itu disebut hadis. I juga menyatakan bahwa hadis bercirikan berita lisan yang
di klaim bersumber dari nabi, sedangkan sunnah merupakan hal yang menjadi adat
kebiasaan yang muncul pada abad keduitua di awal pertumbuhan dan perkembangan
islam, terlepas dari apakah kebiasaan itu ada hadisnya atau tidak.
Pada kesempatan lain, Ignas Goldziher menyatakan bhwa perbedaan sunnah dan
hadis bukan saja dari maknanya. Tetapi melebar pada pertentangan dalam materi hadis
dan sunnah.Menurutnya hadis berisikan berita lisan yang dinilai bersumber pada Nabi,
sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yanng lazim digunakan dikalangan umat islam
awal yang menunjuk pada permasalahan hukum dan keagamaan, baik ada atau tidak
ada berita lisan tentang kebiasaan itu.
Pendapat senada di kemukakan oleh Schacht bahwa sunah merupakan konsep bangsa
arab kuno yang berlaku kembali sebagai saalah satu pusat pemikiran islam.
Menurutnya, sunnah lebih lebih merupakan tradisi arab kuno yang kembali mengemuka
dalam ajaran islam.
Dapat dikatakan bahwa pendapat Goldziher dan Schacht tentang sunah relatif sama.
Keduanya menganggab sunah bukan suatu yang berasal dari nabi. Tetapi hanya
kelanjutan dari tradisi bangsa arab yanng kemudian direvisi dan diteruskan oleh islam
serta kemudian di saandarkan kepada Nabi.[9]
F. Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu
Sebagaimana dijelaskan diatas baik Ignas Goldziher maupun Joseph Schacht
berpendapat bahwa hadis tidaklah berasal dari Nabi melainkan sesuatu yang hadir
pada abad pertama dan kedua hijriah. Sebagaimana dikutip oleh Abd al-Qadir,
Goldziher menyatakan bahwa bagian terbesar dari hadis tidak lain merupakan hasil dari
perkembangan islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan,
politik maupun sosial.
Menurut Goldziher tidaklah benar pendapat bahwa hadis merupakan dokumen islam
yang sudah ada semenjak masa pertumbuhan, melainkan sebagai pengaruh
perkembangan islam pada masa kematangan. Goldziher didalam bukunya meskipun
tidak secara langsung menyatakan bahwa semua hadis palsu, telah meragukan
keautentikan hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi. Pernyataan lebih tegas
datang dari Joseph Schacht bahwa tidak dapat di temukan satupun hadis Nabi,
terutama yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dianggab sebagai hadis yang asli
dari Nabi.
Dengan demikian, baik menurut Goldziher maupun Schacht sunnah atau hadis
bukanlah sesuatu yang berasal dari nabi melainkan merupakan rekayasa ulama dan
umat islam generasi abad pertama dan kedua hijriah. Atau suatu tradisi yang terjadi
dikalangan umat islam yang kemudian disandarkan kepada Nabi.[10]
G. Bantahan dan Kritik Balik Ulama Muslim terhadap Kritik Orientalis
Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas
hadis banyak mendapat jawaban dari ulama hadis, sebagai upaya meluruskan kritik
dan tuduhan tersebut. Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap
pendapat para orientalis tersebut adalah Musthafa al-Sibai, Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Shubhi al-Shalih dan Muhammad Musthafa Azami. Terkait dengan tuduhan mereka
tentang adanya larangan penulisan hadis oleh Nabi dan tidak adanya peninggalan
tertulis, Shubhi Al-Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan
secara umum pada masa awal turunnya wahyu al-Quran karena Nabi khawatir hadis
tercampur dengan Al Quran. Tetapi setelah sebagian besar Al Quran diturunkan, maka
Nabi memberikan izin penulisan hadis secara umum kepada para sahabat. Kenyataan
ini diperkuat dengan dikemukakannya catatan-catatan hadis pada masa Nabi seperti
catatan Said ibn Ubaddah, Samrah ibn Jundub (w. 60 H), Jabir ibn Abd Allah (w. 78
H), Abd Allah ibn Umar ibn al Ash (w. 65 H), dan Abd Allah ibn al-Abbas (w. 69 H).
Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam
abad pertama, kedua, dan ketiga Hijriah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai
berikut.
1. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi,
seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk menyampaikan
hadis kepada yang tidak hadir.
2. Mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat puluh tahun Hijriah yang dipicu oleh
persoalan politik, karena di antara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga
membuat hadis untuk kepentingan politik atau golongan mereka.
3. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti
bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
4. Teori projecting back (al-qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-
contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan
periwayatan suatu hadis.
5. Tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti
membuat marfuhadis yang mawquf atau menjadikan muttashil hadis yang mursal. Demikian
pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu
madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah.
6. Penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala kemampuan
mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi. [11] Dalam kaitannya
dengan tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri terhadap hadis:
( janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga mesjid) menurut Azami, tidak
ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut
diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri. Kelahiran al-Zuhri sendiri masih
diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H dan 58 H, dan ia tidak pernah bertemu
dengan Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H.
Di sisi lain, pada tahun 68 H, orang-orang dinasti Umayyyah berada di Mekkah
menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah
kekuasaan Bani Umayyah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah
dimulai tahun 69 H (saat itu al-Zuhri berumur antara 10-18 tahun), dan baru selesai
tahun 72 H.
Karena itu, tidak mungkin Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam
berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu
dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.
Menurut Musthafa Azami, teori Scacht tentang projecting back itu dijawab dengan
penjelasan, bahwa fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqh adalah ijtihady. Oleh
sebab itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat
pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayyah.
BAB.III
PENUTUP
1. KESIMPULLAN
Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, antara lain :
1. Orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang melakukan pengkajian terhadap dunia
timur, baik agama, bahasa, sejarah, adat-istiadat dan lain-lain, juga terkait hadis Nabi
Muhammad saw.
2. Ignaz Goldziher dan Schacht adalah dua tokoh orientalis yang dipandang sebagai pemula yang
mengkaji hadis oleh orientalis lainnya
3. Kritik terhadap hadis yang dilakukan bertujuan untuk menggoyahkan otentisitas hadis sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran.
4. Kritik hadis yang dilakukan oleh Goldziher dan Schacht meliputi kritikan terhadap
terminologi, materi, ketokohan dan literatur hadis.
2. SARAN
Kajian hadis dari persepsi orientalis menjadi perlu dipelajari oleh umat Islam agar dapat
berhati-hati dengan serangan kritikan para orientalis tersebut. Di samping juga agar
dapat memperkuat keyakinan terhadap Hadis sebagai sumber ajaran dalam Islam.
Dengan mempelajari kritik hadis orientalis ini, setidaknya pengkaburan otentisitas hadis
yang telah ditulis dan boleh jadi akan terus berkembang oleh orientalis, bisa diantisipasi
dengan persepsi yang mendekati kebenaran realitasnya.
Semoga makalah ini bisa menjadi bahan rujukan pembaca dalam mata kuliah Ulumul
Hadis. Keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini semata
kekurangan Penulis. Diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikannya.
[1] Umi sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),hal. 161
[2] H.Zeid B.Smeer, Ulumul Hadis,(Malang: UIN-Malang Press,2008),hlm. 156
[3] Hasan Hanafi, Orientalisme, (Jakarta: PustakaAl-Husna,1981),hlm. 9
[4] Idri, Studi Hadis,(Jakarta:Kencana,2010),hlm.308
[5] Ibid.,hlm. 309
[6] Ibid., hlm. 319
[7] Zeid B. Smeer, OP. Cit, hlm. 164.
[8] Idri, Op Cit, hlm. 316.
[9] Ibid, hlm. 311
[10] Ibid, hlm. 317
[11] Ibid, hlm. 321
DAFTAR PUSTAKA
1. 1. Pendahuluan
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di
dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut
yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik
yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.
Dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan bagaimana persepsi orientalis
terhadap salah satu agama timur, yaitu islam. Lebih spesifik terhadap pandangan
mereka terhadap salah satu unsur terpenting di dalam agama Islam, yaitu Al Hadits.
