Anda di halaman 1dari 24

Disusun ulang dari PA Edisi V/2007

Daftar Isi
SEPTEMBER 2018

SABAT I KIBLAT IMAN KITA


1 September 2018 ........... 3

SABAT II ECHAD: SATU ATAU KESATUAN?


8 September 2018 ........... 5

SABAT III ELOHIM: TUNGGAL ATAU JAMAK?


15 September 2018 ........... 7

SABAT IV AYAT-AYAT “KITA”


22 September 2018 ........... 9

SABAT V YESUS DAN MONOTEISME ISRAEL


29 September 2018 ........... 11

OKTOBER 2018

SABAT I YESUS ATAU YHWH?


6 Oktober 2018 ........... 13

SABAT II MONOTEISME PARA RASUL


13 Oktober 2018 ........... 16

SABAT III DARI MANA TRINITAS DATANG?


20 Oktober 2018 ........... 19

SABAT IV KEMBALI PADA IMAN YANG SEDERHANA


27 Oktober 2018 ........... 21

UNTUK KALANGAN SENDIRI


Segala pertanyaan, kritik, dan saran dapat dialamatkan kepada
Departemen Publikasi JEMAAT ALLAH GLOBAL INDONESIA
dengan alamat Jl. Jeruk VII/30 Semarang 50249 Indonesia.
KIBLAT IMAN KITA
Sabat I – 1 September 2018

Berdebat tentang apakah Allah itu esa mutlak ataukah “tiga dalam satu,
satu tapi tiga” selalu berpangkal dari satu masalah: ke manakah kiblat iman
kita, Yahudi atau Yunani? Ketika kita membaca Alkitab, apakah kita
membacanya dengan kacamata monoteisme radikal Israel ataukah kacamata
teologi Abad Tengah yang berkarakter Yunani? Cara baca yang berbeda tentu
saja akan melahirkan kesimpulan yang berbeda.

Apa Kata Alkitab dan Sejarah?


Jemaat kita berpandangan bahwa dalam hal penyelidikan Alkitab, kita
perlu bergantung kepada dua hal. Pertama, penguasaan isi Alkitab, yakni
memahami secara harafiah apa yang dikatakan oleh ayat-ayat dari Kejadian
sampai Wahyu. Dengan membaca secara rutin, kita akan dapat melihat kaitan di
antara ayat-ayat berbagai kitab/surat. Kedua, pemahaman terhadap konteks
penulisan Alkitab. Tiap-tiap ayat terikat pada konteks pasalnya, tiap-tiap pasal
terikat pada konteks kitabnya, tiap-tiap kitab terikat pada konteks hidup
penulisnya: siapa dia, untuk siapa dan untuk tujuan apa dia menulis. Di sinilah
kita melihat perlunya studi bahasa asli dan studi sejarah terhadap tulisan-tulisan
dalam Alkitab.
Sekarang dengan kedua bekal di atas, kita menjawab pertanyaan di
bagian pendahuluan tadi. Ke manakah kiblat iman kita, Yahudi atau Yunani?
Tanpa ragu lagi, isi Alkitab akan menjawab: Yahudi (Israel). “Sebab kepada
merekalah dipercayakan firman Allah” (Roma 3:1-2). “Keselamatan datang
dari bangsa Yahudi” (Yohanes 4:22) karena, berbeda dari bangsa-bangsa lain,
mereka mengenal siapa yang mereka sembah. Hal ini mungkin akan segera
dibantah oleh penganut Trinitas dengan mengemukakan ayat-ayat yang berisi
teguran pada bangsa Yahudi (akan kita diskusikan kemudian).
Bagaimana dengan kata sejarah? Jelas sekali bahwa Yesus, para rasul,
bahkan jemaat Kristen purba adalah orang-orang Yahudi. Dalam Ensiklopedi
Agama (disunting oleh Vergilius Ferm, terbitan 1964) disebut-kan:
“Kekristenan jelas-jelas bersifat historis dalam struktur dan perkembangannya.
Bersemi dari akar Yudaistik-Ibrani yang berasal dari agama Semitik, yang
berbalik dari agama primitif, Kekristenan aslinya terhubung ke semua agama ...
Setelah kematian Yesus, murid-muridnya terus hidup seperti pada masa ia ada
... Anggota-anggota [gereja purba] ialah orang-orang Yahudi dan secara
alamiah [gereja] bersandar pada model-model yang tersedia bagi mereka dalam
Yudaisme, yang waktu itu adalah satu-satunya agama yang mereka kenal”
(cetak miring ditambahkan).

3
Ada satu fakta sejarah lain yang juga sangat penting untuk menentukan
kiblat iman kita. Perjanjian Baru belum selesai ditulis sampai tahun 100 dan
baru diresmikan (dikanonisasi) tahun 397 di Konsili Kartago Ketiga. Pada
masa hidup Yesus sampai kurang lebih tiga abad setelahnya, yang namanya
“Alkitab” hanya kitab-kitab Ibrani, yang sekarang kita sebut Perjanjian Lama
(Tanakh). Inilah kitab-kitab suci yang disebut, diperbincangkan, dan dipakai
oleh Yesus, para rasul, dan orang-orang Berea sebagai dasar keyakinan (Matius
4:4,7,10; 2 Timotius 3:16; Kisah 17:11). Dengan mengingat fakta ini, semakin
jelas kiranya betapa mendasar arti Perjanjian Lama dan iman Israel bagi
bangunan iman Kristiani.

Pengenalan Israel akan Allah


Jika kita bertanya kepada bangsa Israel (Yahudi), Allah seperti apa yang
mereka kenal, jawabannya tidak akan jauh-jauh dari Ulangan 6:4. “Dengarlah,
hai orang Israel: YHWH itu Allah kita, YHWH itu esa! [YHWH Eloheinu
YHWH Echad]”. Dalam terjemahan KJV dikatakan, “YHWH Allah kita itu satu
YHWH!”. Ayat ini cukup gamblang. YHWH itu satu, bukan dua, tiga, atau
lebih. “YHWH-lah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia” (Ulangan 4:35).
Dalam rangka menjaga iman mereka kepada YHWH yang esa itu,
bangsa Israel telah menjadikan Ulangan 6:4 sebagai kredo nasional mereka.
Kredo ini diulang-ulang dalam liturgi sehari-hari di sinagog, dan menjadi
perintah pertama yang harus diingat setiap anak Yahudi sejak berusia lima
tahun. Yesus Kristus dan para rasulnya terlahir sebagai anak-anak Yahudi di
tengah lingkungan keluarga Yahudi yang taat. Tidak sedikit pun mereka
bergeser dari iman monoteistik Yahudi. Ketika ditanya apakah inti dari
ajarannya, hukum yang ia anggap paling utama, tanpa ragu-ragu Yesus
mengutip Ulangan 6:4-5 (lihat Markus 12:29-34). YHWH adalah “Dia”
(Matius 4:10) yang Yesus sebut sebagai “satu-satunya Allah yang benar”
(Yohanes 17:1,3), Bapa surgawinya dan Bapa surgawi kita, Allahnya dan Allah
kita (Yohanes 20:17). Allah yang Yesus perkenalkan adalah Allah Israel
(Yohanes 8:54), bukan Allah yang asing atau baru.

Untuk didiskusikan:
Bacalah: Matius 5:21-48; 13:10-15; 15:1-9,14; 23:16,24; 16:6; Yohanes
9:39-41; Roma 10:1-3; Galatia 1:6-9; 1Korintus 1:22-23; 2Korintus 3:14-15;
1Tesalonika 2:14-16; dan Wahyu 2:9; 3:9.
Sebagian penganut Trinitas mengajukan ayat-ayat ini sebagai bukti
bahwa ajaran bangsa Israel (Yahudi) itu sesat dan keliru, sehingga Yesus
Kristus dan para rasul pasti sudah menolak/tidak mengikuti monoteisme Israel
lagi. Apa tanggapan Anda tentang klaim itu?

