Anda di halaman 1dari 66

ISLAM DAN

PEMBERADABAN JAWA

Arif Wibowo, SP
Pegiat PSPI (Pusat Studi Peradaban Islam)

Wajah Jawa Saat Ini


Kebangkitan Nyi Roro Kidul

Acara Sedekah Laut

Kyai Slamet Gunung Merapi

Sedekah Gunung.

PERTARUNGAN 3 KEKUATAN

WAJAH INDONESIA
PRA ISLAM

Orientalis tentang Islamisasi


Jawa

Dulunya Jawa ini sedikit lebih maju daripada


sekarang iini. Sejak tahun 1382, ketika Islam
masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya
dapat mengerti dengan baik sekarang, mengapa
Santo Fransiscus Xaverius tidak pernah
menginjakkan kakinya di Jawa. Tentulah ia
mendapatkan informasi yang amat akurat
tentang penduduk di wilayah ini. (Surat Pater M
van den Elzen kepada Pater Provinsial Surabaya
dlm buku F, Hasto Rosariyanto, 2009, Van Lith
Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Penerbit Univ.
Sanata Dharma, Yogyakarta)

Muller Kruger dan Pemutar


Balikan Sejarah

Ketegangan antara Raja-Raja Islam itu dengan


bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka. Bangsabangsa kafir ingin mempertahankan kemerdekaannya
dan tidak mau tunduk kepada Raja-Raja Islam.
Dapatlah dimengerti, bahwa guna menjaga
kemerdekaannya, bangsa-bangsa kafir ini mencari
persahabatan dan perlindungan pada orang-orang
kulit putih yang kuat itu. Misalnya patih Udara,
seorang penguasa terakhir kerajaan Majapahit, pada
tahun 1512 meminta pertolongan orang-orang
Portugis, tetapi terlambat, sehingga tak tertolong. (Dr.
Th. Muller Kruger, 1959, Sejarah Gereja di Indonesia,
BPK Jakarta, hl. 19)

MITOS CANDI SEBAGAI


SIMBOL KETINGGIAN
PERADABAN

BOROBUDUR, SIMBOL
KEJAYAAN BUDHISME ?

CANDI PRAMBANAN DAN


HINDHU

KOMIK RAMAYANA DALAM


PAHATAN CANDI

CANDI DAN PERADABAN YG


MENINDAS
Keruntuhan

Kerajaan Hindhu dan Budha


di Jawa dan penghentian pembangunan
gedung-gedung batu disebabkan
kerajaan tersebut ditinggalkan oleh
rakyatnya sendiri yang lebih memilih
tinggal di kota-kota pelabuhan atau
wilayah sekitarnya. (Dennys Lombard,
2008, Nusa Jawa Silang Budaya 2 :
Jaringan Asia, Gramedia Jakarta, hal. 189)

CANDI DAN PROYEK KERJA


PAKSA KAUM SUDRA

Pembangunan Sejumlah Candi dan patungpatung besar biasanya merupakan proyek yang
melibatkan masyarakat sekitar dalam prosesnya.
Yang dilibatkan adalah para petani yang
tergolong kasta paria dan Sudra. Akibat kerja
bakti itu rakyat kecil menderita dan pekerjaannya
terbengkalai. Karena itu mereka melakukan
eksodus ke daerah pelabuhan. (Ahmad Mansur
Suryanegara, 2009, Api Sejarah : Buku Yang Akan
Mengubah Drastis Pandangan Anda Tentang
Indonesia, Salammadani Pustaka Semesta
Bandung, hal. 155)

CANDI YANG TERLUPAKAN

Kerusakan candi murni akibat kejadian alamiah


seperti gempa bumi, erupsi vulkanik, tanaman
parasit yang merusak pondasi dan peristiwa lain.
(Groneman, Ruins of Budhistic Temples in Praga
Valley : Tyandis, Borobudur and Pawon, hal 11-12)
Candi Prambanan ditemukan tidak sengaja tahun
1797 ketika Belanda membangun Markas di Klaten.
Sebagian besar bangunan telah tertutupi tanaman
keras dan penduduk sekitar menjadikan lokasi
tersebut sebagai tempat pembuangan sampah
(Thomas Stmford Raffles, 1817, The History of
Java, Printed for Black, London , hal. 5-6)

