2
ingin dicapai, di mana kegiatan penelitian lebih fokus pada upaya menemukan pengetahuan
baru, lalu kegiatan pendidikan lebih fokus pada aspek pembelajaran, sedangkan kegiatan
pengabdian mengutamakan sisi pemberdayaan masyarakat.
Seperti halnya dalam penelitian dan pendidikan, pendekatan transdisipliner dalam
PKM di UIN Sumatera hanyalah sebagai perspektif saja. Hal ini bertolak dari kesadaran
bahwa dalam kegiatan PKM cukup banyak pendekatan yang mungkin dipilih, lalu penerapan
transdisipliner di sini dimaksudkan untuk memberi ciri khas bagi model pengabdian yang
diterapkan oleh sivitas akademika di universitas ini. Alas pikir dari pilihan ini tidak lain
merujuk pada perkembangan mutakhir tentang pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya
dengan problema-problema sosial yang semakin kompleks. Kelebihan pendekatan
transdisipliner di sini adalah karena ia membuka ruang untuk melakukan interaksi yang
intens untuk saling berbagi antara ahli dari berbagai disiplin, praktisi dan masyarakat.
Sisi lain yang mendasari penerapan transdisipliner dalam PKM di UIN Sumatera
Utara bertolak dari sifat Tridharma Perguruan Tinggi yang saling-terkait, saling-mengisi dan
saling-melengkapi (komplementer). Pada konteks ini, kegiatan PKM yang diterapkan UIN
Sumatera Utara memiliki 3 (tiga) makna sekaligus; (1) PKM sebagai kegiatan untuk
menemukan pengetahuan berdasarkan interaksi dengan masyarakat; (2) PKM sebagai proses
pembelajaran bagi dosen dan mahasiswa melalui pengalaman nyata di tengah masyarakat;
dan (3) PKM sebagai kegiatan implementasi pengetahuan yang dikembangkan untuk
membantu masyarakat menemukan solusi dari masalah yang mereka hadapi. Dengan
demikian hakikat PKM bagi sivitas akademika UIN Sumatera Utara, selain suatu bentuk lain
dari ibadah kepada Allah melalui transfer pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat,
adalah juga sebagai wadah pencarian pengetahuan baru dan sekaligus sebagai proses
pembelajaran agar pengetahuan dan keahlian yang dipelajari para dosen dan mahasiswa
semakin matang dan bernilai guna.
C. Paradigma Transdisipliner dalam PKM
Para ahli di UNESCO, seperti Basarab Nicolescu, dan juga para ahli dari lembaga
lainnya, telah mengidentifikasi sejumlah dasar paradigmatik dan aksiomatik pendekatan
transdisipliner. Proposisi-proposisi paradigmatik itu digali dari Teori Kuantum, sebuah
pendekatan baru dalam bidang fisika. Temuan-temuan dari sejumlah riset mengenai mikrokosmos dalam teori kuantum ini banyak memberi wawasan baru dalam upaya merumuskan
kembali paradigma pengetahuan, baik ontologi, epistemologi, maupun aksiologinya.
Paradigma pengetahuan dimaksud kini menjelma ke dalam beberapa aliran, antara lain;
Bioscience, Living Systems, dan Transdisciplinary.
Dari segi ontologi, ada beberapa asumsi dasar yang diambil dari teori kuantum dan
dipandang relevan dengan PKM yaitu;
1. Segala sesuatunya di alam raya ini merupakan sistem yang kompleks (complexity
systems); Dalam pandangan ahli mekanika kuantum, kondisi alam ini dikenal sebagai
kompleksitas, di mana sebagian besar sistem di dunia nyata adalah kompleks.
