Anda di halaman 1dari 14

ARGUMEN FILOSOFIS TENTANG EKSISTENSI TUHAN

Makalah dipersiapkan untuk memenuhi tugas mandiri Mata Kuliah Filsafat Agama

Disusun Oleh: Parluhutan Siregar

Dosen Pembimbing Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, MA.

PROGRAM PASCASARJANA IAIN SUMATERA UTARA MEDAN 2009

ARGUMEN FILOSOFIS TENTANG EKSISTENSI TUHAN


A. Pendahuluan Baik berdasarkan realitas maupun penjelasan wahyu, kepercayaan terhadap adanya Tuhan merupakan fenomena universal. Indikasi tentang ini cukup banyak ditemukan, seperti yang diungkap oleh Louis O. Kattsoff; Ketika Perang Dunia II berkecamuk ada suatu anggapan yang populer, bahwa di dalam lubang-lubang perlindungan tidak ada penganut ateisme.1 Sinyalemen ini bersesuaian dengan pernyataan Alquran yang menyatakan; Dialah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo`a kepada Allah dengan mengikhlaskan keta`atan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".2 Sebagai fenomena universal, kepercayaan kepada Tuhan tentu dimulai dari pengetahuan terhadap eksistensinya yang didukung oleh bukti-bukti tertentu. Kepercayaan itu tidak muncul begitu saja. Jika dikatakan Tuhan (bereksistensi) dapat berarti bahwa dengan mengetahui keadaan-keadaan atau faktor-faktor terentu, maka sesuatu yang disebut Tuhan tentu ada. Ini petunjuk kearah yang kita tuju dalam mencari bukti bagi adanya Tuhan. Berbicara tentang eksistensi Tuhan apakah benar-benar ada atau tidak mengasumsikan lima kemungkinan pemikiran. Pertama, eksistensi Tuhan terbukti dengan sendirinya (self evident), tanpa harus menggunakan akal atau logika; kedua, eksistensi Tuhan dapat diketahui dengan cukup menggunakan akal saja, sebab akal dapat membuktikan adanya Tuhan; ketiga, eksistensi Tuhan dapat diketahui secara meyakinkan dengan pertimbangan dari pengalaman dan aturan alam; keempat, bahwa kemampuan akal terbatas untuk mengetahui dan membuktikan adanya Tuhan, tetapi karena banyak orang
Louis O. Kattsoff, Element of Philossophy, terjemahan Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara wacana, 2004), h. 431. 2 Alquran Surat Yunus ayat 22.
1

yang percaya boleh jadi Tuhan itu eksis tanpa harus dapat dicerna oleh akal; dan kelima, akal dan pengalaman tidak dapat membuktikan adanya Tuhan. Bertolak dari lima kemungkinan ini, kita mengenal sejumlah filosof yang memiliki pendirian yang berbedabeda tentang eksisten Tuhan. Ada yang dapat membuktikannya dan lalu mempercayai Tuhan, ada yang ragu-ragu (seperti kaum agnotisisme), dan ada pula yang mengingkarinya (ateisme). Proposisi di atas menggambarkan bahwa persoalan Tuhan bukanlah hal sederhana. Para filosof telah terlibat dalam polemik panjang mengenai ini. Pembahasan dalam makalah ini bermaksud untuk mengungkap pandangan para filosof tentang eksistensi Tuhan. Walau tidak bermaksud untuk mengungkap bagaimana polemik itu terjadi, di sini akan dipaparkan pandangan-pandangan yang mempercayai dan yang meragukannya. Beberapa nama yang disebut hanya sebagian dari filosof yang pernah membahas tentang eksistensi Tuhan. Mereka yang dipilih mewakili berbagai zaman dan agama. Ada filosof Yunani, Islam, Kristen dan bahkan dari kalangan filosof di era modern. B. Argumen Adanya Tuhan 1. Argumen Ontologis Argumen ontologi adalah satu-satunya yang benar-benar argumen yang bersifat apriori teistik. Argumen ini tidak mendasarkan pada kenyataan faktual, melainkan pada logika. Argumen ontologis telah dikenal pada masa Yunani, di mana Plato menyatakan dalam filsafatnya tentang adanya Tuhan. Selain Plato, beberapa filosof lain yang mengajukan argumen ini adalah Al-Farabi (874-950), Ren Descartes (1596-1650), Benedict de Spinoza (1632-1677), dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), dan Santo Anselm dari Canterbury (1033-1109). a. Argumen ontologis Plato; Plato menggunakan teori ide dalam membuktikan adanya Tuhan. Menurut filosof Yunani ini, tiap-tiap yang ada di alam nyata mesti ada idenya. Ide adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Manusia mempunyai ide atau konsep universal. Konsep universal itu berlaku bagi setiap manusia yang ada di alam nyata, baik manusia muda, dewasa atau tua, laki-laki atau perempuan, dan seterusnya. Demikianlah, setiap sesuatu yang ada di alam ini mempunyai ide, dan ide itulah

