Anda di halaman 1dari 13

OBYEKTIFITAS ORIENTALISME

Studi Kasus Thomas W. Arnold

Makalah Diajukan Pada Matakuliah Kajian Islam Perspektif Orientalisme dan


Oksidentalisme

Oleh

Ahmad Fatih Syuhud

NIM: 8343202147574638

Dosen Pengampu

Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag

Prof. Dr. Iffatin Nur, M.Ag

PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM

UIN SAYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Orientalisme merupakan suatu kajian yang dilakukan oleh para ilmuwan Barat yang
menitikberatkan pada ambisi geografis pada dunia Timur dan secara tradisional mereka
menyibukkan diri dengan mempelajari hal-hal yang berbau dunia ketimuran. Latar belakang
pengkajian orientalisme sangatlah kompleks. Secara umum, motif-motif yang ada di belakang
orientalisme antara lain: motif keagamaan, keilmuan, persoalan ekonomi dan politik.

Secara historis, paradigma orientalis terhadap Islam ada yang bersifat subyektif dan
obyektif yang bisa ditengarai dari era aktivitas penelitian mereka. Para orientalis periode awal
dalam mengkaji Islam memiliki tujuan untuk mendegradasi Islam dari dalam. Eksistensi
orientalisme bukan hanya wacana akademis tetapi memiliki motif politis, ekonomi dan
keagamaan. Secara politis, kajian orientalis tentang dunia Timur untuk kepentingan politik
kolonialisme Eropa dalam rangka menguasai dunia Islam. Namun seiring berlalunya waktu,
mulai muncul adanya kesadaran dalam mengkaji Islam secara obyektif di kalangan para
orientalis.1

Yang terakhir, yang menjadi kajian tulisan ini, adalah Thomas Arnold (1864-1930 M)
dari Inggris dengan karyanya yang berjudul Preaching of Islam yang telah diterjemahkan ke
dalam banyak bahasa termasuk Turki, Urdu, Arab dan Bahasa Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Apa definisi orientalisme dan obyektifitas?

2. Siapa saja orientalis yang dianggap obyektif?

4. Apa saja obyektifitas Thomas W. Arnold?

1
Nawawi, “Paradigma Orientalis terhadap Islam: antara Subyektif dan Obyektif”, Istidlal: Jurnal Ekonomi dan
Hukum Islam, Volume 4, Nomor 1, April 2020

2
C. Tujuan

Berikut adalah tujuan dari makalah ini:

1. Mengetahui dan memahami definisi orientalisme dan obyektifitas.


2. Mengetahui dan memahami secara ringkas kalangan orientalis yang obyektif
3. Mengetahui dan memahami obyektifitas Thomas W. Arnold.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
1. Orientalisme

Secara etimologis, istilah "Orient" berasal dari kata Latin oriens yang berarti "timur" (literal.
"terbit"). Penggunaan kata "terbit" untuk merujuk ke timur (tempat matahari terbit). Istilah
yang berlawanan adalah " Occident" (Barat) berasal dari kata Latin occidens, yang berarti barat
(literal: terbenam). Istilah ini berarti barat (tempat matahari terbenam) tetapi tidak digunakan
lagi dalam bahasa Inggris, dan digantikan dengan "Western world".2 Orientalis dan
Orientalisme dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau
tentang budaya ketimuran.

Orientalisme berasal dari kata Inggris orient yang bermakna “the countries in the east
and southeast of Asia” (negara-negara di timur, khususunya Asia tenggara).3 Dalam bahasa
Inggris British, istilah Oriental kadang masih digunakan untuk menyebut orang-orang dari
Asia Timur dan Tenggara (seperti yang berasal dari Cina, Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Mongolia dan Laos).4 Sementara,
dalam bahasa Inggris Amerika, istilah Oriental mungkin terdengar kuno atau bahkan dianggap
merendahkan oleh beberapa orang, terutama bila digunakan sebagai kata benda. 5 John Kuo
Wei Tchen, direktur Asian/Pacific/American Studies Program and Institute di Universitas New
York, mengatakan kritik dasar istilah tersebut dimulai di AS selama pergeseran budaya pada

2
The Cambridge English Dictionary
3
The Cambridge English Dictionary
4
Christopher Hill, “What's the Matter with Saying 'The Orient'?”, Japan Society. Diakses dari japansociety.org
pada 3 Januari 2022.
5
"Definition of ORIENTAL". Merriam Webster Dictionary, www.merriam-webster.com. Diakses pada 3 Januari
2022.