Karakteristik sistem yang kompleks itu muncul dalam berbagai bidang, seperti dalam
fisika, biologi, dan ilmu komputer. Selain itu masih ada sejumlah sistem atau fenomena
kompleks lainnya seperti pada sistem ekonomi, pemerintahan, cuaca, semut, sistem sosial
dan masyarakat, ekosistem, turbulensi, epidemi, sistem kekebalan, lalu lintas jalan raya,
3
loreng pada kulit zebra, detak jantung, dan sebagainya.1 Pandangan tentang kondisi alam
yang bersifat complexity systems ini didasarkan pada beberapa temuan dalam quantum
theory, seperti hasil penelitian Alain Aspect (1982) mengenai circumstances subatomic
particles (keadaan partikel subatom). Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa
jaringan partikel subatomik yang membentuk alam semesta memiliki properti
"hologram".2 Fisikawan David Bohm menyatakan bahwa universe adalah hologram
raksasa, yang menyiratkan bahwa realitas objektif itu tidak ada. Jadi, meskipun soliditas
alam semesta tampak jelas tetapi adalah khayalan, sebuah raksasa dan detail hologram
yang amat rinci.3
Para ahli fisika kuantum lainnya menggambarkan hologram itu sebagai realitas
merupakan sebuah sistem yang berlapisan-lapis (Level of Reality). Lapisan-lapisan yang
hologram yang disebut dengan holon (dari whole; totalitas). Holon adalah himpunan dari
parts (bagian-bagian) yang berinteraksi secara sistematis. Arthur Koestler, misalnya,
ketika membahas struktur setiap realitas dan pola hubungannya menyebutkan bahwa
holon tersebut adalah entitas yang kompleks, organisme khusus, yang pada saat bersamaan
adalah individu dan seluruh, di mana setiap bagian berpartisipasi untuk whole.4 Fitur
holon ini menyimbolkan bahwa whole (keutuhan) dan parts (bagian-bagian) tidak
memiliki eksistensi yang terpisah dalam organisme hidup atau dalam organisasi sosial.5
Dalam ungkapan lain, semua yang ada, baik itu organik seperti sel atau tubuh manusia,
atau supra-organik seperti masyarakat atau ekosistem, adalah holons. Ini bermakna bahwa
holons memiliki sifat ganda: yaitu sebagai sistem dan subsistem. Holon merupakan whole
dalam diri mereka sendiri dan pada saat bersamaan menjadi part (bagian) integral dari
whole yang lebih besar.6
Dalam ilmu sosial, individu atau masyarakat tidak lepas dari jaringan yang salingsilang dengan berbagai unsur yang terdapat dalam lingkungan yang amat luas. Karena itu
sistem kompleks adalah sistem yang sulit, yang tidak mungkin untuk membatasi deskripsi
tentang sistem tersebut dengan beberapa parameter atau variabel penyusunnya tanpa
kehilangan sisi fungsional dan esensialnya secara keseluruhan. Proposisi ini menempatkan
individu dan masyarakat sebagai suatu sistem yang kompleks, di mana mereka ditekan
Situngkir, Hokki, Menyambut Fajar Menyingsing Teori Sosial Berbasis Kompleksitas,
Makalah pengantar disampaikan dalam diskusi kerja sama Bandung Fe Institute (BFI) dengan Center
for Strategies and International Studies (CSIS) Jakarta, 5 Juni 2003.
2
Pada tahun 1982 sebuah percobaan tentang circumstances subatomic particles (keadaan
partikel subatom) dilakukan oleh tim peneliti dipimpin oleh Alain Aspect di Institute of Theoretical
and Applied Optics, Paris. Lihat; Talbot, Michael, The Holographic Universe, (London: Harper
Collins Publishers, 1996), p. 52-53.
3
Talbot, Michael, The Universe as A Hologram, http://homepages. ihug.co.nz/~sai/
hologram.html, download: 7 Oktober 2015.
4
Jacobs, Jeremy John, Non-Duality in Ken Wilbers Integral Philosophy: A Critical Appraisal
and Alternative Physicalist Perspective of Mystical Consciousness, Dissertation Submitted in
accordance with the requirements for the degree of Doctor of Theology, University of South Africa,
2009, p. 83-84.
5
Arthur Koestler, The Ghost in the Machine (New York: Macmillan, 1967), p. 48
1
Macy, Joanna, The Holonic Shift and How to Take Part in It, http:// www.joannamacy.
net/the-holonic-shift.html, download:18 Sept. 2015.
4
dari semua sisi, baik oleh lingkungan alam, sosial, budaya, politik, ekonomi, sains dan
teknologi, media informasi, maupun unsur luar lainnya.
Ketika semuanya dipandang sebagai sistem yang kompleks, mau tidak mau --seperti
disebut oleh Cerovac (2009), satu-satunya cara pendekatan yang tepat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan, masalah, dan kondisi sosial yang kompleks adalah transdisipliner.7
2. Segala sesuatunya yang ada di alam raya ini memiliki kesadaran (consciousness) dengan
tingkatan yang berbeda-beda; Pemilik kesadaran tertinggi adalah manusia, kemudian
menyusul di bawahnya secara berurutan mulai dari hewan, tumbuhan, dan matter. Russel
menegaskan, bahwa fakultas kesadaran adalah kualitas dasar alam. Kesadaran tidak
muncul dari beberapa pengaturan tertentu oleh sel-sel saraf atau proses yang terjadi di
antara mereka, atau dari fitur fisik lainnya; kesadaran itu selalu hadir. Di kalangan filosof,
gagasan tentang kesadaran dalam segala yang ada disebut panpsychism, dari Yunani, yang
berarti semua jiwa, ruh atau pikiran. Konsep ruh dan pikiran menunjukkan bahwa
bentuk-bentuk kehidupan sederhana memiliki kualitas kesadaran, tetapi tentu saja hanya
ditemukan pada manusia. Untuk menghindari kesalahpahaman ini beberapa filosof
kontemporer menggunakan istilah pan-experientialism -semuanya memiliki pengalaman,
atau istilah pan-sentience -semuanya hidup.8
Mengingat bahwa manusia merupakan makhluk paling sadar di alam semesta ini,
memberi isyarat bahwa manusia menempati posisi penting sebagai pelaku dan penentu
utama perubahan, termasuk di dalamnya dalam merubah dirinya sendiri dan dunia fisikal
dan sosial yang ada disekitarnya.
