Anda di halaman 1dari 27

KAJIAN HADIS DI

KALANGAN ORIENTALIS
April 12, 2016

BAB.I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya mencari kelebihan dan kekurangan sesuatu untuk menemukan kebenaran Kritik
yaitu masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki
pekerjaan.Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kritiks yang membedakan,
kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuna krits, artinya orang yang
memberikan pendapat beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi,
atau pengamatan. Istilah ini biasa dipergunakan untuk menggambarkan seorang
pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan. hal yang wajar
berlaku dalam studi ilmiah. Demikian pula terhadap hadis dan para ulama hadis. Kajian
hadis dan ulama hadis juga menuai kritik, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari
orang-orang non-Islam.
Jika di kalangan Islam, kritik hadis bertujuan untuk mengetahui mana hadis yang
diterima (maqbul) dan mana yang tertolak (mardud), untuk diketahui pula apakah hadis
tersebut dapat dijadikan dasar ajaran Islam atau tidak, maka lain halnnya dengan kritik
yang datang dari orang non-Islam. Mereka (non-Islam) melakukan kritik terhadap hadis
dengan tujuan mencari kesalahan dan kelemahan, untuk digunakan sebagai alat
melemahkan Islam.
Mereka yang melakukan kajian dunia Timur (Islam) secara umum, baik Timur Dekat
maupun Timur Jauh, baik dalam bidang bahasa, sastra, peradaban, maupun
agamanya, ini kemudian dikenal dengan istilah orientalis.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan orientalis?
2. Siapa saja orientalis yang melakukan kajian hadis?
3. Bagaimana sanggahan dan bantahan dari ulama Muslim terhadap kritik orientalis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang orientalis.
2. Mengetahui siapa saja orientalis yang melakukan kajian hadis.
3. Mengetahui bagaimana sanggahan dari ulama muslim terhadap kritik orientalis
BAB.II
PEMBAHASAN
A. Definisi Orientalisme dan Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis
1. Definisi Orientalism
Istilah orientalis berasal dari kata orient yang berarti timur, dan kata Ism yang
berarti paham. Jadi secara bahasa orientalis berarti paham tentang dunia
timur/ketimuran. Atau orang yang memiliki concern terhadap kultur timur disebut
Orientalis. orientalisme (dengan penambahan kata isme yang berarti aliran, pendirian,
ilmu, paham, keyakinan, dan sistem) secara etimologis, dapat diartikan sebagai ilmu
tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. dalam karya monumentalnya,
Orientalism, Edward Said secara lebih komprehensif menyatakan bahwa orientalisme
dpat di jelskan melalui tiga hal yang sangat berkaitan; pertama, seseorang orientalis
adalah orang yang mengajarkan, menulis atau meneliti tentang Timur, dengan kata lain
orientalis adalah mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang budaya timur; kedua, orientalisme merupakan
model pemikiran yang didasarkan kepada pembedaan ontologis dan epistemolohis
tentang timur dan barat; ketiga, orientalisme merupakan suatu institusi berbadan hukum
untuk menghadapi dunia timur, yang memiliki kepentingan membuat pernyataan
tentang timur, membenarkan pandangan tentang timur, mendiskripsikan, mengajarkan,
memposisikan dan menguasainya.[1]
Dr. Qasim Assamurai, seorang ahli orientalis, telah mencoba merangkum beberapa
pendapat tentang kemunculan orientalis yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebagian ahli sejarah mengatakan munculnya orientalisme, ketika persentuhan Romawi


dengan orang-orang Islam pada Perang Muthah
2. Orientalisme muncul sebagai akibat Perang Salib
3. Orientalisme muncul ketika berkecamuk perang antara orang Islam dan Kristen di Spanyol
4. Orientalisme muncul karena faktor kebutuhan Barat untuk menolak Islam dan untuk
menyelidiiki kekuatan umat Islam seteleha jatuhnya Konstantinopel serta masuknya pasukan
Turki Usmani ke perbatasan Wina
5. Munculnya karena Eropa memiliki kepentingnan untuk menjajah negara-negara Arab di
Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara.
Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam
Muhammad Ibnu Saud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua a bad
yang lalu (abad ke-18 M), meski aktifitas kajian bahasa dan sastra ketimuran telah
terjadi jauh sebelumnya. Dari sekian banyak pengertian tentang orientalis Ia kemudian
mendefinisikan orientalisme secara cukup komprehensif yaitu segala sesuatu yang
bersumber dari orang-orang barat.

Muthabaqani juga mendefinisikan orientalisme sebagai :

(1) Segala sesuatu yang di sebar luaskan oleh media masa barat, baik menggunakan
bahasa mereka ataupun bahasa arab yang menyangkut islam dan kaum muslimin.

(2) Segala sesuatu yang ditetapkan oleh para peneliti dan politisi barat dalam berbagai
konferensi dan seminar mereka, baik yang te rbuka maupun yang rahasia.[2]
(3) Segala sesuatu yang di tulis oleh orang arab kristen, seperti kaum maronit yang
memandang islam dengan kacamata barat.
(4) Segala sesuatu yang disebarluaskan oleh para peneliti musim, yang belajar kepada
para orientalis, dan mengadopsi anyak fikiran kaum orientalis, hingga sebagian murit
orientalis itu bahkan melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan teknik dan
metode yang lazim dalam orientalisme.

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kritik orientalis pada
pembahasan ini adalah orang-orang Barat non-Muslim yang melakukan kajian terhadap
hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai dasar penetapan hukum.[3]
2. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis
Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya
adalah hadis nabi. Siapakah orientalis yang pertama melakukan kajian dibidang ini
belum direntukan kepastian sejarahnya karna para ahli berbeda pendapat.
Dalam hal ini Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas
hadis yang di lengkapi dengan studi-studi ilmiyah yang dilakukanya, sehingga karyanya
dianggap sebagai Kitab Suci oleh para orientalis sendiri. di samping itu , kehadiran
Joseph Schacht melalui bukunya: the origin of Muhammadaan Jurisprudence, terbit
pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggab sebaggai kitab sucu kedua oleh
para orientalis berikutnya, juga telah membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah
penelitian kajian hadis dikalangan orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Yaqub,
untu mengetahui kajian hadis cukup hanya dengan menelusuri kedua pendapat tokoh
ini (goldziher dan joseph), karena para orientalis sesudah mereka pada umumnya
hanyaa mengikuti pendapat keduanya.
Namun ada pula orientalis yang memiliki padangan yang lebih jernih dan bertentangan
dengan kedua ilmuan diatas. Freedland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and
Pakistan (1908) membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar:
(1) Hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara Umum

(2) Hadis yang diprmasalahkan karena hais-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan
Nabi,

(3) Hadis yang menceritakan Wahyu yang diterima oleh Nabi.[4]


Meskipun ketiga klasifikasi tersebut berbeda dengan klasifikasi oleh kalangan ulama
hadis, tetapi secara tidak langsung menunjukan bahwa ia mengakui bahwa hadis
benar-benar bersumber dari Nabi. Pengakuan yang lebih tegas di sampaikan oleh
Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary papiry: Quranic Commentary and
tradition (1957). Menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadaanya
hingga masa Nabi dan bukan buatan Umat Islam setelah abad pertama hijriyah.
Pandangan ini didasarkan atas manuskrip-manuskrip yang berhubunan dengan hadis
Nabi.