hakikat sesuatu itu dan yang menjadi dasar sesuatu itu. Benda-benda yang tampak bukan hakikat, melainkan bayangan. Ide-ide berada dalam alam tersendiri di luar alam nyata yang disebut alam ide. Ide-ide itu bersifat kekal. Karena itu yang sebenarnya mempunyai wujud adalah yang ada di alam ide itu, sebab ide-ide itulah tujuan dan sebab dari segala yang ada. Sekalipun ide-ide itu sepertnya banyak, tetapi pada esensinya ada bersatu-padu dalam Ide Tertinggi yang diberi nama Ide Kebaikan atau The Absolut Good, yaitu yang Mutlak Baik. Ia adalah sumber, tujuan dan sebab dari segala yang ada. Ide Kebaikan itulah yang disebut Tuhan.3 b. Argumen ontologis Anselm.

Dalam literatur Barat, nama Santo Anselm banyak disebut sebagai filosof yang paling kontroversial dalam mengajukan argumen ontologis. Menurut Anselm, akal dapat membuktikan bahwa Tuhan ada secara khusus. Ini dapat dilakukan dengan bercermin pada konsep tentang Tuhan. Jalan pikiran Anselm bergerak dari suatu ide dalam pikiran ke eksistensi di luar pikiran. Argumen yang diajukan Anselm adalah sebagai berikut:
Ketika kita membicarakan Tuhan, konsep Tuhan memiliki arti yang dapat

dipahami. Tuhan dipahami sebagai satu wujud di mana tidak dapat dipahami adanya wujud lain yang lebih besar.
Berarti bahwa tidak hanya Tuhan wujud terbesar yang mungkin tetapi juga

bahwa Tuhan adalah kesempurnaan itu sendiri.4 Argumen ini kemudian dipertegas oleh Anselm dengan jalan pikiran yang lain, seperti berikut:
Adalah jelas bahwa sebuah wujud yang non-eksistensinya secara logis mustahil

lebih besar dibandingkan sebuah yang non-eksistensinya secara logis mungkin. Sebuah wujud di mana tak dapat dipahami adanya wujud lain yang lebih besar pastilah merupakan sebuah wujud yang non-eksistensinya mustahil.
Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 52. John K. Roth, The Problem of the Contemporery Philosophy of Religion, terjemahan Ali Noer Zaman, Persoalan-persoalan Filsafat Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 82.
3 4