4
ECHAD: SATU ATAU KESATUAN?
Sabat II – 8 September 2018

Mengomentari perdebatan sengit antara kaum Kristen Tauhid dengan


Kristen Trinitas di abad ke-17 dan ke-18, seorang teolog Trinitas ternama abad
ini Leonard Hodgson berkata: “Dalam soal dasar argumen yang disepakati
bersama [yaitu Alkitab], kelompok Tauhid berkedudukan lebih baik.” Tetapi,
tentu saja tidak semua penganut Trinitas mau berkata terang-terangan seperti
itu.
Banyak upaya yang dilakukan untuk menafsir ulang ayat-ayat yang
tegas menyatakan keesaan Allah. Misalnya, soal kredo nasional Israel Ulangan
6:4. “Dengarlah, hai orang Israel: YHWH itu Allah kita, YHWH itu esa!
[YHWH Eloheinu YHWH Echad]”. Sebagian kaum Trinitarian menolak bahwa
kata “esa” (echad) berarti mutlak “satu”. Mengutip Kejadian 2:24, “keduanya
[suami dan istri] menjadi satu daging”, mereka mengklaim: “Lihat! Suami dan
istri itu dua orang, tetapi dibilang echad (satu). Berarti echad itu bukan “satu”,
melainkan “kesatuan”!” Menurut mereka, kata Ibrani yang berarti “satu”
adalah yachid, bukan echad. Jadi, karena Ulangan 6:4 tidak memakai yachid,
berarti esanya Allah itu bukan satu mutlak, melainkan suatu kesatuan
gabungan. Bagaimana kita menanggapi hal ini?

Echad dan Yachid


Fakta membuktikan, argumen kaum Trinitarian di atas itu keliru. Kalau
seseorang belajar bilangan Ibrani, kata untuk bilangan “satu” adalah echad,
bukan yachid: echad (satu), sh'nayim (dua), shalosh (tiga), arba (empat), dst.
Buku tata bahasa Ibrani apa pun, Alkitabiah ataupun Modern, akan
menunjukkan bahwa kata Ibrani yang dipakai sehari-hari untuk bilangan satu
adalah echad (atau achat, bentuk femininnya), bukan yachid.
Kalau kita mencermati pemakaian kedua kata ini – echad dan yachid –
dalam Perjanjian Lama, dengan cepat dan mudah kita akan mendapati bahwa
yang biasa dipakai untuk arti “satu” adalah echad. Echad adalah kata sifat yang
paling sering dipakai dalam PL, lebih dari 900 kali! Beberapa contohnya: “satu
tempat” (Kejadian 1:9); “satu ayah” (Kejadian 42:13); “satu hukum” (Keluaran
12:49); “seekor domba” (Imamat 14:10); “satu dari saudara-saudaranya”
(Imamat 25:48); “satu tongkat” (Bilangan 17:3); “satu jiwa” (Bilangan 31:28);
“satu dari kota-kota ini” (Ulangan 4:42); “satu jalan” (Ulangan 28:7); “satu efa”
(1 Samuel 1:24); “satu orang pergi ke tanah lapang” (1 Raja 4:39); “satu
gembala” (Yehezkiel 37:24); “satu keranjang” (Yeremia 24:2); “satu [hal]”
(Mazmur 27:4); “dua lebih baik daripada satu” (Pengkhotbah 4:9); “satu atau
dua hari” (Ezra 10:13).

5
Yang paling penting, echad jelas mengandung makna “tunggal, satu-
satunya, hanya satu, seorang diri” (lihat Bilangan 10:4; Yosua 17:14; Ester
4:11; Yesaya 51:2). Dalam Ulangan 17:6, misalnya, kurang tepat sebenarnya
menerjemahkan echad dengan sekedar “satu”. Lebih tepat jika diterjemahkan
“atas keterangan hanya satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati”
(seperti terjemahan New Revised Standard Version). Intinya, echad berarti
“satu” dan hanya satu.
Yachid, di sisi lain, sangat jarang dipakai dalam Perjanjian Lama.
Kalau pun digunakan, artinya berbeda dari echad. Yachid ditemukan total
hanya 12 kali dalam PL. Bertentangan dengan argumen kaum Trinitarian di
bagian pembuka tadi, yachid sama sekali tidak bermakna bilangan “satu”.
Dalam konteks kalimat, yachid berarti “satu-satunya, sendirian, terpisah, atau
unik”. Tujuh kali kata ini merujuk pada “satu-satunya” anak lelaki (Kejadian
22:2,12,16; Amos 8:10; Yeremia 6:26; Zakharia 12:10; Amsal 4:3), sekali
untuk “satu-satunya” anak perempuan (Hakim 11:34), dua kali untuk “satu-
satunya” jiwa seseorang (Mazmur 22:21; 35:17); dan dua kali untuk mereka
yang adalah “satu-satunya” (Mazmur 25:16 & 68:7), yang berarti terpisah atau
sendirian, dan barangkali kesepian. PL tidak pernah menggunakan kata yachid
untuk Allah; dan dari penggunaannya di PL secara keseluruhan, boleh dibilang
arti kata ini tidak cocok untuk Allah.

Untuk didiskusikan:
Berikut ini beberapa ayat lain di luar Kejadian 2:24 yang digunakan
sebagai argumen oleh kaum Trinitarian mengenai kata echad: (1) Kejadian 1:5,
“jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama [yom echad]”; (2) Ezra
2:64, “Seluruh jemaah itu bersama-sama [k'echad] ada empat puluh dua ribu
tiga ratus enam puluh orang”; (3) Yehezkiel 37:16, “Gabungkanlah keduanya
menjadi satu papan [echad el echad]”. Klaim yang diajukan kira-kira begini:
“Lihat! Bukankah sesuatu yang disebut echad ternyata terdiri atas bagian-
bagian?” Bagaimana tanggapan Anda tentang klaim itu?

Allah yang Satu dan Satu-satunya


Lepas dari upaya mengotak-atik kata echad, para sarjana sepakat
tentang makna kata ini. Leksikon Ibrani standar yang dipakai di seminari-
seminari, Brown-Driver-Briggs-Gesenius Lexicon, mendaftar delapan cara
penggunaan echad, a.l. “masing-masing/setiap, tertentu, satu-satunya.” Tidak
ada keterangan tentang makna “kesatuan gabungan”. Theological Dictionary
of the Old Testament juga tidak mengajarkan bahwa echad adalah kesatuan
gabungan. Kamus ini justru berpendapat, Ulangan 6:4 pada dasarnya berbunyi
YHWH adalah “Allah Israel yang satu dan satu-satunya.”

6
ELOHIM: TUNGGAL ATAU JAMAK?
Sabat III – 15 September 2018

Argumen bahwa echad berarti “kesatuan” ternyata kurang berdasar


dan sulit dipertahankan. Tetapi masih ada argumen Trinitarian lain yang sering
diajukan, yakni tentang kata elohim. Kata ini sering sekali digunakan dalam
Perjanjian Lama untuk menyebut YHWH. Padahal, elohim adalah kata
berbentuk jamak. Yang namanya bentuk jamak berarti yang dimaksud-kan
lebih dari satu benda/pribadi (kalau dalam bahasa Indonesia misalnya “kucing-
kucing”, “raja-raja”, dsb.). Oleh karena YHWH disebut elohim, maka kaum
Trinitarian lantas mengklaim bahwa YHWH itu, sekalipun disebut esa,
sebenarnya terdiri lebih dari satu pribadi (jamak/majemuk). Benarkah klaim
ini? Mari kita bahas lebih lanjut.

Bentuk Jamak, Arti Tunggal


Keganjilan pertama yang langsung terasa dalam klaim Trinitarian di
atas adalah ini: kalau memang YHWH adalah Allah yang majemuk (tapi esa),
mengapa pengertian seperti itu tidak pernah didapati dalam sejarah iman
Israel/Yahudi? “Keyakinan bahwa Allah terdiri dari beberapa pribadi seperti
keyakinan orang Kristen pada Trinitas merupakan keterputusan dari konsep
murni keesaan Allah. Israel sepanjang zaman menolak apa pun yang menodai
atau mengaburkan konsep monoteisme murni yang telah diberikan-nya kepada
dunia, dan daripada mengakui apa pun yang mengurangi [monoteisme itu],
bangsa Yahudi siap untuk mengembara, menderita, mati” (Lev Gillet,
Communion in the Messiah, 1968).
Lalu, bagaimana sebenarnya bangsa Israel/Yahudi memahami kata
elohim? Mengapa kata bentuk jamak itu dipakai untuk menyebut YHWH yang
esa? Inilah pentingnya mempelajari bahasa asli Alkitab dari sudut pandang
bangsa Israel/Yahudi sendiri. Lindsey Killian dan Emily Palik (2004)
mengingatkan, jika kita ingin memahami makna elohim yang seutuhnya, kita
harus siap memangkas gagasan-gagasan kita sendiri dan (a) mendengar baik-
baik mereka yang terpelajar dalam bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Timur
Dekat Kuno lainnya, serta (b) mengamati penggunaan kata elohim dalam
Perjanjian Lama.
Ternyata, dalam bahasa Ibrani tidak semua kata bentuk jamak juga
berarti jamak. Ada beberapa kata yang bentuknya jamak (berakhiran -im) yang
bermakna tunggal. Misalnya, kata chayyim (hidup) dan panim (wajah):
bentuknya jamak, tetapi dalam PL justru lebih sering berarti tunggal. Misalnya,
dalam Kejadian 23:1 waktu Sarah meninggal, dikatakan “hidup-hidup
(chayyim) Sarah 127 tahun”; atau Kejadian 43:31, setelah meratap dikatakan