Jadi dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat
tentang hadis. Sebagian mereka sependapat dengan Goldziher dan Schacht, namun
ada pula yang sependapat dengan mereka dala memandang Islam umumnya dan hadis
khususnya.
B. Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Kususnya Kajian Hadis
Perbedaan orientalis dalam memandang Islam termasuk hadis, tidak terlepas dari
motivasi dan sikap mereka di dalam mengkaji Islam. Sikap mereka itu dapat dibedakan
menjadi tiga. pertama, sikap netral terjadi pada awal persentuhan antara Timur dan
Barat pada masa jauh sebelum perang salib. Kedua, pasca-perang salib sikap tersebut
bergeser ke arah pendistorsian islam dilatarbelakangi oleh sentimen kegamaan yang
semakin menguat. Ketiga, silkap mulai mengapresiasi islam yang terjadi pada
perkembangan orientalisme kontemporer yang didorong oleh semangat perkembangan
intelektual yang rasional. Meskipun belum seratus persen objektif, pada masa ini
penghargaan dan penghormatan terhadap islam mulai terlihat.

Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan
pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan
tentang hadis akan selalu berhubungan dengan Muhammad yang perkataan,
perrbuatan, dan persetujuanya melahirkan hadis. Dalam konteks ini, pencitraan
Muhammad dimata orientalis dapat di pandang dari dua sisi. Satu sisi Muhammad
dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang telah membebaskan manusia dari kezaliman
Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh De Boulavilliers dan Savary, sisi lain
Muhammad dianggab sebagai paganis, penganut kristen dan yahudi, intelektual pintar
yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seseorang tukang sihir yang
berpenyakit ayan. Pandangan ini di kemukakan antara lain oleh DHerbelot, Dante
Alighieri, washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Schacht.

Sikap kedua diatas telah membentuk citra yang sama teerhadap hadis. Dalam
pengertian bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan
berpandangan negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknnya. meskipun hal ini
tidak menunjukan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasikan secara keseluruhan
ternyata kelompok orientalis yang mencela hadis lebih banyak di banding kelompok
yang mengakui eksistensi hadis. Dalam pandangan banyak orientalis, hadis hanya
merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama
yang multidimensional, mereka menganggab bahwa hadis tidak lebih dari sekedar
ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan Kristen.[5]
C. Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum
Pandangan orientalis terhadap hadis sebagai sumber hukum dapat ditelusuri dari
pandangan mereka tentang peranan Nabi Muhammad dalam pembentukan hukum.
Sebagaimana terlihat pada pandangan Joseph Schacht, Anderson, Snouck Hurgronje,
dan E. Tyan. Menurut Schacht , tujuan Muhammad selaku Nabi bukanlah untuk
membuat sistem hukum yang baru, tetapi sekedar mengajarkan manusia bagaimana
harus bertindak agar selamat menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan agar
masuk surga. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Anderson bahwa Muhammad
tidak berusaha menyelesaikan sistem hukum yang Komperehensif, tetapi hanya
melakukan sedikit amandemen terhadap hukuum adat yang sudah ada.

Snouck Hurgronje juga menyatakan bahwa Muhammad sangat menyadari betapa


kurang menuhi syaratnya untuk memenuhi urusanya dibidang hukum, kecuali kalau
benar-benar mendesak. Pandangan yang sama dikemukakan oleh E.Tyan bahwa jika
seseorang melihat sepintas karya Muhammad, maka akan dengan mudah meyakini
bahwa Muhammad tidak bermaksud untuk mengadakan sistem hukum baru.

Beberapa pandangan diatas menunjukan bahwa dimata para orientalis , Nabi


Muhammad tidak memiliki kapasitas dan otoritas dlam menetapkan hukum. Mereka
menolak adanya penetapan hukum yang sistmatis dari nabi, yang konsekuensinya
mengarah kepada penolakan sunnah bagi sumber hukum islam. Kalaupun ada sunnah
yang menjaddi sumber hukum islam, maka hal itu bukan berasal dari Nabi. Tetapi
berasal dari tradisi yang sudah berkembang dalam masyarakat, baik masa jahiliyah
yang kemudian direvisi maupun pada masa awal generasi islam dan sebelumnya.[6]
Anggapan dasar para orientalis bahwa Al-Quran bukan wahu dan firman Allah tetapi
perkataan Nabi Muhammad dan hadis atau sunah merupakan perbuatan atau
perkataan sahabat, tabiin, dan para ulama. Sangat jauh berbeda dengan pandangan
dan keyakinan umat islam bahwa Al-Quran adalah wahyu dan firman Allah sedangkan
hadis atau sunah merupakan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi.

D. Kritik Orientalis tantang Sanad dan Matan Hadis


1. Kritik Orientalis terhadap Sanad
Para orientalis beranggapan bahwa hadis yang telah dikodifikasikan dalam kitab-
kitab hadis tidak asli dari Rasulullah, karna sanadnya tidak benar dan para perawi
dianggap palsu. Caetani Berpendapat bahwa Urwah (W. 93 H) adalah oranng yang
menghimpun hadis tetapi tidak menggunakan sanad.[7]
Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, berpendapat bahwa
bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang yang
mengetahuibahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang saangat
sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaanya pada paruh kedua aabad ke
tiga hijriah. Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad
kedua hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga
akhirnya samppai kepada Nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis
tersebut.
2. Kritik Orientalis terhadap Matan
Para orientalis juga telah telah melontarkan kritik mereka terhadap matan hadis. A.J.
Wensink menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitaspemikiran umat islam pasca-
wafatnya nabi membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh agama islam
itu melalui hadis. Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagi
matan. Pandangan ini sejajar dengan pendapat para orientalis yang bermuara pada
pandangan bahwa matan itu bukanlah ucapan Nabi. Melainkan capan para ulamaa
yang kemudian di sandarkan pada Nabi.

Keterangan diatas juga menunjukan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad
sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka tentang sunnah itu sendiri yang
mereka yakini sebagai sesuatu yang bukan berasal dari Nabi. Mereka beranggapan
bahwa sanad dan matan yang berada pada kitab-kitab hadis adalah uatan ulama dan
umat isam pada abad kedua dan ketiga hijriah.untuk mendukung keyakinan ini mereka
kemudian mencari-cari argumentasi sehingga sanad_dan otomatis matan_ dipahami
sebagai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan merupakan perkataan
mereka.[8]
E. Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah
Dalam pandangan kaum orientalis, hadis juga dipandang berbeda dengan sunnah.
Perbedaan ini antara lain terlihat pada pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa
hadis bermakna suatu disiplin ilmu yang bersifat teoretis, sedangkan sunnah berisi
aturan-aturan praktis. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah
dan hukum yang di akui sebagai tta cara kaum muslimin periode awal yang dipandang
autoritatif dan telah dipraktikkan dimnamakan sunnah. Sedangkan peryataan tentang
tata cara itu disebut hadis. I juga menyatakan bahwa hadis bercirikan berita lisan yang
di klaim bersumber dari nabi, sedangkan sunnah merupakan hal yang menjadi adat
kebiasaan yang muncul pada abad keduitua di awal pertumbuhan dan perkembangan
islam, terlepas dari apakah kebiasaan itu ada hadisnya atau tidak.