3. Segala sesuatunya yang ada di alam raya ini terus mengalami perubahan yang cukup
dinamis, tetapi setiap being memiliki kemampuan autopoeisis, self-regulation atau selforganization, sehingga perubahan itu tidak terjadi secara linear, melainkan secara dinamis
non-linear.
Konsep ini berasal dari teori termodinamika yang menurut teori kuantum tidak
sepenuhnya dapat diterima. Dalam teori kuantum diakui ada dinamika tetapi juga ada
autopoiesis, yang dapat memunculkan suatu kondisi yang tiba-tiba muncul (tak terduga),
sehingga proses dialektis antara entropi, energi dan eksergi sering tidak linear. Atas dasar
itulah Ludwig von Bertalanffy menyatakan, bahwa sel hidup dan organisme bukan pola
statis atau struktur seperti mesin. Ini adalah proses yang berkesinambungan di mana kedua
bahan yang disebut serta zat energi menghasilkan regenerasi. Pembusukan yang terjadi
terus-menerus dan sintesis berjalan secara teratur, namun sel dan organisme tetap
terpelihara secara konstan dalam apa yang disebut steady state. Ini adalah salah satu
misteri yang mendasar dari makhluk hidup; yang meliputi semua karakteristik lain seperti
metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, self-regulation, reproduksi, stimulus-respon,
aktivitas otonom, dan lain-lain.9
Cerovac, Kresimir, "Dialogue between Religion and Science as the Imperative of Time",
Published 2009.05.27, Walnut Street, Suite 1112, Philadelphia, USA. Diunduh tanggal 19 Oktober
2010.
7
Peter Russel, From Science to God: A Physicist's Journey into the Mystery of Consciousness,
http://www.peterrussell.com/SG/ch3.php, download: 4 Sept. 2015.
9
Bertalanffy, Ludwig von, General System Theory: Foundations, Development, Applications,
(New York: George Braziller, Inc., 1968), p. 159.
5
D. Pendekatan Transdisipliner dalam PKM
Bertolak dari paradigma ontologis yang diutarakan di atas, ada beberapa pendekatan
yang perlu diterapkan dalam rangka pelaksanaan PKM perspektif transdisipliner. Pendekatan
dimaksud merujuk pada teori-teori berikut;
1. Teori Kompleksitas; Complexity Theory (Teori Kompleksitas) merupakan pemikiran
altenatif yang muncul di kalangan para ahli sebagai pendekatan altenatif untuk menutupi
keterbatasan paradigma reduksionis dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks.
Para peminat studi kompleks mengatakan, bahwa saat ini sudah muncul berbagai teori
tentang kompleksitas, di antaranya adalah teori kompleksitas (complexity theory) dan
biasanya dikaitkan dengan teori kekacauan (chaos theory). Studi komplesitas merupakan
kajian atau studi terhadap sistem kompleks; sebuah ilmu yang mengkaji totalitas sistem
dinamik secara keseluruhan.
Menurut teori kompleksitas, sistem alam yang terlihat kompleks yang ketidakberaturan (irregularity) itu sebenarnya terdapat suatu keteraturan (regularity). Segala hal
di dunia ini mematuhi suatu aturan tertentu. Aturan-aturan inilah yang bertanggung jawab
dalam membentuk sistem yang besar dan kompleks. Aturan-aturan ini melibatkan hukumhukum yang sederhana. Inilah yang menjadi inti dalam Fisika. Sebaliknya, menurut teori
chaos, sistem alam semesta yang kompleks ini bersifat dinamis, banyak yang tidak bekerja
secara linier dan tidak dapat dipahami melalui system linier. Lebih jauh disebutkan, bahwa
konsep chaos juga menunjukkan sitem alam yag tidak beraturan, kacau, acak atau
kebetulan, sehingga yang terlihat adalah gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip
tertentu. Karena itu, menurut teori chaos, kondisi yang akan datang tidak dapat diprediksi
berdasarkan kondisi awal dan akan banyak peristiwa yang tidak terduga. Walaupun
demikian, system chaotic dapat ditentukan secara matematis, hal ini disebabkan system
chaotic mengikuti hukum-hukumnya sendiri. Hanya saja, karena sifatnya yang tidak
teratur maka dilihat sebagai peristiwa yang acak.
Salah satu pendekatan yang paling sering dikutip dari teori kompleksitas dan teori
chaos ini adalah pendekatan yang dimulai dari "tepi chaos". Asumsinya, bahwa pada
ekstrem yang berlawanan, dalam sistem yang kacau seperti cairan mendidih, sangat
sedikit peluang untuk mengubah. Sistem yang berkembang paling cepat harus jatuh antara,
dan lebih tepatnya di tepi chaos, memiliki rangka tetapi bagian-bagiannya terhubung
cukup longgar, sehingga dapat dengan mudah diubah baik secara tunggal atau dalam
kelompok kecil.10 Dengan demikian, asumsi teori kompleksitas adalah bahwa sesuatu yang
sederhana menciptakan sesuatu yang kompleks. Inilah yang menjadi konsep dasar Teori
Chaos.