KEMEGAHAN FISIK

Bahkan Sejarah Telah memberikan pelajaran


bahwa semakin indah dan rumit gaya dalam seni
rupa, maka semakin menandakan kemerosotan
aspek budi dan akal. Acropolis Yunani, Persepolis
di Persia, dan Piramid di Mesir adalah contoh.
Karena itu untuk mencari peran dan kesan yang
mendalam tentang Islam tidak dicari pada
peninggalan yang bersifat material tetapi pada
bahasa dan tulisan yang lebih bersifat mendaya
gunakan akal budi (Syed Naquib Al Attas, 1972,
Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu, University
Kebangsaan Malaysia, hal. 18-19)

Agama dan Kepercayaan di


Indonesia Sebelum Islam
Buddha Shiwa aliran Bhairawa
Ritual utamanya adalah ma lima :
Matsiya (makan ikan gembung beracun), manuya
(minum darah dan memakan daging gadis yang
dijadikan korban), madya (minum minuman
keras sampai mabuk), mutra (menari sampai
ekstase) dan maithuna (ritual seks massal)
(Prof. Rasyidi, Islam dan Kebatinan, hal. 94)
Upacara ini digelar di sebuah lapangan yang
disebut Setra)

Bhairawa dalam Catatan


Sejarah

Oleh karena upacara-upacaranya sangat mengerikan,


terdiri dari keharusan menjalankan Lima M (ma lima).
Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu
menerima penasbihannya di tengah-tengah lapangan
bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai,
tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia
yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi
Adityawarman sangat semerbak baunya. Patung
Adityawarman berupa Patung Jaka Dolog yang
tingginya 3 m ada di Gedung Arca Jakarta (S.
Wojowasito, 1952 (cet. II), Sedjarah Kebudajaan
Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, Penerbit
Siliwangi Jakarta, hal. 148-149)

Candi Bhairawatantra

Patung Adityawarman

Seni & Arsitek Sebelum Islam

Didominasi seni patung


untuk pemujaan

Seni Pra Islam


Masyarakat
Hindu yang
masih bertahan
di Bali, sampai
masa awal
kemerdekaan
perempuannya
masih
bertelanjang
dada

Dua Tahap Penyebaran Islam


Islam telah menyebar di Jawa melalui proses yang tidak mudah, penuh
tantangan dan bertahap-tahap. Pada dasarnya, tahap-tahap tersebut
terbagi dalam 2 gelombang besar. Gelombang pertama ialah pengislaman
orang Jawa menjadi Islam sekadarnya, yang selesai pada abad 16.
Gelombang kedua ialah pemantapan mereka untuk betul-betul menjadi
orang Islam yang taat, yang secara pelan-pelan menggantikan kehidupan
keagamaan yang lama, hampir seara menyeluruh tetapi tidak pernah
dapat disempurnakan, misalnya, syariah Islam secara menyeluruh belum
pernah diterapkan di Jawa.
Pada masa pemerintahan Sultan-sultan Demak dan Pajang, dan
pemerintahan Sultan Agung Mataram, kerajaan-kerajaan tersebut secara
aktif turut melancarkan proses Islamisasi. Tetapi pada masa pemerintah
kolonial Belanda, proses pemantapan dan pembentukan masyarakat yang
betul-betul taat pada mengalami hambatan karena pembatasanpembatasan Belanda. Akibatnya pimpinan kraton Yogyakarta dan
Surakarta dan pimpinan daerah, dalam abad 17, 18 dan 19 tidak menaruh
perhatian bagi usaha peningkatan pengetahuan dan ketaatan penduduk
kepada Islam.[1]

[1] Zamakhsyari Dhofier, 1982 (cet. iv), Tradisi Pesantren, Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, hal. 12

Praktik Islamisasi

Seiring dengan konversi massal dari agama asal atau


kepercayaan lokal ke dalam Islam, terjadi pula
penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban
setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami
namun pesat ini tidak lain dan tidak bukan adalah
gerakan Islamisasi. Dimana unsur-unsur dan nilai-nilai
masyarakat lokal ditampung, ditampih kemudian
diserap. Hal-hal yang positif dan sejalan dengan Islam
dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan,
sementara elemen yang tidak sesuai dengan kerangka
ajaran Islam ditolak dan dibuang (Dr. Syamsudin Arief,
2008, Islam dan Diabolisme Intelektual, Gema Insani
Press Jakarta, hal 238)