Pada kesempatan lain, Ignas Goldziher menyatakan bhwa perbedaan sunnah dan
hadis bukan saja dari maknanya. Tetapi melebar pada pertentangan dalam materi hadis
dan sunnah.Menurutnya hadis berisikan berita lisan yang dinilai bersumber pada Nabi,
sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yanng lazim digunakan dikalangan umat islam
awal yang menunjuk pada permasalahan hukum dan keagamaan, baik ada atau tidak
ada berita lisan tentang kebiasaan itu.

Pendapat senada di kemukakan oleh Schacht bahwa sunah merupakan konsep bangsa
arab kuno yang berlaku kembali sebagai saalah satu pusat pemikiran islam.
Menurutnya, sunnah lebih lebih merupakan tradisi arab kuno yang kembali mengemuka
dalam ajaran islam.

Dapat dikatakan bahwa pendapat Goldziher dan Schacht tentang sunah relatif sama.
Keduanya menganggab sunah bukan suatu yang berasal dari nabi. Tetapi hanya
kelanjutan dari tradisi bangsa arab yanng kemudian direvisi dan diteruskan oleh islam
serta kemudian di saandarkan kepada Nabi.[9]
F. Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu
Sebagaimana dijelaskan diatas baik Ignas Goldziher maupun Joseph Schacht
berpendapat bahwa hadis tidaklah berasal dari Nabi melainkan sesuatu yang hadir
pada abad pertama dan kedua hijriah. Sebagaimana dikutip oleh Abd al-Qadir,
Goldziher menyatakan bahwa bagian terbesar dari hadis tidak lain merupakan hasil dari
perkembangan islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan,
politik maupun sosial.

Menurut Goldziher tidaklah benar pendapat bahwa hadis merupakan dokumen islam
yang sudah ada semenjak masa pertumbuhan, melainkan sebagai pengaruh
perkembangan islam pada masa kematangan. Goldziher didalam bukunya meskipun
tidak secara langsung menyatakan bahwa semua hadis palsu, telah meragukan
keautentikan hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi. Pernyataan lebih tegas
datang dari Joseph Schacht bahwa tidak dapat di temukan satupun hadis Nabi,
terutama yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dianggab sebagai hadis yang asli
dari Nabi.

Dengan demikian, baik menurut Goldziher maupun Schacht sunnah atau hadis
bukanlah sesuatu yang berasal dari nabi melainkan merupakan rekayasa ulama dan
umat islam generasi abad pertama dan kedua hijriah. Atau suatu tradisi yang terjadi
dikalangan umat islam yang kemudian disandarkan kepada Nabi.[10]
G. Bantahan dan Kritik Balik Ulama Muslim terhadap Kritik Orientalis
Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas
hadis banyak mendapat jawaban dari ulama hadis, sebagai upaya meluruskan kritik
dan tuduhan tersebut. Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap
pendapat para orientalis tersebut adalah Musthafa al-Sibai, Muhammad Ajjaj al-Khatib,
Shubhi al-Shalih dan Muhammad Musthafa Azami. Terkait dengan tuduhan mereka
tentang adanya larangan penulisan hadis oleh Nabi dan tidak adanya peninggalan
tertulis, Shubhi Al-Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan
secara umum pada masa awal turunnya wahyu al-Quran karena Nabi khawatir hadis
tercampur dengan Al Quran. Tetapi setelah sebagian besar Al Quran diturunkan, maka
Nabi memberikan izin penulisan hadis secara umum kepada para sahabat. Kenyataan
ini diperkuat dengan dikemukakannya catatan-catatan hadis pada masa Nabi seperti
catatan Said ibn Ubaddah, Samrah ibn Jundub (w. 60 H), Jabir ibn Abd Allah (w. 78
H), Abd Allah ibn Umar ibn al Ash (w. 65 H), dan Abd Allah ibn al-Abbas (w. 69 H).

Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam
abad pertama, kedua, dan ketiga Hijriah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai
berikut.

1. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi,
seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk menyampaikan
hadis kepada yang tidak hadir.
2. Mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat puluh tahun Hijriah yang dipicu oleh
persoalan politik, karena di antara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga
membuat hadis untuk kepentingan politik atau golongan mereka.
3. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti
bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
4. Teori projecting back (al-qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-
contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan
periwayatan suatu hadis.
5. Tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti
membuat marfuhadis yang mawquf atau menjadikan muttashil hadis yang mursal. Demikian
pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu
madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah.
6. Penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala kemampuan
mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi. [11] Dalam kaitannya
dengan tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri terhadap hadis:
( janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga mesjid) menurut Azami, tidak
ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut
diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri. Kelahiran al-Zuhri sendiri masih
diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H dan 58 H, dan ia tidak pernah bertemu
dengan Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H.
Di sisi lain, pada tahun 68 H, orang-orang dinasti Umayyyah berada di Mekkah
menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah
kekuasaan Bani Umayyah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah
dimulai tahun 69 H (saat itu al-Zuhri berumur antara 10-18 tahun), dan baru selesai
tahun 72 H.

Karena itu, tidak mungkin Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam
berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu
dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.

Menurut Musthafa Azami, teori Scacht tentang projecting back itu dijawab dengan
penjelasan, bahwa fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqh adalah ijtihady. Oleh
sebab itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat
pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayyah.

BAB.III
PENUTUP
1. KESIMPULLAN
Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, antara lain :

1. Orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang melakukan pengkajian terhadap dunia
timur, baik agama, bahasa, sejarah, adat-istiadat dan lain-lain, juga terkait hadis Nabi
Muhammad saw.
2. Ignaz Goldziher dan Schacht adalah dua tokoh orientalis yang dipandang sebagai pemula yang
mengkaji hadis oleh orientalis lainnya
3. Kritik terhadap hadis yang dilakukan bertujuan untuk menggoyahkan otentisitas hadis sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran.
4. Kritik hadis yang dilakukan oleh Goldziher dan Schacht meliputi kritikan terhadap
terminologi, materi, ketokohan dan literatur hadis.
2. SARAN
Kajian hadis dari persepsi orientalis menjadi perlu dipelajari oleh umat Islam agar dapat
berhati-hati dengan serangan kritikan para orientalis tersebut. Di samping juga agar
dapat memperkuat keyakinan terhadap Hadis sebagai sumber ajaran dalam Islam.

Dengan mempelajari kritik hadis orientalis ini, setidaknya pengkaburan otentisitas hadis
yang telah ditulis dan boleh jadi akan terus berkembang oleh orientalis, bisa diantisipasi
dengan persepsi yang mendekati kebenaran realitasnya.