Berdasarkan teori ini, suatu komunitas atau masyarakat selalu diasumsikan berada
dalam situasi kompleks. Lalu, bila megacu pada teori systems complexity, perubahan suatu
sistem yang kompleks hanya mungkin dimulai dari tepi chaos. Ibarat memakan bubur
panas, intervensi terhadap suatu komunitas sosial harus dimulai dari bagian yang mudah
dingin, yaitu wilayah pinggiran atau orang-orang tertentu yang memiliki karakter terbuka
terhadap inovasi. Pendekatan ini, tentu saja, menyita waktu yang relatif lama, di mana
Wilson, Edward O., Consilience: The Unity Of Knowledge (New York: Vintage Books A
Division of Random House, INC., 1999), p. 97.
10
6
proses perubahan akan berlangsung dari individu-individu yang mudah dipengaruhi
dengan ide-ide baru.
Sepertinya pendekatan ini berbau reduksionis. Sebenarnya tidak ke sana arahnya,
tetapi dari prinsip quantum yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang besar selalu
berasal dari sesuatu yang kecil dan sederhana. Ternyata sesuatu yang begitu kecil dan
sederhana ini dapat mengakibatkan efek yang besar dan dahsyat. Seperti ungkapan "kecilkecil cabe rawit", sesuatu yang berukuran mikro justru dapat memberi dampak makro.
Sesuatu yang sederhana menciptakan sesuatu yang kompleks. Inilah yang menjadi konsep
dasar Teori Chaos. Semua materi di dunia bisa terbentuk karena adanya. Bagaimana yang
kecil ini bisa menghasilkan sesuatu yang besar dan kompleks?
2. Teori Nonlinear Dynamic; Sejalan dengan teori kompleksitas di atas, sebagai bagian dari
Systems Theory, teori nonlinear dynamic dapat digunakan sebagai tool atau alat untuk
memonitor perkembangan proses kegiatan lapangan. Dalam teori kuantum diyakini bahwa
alam ini bersifat dinamis, dan karena itu terus mengalami perubahan. Pada level
mikrokosmos, perubahan itu tidak bersifat linear --atau seperti yang disebut dalam teori
chaos, banyak perubahan yang tidak mengikuti hukum umum yang berlaku di alam ini.
Sejalan dengan asumsi bahwa masyarakat itu selalu dinamis dan sering tidak linear,
tentu para pelaku PKM tidak boleh terlalu berharap akan perubahan baru persis seperti
yang direncanakan. Di sini paradigma perubahan non-linier menjadi faktor kunci untuk
memahami sistem. Pada konteks ini teori nonlinear dinamic memandu pelaksana lapangan
untuk memperhatikan hal-hal yang tidak normal, yang melenceng dari garis
perkembangan, dan sebagainya.
Penerimaan terhadap teori dinamika non-linear meniscayakan pentingnya
menemukan hal-hal tak terduga yang muncul dari khalayak sasaran. Di sini perlu
memahami bagaimana masyarakat berevolusi dengan menggunakan beberapa lensa
(metode) untuk mengamati lebih dari satu periode posisi dan waktu. Metode studi kasus
sangat berguna dalam mengidentifikasi hal-hal tak terduga ini, baik melalui pengamatan
maupun wawancara.
Hal-hal tak terduga perlu pendalaman lebih lanjut. Hal-hal tak terduga itu adakalanya
disengaja oleh anggota organisasi/ masyarakat untuk tujuan yang lebih bermanfaat
(menurut mereka), tetapi adakalanya merupakan sesuatu yang tidak disengaja. Pelaksana
lapangan harus berhati-hati untuk tidak menerima penjelasan yang dinormalisasi yang
pada awalnya sesuatu yang tak terduga. Selain itu, pelaksana lapangan harus
memposisikan gangguan sebagai kesempatan, bukan sebagai ancaman atau penghalang.
Sebab, boleh jadi apa yang mereka lakukan justru lebih mempercepat perubahan ke arah
yang lebih baik.
3. Teori Kesadaran; Dalam Living Systems Theory ditegaskan bahwa setiap being memiliki
kesadaran (consciousness), dan manusia adalah makhluk paling sadar di alam ini.
Kesadaran adalah hidup itu sendiri, esensi dari empati, dan pondasi moral. Rene Descartes
menyatakan: keadaran adalah hal yang paling hakiki dalam diri manusia.