ISLAMISASI ADALAH ALAMI

Dalam kedua kasus tersebut (kemunculan sains di


dunia Islam), memang ada masa pemindahan,
namun ada juga masa pengunyahan, pencernaan,
penyerapan yang juga berarti penolakan. Tidak
pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah
peradaban tanpa penolakan sedikitpun. Mirip
dengan tubuh kita. Kalau kita Cuma makan saja,
tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka
dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian
makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang
(Sayed Hossein Nasr dalam ceramah umum tentang
Islam and Modern Science di Pakistan Study Group)

Islamisasi Bahasa
Memasukkan

konsep-konsep Islam
sebagai bahasa serapan seperti Allah,
Rasul, Nabi, adil, rakyat, musyawarah
dll.
Meng Islamkan beberapa konsep
yang sudah ada dengan memberikan
pemaknaan yang baru seperti
sembahyang = sholat, taawun =
gotong royong

ISLAM SEBAGAI TUAN RUMAH


Namun

secara umum harus dikatakan,


karena kejawaan adalah takdir, maka
kejawaan harus dipertimbangkan untuk
menjadi penguat pemahaman agama. Dan
Islam tidak boleh menjadi tamu di
manapun di dunia ini. Islam harus dihayati
dan dikembangkan bersama kondisikondisi lokal sehingga menjadi tuan rumah
di manapun. (Ahmad Tohari, Pengantar
dalam Buku Harmoni Dalam Budaya Jawa).

Seni dan Arsitek Setelah


Islam

Batik Islamic Heritage

Salah satu ciri tradisi seni


lukis dalam Islam adalah
menghindari obyek makhluk
hidup, kalaupun ada sudah
diabstrakkan

Wayang Tahap Awal


Islamisasi Budaya Rakyat
Sesungguhnya wayang
itu adalah pantheon
yang mencemari
Hindhuisme
(Kuntowijoyo, Pengantar
Dalam Membendung
Arus, Respon Gerakan
Muhamadiyah Terhadap
Kristenisasi Karya Alwi
Shihab)

Peran Islam dalam Sastra


Serat Wedhatama
Mingkar-mingkuring angkara
Akarana karenan Mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih katarta pakartining
Ngelmu luhung
Kang tumrap ing tanah Jawa
Agama ageming aji

Terjemahan Serat
Wedhatama
terdorong rasa senang mendidik putra putri
serta untuk dapat menjauhi sifata serakah,
loba
dan tamak
digubahlah kidung yang indah
yang berisi ilmu luhur dan panutan hidup
bagai mereka masyarakat Jawa
dimana agama menjadi pegangan
hidup

Serat Rerepen

Narendra Miwah pujangga, wali lan pandhita jatine


kaki, Karsaning Kang Maha Agung, Gunggunging
Islam Jawa, Marmane Langgengna tunggal loro
iku, Ja hana kang tinggal Jawa, lan ja hana kang
adoh agama
Tinulis sajroning Quran, Hantepana dadya laku ban
hari, Miwah wanguning kadhatun, Tindakna klawan
taqwa, Wit kang mangkana sira jeneng geguru,
Ratu habudaya Jawa, Wali panuntun agami (Sri
Pakubuwana X, Serat Rerepen Pupuh 2,3)
Sumber : Herman Sinung Janutama, Pisowanan Alit,
hal. 98-99)

Terjemahan Serat Rerepen


Para

raja dan para pujangga, sesungguhnya


para wali dan ulama anakku, Atas kehendak
Yang Maha Agung, Agunglah Islam Jawa,
Karena itu lestarikanlah dwi tunggal itu,
Jangan ada yang semata Jawa, dan Jangan
ada yang sampai menjauhi agama
Yang tertulis dalam Al Quran, Dihayati
menjadi perilaku sehari-hari, Demi indahnya
sebuah pemerintahan, Jalankanlah dengan
Taqwa, Karenanya hendaklah engkau
berguru, Para Raja yang berbudaya Jawa,
Juga para wali penuntun agama

Marifat Dalam Suluk Wujil


Ingat ya Wujil, waspadalah kau!
Hidup di dunia ini
Jangan sekali-kali gegabah
Insyaflah bahwa kau
Bukan Yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan kau
Barang siapa mengenal hakikat dirinya
Dia akan mengenal Tuhan
Yang merupakan asal usul kejadiannya

Perkembangan Selanjutnya
Warna Islam sangat dominan
dalam
rakyat
Tombo
Ati ituseni
ono limo
perkoro
Kaping pisan moco Quran samaknane
Kaping pindo solat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulonono
Kaping papat wetengiro ingkang luwe
Kaping lima zikir wengi ingkang suwe
Sala wa wijine sopo biso ngelakoni
Insya Allah Gusti Pengeran nigijabahi