Semoga makalah ini bisa menjadi bahan rujukan pembaca dalam mata kuliah Ulumul
Hadis. Keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini semata
kekurangan Penulis. Diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikannya.
[1] Umi sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),hal. 161
[2] H.Zeid B.Smeer, Ulumul Hadis,(Malang: UIN-Malang Press,2008),hlm. 156
[3] Hasan Hanafi, Orientalisme, (Jakarta: PustakaAl-Husna,1981),hlm. 9
[4] Idri, Studi Hadis,(Jakarta:Kencana,2010),hlm.308
[5] Ibid.,hlm. 309
[6] Ibid., hlm. 319
[7] Zeid B. Smeer, OP. Cit, hlm. 164.
[8] Idri, Op Cit, hlm. 316.
[9] Ibid, hlm. 311
[10] Ibid, hlm. 317
[11] Ibid, hlm. 321
DAFTAR PUSTAKA

B.smeer,H.Zeid. 2008. Ulumul Hadis. Malang: UIN-Malang Press.


Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Sumbulah Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Hanafi Hasan. 1981. Orientalisme. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Persepsi Orientalis Terhadap Hadits

1. 1. Pendahuluan

Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di
dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut
yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik
yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.

Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi


sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan
yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada
masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi
semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan bagaimana persepsi orientalis
terhadap salah satu agama timur, yaitu islam. Lebih spesifik terhadap pandangan
mereka terhadap salah satu unsur terpenting di dalam agama Islam, yaitu Al Hadits.

1. 2. Pembahasan

Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward said[1] mengatakan bahwa


kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama islam, khususnya
hadits, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan
tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa, tujuan itu antara lain adalah
mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan
dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak
itu adalah sebuah anomali dari sekelompaok orang yang boleh dikata memiliki
persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan hanafi cs untuk
membalas perlakuan mereka dengan giliran balik menyerang kebuadayaan barat
dengan cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba
menggerogotinya dari dalam.[2]

Mereka memilih hadits dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena
kedudukan hadits yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadits adalah
sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran
itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadits ketimbang al Quran, karena
hadits hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-
unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al Quran karena al
Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur
negatif.

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al
Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode
pengklasifikasian hadits.

Aspek perawi hadits.

Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak


meriwayatkan hadits dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat
yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan
waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang
banyak meriwayatkan hadits adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena
mereka adalah orang baru dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang
banyak meriwayatkan hadits tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling
lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas
bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul
dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah
mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar,
Anas. Suatu jumlah yang fantastis yang sangat jauh dengan jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh para khulafaur rasyidin yang kalau digabung bahkan tak mencapai
3500 hadits.[3]

Kritikan para orientalis banyak ditujukan kepada Abu hurairah dan Sayyidah Aisyah,
dua sahabat periwayat hadits paling banyak. Abu hurairah dikecam karena
pertentangannya dengan para sahabat mengenai kesalahannya dalam periwayatan
hadits, seperti yang diutarakan oleh Abu bakar :[4]

Kalau saja saya mau, saya bisa menceritakan semua hal yang pernah saya ketahui
bersumber dari rasulullah dan berita dari sahabat yang lain tentang diri beliau,
mungkin ini akan menghabiskan waktu berhari-hari, namun saya takut apa-apa yang
saya sampaikan nantinya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tapi entah
kenapa orang itu (Abu hurairah) tiada berhenti bercerita tentang nabi seakan-akan dia
mengetahui segala hal tentang Nabi.

Riwayat lain juga menyebutkan komentar Sayyidina Umar ibn khatab tentang Abu
hurairah, pembohong terbesar diantara perawi hadits adalah Abu hurairah dan aku
akan memenjarakannya bila dia tidak berhenti meriwayatkan hadits.[5]

Kritikan tidak kalah tajamnya juga diterima oleh Sayyidah Aisyah, pertempurannya
dengan Sayyidina Ali dalam perang jamal, adalah sebuah bukti nyata bagi umat islam
untuk mempertanyakan sifat adil adalah yang dimiliki beliau, karena bagaimana
mungkin seseorang yang melakukan tindakan bughat terhadap khalifah yang terpilih
secara sah masih bisa disebut dengan adil, dan kalau sudah tidak adil apakah hadits-
haditsnya masih layak pakai.[6]

Aspek kepribadian Nabi Muhammad SAW.

Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad
juga perlu dipertanyakan.mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul,
kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini
hadits dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik
perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu
yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan
hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan
hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.

Aspek pengklasifikasian hadits.

Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang
baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat
perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam
penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomery
watt, salah seorang orientalis ternama saat ini :[7]

Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam


bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut
disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui
ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya
dalam permainan telpon-telponan anak kecil.

1. 3. Penutup

Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi
tentang hadits. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru
bagi kita agar kita bisa melihat hadits, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak
hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain,
yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterimakasih kepada mereka
karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian
mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat
buruk dari sebagian mereka.

[1] Edward said, Orientalism. 1978, pinguin press. London

[2] Hasan hanafi, yasar al Islam. 1986, dar al fikr. Kairo

[3] Imam ibn Hajar al Asqalanie, al Isaba, hal 52 juz 1

[4] Imam zarkasyie, al Ijaba, hal 70 juz 2

[5] Op .cit

[6] Moenawar cholil, sejarah rasulullah, Mizan, hal 249 juz 4

[7] Jeffrey lang, even the angel asks, hal 12

KRITIK SANAD MATAN HADITS


Makalah Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Ikhrom M.Ag
Direvisi oleh,
Baihaqi (133111013)

FAKULTAS LMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang pertama setelah Al-quran. Dan selain
berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir
Alquran, oleh karena itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sangat penting.
Untuk mengetahui otentik atau tidaknya sumber Hadits tersebut maka kita harus
mengetahui dua unsur yang sangat penting yaitu sanad dan matan. Kedua unsur tersebut
mempunyai hubungan fungsional yang dapat menentukan eksistensi dan kualitas suatu Hadis.
Sehingga sangat wajar manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan
penelitian, penilaian dan penelusuran Hadits dengan tujuan untuk mengetahui kualitas Hadits
yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadits tersebut dapat
dipertanggungjawabkan keotentikannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan
bagaimana melakukan penelitian terhadap sanad dan matan Hadits, yang terlebih dahulu kita
memahami pengertian, tujuan, urgensi, dan standar acuan penelitian sanad dan matan Hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sanad, matan, dan perawi hadits ?
2. Apa saja urgensi kritik sanad dan matan ?
3. Apa tujuan kritik sanad dan matan ?
4. Apa standar acuan kritik sanad dan matan ?
5. Bagaimana langkah-langkah kritik sanad dan matan hadits ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian sanad, matan, dan perawi hadits
2. Mengetahui urgensi kritik sanad dan matan
3. Mengetahui tujuan kritik sanad dan matan
4. Mengetahui standar acuan kritik sanad dan matan
5. Mengetahui langkah-langkah kritik sanad dan matan hadits

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sanad, Matan, Periwayat, dan Perawi Hadits


Pengertian Sanad
Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mutamad). Sementara
pengertian sanad menurut istilah ilmu hadits adalah jajaran orang-orang yang membawa hadits
dari Rasul, Sahabat, Tabiin, Tabi At- Tabiin, dan seterusnya sampai kepada orang yang
membukukan hadits tersebut.
Sementara Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Totok Jumantoro, mengemukakan
pengertian sanad sebagai berikut:

Artinya:
Sanad adalah jalan kepada matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan matan dari sumbernya yang pertama.