Walau disebut bahwa manusia memiliki kesadaran paling tinggi, namun pada
dasarnya kesadaran itu baru merupakan potensi yang tersembunyi (latent). Tidak setiap
being, khususnya manusia, menyadari potensi diri ini. Oleh karena itu, potensi latent ini
masih perlu dibangkitkan. Dengan kata lain, orang perlu disadarkan atas kesadaran yang
dimilikinya. Kesadaran atas kesadaran inilah yang disebut awareness.
7
Teori kesadaran ini cukup penting bila dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam
kegiatan PKM. Pertama, PKM sebaiknya bertumpu pada manusia sebagai pemilik
kesadaran tertinggi, karena manusia itulah yang akan menggerakkan perubahan. Kedua,
kegiatan PKM diawali dari upaya menghidupkan awareness dari orang-orang yang ada
dalam masyarakat. Aspek kesadaran itu tentu amat banyak sekali, tetapi dalam konteks
PKM, upaya menghidupkan kesadaran itu diarahkan untuk empat berikut; (a) mengenali
masalah-masalah mereka hadapi berdasar skala prioritas, (b) mengetahui potensi sosial,
ekonomi, budaya, dan seterusnya yang mereka miliki, (c) memahami keuntungankeuntungan yang mereka peroleh bila dilakukan perubahan; dan (d) memahami bagaimana
cara mengaktualkan potensi yang mereka miliki sehingga dapat merubah keadaan mereka
ke kondisi yang lebih baik.
4. Teori Autopoietic; Teori ini menegaskan bahwa entropi atau negentropi (pengaruh negatif
atau positif) yang datang dari luar tidak begitu saja dapat merubah suatu entitas atau
realitas ke arah yang diinginkan. Sebab, menurut teori autopoiesis, dalam setiap living cell
terdapat energi untuk mempertahankan dirinya dan kemudian menjelma dalam bentuk
lain.
Berdasar teori ini ada dua faktor penting yang perlu mendapat perhatian dalam kegiatan
PKM; (a) faktor entropi-negentropi (pengaruh-pengaruh negatif dan postif) yang datang
dari luar yang sudah atau sedang menerpa suatu komunitas; dan (b) faktor energi (potensi
internal) yang dimiliki oleh individu atau komunitas yang membuat mereka terus
mempertahankan atau mau merubah kondisi mereka. Untuk menghadapi hal pertama,
pendekatan PKM harus memberi obat penawar yang membuat masyarakat terproteksi dari
pengaruh dari faktor entropi-entropi negatif. Sedangkan untuk hal kedua, perlu pendekatan
spesifik yang dimulai dari pengenalan jenis, sifat dan kekuatan energi yang dimiliki
masyarakat, agar diketahui dari mana titik masuk ke dalam sistem sehingga energi tersebut
dapat didayagunkan untuk hal-hal positif yang dapat diterima oleh mereka.
E. Metode-metode PKM Perspektif Transdisipliner
Kementerian Agama telah merumuskan kegiatan PKM yang diterapkan PTKIN
meliputi 5 (lima) kategori berikut; (1) pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
(2) penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (3) penerapan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, (4) pemberian bantuan kepada masyarakat dalam mengidentifikasi dan
memecahkan masalah yang sedang dihadapi, dan (5) pemberian jasa pelayanan professional.
Ketentuan ini bermakna bahwa, dharma Pengabdian kepada Masyarakat menempatkan
PTKIN menjadi knowledge factory, knowledge provider, and knowledge reconfiguration
agent, dalam usaha pemberdayaan masyarakat menuju terciptanya masyarakat madani,
demokratis dan sejahtera. Pada konteks ini UIN Sumatera Utara coba memetakan model
pengabdian yang seiring-sejalan dengan pendekatan transdisipliner ke dalam beberapa bentuk
kegiatan berikut ini.
1. Parsipatory Action Research (PAR)
Parsipatory Action Research atau Riset Aksi Partisipatoris adalah satu metode
pengabdian masyarakat yang memadukan antara kegiatan penelitian/riset dan pemberdayaan
masyarakat. Menurut Stringer, Riset Aksi adalah pendekatan sistematis untuk penyelidikan
8
yang memungkinkan orang untuk menemukan solusi yang efektif terhadap masalah yang
mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.11 Sedangkan Riset Aksi Partisipatoris (PAR)
adalah suatu riset yang melibatkan semua pihak terkait dengan kegiatan mendefinisikan
masalah, mengembangkan pertanyaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan
menyiapkan rekomendasi. PAR adalah penelitian "bottom up", "dalam ke luar", kemitraan
antara evaluator, praktisi, dan para pemangku kepentingan lainnya, termasuk mereka yang
memegang posisi resmi dari otoritas.12
Dengan demikian, PAR merupakan sebuah pendekatan pendampingan masyarakat
yang menempatkan anggota masyarakat sebagai pelaku utama. Ini merupakan penciri PAR
yang berbeda dengan pendekatan pembangunan (development) dan penelitian pada
umumnya. Jika dalam development dan riset konvensonal, sasaran penelitian dijadikan
sebagai obyek yang harus mengikuti semua yang diinginkan pemerintah/peneliti, maka dalam
riset aksi partisipatoris (PAR) sasaran penelitian diperlakukan sebagai subyek yang ikut
terlibat dalam kegiatan penelitian pemberdayaan. Dalam pendekatan PAR ada kesejajaran
peran dan tanggungjawab dari peneliti sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai kelompok
sasaran.