3
1970-an. Dia mengatakan: "Dengan gerakan anti-perang Amerika Serikat di tahun 60-an dan
awal 70-an, banyak orang Amerika-Asia mengidentifikasi istilah 'Oriental' dengan proses Barat
yang rasialisasi orang Asia sebagai lawan selamanya 'lainnya'", dengan membuat perbedaan
antara asal-usul leluhur "Barat" dan "Timur".

Istilah Orientalisme yang mengarah ke kajian Barat atas Islam menjadi lebih populer
setelah Edward W. Said menulis buku berjudul Orientalisme 1978.6

Kalau kita flashback sedikit, orientalisme yang umum digunakan sekarang dengan
merujuk pada kalangan ilmuwan Barat yang mengkaji Islam asalnya bernama oriental studies.
Oriental studies adalah istilah yang pertama digunakan oleh kalangan ilmuwan Barat. Oriental
studies atau kajian ketimuran adalah bidang akademis yang mengkaji masyarakat Timur Dekat
dan Timur Jauh dan budaya, bahasa, masyarakat, sejarah dan arkeologi; dalam beberapa tahun
terakhir subjek sering berubah menjadi istilah yang lebih baru dari studi Timur Tengah dan
studi Asia. Kajian Oriental Tradisional di Eropa dewasa ini pada umumnya terfokus pada
disiplin studi Islam, sedangkan kajian China, khususnya China tradisional, sering disebut
Sinologi. Kajian Asia Timur secara umum, khususnya di Amerika Serikat, sering disebut kajian
Asia Timur.7

Studi ilmuwan Eropa di wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai "Timur" terutama
berasal dari agama, yang tetap menjadi motivasi penting sampai saat ini. Hal ini sebagian
disebabkan oleh bagaimana agama-agama Ibrahim di Eropa (Kristen, Yudaisme dan Islam)
berasal dari Timur Tengah, serta kebangkitan Islam pada abad ke-7, dan akibatnya ada banyak
minat pada asal usul agama-agama ini, dan budaya barat pada umumnya. Para peneliti Islam
mendefinisikan orientalisme dengan penelitian atau kajian akademi yang dilakukan non
muslim dari non Arab baik dari negara timur (asia) ataupun barat terhadap Islam.8

Pembahasan tentang asal mula Orientalisme, sebenarnya masih diperselisihkan oleh


para peneliti sejarah Orientalisme. Dan tidak diketahui secara pasti siapa orang Eropa pertama
yang mempelajari tentang ketimuran dan juga tidak ada yang mencatat kapan terjadinya.
Mayoritas berpendapat, menurut Dr. Hasan Abdur Rauf bahwa Orientalisme dimulai dari
Andalusia (Spanyol) di abad ke-7 H, ketika tekanan Kristen Spanyol kepada masyarakat Islam

6
Edward W. Said, Orientalism, Vintage Books, New York, 1979.
7
Clarke, J.J. (1997). Oriental enlightenment the encounter between Asian and Western thought. Routledge. hal.
8
8
Evgeny Steiner, "East, West and Orientalism: The Place of Oriental Studies in the Globalizing World",
Orientalism / Occidentalism: The Languages of Cultures vs. the Languages of Description. - Moscow: Inst. of
Cultural Research, 2012