7
Yusuf “mencuci wajah-wajahnya (panim)” (lihat juga Kejadian 17:3; 16:6).
Jelas bahwa Sarah tidak hidup berkali-kali, Yusuf juga tidak bermuka dua atau
lebih, tetapi begitulah bahasa Ibrani. Ada kalanya kata benda jamak dipakai
untuk arti tunggal, termasuk di sini kata elohim.
Apa buktinya bahwa elohim juga bisa berarti tunggal? Pertama, elohim
juga dipakai oleh sosok-sosok lain yang jelas tunggal. Misalnya, dewa-dewi
bangsa-bangsa sekitar Israel. Dagon (dewa ikan bangsa Filistin – Hkm. 16:23-
24; 1 Sam. 5:7), Kamos (dewa bangsa Amon dan Moab – Hkm. 11:24; 1Raj.
11:33), Asytoret (dewi bangsa Sidon – 1Raj 11:33), Milkom (dewa bangsa
Amoni – 1Raj 11:33) dan Nisrokh (dewa manusia berkepala elang bangsa
Asyur – 2Raj. 19:37), masing-masing disebut sebagai elohim walaupun
sosoknya tunggal. Elohim juga dikenakan pada Musa (Kel. 4:16; 7:1) dan raja
Israel yang terurap (Maz. 45:6), yang jelas-jelas tunggal.
Kedua: karena bahasa Ibrani juga mengenal perbedaan kata kerja
bentuk tunggal dan jamak, ada satu fakta yang jelas bisa kita lihat dalam PL
tentang elohim. Setiap saat kata ini menunjuk pada YHWH, kata-kata kerja
yang membarengi hampir selalu bentuk tunggal. Misalnya dalam Kejadian 1:1,
dituliskan Bara elohim (Allah menciptakan). Kata kerja bara dengan pasti
menunjuk sosok yang tunggal. Jadi, jelas para penulis PL tahu betul bahwa
YHWH bukanlah Allah yang berpribadi majemuk.
Ketiga: para penerjemah Perjanjian Lama pun tahu bahwa elohim tidak
selalu berarti banyak allah, apalagi kalau menunjuk kepada Allah yang sejati
(YHWH). Terbukti, Kejadian 1:1 diterjemahkan “Pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi”, bukan “Pada mulanya Allah-Allah menciptakan
langit dan bumi”. Elohim yang diterjemahkan menjadi Allah (bukan Allah-
Allah) kita dapati di sepanjang Perjanjian Lama. Kalau para cendikia,
penerjemah, dan orang-orang Ibrani sendiri paham bahwa YHWH Elohim itu
tunggal, mengapa kita mereka-reka makna khayali sendiri bahwa Dia itu esa
tetapi jamak?

Jamak Keagungan
Ada suatu rasa bahasa yang menyebabkan bahasa Ibrani sering
memakai kata-kata benda bentuk jamak untuk sesuatu yang tunggal. Smith's
Bible Dictionary menyebutnya jamak keagungan (the plural of majesty).
Dalam bentuk jamak keagungan ini, dibayangkan seluruh kekuatan sedang
dipusatkan kepada benda atau sosok itu. Gaya berbahasa ini bukan hanya
ditemui di bahasa Ibrani saja, tetapi juga di bahasa Babilon pra-Israel dan
tulisan bangsa Kanaan. Seperti disimpulkan Augustus Strong, “bentuk jamak
mengungkapkan rasa takzim, menandakan keakbaran atau kesempurnaan”
(Alva G. Huffer, Systematic Theology, 1960). Elohim pun berarti rangkuman
dari semua kekuatan ilahi yang dikenal bangsa Israel.

8
AYAT-AYAT “KITA”
Sabat IV – 22 September 2018

Sabat ini kita membahas persoalan yang sering diangkat oleh kaum
Trinitarian untuk membuktikan YHWH itu berpribadi majemuk. Ada empat
ayat dalam Perjanjian Lama ketika YHWH berfirman dengan kata “Kita”.
Ayat-ayat itu adalah (a) Kejadian 1:26-27, “Baiklah Kita menjadikan manusia
dalam gambar dan rupa Kita”; (b) Kejadian 3:22-23, “Sesungguhnya manusia
itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita”; (c) Kejadian 11:7-8, “Baiklah
Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka”; (d) Yesaya 6:8-9,
“Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk
[Kami/Kita]?” (dalam terjemahan LAI diganti dengan kalimat “siapakah yang
mau pergi untuk Aku?”). Apakah keempat ayat ini memang menunjukkan
kemajemukan YHWH?

Dua Kemungkinan Makna


Dalam menafsirkan sebuah tulisan, salah satu aturan penting adalah
menjadikan prinsip atau gagasan yang gamblang sebagai pedoman memaha-mi
bagian-bagian yang kurang jelas. Untuk Perjanjian Lama, rasanya tidak
berlebihan kalau kita katakan ajaran tentang YHWH yang esa (tauhid)
merupakan sesuatu yang gamblang. Dengan demikian, keempat ayat “Kita” di
atas mustilah dipahami dalam konsep monoteisme atau ketauhidan itu.
Mengapa Allah memakai kata ganti “Kita” ketika berbicara?
Perlu dicatat bahwa ”Kita” di sini juga bisa berarti “kami” (dalam bahasa Ibrani
tidak ada pembedaan). Pengertian “kita” atau “kami” berarti si pembicara
melibatkan orang lain selain dirinya. Maka, kalau Allah menye-but “Kita”, Ia
sedang berbicara atau mengajak pihak lain. Jika demikian halnya, barangkali
Allah sedang bicara kepada tentara surga, yang tampaknya berada di dekat
Allah pada saat penciptaan bumi (Ayub 38:4-7), pada saat pengusiran dari Eden
(Kej. 3:22-24), dan dalam penglihatan Yesaya (Yes. 6:1-3). Ini adalah
kemungkinan makna yang pertama.
Gambarannya tidak harus berarti tentara surga ikut terlibat dalam
keputusan Allah. Lebih tepat kalau digambarkan Allah mengumumkan
keputusan rajawi-Nya pada sidang surgawi, dan mereka harus melaksanakan
perintah-perintah-Nya. Kemungkinan makna pertama ini didukung beberapa
komentari Alkitab. Komentari New Bible dan Cambridge berpendapat bahwa
tentara surgalah yang sedang diajak bicara dalam ayat-ayat ini. Menurut
komentari Expositor's dan Interpreter's Bible, ajakan pada tentara surga adalah
suatu kemungkinan. Sementara itu, New Interpreter's Bible memastikan bahwa
Allah sedang bicara kepada sidang (malaikat) ilahi-Nya.