Menurut Dick (2002) penelitian tindakan (PAR) dilaksanakan dengan cara siklus yang
ditandai dengan tindakan yang mengarah ke refleksi kritis dan kemudian mungkin
dilanjutkan dengan tindakan. Saat ia mengatakan: "Jadi tindakan diikuti oleh refleksi kritis:
Apa yang sudah bekerja, dan apa yang tidak bekerja serta apa pula pelajaran yang diperoleh
dari situ? Lalu bagaimana kita bisa melakukannya pada waktu berbeda berikutnya.
Selanjutnya: 'Refleksi diikuti dengan tindakan. Pemahaman dicapai berdasar kesimpulan
yang ditarik, rencana dikembangkan, lalu diuji dalam aksi'.13
Bila disederhanakan, tahap-tahap kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan
pendekatan PAR adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah; Kegiatan ini dapat dilaksanakan dengan focus group discussion
(FGD), problem tree, community mapping, wawancara mendalam, dan kunjungan
lapangan.
2. Perencanaan aksi; Kegiatan ini dilaksanakan dengan diskusi bersama masyarakat.
3. Aksi atau Tindakan; yaitu melaksanakan apa yang sudah direnanakan.
4. Rekleksi; yaitu mereview apa yang sudah dan belum dikejakan, bagaimana hasil yang
dicapai, apakah sudah efektif, dan jika tidak apa kekurangannya dan bagaimana cara
memperbaikinya. Dalam refleksi ini diulang kembali kegiatan 1, 2 dan 3 (identifikasi
masalah, penyusunan rencana, dan dilanjutkan dengan aksi).
5. Evaluasi akhir; Pada akhir kegiatan penting dilakukan evaluasi askhir. Tujuan dari
evaluasi ini adalah untuk mengetahui hasil yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan
tersebut. Pada kegiatan evaluasi akhir ini dilaksanakan dalam bentuk diskusi. Di sini,
peneliti/fasilitator mengajak beberapa anggota masyarakat untuk menyampaikan
Crane, Phil and Maureen ORegan, Using Participatory Action Research to Improve Early
Intervention, (Department of Families, Housing, Community Services and Indigenous Affairs,
Australian Government, 2010), p. 1.
12
Craig McGarvey, Participatory Action Research Involving All the Players in Evaluation and
Change, GrantCraft; Practical Wisdom for Grantmakers, p. 1.
13
Costello, Patrick J. M., Action Research, (London: Continuum, 2003), p. 7.
11
9
pendapatnya tentang kegiatan yang sudah selesai dilaksanakan, dan kemudian disusun
dalam bentuk laporan.
6. Penulisan Laporan; Peneliti harus mempersiapkan laporan dari kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Laporan adalah karya akademis yang disusun berdasarkan
tahapan-tahapan kegiatan PAR. Laporan ini disusun oleh peneliti untuk setiap jenis
kegiatan.
2. Aset-Based Community Development (ABCD)
ABCD merupakan cabang yang relatif baru dari pendekatan untuk pembangunan
partisipatif. Selain berbasis masyarakat, ABCD berkaitan dengan cara menghubungkan aset
mikro dengan lingkungan makro. Ciri utama yang menandai ABCD adalah berfokus pada
kekuatan dan kapasitas masyarakat lokal. Ia bersandar pada keyakinan bahwa pembangunan
berkelanjutan muncul dari dalam masyarakat, bukan dari luar. Lebih dari, daya tarik ABCD
terletak pada premis bahwa masyarakat dapat mendorong proses pembangunan dengan
mengidentifikasi dan memobilisasi aset yang ada pada diri mereka, tetapi aset itu sering
belum disadari.14 Itulah alasannya mengapa pendekatan ABCD ini disebut sebagai
pengembangan masyarakat berbasis aset.
Asumsi yang dianut ABCD adalah bahwa warga yang ingin mengembangkan
komunitas mereka dan berminat untuk mendapatkan gerakan menuju perubahan secara
berkesinambungan, cenderung mulai dari dalam. Mulai dari dalam, dengan "apa yang Anda
miliki", adalah inti dari inisiatif warga yang terpimpin. Filosofi ABCD menyatakan: "Anda
tidak tahu apa yang Anda butuhkan sampai Anda tahu apa yang Anda miliki".