Tuhan adalah sebuah wujud di mana tak dapat dipahami adanya wujud lain yang lebih besar.
Jika kita berpikir secara jernih, kita merasa mustahil bahwa Tuhan tidak eksis. Jadi, Tuhan bukanlah sebuah wujud yang dapat masuk ke dalam eksistensi atau

yang dapat binasa.5 Sejalan dengan kesimpulan itu, Anselm berpendapat bahwa hanya orang bodoh akan berkata "Tuhan tidak ada," sejak "membodohi bahkan yakin bahwa sesuatu yang ada dalam pemahaman, setidaknya, tidak ada yang lebih besar daripada yang dapat dibayangkan."6 Santo Anselm menyimpulkan bahwa definisi Tuhan harus menjadi yang paling sempurna yang mungkin. Ketika merespons kritik atas ketidaksempurnaan definisinya, Santo Anselm berkata bahwa: Sebuah definisi tidak perlu benar-benar sempurna dalam arti yang sama dengan Tuhan. Oleh karena itu sesuatu yang "sempurna" mungkin ada dalam pikiran tidak dalam kenyataan, tetapi Tuhan yang sempurna harus ada dalam kenyataan.7 2. Argumen Kosmologis Argumen kosmologi adalah argumen bagi eksistensi Tuhan yang didasarkan pada hubungan hukum sebab dan akibat. Sangat berbeda dengan Ontological Argumen yang bersifat apriori, argumen kosmologis adalah bersifat "a posteriori" (atau empiris), sebab argumen ini didukung oleh bukti-bukti dari pengalaman. Pemikiran ini mencoba untuk membangun pengetahuan tentang Tuhan dari alam. Secara sederhana, pembuktian adanya Tuhan diajukan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut: "Sudah tentu Tuhan ada. Sebab jika tidak demikian, maka siapakah yang mengawali segala sesuatu?"8 Argumen kosmologi (yang sering disebut Argumen Sebab Pertama) mencoba untuk membuktikan keberadaan Tuhan sebagai penyebab utama beberapa kenyataan empiris atau lainnya, biasanya di dunia atau alam semesta itu sendiri.9 Jalan pikiran pembuktian adanya Tuhan dari argumen kausal ini adalah sebagai berikut:
Ibid., h. 83-4. Ed.L. Miler, Philosophical and Religion Issues (Encino, California: Dickenson Publishing Company, Inc, 1971), h. 6. 7 Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Introduction to Philosophy (Michigan: Baker Book House, 1982), h. 290. 8 Louis O. Kattsoff, op.cit., h. 443. 9 Miller, op.cit., h. 37.
5

Telah lama Tuhan dipersepsi sebagai sebab, yakni sebab pertama. Ketika Tuhan dipersepsi sebagai sebab, maka biasanya ia disebut Sebab Pertama (Causa Prima) yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab yang pertama dan paling fundamental dari semua rangkaian sebab yang ada.

Sebagai sebab pertama, Ia adalah sumber dari mana segala yang lain berasal. Tanpa sumber maka tak terbayang derivat dapat muncul. Oleh karena itu adanya alam sebagi derivat atau akibat, menjadi dalil adanya Sebab Pertama, yaitu Tuhan. Kalau setiap kejadian tak terbayangkan terjadi kecuali melalui yang lain maka setiap kejadian membutuhkan sebab. Tetapi sebab itupun pada gilirannya membutuhkan sebab yang lain. Demikian seterusnya.

Tetapi rangkaian ini tak terbayang tanpa akhir, karena kalau begitu tak mungkin akan terjadi suatu apapun, karena tidak ada yang memulainya. Karena itu filosof Yunani dan Muslim sepakat bahwa rangkaian sebab itu harus berhenti pada sebuah sebab yang tak bersebab. Dan inilah yang disebut Tuhan.10 Pendapat paling terkenal dan klasik mengenai argumen kosmologi ditemukan

dalam tulisan-tulisan Santo Thomas Aquinas (1224/5-1274). Dalam "Summa Theologica". Ia menawarkan lima bukti, tiga di antaranya adalah Argumen kosmologi. Menurut Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, inti pemikiran Thomas Aquinas adalah sebagai berikut:
1. 2. 3. 4.