9
Penjelasan lain (kemungkinan makna yang kedua) ialah apa yang
disebut sebagai jamak keagungan (majestic plural). Menyebut diri sebagai
“kami” atau “kita” lazim dilakukan dalam suasana resmi kerajaan atau
pemeirntahan. Bukan berarti Allah itu jamak, tetapi ia bertindak sebagai hakim
dan raja agung di seluruh bumi (hakim – Kej. 18:25; Hkm. 11:27; raja – Maz.
47:3,8). Dalam konteks ini, bukan hal aneh untuk berpindah-pindah antara
penyebutan diri jamak dan tunggal (mis., Yes. 6:8 – “Siapa yang akan Aku utus;
siapa yang akan pergi untuk kami?”). Ibarat seorang raja di hadapan sidang
rajaninya, Allah membuat pengumuman rajani pada sidang ilahi-Nya (Amos
3:7; lihat Ayub 15:8; Maz. 89:7[8]; 107:32; Yer. 23:18-23; Yeh. 13:9) atau
mengirim utusan untuk bertindak atas nama Allah untuk misi tertentu (1 Raj.
22:19-23).
Dalam Alkitab, “kami/kita rajani” (royal we) juga dipakai oleh
manusia, khususnya di situasi resmi, seperti sidang keistanaan. Misalnya Ezra
4:18: “Surat yang kamu kirim kepada kami telah dibacakan kepadaku dengan
jelas.” Perhatikan bahwa surat itu pasti ditujukan kepada sang raja, bukan orang
lain (Ezra 4:7-8). Sang raja menggunakan “kami” semata-mata karena
kebesaran kekuasaan, status rajanya. Contoh lain adalah Daniel, saat bicara di
sidang istana dalam situasi resmi, berkata, “kami akan menafsirkan” mimpi
raja (Dan. 2:36), padahal saat itu dia adalah penafsir tunggal (ay. 24-36).
Bildad, sahabat Ayub, juga menyebut diri sendiri sebagai “kami” (Ayub 18:2-
3). Dalam 2Tawarikh 18:5, Raja Ahab menanyai nabi-nabinya, “Apakah kami
boleh pergi berperang ... atau aku membatalkannya?” Dalam kedua anak
kalimat ia sedang menunjuk pada dirinya sendiri karena para nabi menanggapi,
“[engkau] majulah! Allah akan menyerahkannya ke dalam tangan raja.”
Kemungkinan makna yang kedua ini, “jamak keagungan” tampaknya
menjadi pandangan paling umum di antara para sarjana masa kini ketika
menafsirkan ayat-ayat “Kita”. Bahkan para sarjana linguistik penganut Trinitas
masa kini umumnya tidak lagi memakai ayat-ayat “Kita” tersebut sebagai bukti
kemajemukan Allah.

Perkembangan Pasca Para Rasul


Fakta menunjukkan, tafsir bahwa Kejadian 1:26 membuktikan
“kemajemukan” Allah tidak didapati dalam tulisan para rasul. Ini berarti tafsir
semacam itu berkembang setelah masa penulisan Perjanjian Baru, dan dengan
begitu tampaknya murni perkembangan gereja pasca para rasul. Marilah kita
sekedar membuka mata kita dengan jujur. Jika di seluruh Perjanjian Lama,
2500 kali Allah memakai kata ganti tunggal (Aku/Engkau/ Dia) kecuali pada
keempat ayat “Kita” di atas, apakah Ia memang ingin kita menganggapnya
“satu tapi tiga, tiga tapi satu”?

10
YESUS DAN MONOTEISME ISRAEL
Sabat V – 29 September 2018

Salah satu argumen yang paling diusahakan oleh kaum Trinitarian


adalah bahwa Yesus Kristus sendiri yang mengajarkan tentang Trinitas. Ada
satu-dua kalimat Yesus yang biasa mereka otak-atik untuk mendukung dogma
ini (akan kita diskusikan kemudian). Seorang teolog Trinitarian Loraine
Boettner bahkan berani menulis, “Pada masa [penulisan] kitab-kitab Perjanjian
Baru, Trinitas sudah menjadi keyakinan umum [orang Kristen]” (Studies in
Theology, 1957). Benarkah itu?

Shema, Inti Ajaran Yesus


Sebuah argumen yang baik haruslah didukung fakta-fakta yang teruji.
Jika kita menyelidiki sosok Yesus dari Nazaret, tidak bisa dibantah bahwa ia
dibesarkan dalam lingkungan Yahudi yang religius. Kedua orang-tuanya taat
pada hukum-hukum agama Yahudi. Yesus disunatkan pada usia delapan hari
(Lukas 2:21). Setiap tahun mereka ke Yerusalem untuk meraya-kan Paskah
(Lukas 2:41). Beribadah pada hari Sabat menjadi kebiasaan Yesus (Lukas
4:16). Sejak kanak-kanak, Yesus sudah terpelajar dalam “teologi” Yudaisme,
bahkan menurut ukuran alim ulama (Lukas 2:46).
Memahami konteks hidup Yesus, kita tidak terkejut mendapati “nafas”
Yudaisme yang sangat kental dalam ajarannya. Ketika ditanya oleh seorang ahli
Taurat, “Hukum manakah yang paling utama?”, Yesus langsung menjawab:
“Dengarlah, hai orang Israel, YHWH Allah kita, YHWH itu esa [Shema Israel,
YHWH eloheinu YHWH echad]” (Markus 12:28-29). Kalimat ini adalah bagian
dari syahadat nasional bangsa Yahudi, dikenal sebagai Shema. Jawaban Yesus
sangatlah tepat, karena di tengah-tengah berbagai aliran dalam Yudaisme
(Saduki, Farisi, ortodoks, liberal, ataupun progresif), shema adalah prinsip
dasar pemersatu.
Persetujuan alim ulama Yahudi terhadap teologi Yesus tampak dalam
tanggapan ahli Taurat yang tadi bertanya. Ia berkata, “Tepat sekali, Guru, benar
katamu itu, bahwa Dia esa dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia” (Markus
12:32). Yesus merespon balik, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” Ini
berarti keduanya saling membenarkan! Itu sebabnya teolog Yahudi
berkomentar: “Pada titik ini tidak ada keterputusan antara Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Tradisi monoteistik tetap diteruskan. Yesus adalah orang
Yahudi, dididik oleh orangtua Yahudi dalam kitab-kitab Perjanjian Lama.
Ajarannya bersifat Yahudi sampai ke inti-intinya; memang sebuah berita baru,
tetapi bukan teologi baru” (L.L. Paine, A Critical History of the Evolution of
Trinitarianism, 1902:4).

11
Allahmu itu Bapaku!
Bagaimanapun juga, Yesus adalah peletak dasar Kekristenan, sehingga
kata-katanya mustilah menjadi pedoman yang paling tinggi. Sangat aneh jika
kita mengaku sebagai orang Kristen (yang berarti “pengikut Kristus”), tetapi
kita mengabaikan kesaksian Yesus sendiri tentang siapa dan bagaimana
sebenarnya Allah itu. Apakah menurutnya Allah itu esa atau trinitas? Apakah
Yesus pernah mengklaim dirinya sendiri sebagai Allah?
Kalau kita mau sungguh-sungguh membaca keempat Injil dengan mata
batin terbuka, tampaklah bahwa kenyataannya Yesus tidak pernah bergeser dari
iman monoteistik Yahudi. Bukan hanya menjunjung tinggi Shema, dalam
berkarya Yesus selalu mengembalikan pujian kepada Allah yang Esa, “hanya
Allah yang baik,” katanya (Markus 10:18; Lukas 18:19; juga Matius 19:17).
Menurutnya, kita harus “mencari hormat dari Allah yang Esa” (Yohanes 5:44),
ketimbang hormat dari manusia. Allah yang Esa itu, Allah nenek moyang
bangsa Yahudi (YHWH), Yesus sebut sebagai Bapanya (Yohanes 8:54),
Allahnya dan Allah kita (Yohanes 20:17).
Kitab Yohanes penuh dengan kesaksian Yesus tentang keunggulan
Bapanya. Yesus menerima segala sesuatu dari Bapa (3:35). Bapalah yang harus
disembah semua bangsa dalam roh dan kebenaran (4:23-24). Yesus diutus oleh
Bapa dan hamba dari segala kehendak-Nya (4:34). Karya-karya Yesus
didasarkan pada petunjuk Bapa (5:19). Hidup Yesus adalah anugerah dari Bapa
(5:26). Yesus selalu taat pada kehendak Bapa (5:30). Yesus semata-mata ingin
berkenan pada Bapa (8:29). Bapa yang mengutus dan memerintah Yesus dalam
semua ucapannya (12:49). Yesus sebagai utusan lebih rendah daripada Bapa
yang mengutus (13:16,20). Yesus mengibaratkan dirinya seperti pohon anggur,
sedangkan Bapa adalah pemilik pohon anggur itu (15:1). Bapa lebih besar
daripada dia (14:28).
Namun, di antara semua kesaksian itu, ada satu yang paling meng-
getarkan dan meyakinkan kita: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa
mereka mengenal Engkau (Bapa) satu-satunya Allah yang benar, dan engenal
Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3). Menggabung “satu-
satunya” (Yunani: monos) dan “benar” (alethinos, juga berarti sejati atau asli),
tanpa ragu lagi Yesus sedang menunjuk pada Bapa YHWH sebagai satu-
satunya Allah sejati, sedang dia hanya utusan-Nya.