Pengertian Matan
matan (al-matn) dari sisi bahasa adalah tanah yang meninggi, ada pula yang
mengartikan matan dengan kekerasan, kekuatan dan kesangatan. Dengan demikian, pengertian
matan dari sisi bahasa adalah menunjukkan nama bagi segala sesuatu yang sifatnya keras, kuat,
dan menjadi bagian inti.
Sementara pengertian matan menurut istilah adalah sebagaimana dalam kutipan Totok
Jumantoro, Ajjaj Al-Khattib di bawah ini:

Artinya:
Lafadhz hadis yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.

Pengertian Perawi
Rawi atau arawi berarti orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits.
Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan
hadits.[1]
B. Urgensi Kritik Sanad dan Kritik Matan
Secara praktis, argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadits ini dapat ditinjau
dari dua sisi utama, yaitu : pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam
setelah Al-quran. Kedua, terkait dengan historisitas hadits yang mengalami banyak ancaman.
Dari dua sisi tersebut kemudian para Muhadditsin mengemukakan beberapa alasan yang
mendasar pentingnya melakukan kritik hadits.
Pada tabel di bawah ini, terdapat pemetaan beberapa urgensi kritik hadits ditinjau dari sisi
perjalanan sejarah kritik hadits, yaitu sebagai berikut :
No Periode UrgensiKritikHadis
.
1. MasaHidupN 1. Memberikanperhatiankhususkepadasumber agama Islam.
abi Saw. 2. Mengokohkanhatisahabatdalammengamalkanajaran Islam.
2. MasaSahabat 3. TidakseluruhhadistertulispadamasaNabi Saw.
- Abad 1 4. Kedudukanhadissebagaisalahsatusumberajaran Islam
Hijriyah mengharuskansahabatuntukbersikaphati-hatidalammenerimanya.
5. Terjadi proses transformasihadissecaramakna.
6. Terjadipemalsuanhadis.[2]
3. Abad 2- 14 7. Penghimpunanhadissecararesmiterjadisetelahberkembangnyapema
Hijriyah lsuanhadis.
8. Terkadangkitab-kitabhadishanyamenghimpunnhadis,
makahaliniperluditelitilebihlanjut.
9. Munculredaksihadis yang bertentangan.[3]
4. Abad 15- 10. Memeliharakhazanahkeilmuan Islam.
Sekarang 11. Meminimalisirperbedaanpendapatdalamkawasanprodukhukumsya
riat.
12. Mendeteksihadisdhaifdalamkitab-kitab Islam yang
terkadangdijadikannyasebagaidaliltuntunanamalibadah.
13. Mengembangkanmetodologipenelitianhadiskearah yang lebihbaik
agar
umatmuslimdapatmenghadapituduhanorientalisterhadapotentisitas
hadissecaraadil.
14. Membangunsikapkehati-hatiandalammemakaihadis yang
tidakdapatdipertanggungjawabkansebagailandasanibadahsehari-
hariataubahkansebagailandasandalammenetapkansuatuhukum.

C. Tujuan Kritik Sanad dan Kritik Matan[4]


Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan,adalah untuk
mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Hadis memiliki kriteria syarat dalam menentukan
kualitas pada hadis. Hadis yang kualitasnya memenuhi syarat dapat digunakan
sebagai hujjah. Pemenuhan syarat tersebut dibuthkankan, karena hadis merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Semua itu bertujuan menjaga keutuhan ajaran Islam sesuai jalannya.
Penelitian pada hadis perlu dilakukan penelitian secara berulang-ulang. Penelitian ulang
merupakan bentuk upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitan ulama
terhadap hadis yang mereka teliti, untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang
tidak memenuhi syarat jika dilihat dari segi kehujjahannya.

D. Standar Acuan Kritik Sanad dan Matan


sebuah hadits dapat diterima periwayatannya apabila telah memenuhi
standar/persyaratan-persyaratan tertentu sehingga hadits tersebut berpredikat. Para ulama hadits
menetapkan pesyaratan dapat diterimanya sebuah hadits sebagai hadits-hadits absah dengan lima
syarat. Lima syarat tersebut adalah :
1. Rangkaian sanad (periwayat hadits) yang bersambung. Dengan persyaratan ini maka tidak
diterima hadits yang munqati, muaddal, muallaq, mursal, mudallas, dan mursal khafi
2. Hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang adil atau orang yang konsisten dalam
menjalankan agamanya, berakhlak mulia, terpelihara dari sifat-[5]sifat fasiq dan dapat menjaga
muruah. Dengan persyaratan ini, maka hdits matruk tidak dapat diterima[6]
3. Hadits tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang dhabit yaitu memahami apa yang
didengar dan menghafalnya ketika dibacakan hadits. Dia juga harus dapat menjaga hafalannya
semenjak ia mendengar hadits tersebut dari gurunya (tahammul) sampai dia membacakannya
kembali kepada orang lan (al-ada). Seorang periwayat disebut hafiz dan alim, apabila ia
meriwayatkan hadits dari hafalannya. Seorang periwayat dikatakn fahim apabila ia
meriwayatkan hadits dari pengertian dan pemahaman (manawi). Seorang periwayat juga harus
memelihara catatan haditsnya dari perubahan, baik mengurangi, menambah, mangganti atau
menukar dari bentuk aslinya. Dengan persyaratan ini maka tidak diterima hadits yang mudraj dan
maqlub
4. Tidak ada kejanggalan (syaz) dalam matan hadits. Pengertian syaz adalah periwayatan orang
yang siqah bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih siqah (ausaq minhu)
5. Tidak ada kecacatan (illat) dalam matan hadits. Hadits muallal (yang ada cacatnya) adalah
hadits yang dari luarnya tidak tampak adanya cacat, akn tetapi dapat diketahui setelah dilakukan
penelitian yang mendalam. Seperti menganggap mursal hadits yang mausul, menganggap mausul
hadits yang munqati atau menganggap marfu hadits yang mauquf.