1. 2. Pembahasan
Mereka memilih hadits dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena
kedudukan hadits yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadits adalah
sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran
itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadits ketimbang al Quran, karena
hadits hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-
unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al Quran karena al
Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur
negatif.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al
Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode
pengklasifikasian hadits.
Kritikan para orientalis banyak ditujukan kepada Abu hurairah dan Sayyidah Aisyah,
dua sahabat periwayat hadits paling banyak. Abu hurairah dikecam karena
pertentangannya dengan para sahabat mengenai kesalahannya dalam periwayatan
hadits, seperti yang diutarakan oleh Abu bakar :[4]
Kalau saja saya mau, saya bisa menceritakan semua hal yang pernah saya ketahui
bersumber dari rasulullah dan berita dari sahabat yang lain tentang diri beliau,
mungkin ini akan menghabiskan waktu berhari-hari, namun saya takut apa-apa yang
saya sampaikan nantinya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi entah
kenapa orang itu (Abu hurairah) tiada berhenti bercerita tentang nabi seakan-akan dia
mengetahui segala hal tentang Nabi.
Riwayat lain juga menyebutkan komentar Sayyidina Umar ibn khatab tentang Abu
hurairah, pembohong terbesar diantara perawi hadits adalah Abu hurairah dan aku
akan memenjarakannya bila dia tidak berhenti meriwayatkan hadits.[5]
Kritikan tidak kalah tajamnya juga diterima oleh Sayyidah Aisyah, pertempurannya
dengan Sayyidina Ali dalam perang jamal, adalah sebuah bukti nyata bagi umat islam
untuk mempertanyakan sifat adil adalah yang dimiliki beliau, karena bagaimana
mungkin seseorang yang melakukan tindakan bughat terhadap khalifah yang terpilih
secara sah masih bisa disebut dengan adil, dan kalau sudah tidak adil apakah hadits-
haditsnya masih layak pakai.[6]
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad
juga perlu dipertanyakan.mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul,
kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini
hadits dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik
perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu
yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan
hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan
hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang
baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat
perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam
penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomery
watt, salah seorang orientalis ternama saat ini :[7]
1. 3. Penutup
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi
tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru
bagi kita agar kita bisa melihat hadits, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak
hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain,
yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterimakasih kepada mereka
karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian
mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat
buruk dari sebagian mereka.
[5] Op .cit
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Al-quran. Dan selain
berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir
Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sangat penting.
Untuk mengetahui otentik atau tidaknya sumber Hadits tersebut maka kita harus
mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad dan matan. Kedua unsur tersebut
mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis.
Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan
penelitian, penilaian dan penelusuran Hadits dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadits
yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadits tersebut dapat
dipertanggungjawabkan keotentikannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan
bagaimana melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadits, yang terlebih dahulu kita
memahami pengertian, tujuan, urgensi, dan standar acuan penelitian sanad dan matan Hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sanad, matan, dan perawi hadits ?
2. Apa saja urgensi kritik sanad dan matan ?
3. Apa tujuan kritik sanad dan matan ?
4. Apa standar acuan kritik sanad dan matan ?
5. Bagaimana langkah-langkah kritik sanad dan matan hadits ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian sanad, matan, dan perawi hadits
2. Mengetahui urgensi kritik sanad dan matan
3. Mengetahui tujuan kritik sanad dan matan
4. Mengetahui standar acuan kritik sanad dan matan
5. Mengetahui langkah-langkah kritik sanad dan matan hadits
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Matan
matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang meninggi, ada pula yang
mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan kesangatan. Dengan demikian, pengertian
matan dari sisi bahasa adalah menunjukkan nama bagi segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat,
dan menjadi bagian inti.
Sementara pengertian matan menurut istilah adalah sebagaimana dalam kutipan Totok
Jumantoro, Ajjaj Al-Khattib di bawah ini:
Artinya:
Lafadhz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.
Pengertian Perawi
Rawi atau arawi berarti orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits.
Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan
hadits.[1]
B. Urgensi Kritik Sanad dan Kritik Matan
Secara praktis, argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadits ini dapat ditinjau
dari dua sisi utama, yaitu : pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam
setelah Al-quran. Kedua, terkait dengan historisitas hadits yang mengalami banyak ancaman.
Dari dua sisi tersebut kemudian para Muhadditsin mengemukakan beberapa alasan yang
mendasar pentingnya melakukan kritik hadits.
Pada tabel di bawah ini, terdapat pemetaan beberapa urgensi kritik hadits ditinjau dari sisi
perjalanan sejarah kritik hadits, yaitu sebagai berikut :
No Periode UrgensiKritikHadis
.
1. MasaHidupN 1. Memberikanperhatiankhususkepadasumber agama Islam.
abi Saw. 2. Mengokohkanhatisahabatdalammengamalkanajaran Islam.
2. MasaSahabat 3. TidakseluruhhadistertulispadamasaNabi Saw.
- Abad 1 4. Kedudukanhadissebagaisalahsatusumberajaran Islam
Hijriyah mengharuskansahabatuntukbersikaphati-hatidalammenerimanya.
5. Terjadi proses transformasihadissecaramakna.
6. Terjadipemalsuanhadis.[2]
3. Abad 2- 14 7. Penghimpunanhadissecararesmiterjadisetelahberkembangnyapema
Hijriyah lsuanhadis.
8. Terkadangkitab-kitabhadishanyamenghimpunnhadis,
makahaliniperluditelitilebihlanjut.
9. Munculredaksihadis yang bertentangan.[3]
4. Abad 15- 10. Memeliharakhazanahkeilmuan Islam.
Sekarang 11. Meminimalisirperbedaanpendapatdalamkawasanprodukhukumsya
riat.
12. Mendeteksihadisdhaifdalamkitab-kitab Islam yang
terkadangdijadikannyasebagaidaliltuntunanamalibadah.
13. Mengembangkanmetodologipenelitianhadiskearah yang lebihbaik
agar
umatmuslimdapatmenghadapituduhanorientalisterhadapotentisitas
hadissecaraadil.
14. Membangunsikapkehati-hatiandalammemakaihadis yang
tidakdapatdipertanggungjawabkansebagailandasanibadahsehari-
hariataubahkansebagailandasandalammenetapkansuatuhukum.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta : Bulan Bintan
Fudhali, Ahmad. 2005. Kritik atas hadits-hadits sahih. Yogyakarta : Pilar religia
http://www.google.com/metode+kritiksanad+danmatanhadits/Rasyidrizani
sumbulah, umi. Kajian kritis ilmu hadits,halm.183
http://www.oogle.com/pengertiansanad+matan+rawi
[1]http://www.google.com/pengertiansanad+matan+rawi
[4]Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta : Bulan Bintan
[5]Fudhali, Ahmad. 2005. Kritik atas hadits-hadits sahih. Yogyakarta : Pilar religia
Alloys Das Leben und die Lehre des Mohammad, tiga Quran
Sprenger jilid, published between 1861 and 1865. Ia
mengatakan bahwa literature tentang hadith Hadis
mengandung isi kandungan yang lebih authentic
dari sekedar peristiwa yang dibuat-buat.
Paul Nwyia Sentences de Nuri par Sulami dans Haqaiq al- Quran
Tafsir Mlanges de lUniversit Saint-Joseph.
Imprimerie Catholique, Appendice A, pp. 30-33
(1968). Exgse coranique et langage mystique:
nouvel essaisur le lexiquetechnique des
mystiques musulmans. Beyrut: Dar el-Machreq ,
pp. 316-48 (1970), Trois oeuvre indites de
mystique musulmans aqiq al-Balkhi, IbnAta,
Niffari (ed. critique avec introd. par P. Nwyia).
Beyrouth: Dar El-Machreq (1972).
William Muir Dalam pengantar bukunya The Life of Mahomet, Quran &
ia menyodotkan beberapa criteria tentang Hadis
otentisitas hadis. William Muir juga menulis utuh
sebuah karya tentang al-Quran The Coran, Its
Composition and Teaching; and its Testimony it
bears to the Holy Scriptures (London, 1878).