Untuk didiskusikan:
Beberapa ucapan Yesus dijadikan dasar mempertahankan dogma
Trinitas, misal Yohanes 8:58; 10:30; Matius 28:19. Bagaimana tanggapan
anda? Juga bagaimana tentang tuduhan orang Yahudi bahwa Yesus
menyamakan diri dengan Allah (Yohanes 5:18)? (Petunjuk : tuduhan orang
Yahudi kepada Yesus bermacam, misal tuduhan penyesat di Matius 27:63)

12
YESUS ATAU YHWH?
Sabat I – 6 Oktober 2018

Beberapa ayat lain yang dipersoalkan kaum Trinitarian adalah nubuat-


nubuat Perjanjian Lama yang menunjuk pada YHWH, padahal
penggenapannya terjadi dalam Yesus. Meskipun agak “dipaksakan”, tetapi
ayat-ayat ini perlu juga kita bahas, seperti Yesaya 8:14-15 (dengan 1 Petrus.
2:8); Yesaya 40:3-4 (dengan Matius 3:3); Yoel 2:32 (dengan Roma 10:13); dan
mungkin juga Zakharia 14:3-5 (dengan 1Tesalonika 3:13; 2Tesalonika 1:7;
Yudas 14; Matius 24:30-31; 25:31); Hosea 13:4 (dengan Filipi 3:20). Ada lebih
banyak lagi teks Perjanjian Lama yang biasa diajukan untuk mengklaim bahwa
Yesus adalah YHWH (atau setara dengan Bapa), tetapi bahasan kita akan
mencakup seluruh “bukti” yang seperti ini.

Tokoh Utama dan Tokoh Pelaksana


Dalam pemikiran Ibrani (dan di bahasa-bahasa lain), “sebab perta-ma”
sebuah tindakan (tokoh utama) tidak harus selalu menjadi pihak yang
menjalankannya (tokoh pelaksana). Dalam Alkitab ada contoh-contoh jelas
tentang itu. Bisa jadi tokoh utama dan tokoh pelaksananya sama-sama manusia.
Ini kita dapati dalam kisah Firaun dan Yusuf, Kejadian 41:40-42, serta kisah
Abraham dan pelayannya ketika mencari pengantin untuk Ishak, (Kejadian 24).
Abraham adalah tokoh utama (yang menugaskan); pelayannya adalah
pelaksana (agen), bertindak atas nama dan menggantikan tokoh utama untuk
mewujudkan kehendak/keinginan tokoh utama itu.
Bisa jadi tokoh utamanya Allah sedang agennya adalah malaikat atau
manusia. Agen malaikat kita lihat dalam peristiwa Yakub bergumul di tepi
sungai Yabok dalam Kejadian 32:24-30. Yakub berkata, “Aku telah melihat
Allah [elohim] berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (ay. 30). Alhasil,
sebagian orang berpikir bahwa Yakub benar-benar bergumul langsung dengan
Allah. Tetapi kalau bumi dan langit tidak sanggup menampung Allah (1Raja
8:27), dapatkah seorang manusia mengatasi sedikit saja (ay. 28) Pencipta
manusia yang mahakuasa? Syukurlah, ada ayat lain dalam Kitab Suci yang
menolong kita memahami ungkapan Yakub ini. Hosea 12:3-4 menyingkapkan
bahwa sosok yang bergumul dengan Yakub adalah sesosok malaikat (atau
“utusan”) yang “bertindak atas nama” Allah. Allah adalah tokoh utama;
malaikat itu adalah tokoh pelaksana yang ditugaskan oleh Allah.
Contoh lain ditemukan dalam Hakim-hakim 13:21-22. Setelah
malaikat YHWH muncul di hadapan Manoah dan istrinya, dikatakan Manoah
tahu bahwa makhluk itu adalah malaikat YHWH. Tetapi perhatikan bahwa

13
kemudian Manoah berkata: “Kita pasti akan mati, karena kita telah melihat
Allah [elohim].” Sekali utusan dari Allah disebut “Allah”. Manoah takut seolah
itu Allah sendiri, sekalipun dikatakan ia tahu itu malaikat.
Manusia juga bisa menjadi agen Allah, pelaksana kehendak-Nya.
Misalnya: Allah berkata, “Aku, Akulah YHWH dan tidak ada juruselamat
[moshia] selain daripada-Ku” (Yesaya 43:11), namun Ia mewujudkan
penyelamatan itu melalui manusia (agen). Konsekuensinya, bukan hanya
Allah, tetapi agen-agen manusianya juga disebut pembebas atau juruselamat
(moshiim, bentuk jamak dari moshia). Di luar Yesus, Musa dan para
hakim/pemimpin Israel disebut juruselamat (Hakim 3:9,15; Yesaya 19:20,
Nehemia 9:27, Obaja 1:21). Inilah mengapa sebagian teolog menafsirkan
elohim dalam Mazmur 82:6 adalah para hakim dan pemimpin Israel. Dalam
pengertian agen Allah ini, Yesus pun layak disebut elohim (Yohanes 10:34).

Ayat-ayat Mesianik
Kembali pada ayat-ayat PL yang diajukan oleh kaum Trinitarian di
pendahuluan tadi, tampak jelas Yesus adalah agen yang diutus Allah.
“Barangsiapa menyambut aku, ia menyambut Dia yang mengutus aku” (Matius
10:40). “Barangsiapa menyambut aku, bukan aku yang disambutnya, tetapi Dia
yang mengutus aku” (Markus 9:37). “Sebab barangsiapa menyangkal Anak, ia
juga tidak memiliki Bapa. Barangsiapa mengaku Anak, ia juga memiliki” (1
Yohanes 2:23).
Yesus sangat selaras dengan Allah (artinya menuruti roh dan rencana
Allah bagi kehidupannya). Ia disebut gambar Allah (Kolose 1:15; 2Korintus
4:4; Ibrani 1:3), hikmat dan kekuatan Allah (1Korintus 1:24), dan firman Allah
karena oleh hidupnya yang sempurna ia telah menjelaskan kepada kita seperti
apa Allah itu (Yohanes 1:14,18). Yesus menyingkapkan Allah lewat melakukan
apa yang ia lihat Bapa lakukan dan berbicara tentang apa yang Bapa katakan
(Yohanes 1:18; 5:19-20; 8:16,28; 10:38; 14:8-11,31; 1Timotius 3:16). Kalau
kita percaya Yesus adalah teladan sempurna dari Allah, kata-kata Yesus tentang
dirinya sendiri sepatutnya kita pegang.
Yesus berkata bahwa menerima pengikut-pengikutnya setara dengan
menerima dia, dan menerima Yesus setara dengan menerima Bapa (Allah). Di
sini dipakai bahasa identik. Kalau Yesus secara harafiah dianggap inkarnasi
Allah, berarti kita juga harus menganggap para pengikut Yesus secara harafiah
adalah inkarnasi Yesus. Tidak bisa tidak! Oleh karena itulah, kita mustinya
paham bahwa ayat-ayat itu gamblang menyaksikan: Yesus bukanlah inkarnasi
harafiah dari YHWH (Bapa), sama seperti para pengikut Yesus juga bukan
inkarnasi harafiah dari Yesus. Alih-alih, Yesus mewakili Bapa di hadapan dunia
seperti para pengikut Yesus mewakili Yesus kepada di hadapan dunia.