4
di sana memuncak. Raja Alfonso penguasa Kristen di propinsi Castilla (baca: Castiya) saat itu,
memanggil Michael Scott untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam dan peradabannya. Kemudian
Scott mengumpulkan sekelompok pendeta dari berbagai gereja dekat kota Toledo untuk
membantu tugas-tugasnya. Pendapat lain mengatakan, Orientalisme dimulai ketika beberapa
pendeta dari Barat datang ke Andalusia (Spanyol) saat kerajaan Islam itu berada dipuncak
kejayaanya. Kemudian mereka mempelajari berbagai ilmu Islam di sana. Menterjemahkan Al
Qur‟an dan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka, tidak ketinggalan mereka
juga berguru kepada para ulama-ulama Islam yang ada di Andalusia waktu itu dari berbagai
disiplin ilmu. Khususnya ilmu Filsafat, kedokteran dan Matematika. Dua pendapat di atas
sepertinya tidak banyak berbeda dan kita sepertinya tidak perlu terlalu jauh untuk
mempermasalahkannya.

2. Obyektifitas

Obyektif menurut KBBI adalah mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi
pendapat atau pandangan pribadi. Sedangkan makna obyektif dari bahasa Inggris yakni
objective kurang lebih sama yaitu:

based on facts rather than feelings or opinions We need someone outside the company
to give us an objective analysis. : not influenced by feelings Scientists must be
objective. It's hard to be objective [=fair, unbiased] about my own family. (berdasarkan
pada fakta bukan perasaan atau opini. Contoh, kita butuh seseorang di luar perusahaan
untuk memberikan analisa obyektif. : tidak dipengaruhi oleh perasaan. Saintis harus
obyektif. Sulit bersikap obyektif artinya fair dan tidak bias tentang keluargaku sendiri.)9

Dengan demikian, orientalis yang obyektif adalah mereka yang dalam mengkaji Islam adalah
para orientalis yang dalam kajiannya bersikap fair dan tidak bias. Berpatokan secara konsisten
pada kaidah ilmiah, tidak dipengaruhi oleh agenda tertentu. Baik agenda sponsor yang
membayarnya atau agenda pribadinya.

B. Kalangan Orientalis Obyektif

Walaupun tidak sedikit kelompok orientalis yang dianggap bias dan terkesan
memojokkan Islam, namun banyak juga yang fair dan obyektif. Kalangan ilmuwan Barat yang
tergolong orientalis obyektif antara lain:

9
Merriam-Webster Dictionary.

5
Pertama, Hadrian Roland (W. 1718 M), seorang guru besar bidang bahasa-bahasa
Timur pada Universitas Utrecht, Belanda. Roland pernah menulis buku yang berjudul
Muhammadanism yang terdiri dua jilid dengan menggunakan bahasa Latin (1705 M). Anehnya
beberapa gereja di Eropa menganggap buku tersebut sebagai buku terlarang.

Kedua, Antoine Isaac Silvestre de Sacy (1758-1838 M), seorang bangsawan Prancis
yang mendalami bidang sastra dan linguistic sebelum menjadi orientalis. Sacy berusaha
menghindari terlibat langsung dalam kajian keilmuan dan sangat berjasa menjadikan Paris
sebagai pusat kajian Islam. diantara ulama yang pernah berhubungan dengan Sacy adalah
Syekh Rifa'ah Thanthawi.10 Ketiga, Johann Jakob Reiske (1716-1774 M), ia seorang orientalis
Jerman pertama yang patut diingat. Reiske sangat berjasa besar dalam mengembangkan Arabic
Studies di Jerman.11

Keempat, Gustave Le Bon (1841- 1931 M), adalah orientalis dan filosof materialis, di
mana ia tidak pernah percaya kepada agama. Pada umumnya kajian dan buku-bukunya
menyoroti peradaban Islam. Kajian semacam ini yang menimbulkan orang-orang Barat tidak
memperdulikan dan tidak menghargainya. Buku pertamanya berjudul La Civilization des
Arabes, dirilis pada tahun 1884. Dalam buku ini, Le Bon sangat memuji orang-orang Arab atas
kontribusi mereka terhadap peradaban, tetapi mengkritik Islamisme sebagai agen stagnasi. Dia
juga menggambarkan budaya Arab lebih unggul daripada budaya Turki. yang memerintah
mereka, dan terjemahan dari karya ini menjadi inspirasi bagi nasionalis Arab periode awal.12