Studi kasus : Budaya Jawa,

ISLAM SEBAGAI LAPISAN DASAR


Bersama-samaKEBUDAYAAN
dengan C.C. Berg, NakamuraJAWA
tidak melihat polarisasi
santri abangan sebagai polarisasi antara kebudayaan-kebudayaan

pribumi dan asing, melainkan sebagai sebuah gejala yang terjadi dalam
konteks Islamisasi yang terus menerus berlangsung di Indonesia. Suatu
proses yang tidak hanya ditujukan kepada mereka yang bukan Islam,
tetapi khususnya terhadap mereka yang telah Islam, namun hanya
secara nominal dan statistik. Varian abangan, oleh karenanya menurut
mereka, bukanlah varian yang berdiri sendiri. Lebih-lebih, ia bukanlah
kebudayaan Jawa asli. Ia tidak lain dan tidak bukan adalah sebuah
gejala yang ada dalam konteks proses Islamisasi di Indonesia. Dan,
dengan demikian, menurut pendapat ini, tradisi santri itulah yang harus
dipandang sebagai lapisan dasar dari kebudayaan Jawa
(C.C. Berg, The Islamization of Java, Studia Islamica IV, October 1955, p.
111, Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises over the Banyan Tree, op.
cit, Zamakhsyari Dhofier, Santri Abangan dalam Kehidupan Orang Jawa :
Teropong dari Pesantren, Prisma 5, Juni 1978. hal. 64 72. Dikutip oleh
Ekadarmaputera, PhD, 1991 (cet. 3), Pancasila Identitas dan Modernitas,
Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal. 63).

Ketergantungan Abangan terhadap


Santri
Toh para santri tidak pernah menganggap kaum abangan sepenuhnya
berada di luar lingkungan mereka. Siapapun yang telah mengucapkan
kalimat syahadat adalah Islam. Ketakhayulan mereka dipandang
bukan sebagai menentang Islam secara sadar, tetapi sebagai akibat
dari kurangnya pengetahuan mereka tentang Islam. Oleh karena
itulah orang-orang abangan itu tidak harus dikucilkan, tetapi
dibimbing dan dididik.
Pada pihak lain, pada umumnya orang abangan amat membutuhkan
pertolongan orang-orang santri. Justru pada jantung religius kaum
abangan, yaitu di dalam kehidupan ritual mereka, mereka betul-betul
tergantung pada pertolongan kaum santri. Hanya santri lah yang
dapat memimpin doa di dalam ritus yang paling sentral dari orangorang abangan, yaitu slametan. Juga santrilah yang dapat memimpin
upacara ketika seorang abangan mengalami, apa yang disebut
Malinowsky krisis yang paling utama dan paling final dalam
kehidupan, yaitu : kematian.
Ekadarmaputera, PhD, 1991 (cet. 3), Pancasila Identitas dan
Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hal.
59-60).

Frans Lion Cachet Tentang


Sadrach
Misi

harus memisahkan diri dari Sadrach si


pembohong, yang meracuni bidang misi
kita sepenuhnya dan melahirkan sebuah
agama Kristen Jawa yang sama sekali tidak
memberikan tempat bagi Kristus[1].

[1] Dikutip dari Carey, Aspects of Javanese History, hal. 96 oleh Alwi Shihab,
1998, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, hal. 49

Pada masa itu seorang muslim yang berpindah ke


Kristen disebut wong Jawa ilang Jawane, atau
sebutan satire jawa wurung landa durung (lihat
buku Pdt. Jans Aritonang, Sejarah Perjumpaan
Islam dan Kristen di Indonesia)

Kisah Sadrach Yang Gagal

Sadrach membangun gama Kristen Jawa yang tetap dekat


sekali dengan bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal dari
dalam Islam dan ngelmu. Gedung gereja disebut mesjid dan
dibangun dengan bentuk mesjid di halaman rumah
pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian
dimulai, sebuah bedug dipukul. Sesudah upacara baptisan
diadakan slametan. Sehubungan dengan pemahaman
Sadrach tentang Injil, Hoekema menyimpulkan bahwa Injil
menjadi norma hidup bagi Sadrach, norma yang mirip
dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan,
pantangan) orang Jawa dan syariat ummat Islam.
Sementara itu para pengikut Sadrach pandai menemukan
kata-kata yang menyentuh perasaan orang Jawa. [1]