14
Dengan pengertian itu, kita dapat membaca sikap para penulis
Perjanjian Baru: Yesus adalah penggenapan ayat-ayat mesianik Perjanjian
Lama. Menolak karya Allah melalui mesias Yesus berarti menolak Allah
sendiri. Setelah memahami hal ini, tanpa kesulitan kita memahami Yesaya
40:3/Matius 3:3: “Persiapkanlah jalan bagi TUHAN.” Konteks pernyataan
Yohanes Pembaptis (Yesaya 40:3-11) adalah suatu pesan “akhir zaman”:
Perikop kitab Yesaya yang ia kutip pertama-tama adalah pesan untuk “hidup
lurus” di hadapan Allah, sebelum kerajaan-Nya datang. Yesus adalah pelaksana
kerajaan ini – agen dari Bapa, tetapi YHWH Elohim adalah tokoh utamanya,
TUHAN yang akan menghakimi melalui mesias-Nya, Yesus.
Yesaya 53:1 dst. membuat pernyataan indah tentang harmoni antara
YHWH dan Yesus sebagai tangan (lengan) YHWH. Lengan ada di bawah
kendali kehendak kita; lengan tidak ada gunanya tanpa pimpinan otak kita.
Begitu pula, Yesus semata-mata melaksanakan apa yang Bapa, “sang aktor
intelektual”, perintahkan (Ulangan 18:18; Yohanes 5:19-30). Lengan YHWH
juga disoroti dalam Yesaya 40:10-11. “YHWH datang;” lantas dilanjutkan,
“tangan (lengan)-Nya memerintah bagi Dia.”
Pengertian yang sama juga berlaku bagi Zakharia 14:5, ketika dikatakan
Y HWH “datang” dengan orang-orang kudusnya. Yesaya 40:10-11
menjelaskan, “kedatangan” Allah berarti dilaksanakannya penghakiman dan
pemerintahan-Nya. Di Perjanjian Baru, dipaparkan bahwa semua itu
dilaksanakan oleh Yesus. Allah akan menghakimi dunia melalui Yesus (Kisah
17:31). Ia akan datang dilingkupi kemuliaan Bapa (Matius 16:27). Ia akan
memeras kilangan anggur kegeraman dan murka Allah Yang Mahakuasa
(Wahyu 19:15). Di bawah kendali Anak Manusia, kerajaan Allah akan berkuasa
sepenuhnya di bumi (Matius 13:41-43; 26:29).

Untuk didiskusikan:
Ada ayat mesianik lain yang belum dibahas di atas, namun sebagian
teolog Trinitarian cukup sering mengajukannya, yaitu istilah el gibbor (Allah
yang perkasa) dalam Yesaya 9:5. Apakah ini menunjukkan bahwa Mesias itu
adalah Allah sendiri? Pertama, cobalah bandingkan dengan Yeremia 23:5-6,
bahwa YHWH sebagai Allahlah yang menumbuhkan Tunas Adil bagi Daud,
sehingga Tunas itu disebut “YHWH keadilan kita”. Artinya bukan Tunas itulah
YHWH, tetapi melalui Tunas itulah YHWH memulihkan keadilan! Kedua,
Istilah el gibbor sendiri bisa berarti Allah Perkasa bisa juga berarti Pahlawan
Ilahi (El = Ilahi, Gibbor = Pahlawan). Jadi ternyata walau Mesias itu “disebut
orang” dengan berbagai gelar keilahian, itu bukan bukti bahwa Mesias itu
adalah Allah sendiri, karena Mesias artinya adalah “Yang Diurapi”. Bagaimana
cara anda menjelaskan perbedaan posisi Mesias dengan YHWH sebagai Allah
yang mengurapi Mesias itu?

15
MONOTEISME PARA RASUL
Sabat II – 13 Oktober 2018

Ayat-ayat di Perjanjian Lama yang bisa diajukan untuk mendukung


dogma Trinitas sangat minim, nyaris tidak ada. Maka, para teolog Trinita-rian
lantas berkilah, dogma ini diajarkan terutama oleh Perjanjian Baru. “Perjanjian
Lama harus dibaca dalam terang Perjanjian Baru,” begitu pendapat mereka.
Warfield, misalnya, berkomentar bahwa para penulis Perjanjian Baru bicara
tentang Allah Trinitas dengan gamblang dan mantap. “Doktrin Trinitas tidak
muncul dalam Perjanjian Baru sebagai ajaran yang sedang dibuat, tetapi ajaran
yang sudah jadi” (entri 'Trinity' dalam International Standard Bible
Encyclopedia, 1983). Untuk mencari tahu kebenaran klaim ini, mari kita
meneliti iman para murid Yesus sejauh yang dicatat Perjanjian Baru: apakah
mereka monoteistik (tauhid) atau Trinitarian.

Pendapat Petrus tentang Yesus


Siapa Yesus menurut Petrus telah diringkas sendiri oleh sang murid
dalam perikop Matius 16:13-17 (juga Markus 8:29; Lukas 9:20). Suatu kali
Yesus menanyai murid-murid-Nya, “Kata orang siapakah aku ini?” Mereka
menjawab, “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, atau
salah seorang dari para nabi.” [Perhatikan: tidak ada yang menganggap Yesus
sebagai Allah yang menjelma sebagai manusia!] Lalu Yesus menanyai mereka,
“Menurut kamu sendiri, siapakah aku ini?” Maka Petrus menjawab, “Engkau
adalah Mesias, Anak dari Allah yang hidup!” (ay. 16). Apa komentar Yesus
terhadap jawaban Petrus itu? “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab
bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapaku yang di
sorga.” (ay. 17).
Pengakuan iman Petrus inilah yang kita lihat menjadi jiwa dari seluruh
Perjanjian Baru. Para rasul dan penulis Perjanjian Baru meyakini Yesus sebagai
Kristus, mesias atau orang yang diurapi Allah untuk menjadi pemimpin dan
penguasa (tuan) atas Israel dan bangsa-bangsa lain. Sebutan “Anak Allah” yang
dikenakan Petrus kepada Yesus jauh dari pengertian “Allah Anak” yang ada
dalam peristilahan Trinitas. Anak Allah bukan Allah, tetapi ia yang dipilih dan
ditinggikan oleh Allah menjadi kesayangan-Nya (Mazmur 2:2,6,7), Raja Israel
(Yohanes 1:49). Oleh karena itu, sebutan anak Allah sebenarnya bisa
dianugerahkan Allah pada siapa pun yang Ia perkenan. Baik secara pribadi,
seperti Yesus (Ibrani 1:5) dan Salomo (2Samuel 7:14), maupun secara
kelompok, seperti bangsa Israel (Keluaran 4:22; Hosea 1:10) bahkan kita
sendiri (1Yohanes 3:2). Menyamakan gelar Anak Allah dengan Allah Anak
adalah suatu kekeliruan berbahaya.

16
Pendapat Tomas tentang Yesus
Dalam Yohanes 20:24-29 ada kisah tentang Tomas bertemu muka
dengan Yesus yang telah bangkit. Si murid peragu ini tadinya tidak percaya
akan berita kebangkitan Yesus, tetapi ketika Yesus betul-betul muncul di
hadapannya dan menyuruh dia mencucukkan jari ke luka di tangan Yesus, maka
ia dicatat berseru, “Ya Tuanku [kurios mou] dan Allahku [theos mou]!” Seruan
ini seringkali diajukan sebagai bukti bahwa Tomas meyakini Yesus sebagai
Allah. Apalagi komentar Yesus selanjutnya seperti “mendukung” klaim ini,
“Karena engkau telah melihat aku, maka engkau percaya. berbahagialah
mereka yang tidak melihat, namun percaya.”
Kalau kita jeli membaca, pastilah kita segera tahu bahwa komentar
Yesus di atas bukan tentang dia Allah atau bukan, tetapi tentang ketidak-
percayaan Tomas akan kebangkitannya. Berbahagialah orang yang sekalipun
tidak melihat Yesus secara langsung, tetapi tetap percaya bahwa Yesus telah
bangkit dari kematian! Sekarang kita tinggal mencermati seruan Tomas itu.
Apakah sebutan “Tuan” dan “Allah” itu memang untuk Yesus?
Pakar bahasa-bahasa Biblikal Thomas McElwain berpendapat, jika
kedua sebutan itu ditujukan kepada Yesus semestinya dalam teks asli kita dapati
bentuk kata vokatif (sapaan). Bentuk ini tidak akan terlihat dalam bahasa
Inggris atau Indonesia, tetapi ada aturannya dalam bahasa Yunani (bahasa asli
teks Perjanjian Baru). Kata kurios (κυριος) dan theos (θεος) yang dipakai
Tomas dalam Yohanes 20:28 bukan vokatif, melainkan nominatif (bentuk dasar
sebuah kata). Jika kedua sebutan itu ditujukan untuk Yesus, menurut
McElwain, seharusnya dituliskan kurie (κυριε) dan thee (θεε). Karena itu,
secara kebahasaan, seruan Tomas ditujukan kepada sosok lain di luar Yesus.
Lepas dari seruan itu, tidak ada indikasi lain bahwa Tomas menganggap Yesus
sebagai Allah.