Setiap efek alam menyebabkan kebutuhan. Setiap kontingen merupakan efek. Oleh karena itu, setiap kontingen disebabkan oleh yang lain. Jadi, yang menyebabkan setiap kontingen tidak kontingen, tetapi Necessary

(yaitu Tuhan). 11 Hal ini jelas terlihat bahwa prinsip dari argumen kosmologi bahwa setiap kegiatan dan efek yang cukup harus ada penyebabnya. Dunia di sini dan kami tidak dapat menolak keberadaan-nya. Dunia kontingen, karena terdiri dari bagian, masing-masing yang tergantung pada bagian lain, maka secara keseluruhan ia harus tergantung pada sesuatu di luar itu sendiri yang harus independen, tak terbatas dan absolut. Dunia ini juga merupakan tertib dunia kosmos dan bukan kekacauan. Satu-satunya jalan yang memadai untuk
Mulyadhi Kartanegara, Bahan Kuliah Filsafat Agama pada Program Agama dan Filsafat Islam PPS IAIN Sumatera Utara tahun 2009. 11 Geisler, op.cit., h. 289.
10

mengatur tertib dunia adalah Akal (yaitu Tuhan). Thomas Aquinas mengembangkan dari segi lain mengenai argumen kosmologis untuk membuktikan adanya Tuhan. Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan dapat dibuktikan dari pertimbangan data empiris. Pertimbangan ini, memang tidak secara langsung memahami Tuhan, tetapi dengan analisis rasional mengenai fenomena yang terdapat di alam ini dapat mendorong pada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Satu dari argumen kosmologinya adalah tentang gerak dan perubahan. Jalan pikiran Aquinas tentang gerak ini adalah sebagai berikut:
Sebuah benda tidak dapat bergerak kecuali jika benda itu memiliki potensi untuk

bergerak. Karena potensi itu harus diaktualisasikan, sesuatu yang aktual harus menempatkan benda dalam gerak. Mustahil suatu benda yang sama dapat secara serempak bersifat aktual dan potensial. Karena itu, apapun yang bergerak pasti digerakkan oleh yang lain.
Jika benda digerakkan benda yang lain, dan begitu seterusnya, maka pasti ada

penggerak pertama yang tidak digerakkan; yaitu Tuhan.12


3.

Argumen Wajib al-Wujud

Menurut sebagian filosof, konsep Tuhan sebagai sebab atau penggerak tidak memuaskan. Ibn Sina mengatakan bahwa Tuhan yang dipersepsi sebagai sebab pertama, atau penggerak yang tak bergerak hanya akan menjelaskan tentang bagaimana peristiwa alam itu terjadi, tapi tidak menyatakan bahwa Tuhan adalah sumber atau pencipta alam. Lalu Ibnu Sina mengajukan teori al-imkan (kemungkinan). Argumen al-imkan Ibn Sina membagi wujud ke dalam tiga macam; wujud mustahil, wujud mungkin, dan wujud wajib/niscaya. Ibnu Sina mengkonsepsikan Tuhan sebagai Wujud yang Niscaya (The Necessary Being) sedangkan alam adalah wujud yang mungkin (the contingent being). Adapun yang dimaksud dengan Wujud Niscaya di sini adalah wujud yang senantiasa aktual, dalam arti Tuhan senantiasa ada oleh diri-Nya sendiri, tidak tergantung pada yang lain untuk keberadaan-Nya.

12

John K. Roth, op.cit., h. 125-6.