Kelima, Sigrid Hunke (1913-1999 M) orientalis asal Jerman dengan karyanya yang
dinilai sebagai obyektif karena menampilkan pengaruh peradaban Arab terhadap Barat. Salah
satu karyanya yang termasyhur "Allahs Sonne über dem Abendland" (1960; "Allah's sun over
the Occident" – Matahari Allah atas dunia Barat) dia menegaskan bahwa “the influence exerted
by the Arabs on the West was the first step in freeing Europe from Christianity - pengaruh yang
diberikan oleh orang-orang Arab atas dunia Barat adalah langkah pertama dalam membebaskan
Eropa dari agama Kristen.”13 Selain itu, ada juga beberapa nama seperti Jack Burke, Anne

10
Samuel Noah Kramer (1971). The Sumerians: Their History, Culture, and Character. University of Chicago
Press. hal. 12.
11
Hugh Chisholm, ed. (1911). "Reiske, Johann Jacob". Encyclopædia Britannica. 23 (11th ed.). Cambridge
University Press. p. 57–58.
12
Sylvia Kedourie (1962). Arab Nationalism: An Anthology. Cambridge University Press. hal. 182
13
Dr. Amani Kamal Saleh, “Sigrid Hunkes contribution to the reception of the Arab cultural heritage in German-
speaking countries” German Oriental Studies and Interculturalism, hal. 231.

6
Marie Schimmel, Thomas Garlyle, Renier Ginaut, Dr. Granier dan Goethe, dimana semuanya
ini dikategorikan sebagai orientalis moderat.14

C. Obyektifitas Thomas W. Arnold


1. Biografi Thomas W. Arnold

Thomas Walker Arnold lahir di Devonport, Plymouth pada 19 April 1864, dan
menempuh pendidikan di City of London School. Sejak tahun 1888 ia bekerja sebagai guru di
Muhammadan Anglo-Oriental College, Aligarh, India. Pada tahun 1892 ia menikah dengan
Celia Mary Hickson, keponakan dari Theodore Beck. Pada tahun 1898, ia menerima jabatan
sebagai Profesor Filsafat di Government College, Lahore dan kemudian menjadi Dekan
Fakultas Oriental di Universitas Punjab. Dari tahun 1904 hingga 1909 ia menjadi staf Kantor
India sebagai Asisten Pustakawan. Pada tahun 1909 ia diangkat sebagai Penasihat Pendidikan
untuk siswa India di Inggris. Dari tahun 1917 hingga 1920 ia bertindak sebagai Penasihat
Sekretaris Negara untuk India. Dia adalah Profesor Studi Arab dan Islam di School of Oriental
Studies, University of London, dari tahun 1921 hingga 1930.

Arnold diangkat sebagai Companion of the Order of the Indian Empire pada tahun
1912, dan pada tahun 1921 dianugerahi sebagai seorang knight (ksatria) dan berhak
menyandang gelar Sir di depan namanya. Dia meninggal pada 9 Juni 1930.15

Arnold adalah teman Sir Syed Ahmed Khan, pendiri Aligarh Muslim University dan
pembaharu Islam asal India, yang mempengaruhi dia untuk menulis buku terkenal The
Preaching of Islam. Ia juga berteman dengan Shibli Nomani, dengan siapa dia mengajar di
Aligarh. Dia mengajar Syed Sulaiman Nadvi dan penyair-filsuf Muhammad Iqbal. Dia adalah
editor bahasa Inggris pertama untuk edisi pertama The Encyclopaedia of Islam.16

Thomas W. Arnold merupakan golongan orientalis yang “fair” dalam memandang


Islam. Di dalam buku The Preaching of Islam, ia banyak menyampaikan pembelaan-pembelaan
terhadap Islam dari serangan atau prejudice orientalis yang lain. Terutama terkait penyebab
pesatnya penyebaran Islam yang oleh banyak orientalis dianggap dilakukan dengan peperangan
dan persekusi.

