Anda di halaman 1dari 8

A.

Pendahuluan

Pada saat ini studi seputar relasi antara Islam dan orientalisme menjadi salah satu studi

yang prestisius. Hampir setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan orientalisme, baik itu

tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang studi tidak luput dari

sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang

tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat Islam. Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang

menggunakan karya-karya mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka.

Orientalis bagi sebagian kalangan sering kali dianggap sebagai momok yang harus

diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah-olah

obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya berkedok sebagai pakar

(scholar/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang jauh (far

eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang dekat (near eastern, seperti Persia,

Mesir, dan Arabia). 1

Tetapi bagi sebagian yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari keberadaannya

yang memang problematis. Satu sisi, orientalis sangat merugikan karena kajian dan analisis yang

dilakukannya seringkali dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan menghegemoni dunia Islam.

Tetapi di sisi lain, tidak jarang mereka melakukan analisis dan kajian dengan begitu objektif,

sehingga -diakui atau tidak- mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi

peradaban Timur pada umumnya, dan dunia Islam khususnya.

Sikap kritis pada setiap karya para orientalis, berkaitan dengan kajian Islam pada

umumnya dan al-Quran atau hadis khususnya, jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis.

Dengan kata lain, kritik yang sebaiknya diarahkan pada mereka bukan berdasarkan agama

mereka bukan Islam, tetapi atas dasar semangat untuk mencari kebenaran ilmiah.2

1 Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung, Pustaka, 1996), hlm, 10
Sepanjang perjalanan orientalisme mewarnai khazanah keilmuan dunia, kajianIslam yang

dilakukan oleh orang Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi ke-islaman secara

umum, seperti sastra dan sejarah.3

Terutama pada awal kemunculannya diabad 8 M pusat perhatian mereka hanya tertuju

pada al-Quran. Baru pada masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus

kepada bidang hadits nabi.Yaitu pada abad ke 19 M. Pada abad inilah muncul kajian hadits oleh

sarjana barat dalam bingkai yang lebih spesifik. Tidak banyak data sejarah yang mengungkapkan

tentang asal mula kajian hadits di kalangan oreintalis. Jangankan data tentang hal tersebut,

tentang kapan awal mula dan siapa orang pertama yang mempelajari Islam pun belum ada

keterangan yang jelas.

Dalam makalah ini, fokus kajian penulis adalah sejarah studi Hadits di kalangan Orientalis

dan perkembangannya. Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui dan menjelaskan sejarah

orientalisme terhadap Islam, umumnya dan kajian Hadits di kalangan Orientalis khususnya.

Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat batasan orientalisme, pemikiran mereka

dalam kajian hadits yang disertai komentar dan bantahan muhadditsin kontemporer, dan

pengaruh pemikiran mereka dalam kajian-kajian hadits sepeninggalnya.

B. Memahami Istilah Orientalisme

Secara etimologis, kata orientalisme berasal dari dua prasa, dari kata orient dan isme. Kata

orient (Latin: oriri) berarti terbit, dalam Bahasa Inggris kata ini diartikan direction of rising sun

(arah terbitnya matahari). Jika dilihat secara geografis, maka kata ini bermakna dunia belahan

timur sebagai arah terbitnya matahari dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Negeri-

2 Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm.
79

3 Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 8.
negeri itu terentang dari kawasan timur dekat, yang meliputi Turki dan sekitarnya hingga timur

jauh yang meliputi Jepang, Korea dan Indonesia, dan dari selatan hingga republic-republik

Muslim bekas Uni Soviet serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Lawan dari kata

orient adalah oksident yang berarti arah terbenamnya matahari yang meliputi bumi-bumi belahan

Barat. Sedangkan kata isme berasal dari Bahasa Belanda (Latin: isma, Inggris: ism) yang berarti

a doctrin theory or system (pendirian, keyakinan dan system). Oleh karena itu, secara etimologis

orientalisame dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur.