Asumsi lain yang dianut ABCD adalah bahwa melihat potensi dan kelebihan yang
dimiliki setiap masyarakat lebih baik daripada melihat kekurangan atau kelemahannya. Ibarat
sebuah gelas yang terisi setengahnya dengan air dan setengahnya dengan udara, masyarakat
seharusnya dilihat dari bagian yang terisi, bukan pda bagian yang kosong. Jadi, kita harus
melihat dari segi potensi mereka, bukan sekedar asumsi terhadap apa yang mereka
butuhkan. Bagian yang berisi yang berupa potensi inilah yang penting diaktualkan. Berdasar
pemikiran inilah kemudian ABCD menempatkan warga masyarakat --sebagai pemilik aset-menjadi bagian dari tindakan, bukan sebagai klien atau penerima bantuan, tetapi sebagai
kontributor penuh untuk proses pembangunan masyarakat.15
Hal-hal yang termasuk kategori aset atau potensi lokal menurut ABCD adalah;
a. Individu: bakat dan keterampilan masyarakat setempat.
b. Asosiasi: Grup informal yang lokal dan jaringan hubungan yang mereka wakili.
c. Institusi: lembaga, badan profesional dan sumber daya yang mereka pegang.
d. Infrastruktur dan aset fisik: tanah, properti, bangunan, peralatan.
e. Aset Ekonomi: pekerjaan produktif individu, daya beli konsumen, ekonomi lokal, aset
bisnis lokal.
14
10
f. Aset Budaya: tradisi dan cara mengetahui dan melakukan kelompok yang hidup di
masyarakat.16
Pengembangan masyarakat berbasis aset dikenal sebagai metode untuk melibatkan
khalayak yang beragam di sekitar masyarakat. Prinsip-prinsip dan praktek-praktek penting
dalam pendekatan ABCD meliputi:
1. Prinsip: berpusat pada orang atau penduduk setempat, berbasis aset, terfokus pada
kearifan lokal, bottom up atau berorientasi akar rumput.
2. Praktek: pemetaan aset (identifikasi berbagai jenis aset lokal) dan mobilisasi aset
(mengorganisir warga untuk menggunakan aset mereka untuk mengatasi isu-isu
lokal).
Karena pengembangan masyarakat berbasis aset di mana penduduk lokal menjadi aset
utama, di sini tidak ada metode atau model tunggal yang dapat dilatihkan dalam pendekatan
ABCD ini. Sebaliknya, setiap komunitas mendesain dan mengimplementasikan pekerjaannya
berdasarkan visi masing-masing dan kemudian berkembang untuk masa depan yang lebih
sehat. Ketersediaan aset itulah yang mendorong masyarakat untuk bertindak. Proses seperti
ini akan berlanjut secara siklus, mulai perumusan rencana, aksi dan evaluasi. Dalam siklus
itu, keterlibatan warga akar rumput biasanya bekerja paling baik ketika orang dapat
mengambil tindakan rutin yang menghasilkan perubahan kecil tapi nyata di masyarakat.17
Tugas fasilitator dalam pendekatan ABCD adalah memobilisasi masyarakat. Ini
dilakukan melalui relasi sosial dan disekati dengan dua cara: Pertama, menemukan apa yang
jadi perhatian masyarakat yang mendorong mereka untuk bertindak di komunitas lokal? Apa
yang membuat orang berkomitmen untuk bertindak? Temukan motivasi untuk bertindak
melalui pembelajaran percakapan di masyarakat. Apa motivasi untuk bertindak? Apa tujuan
kolektif yang memicu banyak orang pada lingkaran luas untuk mau bertindak bersama-sama?
Kedua, menemukan dan melibatkan para pemimpin tertentu sebagai konektor (yaitu orang
yang merupakan pemimpin, dalam arti masyarakat yang berarti orang kepercayaan,
berpengaruh, dan memiliki kemampuan untuk mengajak orang), dan kemudian membentuk
kelompok pemimpin konektor. Ini adalah kelompok inti dalam upaya melahirkan tindakan
kolektif yang dapat menggunakan koneksi dan kemampuan mereka untuk mengajak
masyarakat setempat untuk bekerja sama. Jadi, ABCD berorientasi pada pengorganisasian
masyarakat; prinsip dan praktek untuk membawa orang pada suatu komitmen untuk
melakukan tindakan kolektif terhadap apa yang benar-benar menjadi keperihatinan banyak
orang.18
Dalam melaksanakan pengembangan ada beberapa kegiatan yang perlu dilaksanakan
sebagai dasar pertimbangan awal pegembangan;
1. Dapatkan fakta. Cari tahu dari internet, pemetaan, kantor kota atau perencanaan
daerah, hasil sensus, dan sebagainya. Cari tahu tentang setiap perusahaan potensial
Susan A. Rans, Hidden Treasures: Building Community Connections by Engaging the Gifts
of, (Evanston: A Community Building Workbook From ABCD Institute, 2005), p. 2.
17
Barbara J. Zappia, MPA & Deborah L. Puntenney, Ph.D, .Grassroots Activism And
Community Health Improvement, Manuscript prepared for the annual meeting of the Society for the
Study of Social Problems, Atlanta, 2010, p. 12.