Ini tentu berbeda dengan alam yang bersifat mungkin, dalam arti baru dalam bentuk potensi. Alam memiliki potensi untuk ada, tetapi tidak bisa ada atau mengaktualkan keberadaannya dengan sendirinya karena ia tidak memiliki prinsip aktualitas sebagai syarat bagi pengaktualannya. Dengan demikian jelas bahwa sebagai wujud potensial alam tidak bisa mewujud dengan sendirinya. Ketika alam mewujud, seperti yang dapat kita lihat sekarang, padahal ia tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri, maka secara logis kita akan menyimpulkan pasti ada sesuatu, selain alam, yang telah mewujudkandalam arti menggeser potensi alam ke dalam aktualitasalam yang Ia sendiri pastilah bersifat aktual. Karena hanya yang telah aktual yang bisa mewujudkan segala yang bersifat potensial. Wujud aktual yang telah bertanggung jawab atas terwujudnya alam inilah yang ia sebut Tuhan. Dialah Tuhan, yang telah menciptakan alam, dengan cara mengubah potensi alam ke dalam aktualitas, sehingga alam mewujud seperti yang kita saksikan saat ini. Tanpa Wujud yang Niscaya, maka alam tak pernah akan mewujud, seperti sekarang. Sebaliknya alam akan tetap dalam potensialitasnya untuk selama-lamanya.13 Jalan pikiran lainnya dikemukakan oleh Ibnu Sina adalah; Tuhan itu suatu ada yang mesti, yang wujudnya merupakan hakikat zatnya, hingga wujudnya bukan disebabkan wujud yang lainnya. Alam itu suatu perwujudan yang mungkin karena perwujudannya disebabkan wujud lainnya. Kemungkinan itu sudah ada sejak azali karena Tuhan itu sebab pertama bagi seluruh ada, hingga beralaskan kemungkinan itu maka alam itu suatu yang azali. Dengan memahami pengertian mungkin dan mesti itulah seseorang akan sampai pada perwujudan yang mesti ada.14 4. Argumen Wujud Murni

Di tangan para filosof, konsep Tuhan telah bergeser dari yang bersifat personal ke impersonal. Salah satu konsep seperti itu adalah yang menganggap Tuhan sebagai Wujud Murni (the Pure Being). Pemikiran tersebut diajukan oleh Mulla Shadra yang telah mengkonsepsikan Tuhan sebagai Wujud Murni.
Mulyadhi Kartanegara, Bahan Kuliah Filsafat Agama pada Program Studi Agama dan Filsafat Islam PPS IAIN Sumatera Utara tahun 2009. 14 Yoesoef Souyb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, (Medan: Madju, 1984), h. 138-9.
13

Tuhan dikatakan sebagai wujud murni, karena berbeda dengan wujud-wujud lainnya, yang selalu bercampur dengan esensi, Tuhan tidak memiliki yang lain kecuali wujud. Tuhan adalah wujud murni, tanpa esensi. Kalau Tuhan memiliki esensi, maka bukan saja akan terjadi tarkib (komposisi) pada diri Tuhan, tetapi juga Ia akan tergantung pada esensi. Ini tidak boleh terjadi pada Tuhan, karena kalau ini terjadi maka Tuhan akan menjadi wujud yang mungkin, bukan Wujud Niscaya; ia bukan Tuhan. Tuhan sebagai wujud haruslah esa. Kalau Tuhan dikonsepsikan sebagai sesuatu yang tertinggi yang tidak terbayang adanya yang lebih tinggi dari-Nya, maka Ia haruslah satu. Sebab kalau lebih dari satu, Ia bukan yang paling tinggi, dan karena itu bukan Tuhan. Modus pembuktian adanya Tuhan oleh Mulla Shadra disebut dalil al-Shiddiqin. Dalil (argumen) ini menyatakan bahwa Tuhan sebagai Wujud Murni, tidak perlu dibuktikan, karena Ia telah terbukti sendiri (self-evident) atau dalam istilahnya sendiri; badihi. Bagaimana itu terjadi? Kita mengatakan bahwa baju yang saya pakai adalah biru. Tetapi kita tidak mungkin mengatakan baju itu biru, kalau biru itu sendiri tidak ada, atau kita tolak keberadaannya. Maka demikian juga, ketika kita mengatakan, bahwa pulpen yang saya pakai ini ada, maka tidak mungkin kita bisa mengakatakannya kecuali kalau kita yakin bahwa ada itu sendiri ada.15

Ada itu sendiri, yang menjadi syarat utama bagi ada-ada yang lain, tapi

bukan yang lain. Inilah yang kita sebut ada murni, atau Wujud Murni. Wujud murni yang seperti itulah yang disebut oleh Mulla Shadra sebagai Tuhan. Tuhan yang keberadaan-Nya tidak memerlukan yang lain, tetapi justru menjadi syarat mutlak bagi keberadaan yang lain.