Karya tulisnya secara lengkap adalah sebagai berikut:

14
Ibid.
15
B.W. Robinson, " Thomas Walker Arnold – Encyclopaedia Iranica". iranicaonline.org.
16
B.W. Robinson, " Thomas Walker Arnold – Encyclopaedia Iranica”.

7
1. The preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith.
Westminster: A. Constable and co. 1896. Retrieved 29 May 2011.
2. (terjemah dan editor) The little flowers of Saint Francis by Francis of Assisi. London:
J.M. Dent, 1898.
3. The Court Painters of the Grand Moghuls. Oxford: Oxford University Press, 1921.
4. The Caliphate. Oxford: Clarendon Press, 1924. Diterbitkan ulang dengan tambahan
bab oleh Sylvia G. Haim: Routledge and Kegan Paul, London 1965.
5. Painting in Islam, A Study of the Place of Pictorial Art in Muslim Culture. Oxford:
Clarendon Press, 1928. Reprint ed. 1965.
6. Bihzad and his Paintings in the Zafar-namah ms. London: B. Quaritch, 1930.
7. (bersama Alfred Guillaume) The Legacy of Islam. Oxford: Oxford University Press,
1931.
8. The Old and New Testaments in Muslim Religious Art. London: Pub. for the British
Academy by H. Milford, Oxford University Press. Schweich Lectures for 1928.

8
2. The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith

Obyektifitas Thomas W. Arnold bisa dilihat dari karya pertamanya The Preaching of
Islam.17 Buku ini merupakan salah satu buku populer karya Thomas W Arnold yang sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk k dalam bahasa Indonesia. Buku yang aslinya
ditulis pertama kali pada tahun 1896 di Aligarh, India, ini, telah diterjemahkan oleh Drs. H. A.
Nawawi Rambe dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 melalui proyek “penerangan
bimbingan dan da’wah/khutbah agama Islam pusat tahun 1985/1986”. Sehingga buku ini tidak
diperjualbelikan secara bebas di toko buku manapun.18

The Preaching of Islam dibagi menjadi 13 bab. Pembahasan bab pertama dimulai dari
definisi agama dakwah dan penjelasan tentang Islam. Penjelasan singkat bagaimana Rasulullah
SAW berdakwah, kemudian sampai beliau mendirikan negara Madinah. Kemudian mulai dari
bab 3 sampai bab 13, Arnold menjelaskan tentang sejarah dakwah Islam di Asia Barat, Afrika,
Spanyol, Turki, Asia Tengah, Persia, Mongol, India, Cina, dan Indonesia. Dalam buku ini,
Thomas W. Arnold memisahkan antara kepentingan agama dan kepentingan politik.

Poin yang menonjol yang menjadi salah satu kontribusi T.W. Arnold dalam buku ini
adalah bahwa ia menekankan dalam hampir seluruh isi buku ini bahwa penyebaran Islam murni
terjadi karena dakwah. Bukan dengan pedang. Tesis ini merupakan kebalikan dari umumnya
orientalis yang membahas hal yang sama tentang Islam, khususnya tentang cara mendapatkan
pemeluk baru yang menurut mereka dilakukan dengan penaklukan.

Bahwa sejak awalnya, Islam merupakan agama dakwah, baik dalam teori maupun
praktik. Penyebaran Islam dalam sejarahnya adalah hasil dari usaha keras dan diam-diam dari
para pendakwah.

Moreover it is not in the cruelties of the persecutor or the fury of the fanatic that we should look
for the evidences of the missionary spirit of Islam, any more than in the exploits of that mythical
personage, the Muslim warrior with sword in one hand and Qur'an in the other but in the quiet,
unobtrusive labours of the preacher and the trader who have carried their faith into every quarter
of the globe. Such peaceful methods of preaching and persuasion were not adopted, as some

17
T.W. Arnold MA. C.I.F, The Preaching Of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, Second
Edition, London Constable & Company Ltd. 1913.
18
Muhammad T Hassan, “Thomas W. Arnold: Orientalis yang Adil Ketika Menilai Islam”, Republika, edisi
14/07/2021.