E. Langkah-Langkah Kritik Sanad dan Kritik Matan Hadits


1) Langkah-langkah kritik sanad
1. Melakukan Itibar
Pengertian Itibar disini adalah peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat
diketahui sesuatu yang sejenis. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah hadits yang diteliti
itu memiliki muttabi dan syahid ataukah tidak.Untuk mempermudah proses al-tibar, maka
diperlukan pembuatan skema seluruh sanad hadis yang akan diteliti. Pada pembuatan skema, ada
tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, tiga hal itu adalah jalur seluruh sanad, nama-
nama periwayat untuk seluruhsanad, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-
masing periwayat.
2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
a. Kaedah kesahihan sanad sebagai acuankesahihan hadis adalah:
Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai darimukharrij-nya sampai kepada Nabi,
Seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dabit.
Sanad dan matannya harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat (illat).
b. Segi pribadi periwayat yang diteliti
- Kualitas pribadi periwayat
Kualitas pribadi periwayat bagi hadits haruslah adil
- Kapasitas intelektual
Periwayat yang kapasitas intelektualnya memenuhi syarat kesahihansanad hadis disebut sebagai
periwayat yang dabit
- Sekitar Al-Jarh wat-Tadil
Al-Jarh wat-Tadil adalahkritik yang berisi celaan dan pujian terhadap para periwayat hadis.
- Persambungan sanad yang diteliti
Persambungan sanad yang diteliti meliputi lambang-lambang metode periwayatan dan
hubungan dengan metode periwayatannya. Lambang-lambang digunakan para periwayat untuk
petunjuk tentang metode periwayatan.
Dari lambang-lambang itu dapat diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan
oleh periwayat yang termuat namanya dalam sanad
- Meneliti syuzuz dan illah
- Kitab-kitab yang diperlukan
Kitab yang digunakan dalam penelitian hadis tertuju kepada pribadi para periwayat hadis dan
metode periwayatan hadis yang mereka gunakan
3. Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Isi dari hadis harus berisi natijah (konklusi) kemudian dalam natijah harus disertai argumen yang
jelas. Semua argumen dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah
rumusan natijah dikemukakan. Pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berstatus mutawatir
dan bila tidak demikian, maka hadis tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadis ahad,
makanatijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas shahih,
hasan, atau dhaif.
2) Langkah-langkah kritik matan
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Sebelum meneliti matan terlebih dahulu harus meneliti sanad. Ini tidak berarti bahwa sanad
lebih penting daripada matan. Bagi ulama hadits keduanya sama-sama penting, hanya saja
penelitian matan mempunyai arti apabila sanad hadits sudah jelas memenuhi syarat. Di samping
itu setiap matan harus memiliki sanad, karena tanpa sanad, maka suatu matan tidak dapat
dinyatakan sebagai sabda Nabi.
Menurut ulama hadits, suatu hadits barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan
matan hadits sama-sama shahih. Dengan demikian, hadits yang sanadnya sahih dan matannya
tidak shahih atau sebaliknya, tidak dinyatakan sebagai hadits shahih.
2. Meneliti lafadz matan yang semakna
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna ialah karena
dalam periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-mana). Menurut
ulama hadits, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya
sama-sama shahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi. Misalnya, hadits tentang niat yang
berbeda-beda redaksi matannya.
3. Meneliti kandungan matan
Kandungan dalam beberapa matan terkadang sejalan dan juga ada yang bertentangan. Pada
matan yang sejalan, maka matan itu perlu diteliti sanad-nya. Jika memenuhi syarat, maka
kegiatan muqaranah kandungan matan dilakukan. Apabila kandungan matan yang
diperbandingan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian matan
berakhir.
4. Menyimpulkan hasil penelitian matan
Setelah semua langkah telah dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil
penelitian matan.Apabila dalam penelitian matan ternyata shahih dan sanadnya juga shahih,
maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah shahih. Apabila matan dan sanadnya
berkualitas dhaif, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif Sedangkan kalau
seandainya matan dan sanadnya berbeda kualitasnya, maka perbedaan itu harus dijelaskan.

BAB III
KESIMPULAN

1. Pengertian sanad, matan dan perawi adalah :


Sanad : sandaran atau pegangan (al-mutamad)
Matan : Matan secara bahasa artinya sesuatu yang menjulang dan tinggi di
atas tanah. Secara istilah, matan adalah suatu kalimat tempat
berakhirnya sanad.
Perawi : orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadits
2. Urgensi kritik sanad dan matan yakni : pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber
hukum Islam setelah Al-quran. Kedua, terkait dengan historisitas hadits yang mengalami
banyak ancaman
3. Tujuan kritik sanad adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti
4. Standar acuan kritik sanad :
a. Rangkaian sanad (periwayat hadits) yang bersambung
b. Hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang adil
c. Hadits tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang dhabit
d. Tidak ada kejanggalan (syaz) dalam matan hadits
e. Tidak ada kecacatan (illat) dalam matan hadits
5. Langkah-langkah kritik sanad dan matan :
a. Langkah-langkah kritik sanad
1. Melakukan Itibar
2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
3. Menyimpulkan hasil penelitian sanad
b. Langkah-langkah kritik matan
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
2. Meneliti lafadz matan yang semakna
3. Meneliti kandungan matan
4. Menyimpulkan hasil penelitian matan

DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta : Bulan Bintan
Fudhali, Ahmad. 2005. Kritik atas hadits-hadits sahih. Yogyakarta : Pilar religia
http://www.google.com/metode+kritiksanad+danmatanhadits/Rasyidrizani
sumbulah, umi. Kajian kritis ilmu hadits,halm.183
http://www.oogle.com/pengertiansanad+matan+rawi

[1]http://www.google.com/pengertiansanad+matan+rawi

[2]UmiSumbulah, KajianKritisIlmuHadis, hlm. 183


3
ibid,hlm 73

[4]Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta : Bulan Bintan

[5]Fudhali, Ahmad. 2005. Kritik atas hadits-hadits sahih. Yogyakarta : Pilar religia

DAFTAR TOKOH ORIENTALIS


Dalam iklim kajian al-Quran dan hadis di Barat, ada beberapa nama tokoh orientalis yang belum
dibahas pada tahun lalu dan bisa menjadi materi bahasan semester ini. Tentu saja anda dapat
memilih tokoh-tokoh lain yang sesuai dengan ketertarikan anda di luar nama-nama tersebut.
Namun, sebagai panduan saja dapat saya sampaikan beberapa nama berikut ini:

Nama Karya/Pemikiran Kajian


Orientalis
Alfred The Legacy of Islam (1931) with T. Hadis
Guillaume Arnold; Tradition of Islam Alfred Guillaume
(1888-1965), differs from his predecessors with
his claim that the different ways in which the
hadiths were fabricated reflect the political and
religious tendencies of competing groups. He
also argues that only a few of the hadiths can
belong to the authorities to whom they were
attributed, based on mistakes made during the
narration process. His work on the hadith
literature entitled The Traditions of Islam makes
it necessary to mention his name in this context.

Alloys Das Leben und die Lehre des Mohammad, tiga Quran
Sprenger jilid, published between 1861 and 1865. Ia
mengatakan bahwa literature tentang hadith Hadis
mengandung isi kandungan yang lebih authentic
dari sekedar peristiwa yang dibuat-buat.

Alloys Sprenger dalam bukuu yang sama


juga menulis uraian tentang perbedaan
ayat-ayat Makkiyah dan Madaniah
sepanjang 36 halaman di volume ke-3
karya biografinya Das Leben und die Lehre
des Mohammad (Berlin 1861).
Angelika Angelika Neuwirth adalah professor of Sastra Quran
Neuwirth Arab di the Freie Universitat Berlin and directur
proyek Corpus Coranicum di Berlin-Brandenburg
Academy of the Sciences. Dia juga mengajar di
Ayn Shams University (Cairo) and the University
of Jordan (Amman). Sejak tahun 1994 to 1999
menjadi directur pada Oriental Institute of the
German Oriental Society (DMG) di Beirut and
Istanbul. Pusat kajian penelitiannya meliputi
kajian al-Quran dan Tafsirnya, dan sastra Arab
modern, terutama puisi-puisi bangsa Palestina
dan sastra Levantine. Salah satu buah karyanya
adalah Studien zur Komposition der
mekkanischen Suren (second edition 2007).