Jadi sebagai syarat bagi keberadaan yang lain inilah, Tuhan dipandang

sebagai sumber dari mana segala yang selainnya (alam) berasal. Dengan demikian Ia bisa disebut sebagai pencipta alam semesta. 5. Argumen Teleologis

Argumen berikutnya adalah argumen teleologi. Argumen teleologi merupakan argumen bagi keberadaan Tuhan yang didasarkan pada bukti desain, tujuan dan penyesuaian di dunia. Argumen teleologi juga dikenal sebagai argumen dari desain atau
Mulyadhi Kartanegara, Bahan Kuliah Filsafat Agama pada Program Studi Agama dan Filsafat Islam PPS IAIN Sumatera Utara tahun 2009.
15

10

argumen terakhir dari penyebabnya. Argumen teleologi ini adalah yang paling populer karena mudah dipahami. Suatu bentuk pembuktian yang lebih populer terdapat pada ucapan orang-orang yang menanyakan; "Mengapa saya ada (di sini)? Yang mereka maksudkan dengan pertanyaan itu ialah, mereka tidak akan dilahirkan kecuali apabila adanya itu mempunyai suatu tujuan".16 Ada banyak bukti manusia didesain sendiri, seperti telinga untuk mendengar, mata untuk melihat; kepala, otak, kaki, seluruh manusia organisme, setiap bagian yang berfungsi secara khusus dan bekerja sama dalam tujuan umum. Desainer itu berarti juga intelijen, dan intelijen itu berarti kepribadian, dan itu berarti Tuhan. Salah satu pembuktian Thomas Aquinas tentang eksistensi Tuhan menggunakan argumen teleologis. Menurut Aquinas, benda-benda alam yang tidak berpengatahuan menuntut fungsi melalui cara yang teratur dan terpolakan. Benda-benda alam itu bergerak karena sebuah tujuan. Selain itu, tatanan ini terjadi dengan keraturan semacam itu sehingga tak dimungkinkan bahwa keteraturan ini karena kebetulan. Adanya pola atau desain di dalam apa yang tak memiliki pengetahuan menunjukkan realitas intelijensi yang bersifat transenden. Apa yang tak memiliki pengetahuan tidak dapat dikatakan bergerak sendiri ke suatu tujuan atau pemenuhan sebuah tujuan, sehingga suatu wujud intelijen pasti eksis sebagai tempat tujuan dari semua benda-benda alam, dan wujud itu kita sebut dengan Tuhan.17 Argumen yang identik dengan argumen teleologis yang diutarakan Thomas Aquinas ditemukan pula pada pemikiran Ibnu Rusyd yang dikenal dengan dalil al-'inayah (argumen keteraturan). Menurut Ibnu Rusyd, argumen yang paling meyakinkan tentang eksistensi Tuhan bukan argumen kosmologis seperti diutarakan oleh Aristoteles, bukan pula argumen tentang kemungkinan (al-imkan) yang disebut Ibnu Sina, tetapi lebih tepat dari argumen invensi (penciptaan) atau argumen keteraturan atau rancangan (al-'inayah).18 Untuk membuktikan eksistensi Tuhan, Ibnu Rusyd menggunakan contoh keteraturan waktu malam dan siang. Ibnu Rusyd menyatakan: "Malam mengiringi siang, di
Louis O. Kattsoff, op.cit., 444. John K. Roth, op.cit., h. 130-1. 18 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, terjemahan Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 387.
16 17

11

mana siang muncul ketika matahari terbit dan menghilang ketika matahari terbenam. Keduanya sesuatu keajaiban dari ciptaan Maha Pencipta. Andai Tuhan tidak membuat aturan serupa niscaya hilanglah keteraturan alam. Dengan keteraturan itu, manusia dapat berusaha dan mencari rezki pada siang hari dan beristirahat pada malamnya. Tanpa siang tidak dirasakan nikmatnya malam. Tuhan lah yang mengatur semua itu".19 6. Argumen Moral