Secara terminologis, Istilah orientalisme mengandung banyak pengertian. Orientalisme

bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan

bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.4 Edward Said memberikan tiga pengertian dasar

orientalisme. Pertama, orientalisme yang diartikan sebagai sebuah cara kedatangan yang

berhubungan dengan Bangsa Timur. Kedua, sebuah gaya pemikiran yang berdasarkan ontologi

dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya. Ketiga, sebuah gaya Barat yang

mendominasi dan menguasai kembali dunia Timur.5

4 The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, hal. 200. Menurut Grand Larousse
Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais dalam bukunya Cakrawala Islam, Bandung: Mizan,
1986, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-
bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Suatu pengertian lainnya tentang
orientalisme suatu bidang kajian keilmuan, atau dalam pengertian sebagai suatu cara,
metodologi yang memiliki kecenderungan muatan integral antara orientalisme dengan
kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menguasai, memanipulasi bahkan
mendominasi dunia Timur. Orientalis merupakan segolongan sarjana-sarjana Barat yang
mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesusasteraannya, dan mereka juga menaruh
perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadat dan ilmu-
ilmunya. Lihat: A. Hanafi, MA, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm. 9,
menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan
mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa
Arab ke bahasa Latin sejak abad pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumnya dipelopori
oleh para teolog Kristen. Untuk lebih jelasnya lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi
Pemikiran Isam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: CIOS,
2007), hlm. 56, lihat juga: Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, penj.
Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 162. Bandingkan dengan Dr. Hasan
Abdul Rauf M. el. Badawiy dan Dr. Abdurrahman Ghirah, Orientalisme dan Misionarisme,
penj. H. Andi Subarkah (Bandung: Rosdakarya, 2007), hlm. 3- 4

5 Hasan Hanafi, Orientalisme, (Jakarta; Pustaka Al-Husna, 1981), hlm. 9 Lihat Edward Said,
Orientalism, (New York: Vintage, 1979), hlm. 1-5
Orientalisme merupakan suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-
bangsa selain Barat yang dimaksud yaitu bangsa-bangsa Timur Tengah dan Asia dilihat dengan
kacamata rasial yang dianggap penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur nampak terlihat
mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian
membantu membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama
dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat.
Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program
misionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.[4] Sejauhmana kebenaran
asumsi tersebut? Maka perlu kita telusuri dan telaah lebih jauh pemikiran-pemikirannya
khususnya dalam bidang tafsir hadis.

Pada era ini, para sarjana barat mempertanyakan tentang hal-hal yang menjadi isu pokok

dalam studi Islam, khususnya yang menyangkut hukumIslam yaitu otentisitas,originalitas,

authorship, asal muasal, keakuratan serta kebenaran hadits.

Dalam makalah ini, fokus kajian penulis adalah studi hadis yang dilakukan sebagian orientalis

lintas generasi. Idealnya, kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis, tetapi karena alasan

tertentu penulis hanya akan menitiberatkan pada studi hadis garapan sebagian orientalis tentang

teori sistem isnd, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.

Secara metodologis, pembatasan kajian pada sebagian orientalis ini masih bisa dipertanyakan,

karena tidak akan menghasilkan pemahaman utuh terhadap sikap dan pandangan mereka

terhadap hadis, terutama tentang tentang teori sistem isnd, evolusi historisitas hadis, dan

problem validitas hadis. Tetapi sependek penelitian penulis, ide-ide sebagian orientalis cukup

merepresentasikan hasil studi hadis orientalis lainnya dan cukup menggemparkan jagad
pemikiran Islam modern-kontemporer. Selain alasan ini, referensi signifikan yang ada hanya

seputar studi hadis mereka sangat terbatas.

Ketertarikan sarjana Barat terhadap kajian tentang Timur (orient) termasuk

tentang ke-Islaman pada umumnya, dan terhadap Al Quran dan Hadis pada

khususnya sudah muncul sejak abad ke-3 H/ ke-9 M. Sampai saat ini

ketertarikan tersebut masih tetap eksis bahkan semakin berkembang dari

decade ke decade. Sementara secara spesifik, studi hadis oleh para sarjana

Barat dimulai sejak sekitar abad ke 19 M. 6[1]. Namun baru pada abad ke 18 gerakan

pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme.[2] Meski telah banyak kajian tentang

orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema Orientalisme ini menjadi

semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan

kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan

Muslim.

Akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan mengoleksi dan menerjemahkan

teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad

Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil

koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggris adalah di antara pemilik koleksi

manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi

pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga menjadi program

formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari universitas-universitas di

Barat.