[1] Pendeta Jans Aritonang, 2005 (cetakan 2), Sejarah


Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, hal. 99

Islam dan Pergerakan


Nasional
Peran

para Haji dan Ide Pan Islamisme


Bahasa Indonesia (Melayu) sebagai
Bahasa Nasional dalam Sumpah Pemuda
Syarikat Islam dan Cikal Bakal Gerakan
Politik Modern Indonesia
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar
Negara
Kelemahan, terlalu banyak kader politik
dan tidak cukup kader yang menguasai
birokrasi sehingga birokrasi dikuasai elite
sekuler bentukan Belanda

Strategi Peradaban

Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibnu


Khaldun adalah berkembangnya ilmu
Peradaban Islam akan sulit bangkit kembali,
kalau kecintaan terhadap ilmu pengetahuan
agama Islam tidak tumbuh.
Dari hasil kajiannya terhadap gerakan
kebangkitan umat Islam pada era Perang
Salib, Dr. Majil Al-Kilani menyimpulkan bahwa
yang pertama kali harus dilakukan adalah
perubahan dalam diri manusia itu sendiri. Era
kejayaan dan kekuatan sepanjang serjarah
Islam tercipta ketika terjadi kombinasi dua
unsur, yaitu unsur keikhlasan dalam niat dan
kemauan serta unsur ketepatan dalam
pemikiran dan perbuatan.

Kolonialisme dan
Deislamisasi

Kedatangan Portugis ke Nusantara


yang waktu itu penduduknya telah
banyak yang masuk Islam dengan
diikuti oleh sejumlah pendeta dan
misionaris. Portugis mulai
menyiarkan agama Kristen Katolik
di Ambon pada 1532. Seorang
misionaris, Franciscus Xaverius
(datang pada 1545), selama lima
belas bulan bekerja di Maluku
berhasil membaptis beribu-ribu
orang. Pada 1535 Katolik mulai
sampai ke Ternate dan pada 1540
ke Makasar. Pada 1558 raja Bacan
memeluk Katolik dan pada 1568
diikuti oleh raja Siauw dari Manado.
Dari sini Katolik menyebar ke
Sulawesi Utara dan pulau-pulau

Pada
Pada1546
1546Xav
Xavierus
ierusmenulis:
menulis:

Jika setiap tahunnya


selusin saja pendeta
datang ke sini dari
Eropa, maka gerakan
Islam tidak akan
dapat bertahan lama
dan semua penduduk
kepulauan ini akan
menjadi pengikut
agama Kristen

Perbandingan
PerbandinganSubsidi
Subsidiuntuk
untukKristen
Kristendan
danSubsidi
Subsidiuntuk
untukIslam
Islam

Tahun

Untuk
Protestan
dan Katolik

Untuk Islam

1920
1921

f 1.010.100
f 1.010.100

f 5.900
f 5.900

1922
1923

f 1.077.100
f 1.095.100

f 5.900
f 5.900

1924
1925

f 1.116.100
f 1.115.000

f 5.900
f 4.000

1926
1927

f 1.108.000
f 1.417.000

f 4.000
f 4.000

1928
1929

f 1.748.000
f 1. 728.000

f 4.000
f 4.000

1930
1931

f 1.641.000
f 1.612.000

f 4.000
f 4.000

1932
1933

f 1.862.300
f 1.601.300

f 4.700
f 7.700

1934
1935

f 1.511.500
f 1.176.500

f 7.500
f 7.500

1936
1937

f 1.007.500
f 1.004.500

f 7.500
f 7.500

1938
1939

f 1.022.500
f 1.197.500

f 7.500
f 7.500

1940

f 1.304.400

f 4.600

Menjauhkan Priyayi dari Santri


dan Kyai

Pemerintah kolonial Belanda berhasil


mengkondisikan tingkah laku para bangsawan tidak
lagi memikirkan nasib rakyat dan melepaskan
ajaran Islam. Pola pikir kalangan bangsawan oleh
imperialis Belanda diciptakan untuk menolak
hukum Islam, juga agar tidak mau tunduk kepada
ulama maka dikembangkanlah ajaran Kejawen.
Tanam Paksa sebenarnya merupakan penuntasan
operasi militer yang bertujuan melumpuhkan ulama
dan santri yang berpengaruh besar di kalangan
petani pedalaman. Pelaksana Tanam Paksa di
lapangan adalah para priyayi dan pangreh praja.