Argumen moral dikemukakan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Kant menyatakan, setiap manusia memiliki perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Perasaan moral itu selalu mendorong manusia untuk mejauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik. Dengan perasaan moral itu, orang akan merasa berkewajiban melakukan kebaikan dan merasa bersalah jika melakukan yang buruk. Perasaan moral semacam ini, menurut Kant, bersifat absolut dan universal. Manusia tahu yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk bukan karena ada yang memberi tahu, tetapi bawaan lahir yang tertanam dalam hati sanubarinya. Selanjutnya manusia merasa berkewajiban melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah karena perasaan moral yang dimilikinya. Menurut pengamatan Kant, banyak kebaikan yang memperoleh ganjaran kebaikan dan sebaliknya tidak sedikit perbuatan buruk yang diganjar dengan keburukan. Karena itu alam dan manusia bukanlah pemberi ganjaran yang hakiki. Atas dasar itu mesti ada hari pembalasan dan di sana mesti ada zat yang Maha Adil yang membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan. Zat yang Maha Adil itulah yang disebut Tuhan.20
C. Argumen Filosof yang Meragukan Adanya Tuhan

Selain pembuktian-pembuktian tentang adanya Tuhan, seperti yang diutarakan di atas, masih terdapat lagi argumen-argumen filosofis yang menunjukkan keraguan dan penegasian terhadap eksistensi Tuhan. Paparan berikut coba mengetengahkan suatu pemikiran lain tentang Tuhan yang juga didekati dari perspektif filsafat agama. Tokoh filosof yang diangkat adalah David Hum dan Nietzsche. 1.
19 20

Argumen keraguan David Hume terhadap eksistensi Tuhan.

Majallah al-Jamiat al-Islamiyyah (Maktabah asy-Syamilah). Harun Nasution, op.cit., h. 64-6.

12

David Hume, seorang filosof positivistik, meragukan argumen-argumen para filosof tentang adanya Tuhan. Dalam bukunya Dialogue Concerning Natural Religion, Hume menyatakan keberatan terhadap klaim bahwa manusia secara mayakinkan dapat membuktikan adanya Tuhan. Tetapi Hume tidak juga berani mengklaim bahwa Tuhan tidak ada. Malahan, yang muncul adalah sikap skeptisisme terhadap semua klaim pengetahuan yang sejati di wilayah ini.21 Setelah mencoba membandingkan dan menganalisis argumen-argumen pembuktian adanya Tuhan, Hume berkesimpulan bahwa teorisasi filosofis yang konstruktif tentang realitas sebagai sebuah keseluruhan sebagian besar terkutuk. Ada dua argumen Hume sehingga sampai pada kesimpulan ini; pertama, pembuktian masalah fakta secara apriori adalah mustahil; dan kedua, fakta yang hendak dijelaskan begitu luas dan ambigu sehingga banyak penjelasan adalah mungkin dan tak satu pun penjelasan yang dapat dibenarkan, yang dapat meyakinkan semua manusia rasional bahwa penjelasan ini dapat diterima. Karenaya, bandan eksistensi Tuhanyak penjelasan tradisional tentang eksistensi dan sifat Tuhan berada di dalam bahaya, terutamaa jika diniatkan bahwa klaim-klaim itu dapat dibuktikan secara rasional atau diverifikasi secara empiris.22
2.

Argumen Nietzsche tentang Kematian Tuhan.