Sepanjang perjalanan orientalisme mewarnai khazanah keilmuan dunia, kajianIslam yang

dilakukan oleh orang Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi ke-islaman secara

umum, seperti sastra dan sejarah.5

6[1] Dadi Nurhaedi, Perkembangan Studi Hadis di Kalangan Orientalis, dalam jurnal ESENSIA, Vol.4, No. 2,
Juli 2003, hlm. 170-171
Terutama pada awal kemunculannya diabad 8 M pusat perhatian mereka hanya tertuju

pada al-Quran. Baru pada masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus

kepada bidang hadits nabi.Yaitu pada abad ke 19 M. Pada abad inilah muncul kajian hadits oleh

sarjana barat dalam bingkai yanglebih spesifik. Pada era ini, para sarjana barat mempertanyakan

tentang hal-hal yang menjadi isu pokok dalam studi Islam, khususnya yang menyangkut

hukumIslam yaitu otentisitas,originalitas, authorship, asal muasal, keakuratan serta kebenaran

hadits.

yakni dimulai oleh Alois Sprenger (w. 1893). Alois adalah seorang sarjana jerman

yang mengekspresikam skeptisismenya terhadap otentisitas hadisNamun

sepertinya disamping Alois Sprenger, ada yang lebih mendahuluinya, yakni R. Dozy,

ia mengungkapkan bahwa di dalam kitab Shahih Bukhori terdapat banyak hadis

yang dipertanyakan kesahihanya. Hal ini ia jelaskan dalam bukunya Essais sur

lHistoire de lIslamisme yang diterbitkan oleh Leude, Paris pada tahun 1879 7[2].

Kajian Hadits Kalangan Orientalis

Sepanjang perjalanan orientalisme mewarnai khazanah keilmuan dunia,

kajianIslam yang dilakukan oleh orang Barat pada mulanya hanya ditujukan

kepada materi keIslaman secara umum, seperti sastra dan sejarah.

Terutama pada awal kemunculannya dia b a d 8 M p u s a t p e r h a t i a n m e r e k a h a n y a

t e r t u j u p a d a a l - Q u r a n . B a r u p a d a m a s a belakangan, mereka mengarahkan

kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi.Yaitu pada abad ke 19 M.Baru pada abad inilah
7[2] Sebagaimana yang dikutip oleh Sahiron Syamsudin, Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis dalam
Orientalisme Al Quran dan Hadis. (Yogyakarta: Nawesea Press, 2007) hlm. 46
muncul kajian hadits oleh sarjana barat dalam bingkai yanglebih spesifik. Pada era ini,

para sarjana barat mempertanyakan tentang otentisitas, originalitas, authorship, asal muasal,

keakuratan serta kebenaran hadits. Yang mana hal-haltersebut juga menjadi isu pokok dalam studi Islam,

khususnya yang menyangkut hukumIslam.

Ada beberapa faktor yang mendorong hadits menjadi kajian orientalis

dalammenjelekan Islam, yaitu;1.Mudahnya usaha memburukkan citra Islam melalui

penyelidikan hadits daripada penelitian terhadap Al-Quran. Beberapa studi yang dibuat

secara serius, objektif dan jauh dari polemik telah menunjukkan adanya keinginan kuat para

orientalis untuk menyudutkan Islam.2.Banyaknya kontradiksi atau pertentangan dalam matericorpus hadits sendiri.

Hadits memiliki kedudukan yang strategis dan sangat urgen dalam ajaran Agama Islam Karena,

Hadits menjadi sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran. Baik al-Quran maupun hadits

merupakan wahyu, hanya saja yang pertama wahy mathluw sedang yang kedua wahy ghair

mathluw. Posisi hadits seperti ini tidak hanya dijelaskan oleh Nabi saw. bahkan juga oleh Allah

swt. Hal itu dapat dilihat dalam QS. 48: 10, 5: 92, 4: 65 dan lain-lain.

Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan.

Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri

telah ada dan dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad. Misalnya, kasus Umar yang

mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Nabi telah menceraikan isteri-

isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq,

Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ilmu naqd al-hadits (ilmu kritik

hadits). Baik kritik matan maupun sanad.

Kajian hadits ternyata tidak hanya milik kaum Muslimin, tetapi para orientalis pun tak

ketinggalan melakukan kajian tersebut. Tersebutlah nama-nama semacam Ignaz Goldziher,


Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain, yang melakukan kritik terhadap Hadits. Berbeda

dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin, kritik yang mereka lakukan sungguh

mencengangkan. Ignaz Goldziher, misalnya meragukan orisinalitas hadits, sedangkan Schact

berpendapat lebih jauh dengan mengatakan: We shall not meet any legal tradition from the

Prophet which can be considered authentic. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba

menelusuri pemikiran para orientalis tersebut. Bangunan tulisan ini dimulai dengan melihat

batasan orientalisme, pemikiran mereka dalam kajian hadits yang disertai komentar dan

bantahan muhadditsin kontemporer, dan pengaruh pemikiran mereka dalam kajian-kajian hadits

sepeninggalnya.

Anda mungkin juga menyukai