Sekulerisasi Kehidupan Umat


Islam
Opvoeding en
onderwijs zijn in staat,
de Moslims van het
Islamstelsel te
emancipeeren.
(Pendidikan dan
pengajaran dapat
melepaskan orangorang Muslim dari
genggaman Islam)
[Nederland en de Islam p. 79]

Politik Etis dan Sekulerisasi lewat


pendidikan:
Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan etis yang
pertama (19001905), J.H. Abendanon, mendukung
pendekatan yang sifatnya elite. Mereka lebih
menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elite
Indonesia yang dipengaruhi Barat, yang dapat
mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani
para pegawai pemerintah yang berkebangsaan Belanda,
sehingga menciptakan suatu elite yang tahu berterima
kasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil anggaran
belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam,
dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan
menjiwai masyarakat Indonesia golongan bawah.

Politik Etis dan Kristenisasi


Sekulerisasi lewat pendidikan:
Idenburg dan Gubernur Jenderal van Heutsz (1904
1909) mendukung pendidikan yang lebih mendasar
dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantarnya bagi golongan-golongan bawah
tersebut. Pendekatan yang sifatnya elite itu
diharapkan akan menghasilkan pimpinan bagi zaman
cerah Belanda-Indonesia yang baru, sedangkan
pendekatan yang merakyat itu akan memberikan
sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.

Nativisasi Peradaban
Indonesia

Untuk melemahkan pengaruh Islam, pemerintah Hindia


Belanda mendatangkan para orientalis.
Prof. C. van Vollenhoven dari Universitas Leiden pakar
hukum adat. Upaya meneliti hukum adat merupakan
sebuah pengakuan bahwa pemerintah kolonial Belanda
menemui kesukaran menghapuskan pengaruh hukum
Islam.
J.H. Kern dan J.L.A. Brandes menghidupkan kembali
pengetahuan tentang bahasa dan sastra Indonesia kuno.
N.J. Krom merekonstruksi sejarah Indonesia pra-Islam
dan menghidupkan kembali kebudayaan Singasari dan
Majapahit.
Untuk mendukung upaya membangkitkan kesadaran
sejarah terhadap Hindu-Budha, pemerintah kolonial
Belanda memugar candi Borobudur dan candi
Prambanan.

Kolonialisme dan Strategi


Memangkas Islam

Pertambahan yang sangat menyolok dalam


jumlah jamah haji serta silih bergantinya
pergolakan-pergolakan yang dihasut oleh para
haji telah menumbuhkan rasa takut terhadap
kaum haji di kalangan orang-orang Belanda, yang
diantaranya ada yang menuntut agar pemerintah
melarang sama sekali perjalanan naik haji dan
membatasi kegiatan para haji.[1]

[1] Sartono, Katrodirjo, 1984, Pemberontakan


Petani Banten 1888 Kondisi , Jalan Peristiwa dan
Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Mengenai
Gerakan Sosial di Indonesia Pusatka hal. 418

Sinergi Politik Etis Belanda


dengan Misi

Pembukaan sekolah-sekolah desa sejak tahun 1907


merupakan permulaan riil dari pendidikan massal mengikuti
cara Barat di seluruh wilayah Hindia Belanda, hal itu terbukti
mendatangkan peluang kerja yang amat besar bagi jebolan
sekolah Muntilan. Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini
semuanya muslim. Mereka semua tamat sebagai orang
Katolik. Beberapa kelompok siswa pertama melanjutkan
studi mereka untuk menjadi imam. Tahun 1940 Mgr.
Soegijapranata ditahbiskan sebagai uskup pribumi di
Indonesia. Ia terbilang diantara para pentobat yang pertama.
Kolese Xaverius, demikian sekolah yang dibangun van Lith
itu disebut sejak tahun 1910, menjadi buaian bagi sebuah
kelompok Katolik yang penuh percaya diri di tengah-tengah
mayoritas muslim.

Sumber : Kareel Steenbrink, 2003, Orang-orang Katolik di Indonesia


1808 1942, Suatu Pemulihan Bersahaja 1808 1903, Penerbit
Ledalero, Maumere, hal. 384.