Arthur J. The Holy Koran, an Introduction with Quran


Arberry Selections (London 1953), yang dilanjutkan
dengan terjemah secara komplet dalam The
Koran Interpreted (2 vol, London 1955).

C. Snouck C. Snouck Hurgronje (1857-1936), a Hadis


Hurgronje contemporary of Goldzihers, claimed, just like
the latter, that the hadith literature was a
product of dominant groups in the first three
centuries of Islam, and thus it reflected their
views. Both orientalists agree on the idea that
different groups made up many hadiths and used
them as a means to gain their objectives.

Carl Geschichte des Arabischen Literature (1989- Manuskrip


Brockelmann 1902). Arab

Christoph The Syro-Aramaic Reading of the Quran (2000). Quran


Luxenberg

Claude Claude Gilliot adalah professor bahasa Arab dan Quran


Gilliot kajian keislaman pada University of Provence,
Aix-en-Provence (France). Salah satu karyanya
adalah Exgse, langue, et thologie en Islam.
(Paris: Vrin, 1990) and Le Coran, fruit dun
travail collectif? dalam D. De Smet, G. de
Callatay and J.M.F. Van Reeth (eds), Al-Kitab. La
sacralit du texte dans le monde de lIslam, Acta
Orientalia Belgica, 2004, 185223.

D.S. David Samuel Margoliouth (1858-1940). Highly Hadis


Margoliouth influenced by Goldziher and Muir, Margoliouth
claims that the development of the hadith
literature, as explicated in Goldzihers studies,
should lead the researcher to be skeptical and to
constantly ask the question, what is the
possible reason for the fabrication of this
particular hadith? In addition to being
influenced by his predecessors, Margoliouth also
had a considerable impact on subsequent
orientalists, particularly Joseph Schaht, and
through him, the entire orientalist tradition. In
this context, his most effective assertion is the
idea that the concept of the sunnah was
originally used to refer to pre-Islamic
customs/traditions that had not been abolished
by the Quran. For him, the attribution of the
term sunnah to the Prophets sayings and
deeds was a result of a slow and gradual process.
One of the reasons behind this transformation,
he argues, was the desire to prevent a potential
anarchical situation that might be caused by the
prevalence of the traditions and life styles of the
different groups that were integrated into the
Muslim world as a result of the expansion of
Islam.

Fred M. Fred M. Donner professor bidang kajian sejarah Quran


Donner Timur Dekat di Institut Studi Ketimuran
Department of Near Eastern Languages &
Civilizations at the University of Chicago (USA).
Salah satu karyanya adalah Narratives of Islamic
Origins: The Beginnings of Islamic Historical
Writing (Princeton: Darwin Press, 1997) dan
From believers to Muslims: Communal self-
identity in the early Islamic community, Al-
Abhath 501 (20023), 953.

Fuat Sezgin Geschichte des Arabischen Schrifttums (vol. I, Manuskrip


1967) Arab

Gabriel Said Gabriel Said Reynolds adalah asisten professsor Quran


Reynolds kajian Islam dan teologi pada University of Notre
Dame (USA). Beberapa karyanya adalah A
Muslim Theologian in the Sectarian Milieu: Abd
al-Jabbr and the Critique of Christian
Origins (Leiden 2004), dan The Qurn in Its
Historical Context (London, 2008).

Gerhard Gerhard Bowering adalah seorang professor Quran


Bowering kajian keislaman di Yale University (USA). Salah
satu publikasinya adalah Mystical Vision of
Existence in Classical Islam (Berlin: de Gruyter,
1980) and Sulamis Minor Quran
Commentary (Beirut: Dar al-Mashriq, 1995;
1997).

Gregor Gregor Schoeler memangku jabatan sebagai Quran


Schoeler ketua bidang kajian Islam di Universitas Basel
(Switzerland). Fokus kajian penelitiannya selain
bahasa Arab, juga sastra Persia, sejarah Islam
awal, seperti biografi Nabi Muhammad, warisan
lama dan transmisi ilmu pengetahuan dalam
Islam. Salah satu karyanya adalah sebagai editor
untuk The Oral and the Written in Early Islam,
London and New York 2006; Die ltesten
Berichte ber das Leben
Muhammads (bersama A. Gorke), Princeton
2008; The Genesis of Literature in Islam. From
the Aural to the Written, Edinburgh 2009.

Gustav Corani Textus Arabicus (1834), Concordantiae Quran


Flugel Corani Arabicae (1842; repr 1898). Ia membuat
edisi al-Quran yang memasukkan 7 qiraat
sabah.

Gustav Weil Gustav Weil dengan karyanya tentang sejarah Quran


hidup Muhammad (1843), menyinggung sebuah &Hadis
kajian terhadap al-Quran sehingga
memunculkan karya-karya gabungan
seperti Historische-kritische Einleitung in den
Koran(Bielefeld, 1844; edisi keduanya pada
1878). DalamGeschichte der Chaliphenia
mengatakan bahwa hadis-hadis Bukhari harus
ditolak. Selain itu ia juga meragukan ayat-ayat
dalam al-Quran yang menegaskan Nabi sebagai
makhluk fana, serta ayat-ayat yang bercerita
tentang Isra.

H.A.R. Gibb Mohammedanism(1946). Karya ini adalah Islam


sebuah pernyataan ulang (restatement)
terhadap usaha terdahulu oleh D.S. Margoliouth
yang menulis volume asli
tentang Mohammedanism pada tahun 1911. Ia
beralasan bahwa setelah 35 tahun berlalu, maka
perlu diadakan pernyataan ulang atau
penulisan ulang dan bukan sekedar mengedit
kembali edisi aslinya.MenurutGibb, Muhammad
bukan saja seorang rasul, satu di antara rasul-
rasul lain, tetapi bahwa dalam diri Muhammad,
titik kulminasi kerasulan berakhir, dan melalui al-
Quran yang diwahyukan melalui lisannya bentuk
final wahyu Tuhan terbentuk dan menasakh
semua catatan wahyu yang diturunkan
sebelumnya (Gibb, 1946: 11-12).

Harald Harald Motzki menjadi suara penentang yang Hadis


Motzki paling lantang, seperti disuarakan dalam
karyanya yang berjudul Analysing Muslim
Traditions: Studies in legal, Exegetical, and
Maghazi Hadith, (Leiden: E.J. Brill, 2010).

Helmut The Quran and Its Exegesis (1976) Quran


Gatje

Henri Henri Lammens (1862-1937). According to him, Hadis


Lammens since the Muslim ulema (scholarly class) largely
confined their efforts to the critique of narrative
chains (isnad) and paid insufficient attention to
the internal/textual critique of the hadiths, they
failed to notice logical and historical
impossibilities and anachronisms in the
narrations.
Jane Jane Dammen McAuliffe menjabat sebagai Quran
Dammen Dekan di Georgetown College, seorng Professor
McAuliffe of Sejarah dan bahasa Arab di Georgetown
University, Washington DC, USA. Beberapa
karyanya adalah Quranic Hermeneutics: The
Views of al-Tabari and Ibn Kathir in A.
Rippin, Approaches to the History of
theInterpretation of the Quran. Oxford:
Clarendon Press, 1988, pp. 46 62; Quranic
Christians: An Analysis of Classical and Modern
Exegesis.Cambridge: Cambridge Univ. Press,
1991.