Pendapat Yohanes tentang Yesus


Dalam kitab Yohaneslah ditemukan catatan bahwa Bapa adalah satu-
satunya Allah yang benar dan Yesus adalah utusan-Nya (Yohanes 17:3); Bapa
adalah Allah Yesus dan kita semua (Yohanes 20:17); dan banyak sekali
kesaksian Yesus tentang kebergantungannya pada Bapa. Hanya ada satu-dua
ayat dari kitab-kitab Yohanes yang sering jadi bahan argumen Trinitarian. Yang
pertama pastilah Yohanes 1:1. “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu
bersama-sama dengan Allah (ton Theos) dan Firman itu adalah Allah (theos)”.
Kita sudah cukup sering membahas ayat ini. Intinya, secara tata bahasa ton
Theos dan theos tidaklah sama. Ton Theos atau Sang Allah jelas menunjuk pada
YHWH, tetapi theos yang kedua lebih tepat diartikan 'ilahi' atau 'allah' dengan
huruf a kecil.

17
Sementara itu, di surat 1Yohanes 5:7-8 edisi LAI kita menemukan
pernyataan yang “Trinitarian”. Dikatakan, “Sebab ada tiga yang memberi
kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman, dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah
satu. Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan
ketiganya adalah satu.” Namun, ternyata kalimat-kalimat dalam kurung itu
adalah sisipan yang baru ada di manuskrip Alkitab Yunani abad ke-16. Pertama
kali muncul dalam bahasa Yunani tahun 1215 sebagai terjemahan dari
keputusan Konsili Lateran, sekarang kalimat-kalimat itu telah dihapus dari
terjemahan-terjemahan Alkitab modern (B.M. Metzger, A Textual Commentary
on the Greek NT, United Bible Society, 1971).

Pendapat Paulus tentang Yesus


Di antara mereka yang disebut rasul, Paulus sendiri yang tidak per-nah
bergaul dengan Yesus. Tetapi ia memiliki keyakinan yang tak kalah kuat
dibanding murid-murid Yesus lain. Ia bahkan mengklaim pewahyuan istimewa
dari Yesus. Tafsiran teologisnya terhadap teks-teks Perjanjian Lama
mendominasi Perjanjian Baru dan sampai sekarang sangat mewarnai
perkembangan Kekristenan. Tak heran sebagian saudara Muslim yang
menuduh Paulus itulah pencipta Trinitas.
Namun, diakui Profesor Sydney Cave (1925), Paulus sebenarnya tidak
pernah menyebut Yesus sebagai Allah. Ia membedakan antara Kristus dan
Allah (C.J. Cadoux, 1943). Kita bisa membaca pembedaan itu dalam
pembukaan surat-suratnya (Roma 1:7; 1Korintus 1:3; 2Korintus 1:2; Galatia
1:3; Efesus 1:3,17; Filipi 1:2; Kolose 1:3; 1Tesalonika 1:1; 2Tesalonika 1:2;
1Timotius 1:2; 2Timotius 1:2; Titus 1:4; Filemon 1:3) dan dalam penjelasan-
penjelasannya (1Korintus 3:23; 8:4-6; 11:3; 15:22-28; 1Timotius 2:5).

Untuk didiskusikan:
Ayat-ayat Paulus yang sering diajukan para penafsir Trinitarian adalah
Roma 9:5 dan Filipi 2:6. Menurut mereka kalimat “Ia adalah Allah yang harus
dipuji sampai selama-lamanya” dalam Roma 9:5 menunjuk kepada Yesus,
sementara Filipi 2:6 membuktikan Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi
manusia. Bagaimana tanggapan Anda? (Petunjuk: klaim Trinitarian atas kedua
ayat ini adalah masalah tafsir dan penerjemahan).

Percaya Allah Esa (Plus)


Menurut Rasul Yakobus, percaya Allah itu esa penting, tetapi tidak
cukup. “Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi
setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yakobus 2:19).
Selain ada iman, katanya, harus ada perbuatan. Itulah PR kita!

18
DARI MANA TRINITAS DATANG?
Sabat III – 20 Oktober 2018

Jika kita telah paham sepenuhnya pesan ketauhidan Allah di seluruh


Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, maka dogma Trinitas
menjadi sesuatu yang mengherankan. Bagaimana dogma yang tidak Alkitabiah
ini bisa menjadi standar “ortodoks” iman Kristen? Mengapa begitu banyak
pendeta dan teolog yang “kebakaran jenggot” kalau kita meragukan atau
mempertanyakannya? Kita perlu menyelidiki sejarah Trinitas untuk
memahami betapa mendalamnya “luka” yang telah ia timbul-kan dalam
riwayat Kekristenan.

Perubahan Konteks Budaya dan Cara Pikir


Hanya orang-orang yang kurang paham (ignorant) atau yang tidak
jujur berani menyangkal bahwa Kekristenan purba dipengaruhi terutama oleh
budaya dan cara pikir Yahudi-Ibrani yang monoteistik. Sejarawan Trinitarian
seperti Leonard Hodgson pun mengakui, “[Kekristenan] bangkit dari Yudaisme
dan monoteisme Yudaisme waktu itu, dan sampai sekarang pun, adalah tauhid.”
Ini berarti Yesus dan para rasulnya hidup sebagai orang Yahudi, sehingga
tulisan-tulisan Perjanjian Baru pasti dihasilkan dalam konteks budaya dan cara
pikir Yahudi. Penerjemah Alkitab dari Inggris, David Watson (1967), menulis,
“Bahasa Yunani dipakai [para rasul] untuk menyampaikan pesan universal
Kekristenan, tetapi modus berpikir mereka sangatlah ke-Yahudi-an.” Untuk
bisa memahami gagasan asli para rasul, menurutnya kita sangat perlu
menyelami cara pikir dan agama Yahudi.
Para sarjana dan sejarawan Alkitab pada umumnya sepakat bahwa
lahirnya Trinitas dilatarbelakangi pergeseran budaya, dari Yahudi ke Yunani.
Pergeseran ini terjadi berangsur-angsur sejak sekitar abad ke-2, ketika cara
pikir Yunani yang metafisik-spekulatif masuk menggantikan gaya bahasa
Alkitab yang konkret ala Ibrani (Lohse, 1994). “Orang-orang Kristen
menyesuaikan diri dengan budaya [Hellenis] untuk bertahan hidup dan untuk
memenangkan jiwa” (Rogers & Baird, 1981).
Makin banyaknya orang Yunani yang menjadi Kristen mempercepat
proses masuknya Hellenisme ke dalam gereja. Mereka menjadikan Kekris-
tenan sebagai mazhab filsafat tersendiri. Istilah-istilah Yunani dalam tulisan
para rasul menjadi bahan berspekulasi. Logos dalam Yohanes 1:1 dise-
padankan dengan logos filsafat Yunani. Ajaran tentang Allah Yahudi yang esa
dan berpribadi dicampur aduk begitu saja dengan konsep demigod (manusia
setengah Allah) dalam agama Yunani dan pemikiran abstrak-metafisik lainnya
dari para filsuf (L.W. Grensted, 1933).