Misionarisme dan Kristenisasi

Artikel dalam surat kabar itu menyatakan persetujuannya


dengan pendapat Groneman, penulis artikel itu Ottolander
dari Pancur (Situondo)- melangkah lebih jauh dari
Groneman dalam mengecam pemerintah. Seperti
dikatakannya Semangat VOC masih menjiwai kalangan
pemerintah. Ia menyusun daftar sebab-sebab yang
mencetuskan kerusuhan-kerusuhan itu lalu menganjurkan
pembaruan-pembaruan seperti penurunan pajak,
penghapusan wajib tanam, perbaikan sarana-sarana
komunikasi, perbaikan pendidikan pejabat pamong praja,
dan yang tidak kurang pentingnya, Kristenisasi seluruh
nusantara.[1].

[1] Sartono, Katrodirjo, 1984, Pemberontakan Petani


Banten 1888 Kondisi , Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya,
Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia
Pusatka hal. 392

Memisahkan Jawa dari Islam

Para Yesuit yang berkarya di Jawa Tengah menghadapi keadaan


yang kian dinamis berkenaan dengan agama Islam formal.
Walaupun pada umumnya diterima keadaan religius di Jawa
pada umumnya dan lebih khusus lagi di Jawa Tengah leih
majemuk daripada sekedar cap Islam untuk seluruh penduduk,
namun agama itu tidak dapat lagi diabaikan begitu saja. Akan
tetapi, dalam strategi Yesuit atau malah misi Katolik pada
umumnya dari paruh abad ke 20, hal yang dianggap penting
ialah penyesuaian dengan budaya Jawa, setidak-tidaknya dalam
teori dan juga dalam praktik sejauh mungkin hal itu
dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama
Islam mesti dihindari, dan dalam strategi ini, penyangkalan atas
jati diri muslim Jawa atau setidak-tidaknya peremehan atas
unsur Muslim dalam budaya Jawa tetap merupakan sebuah
faktor yang kuat.

Sumber : Kareel Steenbrink dengan kerjasama Paule Maas, Orang-Orang Katolik


di Indonesia 1808-1942, Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang
Percaya Diri, cet. 1. Mei 2006, Penerbit Ledalero, hal. 685-686

Menolak Bahasa Melayu

.... ada banyak penekanan pada bahasa Jawa,


entah sebagai bahasa budaya dan kadangkala
juga bahasa liturgi. Di Muntilan bahasa Melayu
diabaikan sebagai sarana pengajaran. Misi Katolik
memandang bahasa Melayu sebagai bahasa
kaum Muslim dan lebih memilih bahasa Jawa,
disamping bahasa Belanda.

Sumber : Kareel Steenbrink, 2006, Orang-orang


Katolik di Indonesia 1808 1942, Pertumbuhan
yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri,
903 - 1942, Penerbit Ledalero, Maumere, hal. 636

Intensif Mengkaji Budaya


Jawa

Artikel tentang kesenian antara lain karya A. Soegijapranata tentang


tari-tarian orang Jawa, D. Hardjasoewanda tentang Masjid di Jawa, H.
Caminada tentang jathilan atau kuda kepang, B. Coenen tentang
wayang, J. Awick tentang gamelan dan C. Tjiptakoesoema tentang
rumah para Pangeran Jawa dan Gereja Katolik Bergaya Jawa. Dari
persoalan-persoalan di atas, terlihat bahwa substansi yang
dibicarakan cukup beragam, meliputi seni tari, musik, wayang,
pakaian dan arsitektur
Artikel mengenai adat-istiadat dan kepercayaan tradisional Jawa ditulis
antara lain oleh H. Caminada tentang cara orang Jawa menentukan
hari baik dan hari buruk, H. Fontane tentang cara orang Jawa
menyelenggarakan pesta, A. Soegijapranata tentang orang Jawa dan
agama yang dipeluknya, anonim, tentang orang Jawa dan arah mata
angin, H. Caminada tentang takhayul Jawa dalam ngelmu tuju, J.
Dieben tentang ilmu rasa, C. Tjiptakoesoema tentang ngelmu Jawa.
Beberapa artikel yang ditulis non Jesuit antara lain tulisan August
tentang arti nama bagi orang Jawa dan A.D. Nitihardjo tentang pesta
sepasaran/lima hari kelahiran anak. [1]

[1] Anton Haryono, 2009, Awal Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di
Yogyakarta 114 1940, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 218-219