Johann Johann Fueck (1894-1974), mengkritik Hadis


Fueck pendekatan skeptic para pendahulunya.
Menurut Fueck, mereka yang menganggap hadis
sebagai koleksi pandangan generasi belakangan
telah mengabaikan pengaruh mendalam Nabi
terhadap kaum muslimin. Dengan begitu,
mereka gagal melihat orisinalitas literature
hadis, dan menganggapnya hanya sebagai
mozaik yang dirangkai dari elemen-elemen
asing. Akibatnya mereka menganggap hadis
sebagai sesuatu yang dibuat-buat hingga terbukti
sebaliknya.

Josef Koranische Untersuchungen (Berlin, 1926) Quran &


Horovitz berkenaan dengan bahagian naratif dan nama- hadis
nama dalam al-Quran, sedangkan Alter und
Ursprung des Isnad in Islam viii (1918); ix (1921)
mencoba merangkai kronologi isnad dengan
memakai metode Ibn Ishaq. Menurutnya, isnad
pertama kali muncul pada kuarter akhir abad
pertama hijrah, ini membuatnya berbeda dengan
para pendahulunya mengenai persoalan
kronologi isnad, meskipun ia menggunakan
kerangka berfikir yang sama dengan mereka
bahwa Islam mengandung beragam elemen
agama dan kebudayaan lain, hingga ia menyebut
Islam sebagai sebuah wilayah di mana
sikretisme mendominasi.
Josef van Ess Zwischen hadit und theologie (1975). Hadis

M. Cook and Hagarism, the Making of Islamic World (1977) Quran


Patricia
Crone

M.J. Kister Studies in Jahiliyya and Early Islam (1980) Hadis

Michael Early Muslim Dogma: A Source Critical Study Quran


Cook (1981)

Nabia Abbot Studies in Arabic Literary Papyri II: Quranic Quran


commentary and tradition (1967) &Hadis

Patricia Slaves and Horses: the Evolution of Islamic Polity ?


Crone (1980), Meccan Trade and the Rise of Islam
(1987)

Paul Nwyia Sentences de Nuri par Sulami dans Haqaiq al- Quran
Tafsir Mlanges de lUniversit Saint-Joseph.
Imprimerie Catholique, Appendice A, pp. 30-33
(1968). Exgse coranique et langage mystique:
nouvel essaisur le lexiquetechnique des
mystiques musulmans. Beyrut: Dar el-Machreq ,
pp. 316-48 (1970), Trois oeuvre indites de
mystique musulmans aqiq al-Balkhi, IbnAta,
Niffari (ed. critique avec introd. par P. Nwyia).
Beyrouth: Dar El-Machreq (1972).

Regis Le Coran: traduction selon de reclassement des Quran


Blachere sourates (3 vols., 1947-1951)

Reinhart Het Islamisme (1863). Influenced by both Hadis


Dozy Sprenger and Muir, Dozy argued that about half
of the hadiths in al-Bukhari were authentic.

Richard Bell A Duplicate of the Koran; the Composition of Quran


Surah xxiii, Moslem World, xviii (1928), 227-33;
Who were the Hanifs, MW, xx (1930), 120-4;
The Men of the Araf (Surah vii:44), MW, xxii
(1932), 43-8; The Origin of Idul Adha, MW, xxiii
(1933), 117-20; Muhammads Call, MW, xxiv
(1934) 13-19; Muhammads Vision, MW, xxiv,
145-54; Muhammad and Previous
Messenger, MW, xxiv, 330-40; Muhammad and
Divorce in the Quran, xxix (1939), 55-62; Surat
al-Hasr: a Study of its Composition, JRAS, 1937,
233-44; The Development of Muhammads
teaching and Prophetic
Consciousness, SOSB Cairo, June 1935, 1-9; The
Beginnings of Muhammads Religious
Activity, Transactions of the Glasgow University
Oriental Society, vii (1934-5), 16-24; The
Sacrifice of Ishmael, TGUOS, x, 29-31; The Style
of the Quran, TGUOS, xi (1942-4), 9-15;
Muhammads Knowledge of the Old
Testament, Studia Semitica at Orientalia, ii,
Glasgow, 1945, 1-20.

Rudi Paret Der Koran: Kommentar und Konkordanz Quran


(1971). Memahami makna asli yang dipahami
oleh Muhammad dan para sahabat, dan tidak
mengandalkan penafsiran generasi belakangan.

Stefan WiId Stefan Wild adalah seorang professor emeritus Quran


untuk kajian filologi bahasa-bahasa Semit dan
kajian Islam di Universitas Bonn. Selain ahli
dalam bidang kajian al-Quran dan sastra klasik
dan modern Arab, ia juga ahli dalam bidang
leksikografi bahasa Arab klasik. Beberapa
karyanya adalah sebagai editor Self-
Referentiality in the Quran (2006) dan co-editor
untuk Die Welt des Islams: International Journal
for the Study of Modern Islam (Leiden).

Tor Andrae Muhammed The Man and His Faith Islam


(1936). Ia mengatakan bahwa perkembangan
Islam menegaskan sebuah fakta bahwa
kepribadian Muhammad sebagai seorang nabi
menjadi sumber orisinal bagi terciptanya sebuah
agama baru. Menurut Andrae, Islam adalah
sebuah energi spiritual, sebuah benih yang
hidup, yang kemudian berkembang sesuai
dengan kehidupannya sendiri dan menarik
kehidupan spiritual lain ke dalam dirinya. Bahkan
setelah periode perkembangan selama 13 abad,
menurutnya, kita masih melihat ketaatan Islam
yang asli, sebuah keunikan yang diambil dari
pengalaman spiritual pendirinya terhadap
Tuhan.

Toshihiko Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Quran


Izutsu Quran (Montreal, 1966)

William Muir Dalam pengantar bukunya The Life of Mahomet, Quran &
ia menyodotkan beberapa criteria tentang Hadis
otentisitas hadis. William Muir juga menulis utuh
sebuah karya tentang al-Quran The Coran, Its
Composition and Teaching; and its Testimony it
bears to the Holy Scriptures (London, 1878).

William St. William St. Clair Tisdall (1859-1928) yang


Clair Tisdall bertugas sebagai sekretaris Missionary Society
dari Church of England di Isfahan, Iran,
menyebutkan pengaruh luar lebih banyak lagi
yang menjadi sumber bagi al-Quran. Oleh
karena itu, menurut Tisdall, bukan saja ajaran
Judaisme yang memberi pengaruh terhadap al-
Quran, tetapi dalam The Sources of the
Quran (1905) Tisdall menyebut pengaruh
agama-agama lain termasuk dari kebiasaan
bangsa Arab pra-Islam, cerita-cerita dari sekte-
sekte heretik Kristen, serta sumber-sumber
Zoroaster dan tradisi agama Hanif yang
berkembang di Arabia pada masa awal Islam.

Anda mungkin juga menyukai