9
would have us believe, only when political circumstances made force and violence impossible
or impolitic, but were most strictly enjoined in numerous passages of the Qur'an.19

Arnold menjelaskan pernyataannya di atas dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an semisal, QS


An-Nahl 16: 126, As-Syuro 42: 13 – 14, Ali Imran 3: 19, Ali Imran 3: 103 – 104, Al-Haj 22:
67 – 68, At-Taubah 9: 6, dan At-Taubah 9: 11.20

Menurut Arnold, tidak mungkin penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan atau
persekusi. Karena Islam sebagai negara saja dikenal sebagai sistem yang toleran pada semua
rakyatnya baik rakyat muslim maupun non-muslim:

In view of the toleration thus extended to their Christian subjects in the early period of the
Muslim rule, the common hypothesis of the sword as the factor of conversion seems hardly
satisfactory, and we are compelled to seek for other motives than that of persecution.

(Toleransi Islam itu berlaku juga untuk rakyat Nasrani pada periode awal pemerintahan Islam,
hipotesa umum bahwa pedang sebagai faktor konversi tidak memuaskan, dan kita terpaksa
mencari motif lain selain (anggapan) karena persekusi.)21

Thomas W. Arnold memberikan fakta di Abyssinia (sekarang Ethiopia), bahwa satu di


antara faktor suksesnya dakwah Islam di negeri ini agaknya adalah ketinggian moral umat
Islam diabandingkan dengan ummat Kristen. Ruppell mengatakan bahwa dia seringkali
menyaksikan selama perjalanannya di Abyssinia bahwa apabila suatu jabatan akan diisi oleh
calon dengan syarat kejujuran dan kesungguhan, maka biasanya pilihan selalu jatuh di tangan
orang-orang Islam.22

Dibandingkan dengan orang-orang Kristen, katanya, orang-orang Islam lebih aktif dan
bersemangat. Setiap orang Islam pasti mengajari anak-anaknya membaca dan menulis.
Sedangkan orang-orang Kristen hanya mendidik anak-anaknya apabila dimasuksudkan bakal
jadi pendeta.23

Keunggulan moral inilah yang mendorong perkembangan agama Islam di sana


sepanjang abad ke-18 dan 19, saat pada yang sama terjadi kemerosotan dan sikap apatis dari

19
T.W. Arnold, The Preaching Of Islam, hal. 5.
20
T.W. Arnold, The Preaching Of Islam, hal. 3.
21
T.W. Arnold, The Preaching Of Islam, hal. 69.
22
T.W. Arnold, hal. 114.
23
T.W. Arnold, The Preaching Of Islam, hal. 106.

10
kalangan ulama Kristen. Di samping adanya pertentangan antara pemimpin mereka yang
semakin memberi jalan bagi perluasan dakwah Islam itu sendiri.

Tentang Nabi Muhammad yang di Barat diasumsikan sebagai sosok pemimpin yang
“kejam”, ia membantah hal itu. Arnold mencontohkan kisah Nabi Muhammad SAW tidak
membalas dendam kepada orang-orang yang memperlakukan Beliau dan umatnya dengan
perlakuan tidak baik sewaktu Beliau memasuki Makkah dan disebut sebagai Fathu Makkah.
Sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah sosok yang bengis. Nabi hanyalah
seorang juru dakwah.24

Hal yang sama dilakukan oleh penguasa Islam setelah era Khulafaur Rasyidin.
Misalnya, setelah pembebasan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih dan pembebasan
Palestina oleh Shalahuddin al-Ayyubi, di belahan bumi lain tepatnya di Andalus (Spanyol),
orang-orang Islam di sana dibantai habis-habisan oleh orang Kristen dan dipaksa untuk masuk
Kristen. Jika tidak mau, dia akan disiksa oleh tentara suci Kristen, sampai-sampai saat Al-
Qonuni mau membebaskan mereka, harus dilakukan di malam hari. Karena mata para tawanan
bertahun-tahun dalam kegelapan dan tidak melihat sinyar matahari, maka dikhawatirkan
kebutaan atasnya. Akan tetapi, dengan keluhuran sikap umat Islam pada saat itu, tentara
Muhammad Al-Fatih dan tentaranya Sulaiman al-Qonuny tidak membalas dendam kepada apa
yang sudah dilakukan oleh mereka (Kristen) kepada saudara-saudara Muslim. Pada saat itu
sangat bisa umat Islam menggenosida. Tapi tidak dilakukan oleh umat Islam itu sendiri.Di sisi
yang lain, ada rasa syukur umat Kristen atau penduduk asli atas pembebasan-pembebasan yang
dilakukan oleh ummat Islam. Karena mereka merindukan keadaan yang kondusif dan penuh
toleransi, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa “kami lebih suka dipimpin oleh orang-
orang Islam dari pada oleh orang yang seagama dengan kami”.25