Maklumat kematian Tuhan merupakan salah satu unsur penting dari pemikiran Nietzsche. Kesimpulan ini tentu tidak dapat disebut sebagai penolakan Nietzsche terhadap eksistensi Tuhan, melainkan suatu refleksi dari kenyataan yang disimpulkannya berdasarkan sikap umat Kristen Barat terhadap agama dan khususnya Tuhan. Jalan pikiran Nietzsche dimulai dari paradima hubungan manusia dan Tuhan yang digambarkannya sebagai hubungan antara budak dan tuannya. Moralitas budak dan eksistensi Tuhan sangat erat terkait. Tetapi, ini sulit terjadi, karena secara universal watak manusia yang berkarakter bangsawan lebih banyak yang gagal dalam memenuhi kehendak Tuhan. Jadi apa yang dapat dipahami dari pernyataan Nietzsche tentang kematian Tuhan? Kecenderungan Nietzsche adalah untuk memikirkan persoalan tentang eksistensi Tuhan lebih sebagai masalah psikologis daripada masalah metafisik. Artinya, hubungan antara moralitas budak dengan kepercayaan kepada Tuhan tidak semata-mata kebetulan. Itu hanya merupakan alat tambahan yang digunakan oleh mentalitas budak untuk mendistorsi
21 22

John K. Roth, op.cit., h. 212. Ibid., h. 225.

13

dan menjatuhkan martabat manusia yang berkarakter bangsawan. Jadi, Nietzsche tidak bermaksud menyangkal eksistensi Tuhan, tetapi justru untuk menunjukkan kepada manusia bahwa mempercayai Tuhan adalah suatu sikap mengingkari karakter diri sendiri. Pernyataan tentang kematian Tuhan, karena itu, hanya merupakan psikoterapi yang ditawarkannya sebagai pengobat bagi manusia modern yang secara tindakan sudah meninggalkan Tuhan tapi tidak mampu menghapus keyakinan terhadapNya.23 D. Penutup Tuhan menjadi salah satu obyek pembahasan dalam pemikiran filosof dari zaman ke zaman. Para filosof telah mempersepsi, mengidentifikasi dan mendefenisikan konsep Tuhan dan sifat-sifatNya dari berbagai pendekatan dan argumen. Kebanyakan ahli filsafat, baik dari kalangan filosof Yunani, filosof Muslim, maupun filosof Kristen berpendapat bahwa Tuhan sesuatu yang mesti ada. Eksistensi Tuhan dapat diketahui dan dibuktikan dengan kekuatan akal, baik beralaskan kenyataan-kenyataan alamiah maupun beralaskan pikiran itu sendiri. Tuhan itu Maha Sempurna, Maha Adil, Maha Tahu, dan segala sifat kesempurnaannya. Selain yang mengakui dan mempercayai eksistensi Tuhan, terdapat juga filosof yang meragukan leberadaannya. Ragu tidak berarti menolak. Keraguan itu muncul karena semakin meningkatnya kemampuan manusia menundukkan alam, manusia semakin kagum terhadap alam materi. Adalah David Hume dan Nietzsche yang berpikiran demikian, dua orang filosof yang hidup di zaman modern, di mana ilmu pengetahuan semakin maju. Walau mereka ragu, namun tidak pernah mampu membuktikan bahwa Tuhan itu tidak eksis.

Daftar Bacaan Alquran al-Karim. Ed.L. Miler, Philosophical and Religion Issues (Encino, California: Dickenson Publishing Company, Inc, 1971). Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
23

John K. Roth, op.cit, h. 309-311.

14

John K. Roth, The Problem of the Contemporery Philosophy of Religion, terjemahan Ali Noer Zaman, Persoalan-persoalan Filsafat Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Louis O. Kattsoff, Element of Philossophy, terjemahan Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara wacana, 2004). Majallah al-Jamiat al-Islamiyyah (Maktabah asy-Syamilah). Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, terjemahan Mulyadhi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986). Mulyadhi Kartanegara, Bahan Kuliah Filsafat Agama pada Program Studi Agama dan Filsafat Islam PPS IAIN Sumatera Utara tahun 2009. Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Introduction to Philosophy (Michigan: Baker Book House, 1982). Yoesoef Souyb, Pemikiran Islam Merobah Dunia, (Medan: Madju, 1984).

Anda mungkin juga menyukai