19
Campur Tangan Kekuasaan Politik
Perlu perseteruan berdarah selama ratusan tahun di antara orang
Kristen sendiri, dengan ribuan nyawa jadi korban, sebelum akhirnya Trinitas
diresmikan sebagai dogma Kekristenan. Sampai-sampai William Penn
menulis, “Ketahuilah, temanku, bahwa Trinitas lahir lebih dari tiga ratus tahun
setelah Injil purba disampaikan; [dogma] itu dikandung dalam
ketidakpahaman, dimunculkan dan dipertahankan oleh kekejaman”.
Perdebatan, pertentangan, dan kekejaman yang menyertai tegaknya dogma
Trinitas ini jarang diketahui oleh publik Kristen. Kebanyakan jemaat
Trinitarian pun tidak tahu bahwa “jalan dari Yerusalem ke Nicea sama sekali
tidak mulus” (Encyclopedia Americana, 1956). [Catatan: Nicea adalah tempat
berlangsungnya konsili tahun 325 yang pertama kali menetapkan Yesus itu satu
hakikat dengan Bapa].
Faktor yang sangat menentukan dalam ditetapkannya Yesus sebagai
“Allah Anak” dalam Konsili Nicea adalah campur tangan Kaisar Konstantin.
Sebelumnya, perdebatan seru dan panas berlangsung antara orang-orang
Kristen Yunani: kubu “Yesus tidak sehakikat dengan Bapa” (Arius) dan kubu
“Yesus sehakikat dengan Bapa” (Athanasius) sama-sama kuatnya. Konstantin
sendiri menurut catatan sejarah awam terhadap teologi dan tampaknya bagi dia
Kekristenan sekedar alat untuk kepentingan pribadi dan politik. Kehidupan
pribadinya tidak mencerminkan ajaran Yesus dan ia pun baru dibaptis men-
jelang kematian (Paul Johnson, A History of Christianity, 1976). Namun, kaisar
Romawi inilah yang menjadi penentu, pendapat kubu mana yang harus menang
jadi ajaran resmi gereja, dan atas berbagai pertimbangan ia memilih untuk
berpihak pada kubu Athanasius.
Meski Trinitas telah dilembagakan dan diindoktrinasikan selama
berabad-abad, tetapi suara-suara yang menentang-nya tidak pernah bisa
dibungkam. Sepanjang sejarah Kekristenan, selalu saja ada tokoh atau
kelompok yang menyampaikan bahwa Yesus bukan Allah (Bapa). Reaksi kaum
Trinitarian terhadap mereka biasanya keras, bahkan kejam. Inilah yang terjadi
pada Michael Servetus, salah satu pionir Unitarianisme modern. Oleh
“kebandelannya” memberitakan Yesus itu bukan Allah sejati, ia dibakar hidup-
hidup oleh John Calvin, penguasa Protestan di Jenewa.
Servetus tidak sendirian. Jemaat kita pun, secara pribadi atau pun
bersama-sama, sering mendapatkan reaksi keras dari kelompok Trinitarian.
Tetapi semangat kita memberitakan “Yesus itu bukan Allah sejati
(YHWH/Bapa)” tak kunjung surut. Mengapa? Sebabnya sederhana sekali:
terlalu banyak teks Alkitab yang menegaskan hal itu! Begitu mata intelektual
dan nurani kita terbuka untuk membaca Alkitab apa adanya, tidak akan mudah
menyangkal ketauhidan YHWH (Bapa), sekalipun ancaman maut membayang.

20
KEMBALI PADA IMAN YANG SEDERHANA
Sabat IV – 27 Oktober 2018

Hambatan terbesar untuk melihat tidak Alkitabiahnya (dan tidak


logisnya) dogma Trinitas terletak pada faktor tradisi. Seseorang yang sedari
kecil sudah diindoktrinasi untuk memandang Yesus dan Roh Kudus sebagai
sosok Allah sejati tentu kesulitan untuk mengubah konsepnya. Sama seperti
orang Yahudi yang merasa menegakkan kebenaran Allah, padahal yang
ditegakkan adalah kebenaran buatan manusia (Matius 15:9; Roma 10:1-3).
Tetapi kita percaya bahwa seseorang pada akhirnya akan sampai juga pada
kebenaran, asal saja ia berpikiran terbuka dan mencari dengan sungguh-
sungguh (Kisah 17:11). Bukankah sebagian besar kita dulu juga Trinitarian?

Perkembangan Debat Trinitas


Barangkali belum banyak yang sadar bahwa “peta kekuatan” kaum
Trinitarian sudah berubah. Seiring makin ketatnya prosedur ilmiah, banyak
sarjana Trinitarian yang telah meninggalkan argumen-argumen pendukung
Trinitas yang lama. Ayat-ayat yang dulu populer sebagai “ayat Trinitas”, setelah
mereka kaji ulang secara linguistik dan historis, ternyata tidak mengandung
makna Trinitas sama sekali. Tafsir non-Trinitas oleh sarjana Trinitarian ini
fenomena yang sangat menarik dan telah dibukukan oleh John Wilson dengan
judul Konsesi-Konsesi Para Penganut Trinitas (1845). Saat ini, lewat satu
setengah abad setelah John Wilson, lebih banyak lagi konsesi yang telah
diberikan oleh para sarjana Trinitarian.
Beberapa argumen yang sudah ditinggalkan oleh sebagian besar
sarjana Trinitarian adalah: (1) bahwa kata bentuk jamak elohim berarti YHWH
itu Allah yang majemuk; (2) bahwa kata echad tidak berarti “satu” mutlak,
melainkan “kesatuan”. Kedua argumen ini telah dibuktikan tidak cocok dengan
hasil studi terhadap bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Timur Dekat Kuno
lainnya (sudah kita bahas pada sabat kedua dan ketiga bulan September yang
lalu). Selain kedua argumen itu, ada beberapa “ayat Trinitas” di Perjanjian Baru
yang diperdebatkan di kalangan Trinitarian sendiri. Mari kita lihat sebagian di
antaranya:
Titus 2:13 dan 2Petrus 1:1. Para penafsir Trinitarian, berdasar aturan
tatabahasa Granville Sharp, beranggapan bahwa gelar “Allah (yang
Mahabesar)” dan “Juruselamat” dalam kedua ayat tersebut menunjuk pada
Yesus Kristus (karena memakai kata sambung dan, sementara kata sandang
hanya ada pada gelar pertama, 'Allah'). Namun, ternyata para sarjana
Trinitarian lain justru meragukan penafsiran ini. Mereka berpendapat,
absennya kata sandang itu tidak bisa menjadi bukti kuat bahwa Rasul Paulus

21
dan Petrus memang menganggap Yesus sebagai Allah. “Sayangnya, kita tidak
bisa memastikan bahwa aturan [Sharp] itu pasti berlaku di Yunani periode itu
...” demikian pendapat pakar bahasa Nigel Turner, yang disetujui oleh Henry
Alford, A.E. Humphreys, dan Granville Penn, kesemuanya juga Trinitarian.
Menurut mereka, Paulus dan Petrus biasanya dengan jelas membedakan antara
Bapa (Allah) dan Yesus, seperti dalam Titus 1:4.
Roma 9:5. Kebingungan muncul tentang ayat ini karena dalam teks
aslinya tidak ada tanda baca, sehingga tidak terlalu jelas untuk siapakah sebutan
“Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya” itu? Sebagian sarjana
Trinitas dengan senang menunjuk Yesus, menganggap ayat itu sebagai bukti
Yesus adalah Allah sejati. Tetapi sarjana Trinitarian ternama lain, Erasmus,
justru menolak dan menganggap argumen seperti itu kurang hati-hati dan
kurang pemahaman. Ia berpendapat yang disebut Allah dalam teks itu tidak lain
dari Bapa. Kalau membandingkan dengan tulisan Rasul Paulus yang lain,
Galatia 1:4-5, memang jelas bahwa Bapalah yang ia maksud sebagai “Allah
yang harus dipuji” itu.
Matius 1:23. Sebagian pendukung Trinitas masih suka berargumen
bahwa karena Yesus disebut Immanuel (Allah beserta kita), berarti dia itu
Allah. Sarjana Trinitarian Moses Stuart menganggap argumen seperti itu
berlebihan dan keliru. “Yerusalem juga berarti “Yahweh keselamatan kita”, apa
itu berarti Yerusalem juga Allah?” tanyanya. Ada banyak nama Ibrani yang
mencantumkan nama atau gelar Allah, tetapi tentu saja para penyandang nama
itu bukan Allah.
1Yohanes 5:20. Lagi-lagi ini ayat yang menimbulkan perdebatan
tentang siapakah yang dimaksud dengan “Allah yang benar”. Namun, banyak
sarjana Trinitas yang menolak klaim bahwa sebutan itu untuk Yesus, misalnya
Henry Alford dan Arthur Wainwright. Klaim semacam itu, menurut Alford,
dibuat semata-mata untuk mendukung dogma, bukan karena membaca teks apa
adanya. Dengan perbandingan Yohanes 17:3, jelaslah bahwa “Allah yang
benar” itu pasti Bapa.

Mendekat ke Kerajaan Allah


Para ekseget (pendebat) Trinitas tentu terus akan mencari cara untuk
mempertahankan dogma mereka. Mereka juga tentu tidak akan tinggal diam
melihat munculnya kelompok Kristen Tauhid. Namun kita percaya, cepat atau
lambat kebenaran akan menampilkan dirinya sendiri. Yang berasal dari Allah
akan bertahan, yang berasal dari manusia akan lenyap (Kisah 5:38-39).
Sekalipun saat ini masih menjadi minoritas, jemaat kita memilih untuk
meninggalkan dogma Trinitas dan kembali pada ajaran Tauhid yang jelas,
sederhana, dan penuh jaminan. Upah ketauhidan kita ialah hidup kekal
(Yohanes 17:3). Kita sudah tidak jauh dari Kerajaan Allah! (Markus 12:34)

22
JAGI Publication

Anda mungkin juga menyukai