Inkulturasi di Bidang
Arsitektur

Inkulturasi di bidang Liturgi

Kontekstualisasi Theologi
ala Romo Kirjito

Frans Magnis Suseno : Definisi


Jawa dlm Buku Etika Jawa
para pemakai bahasa Jawa dapat dibedakan antara mereka
yang secara sadar mau hidup sebagai orang Islam, dan
mereka, disamping orang Kristen dan orang Jawa bukan
Islam lain, yang walaupun menamakan diri beragama
Islam, namun dalam orientasi budaya lebih ditentukan oleh
warisan pra Islam. Kepustakaan antropologis sering bicara
tentang orang Jawa santri dan orang Jawa abangan.
Walaupun kedua golongan ini merupakan orang Jawa
sungguh-sungguh, namun dalam buku ini dibatasi pada
orang Jawa dengan orientai Jawa pra Islam. Dengan ini tidak
mau dikatakan bahwa orang Jawa Islam tidak menunjukkan
banyak dari ciri-ciri yang akan disebut khas Jawa,
melainkan dalam mencari ciri-ciri Jawa itu kami hanya
mempergunakan bahan-bahan tentang orang Jawa dengan
orientasi dasar pra Islam.

Marjinalisasi
Kasus kitab
Darmogandul
Islam

Seluruh isi Serat ini menggambarkan


penolakan terhadap Islam sebagai
agama yang asing bagi orang Jawa.
Ia juga dipandang sebagai agama
yang telah merebut kekuasaan
dengan cara yang tercela dari para
wali, orang-orang suci yang
dimuliakan bagi orang-orang Islam
Jawa. Mereka telah melakukan
konspirasi menentang Majapahit
dengan tindakan memalukan oleh
Raden Patah, raja pertama Demak,
terhadap ayahnya sendiri, Brawijaya
terakhir dari Majapahit. (G. W. J
Drewes dalam The struggle Between
Javanism and Islam as Illustrated by
Serat Darmogandul )

DG SYAHADAT SYARENGAT
Punika sadat sarengat,
tegese sarengat niki,
yen sare wadine njengat,
tarekat taren kang estri,
hakekat nunggil kapti,
kedah rujuk estri kakung,
makripat ngretos wikan,
sarak sarat laki rabi,
ngaben ala kaidenna
yayah rina.

Terjemahannya menurut Prof. Dr. H. M.


Rasjidi adalah sebagai berikut :

Lapal semacam itu adalah


dinamakan syahadat Syariat.
Sarengat artinya, kalau sare
(tidur) kemaluannya je-ngat
(berdiri). Ada perkataan lain
yang selalu dihubungkan
dengan sarengat, yaitu tarekat,
hakekat, dan maripat. Tarekat
artinya taren (bertanya, minta
setubuh) kepada isteri, hakekat
artinya: bersama selesai, lelaki
dan wanita harus rukun
(solider), maripat artinya:
mengerti, yakni mengetahui
sarat pernikahan, dan dilakukan
di waktu siang juga boleh.[1]
[1] Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Islam dan
Kebatinan. Cetakan VII. (PT. Bulan
Bintang ...Opcit. Hal. 12 -13

Kitab Arab djaman wektu niki,


Sampun mboten kanggo,
Resah sija adil lan kukume,
Ingkang kangge mutusi prakawis,
Kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu.
Artinya:
Kitab Arab zaman ini sudah tidak terpakai
lagi. Hukum di dalamnya meresahkan dan
tidak adil. Adapun yang digunakan untuk
memutuskan perkara adalah kitab Kanjeng
Nabi Isa Rahullah.

Peran Strategis Pendidikan


Tinggi
Kebebasan Akademik
Islam klasik telah meng
hasilkan sebuah budaya intelektual yang
mempengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan Universitas. Ia telah
menyumbangkan faktor melahirkan ide universitas yaitu keilmuan,
bersamaan ide kebebasan akademik. Kebebasan ini hanya mewujud dalam
budaya intelektual ketika para pengajar yang terlibat dianggap memiliki
otoritas ataupun hak yang sama untuk mengajar. Ia tidak akan pernah
mewujud ketika otoritas mengajar hanya secara eksklusif diatur menurut
hierarki.

Penelitian Ilmiah
Penelitian dalam arti sebatas pengumpulan data untuk tujuan
pengumpulan data tidak memiliki ruang dalam universitas. Penelitian
dalam arti pengembangan, penjelasan dan perbaikan prinsip-prinsip yang
digabung dengan pengumpulan dan penggunaan bahan-bahan empiris
untuk membantu lancarnya proses ini merupakan salah satu aktifitas yang
paling berharga dalam sebuah universitas.

Sumber : Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Naquib, hal.
207 238.

Anda mungkin juga menyukai