Salah satu sebab sikap obyektif dan simpatik Arnold pada Islam, selain itikad baik
tentunya, juga tidak lepas dari kedekatan hubungannya dengan beberapa tokoh Islam India
seperti Sir Syed Ahmad Khan, pendiri Aligarh Muslim University; Shibli Nomani cendekiawan
muslim India pendiri Osmania University Hydrabad dan Nadwatul Ulama Lucknow (pesantren
modern), dan Sayid Sulaiman Nadwi juga pendiri Nadwatul Ulama Lucknow dan Jamia Millia

24
T.W. Arnold, The Preaching Of Islam, hal. 4
25
Ibid. hal. 63.

11
Islamia, yang kemudian hijrah ke Pakistan pada 1950-an sebagai penasihat dewan konstitusi
Pakistan.26

BAB III

PENUTUP

Dari uraian ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

• Terlepas dari anggapan bahwa kajian orientalisme, khususnya yang terkait dengan
Islam, mengandung bias dan tidak obyektif karena ada faktor politis kolonialisme dan
misionarisme, namun tidak sedikit dari para orientalist ini yang patut mendapat respek
karena sikap mereka yang konsisten pada jalur ilmiah dan fokus pada kajian yang
dilakukan. Kalaupun ada kritik pada Islam, maka kritik itu timbul dari sikap ilmiah,
bukan dari kebencian atau titipan sponsor.
• Salah satu dari orientalis yang fair dan obyektif dalam menilai Islam adalah Thomas
Walter Arnold.
• Apapun itu, ilmuwan muslim dapat mengambil manfaat dari hasil kajian mereka. Baik
yang obyektif maupun yang bias.

26
“Profile and books by Sulaiman Nadvi” on openlibrary.org Open Library (California State Library). Diakses
pada 5 Januari 2022.

12
KAJIAN PUSTAKA

Christopher Hill, “What's the Matter with Saying 'The Orient'?”, Japan Society. Diakses dari
japansociety.org pada 3 Januari 2022.

Clarke, J.J. (1997). Oriental enlightenment the encounter between Asian and Western thought.
Routledge.

Dr. Amani Kamal Saleh, “Sigrid Hunkes contribution to the reception of the Arab cultural
heritage in German-speaking countries” German Oriental Studies and Interculturalism, hal.
231

Evgeny Steiner, "East, West and Orientalism: The Place of Oriental Studies in the Globalizing
World", Orientalism / Occidentalism: The Languages of Cultures vs. the Languages of
Description. - Moscow: Inst. of Cultural Research, 2012

Hugh Chisholm, ed. (1911). "Reiske, Johann Jacob". Encyclopædia Britannica. 23 (11th ed.).
Cambridge University Press.

Merriam Webster Dictionary

Nawawi, “Paradigma Orientalis terhadap Islam: antara Subyektif dan Obyektif”, Istidlal:
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Volume 4, Nomor 1, April 2020

Samuel Noah Kramer (1971). The Sumerians: Their History, Culture, and Character.
University of Chicago Press.

Sylvia Kedourie (1962). Arab Nationalism: An Anthology. Cambridge University Press.

The Cambridge English Dictionary

Thomas W. Arnold, The preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith.
Westminster: A. Constable and co. 1896

13

Anda mungkin juga menyukai