18
Mike Green, ABCD Institute, What Is The Essence Of ABCD?, Mike Green, Engaging
Communities, http://www.mike-green.org/essence_of_abcd.php printable version , dowload: 3
Oktober 2015.
16
11
yang terlibat. Lalu merakit fakta dalam format user-friendly untuk digunakan
masyarakat.
Cari tahu apa yang diinginkan masyarakat. Mengembangkan proses perencanaan
menggunakan peluang yang ada di mana orang berkumpul (gereja, asosiasi daerah)
berbagi informasi latar belakang, menggunakan media mana yang sesuai. Survei
door-to-door dan wawancara kadang-kadang memungkinkan untuk mencapai orangorang yang tidak mau keluar untuk pertemuan.
Mengidentifikasi peran Organisasi Berbasis Masyarakat ingin atau harus bermain.
Melihat aset, kekuatan, dan sumber daya dari ormas, mengidentifikasi peran yang
tepat bagi pengurus organisasi dan mitra lainnya.
Mengidentifikasi tokoh penting; Mengidentifikasi pemain kunci dan orang-orang di
dalamnya, dan mulai berkomunikasi dengan mereka. Mengidentifikasi apa yang dapat
mereka bantu dan mencoba untuk mendorong mereka untuk membantu.
Mengidentifikasi kepentingan bersama, dan memenangkan peluang. Lebih baik untuk
memiliki sekutu dan rekan, dan mencoba untuk bekerja dengan politisi lokal dan
departemen pemerintah sebelum bergerak maju.
Kunjungi model lainnya; Kunjungan ke wilayah di mana kelompok telah berhasil
yang melakukan hal yang serupa cukup penting. Pastikan untuk menyertakan
sejumlah orang dalam kelompok Anda dalam kunjungan lapangan. Kunjungan
tersebut akan memperkuat kelompok, ide semakin terbuka, karena berbagi belajar
dari orang lain.
Beralih ke tindakan; Tidak selalu sederhana atau mudah untuk menentukan apa peran
ormas dalam pengembangan, tetapi penting untuk bergerak ke dalam tindakan. Faktor
eksternal dapat mengatur jadwal, terutama pada saat-saat masukan kritis seperti
sidang terbatas, kajian lingkungan, dan lain-lain.19
2.
3.
4.
5.
6.
12
konseling, konselor berperan sebagai fasilitator untuk membantu seseorang agar ia
menemukan identitas dirinya sendiri sebagai pribadi sekaligus memupuk perasaannya
sebagai orang yang berharga dan memiliki tanggungjawab. Dari definisi ini diketahui,
bahwa tujuan konseling adalah membantu klien untuk mengembangkan dirinya atau agar
mampu melakukan perubahan secara konstruktif terhadap dirinya melalui keputusan yang
bertanggungjawab.
Etos dominan dalam konseling adalah memfasilitasi. Kegiatan memfasilitasi klien ini
dapat dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa orang konselor, dan akan lebih
baik jika terdiri dari berbagai keahlian, atau dengan pendekatan transdisipliner. Sejatinya,
model transdisipliner sudah dipraktekkan sejak tahun 1990-an di Washington oleh National
Collaborative Infant Project. Sasaran utama kegiatan konseling waktu itu fokus kepada bayi
yang mengalami sindrom (infant with down's syndrome) dengan melibatkan keluarga sebagai
patner dalam pelayanan. Bila persoalan penyimpangan kejiwaan (neurosis) dilihat dari
paradigma complexity, maka persoalan kejiwaan tidak dapat dilihat sebagai masalah
sederhana, karena di dalamnya terdapat multi-faktor yang menjadi penyebabnya. Dari itu
konseling model transdisipliner sudah selayakya diperluas sasarannya ke kalangan usia anakanak, remaja dan dewasa.
Ciri penting yang menandai pelayanan konseling model transdisipliner adalah
sharing peran melintasi batas-batas disiplin sehingga tercipta komunikasi, interaksi, dan
kerjasama yang maksimal antara anggota tim. Suatu tim transdisipliner ditandai dengan
komitmen anggotanya untuk mengajar, belajar, dan bekerja sama melaksanakan layanan
secara terkordinasi. Hasil utama dari pendekatan transdisplin adalah pengembangan visi
bersama atau "makna bersama" antara tim, dengan keluarga dianggap sebagai anggota kunci
dari tim.21
Hal fundamental dari model transdisipliner ini bertolak dari dua keyakinan: (a)
perkembangan anak harus dipandang sebagai yang terintegrasi dan interaktif dan (b) anakanak harus disajikan dalam konteks keluarga. Karena keluarga memiliki pengaruh terbesar
pada pengembangan anak-anak mereka, keluarga dipandang sebagai bagian dari tim
transdisipliner dan terlibat dalam menetapkan tujuan dan pengambilan keputusan program
untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Semua keputusan mengenai hasil analisis,
perencanaan program, pelaksanaan, dan evaluasi dibuat atas dasar konsensus tim. Meskipun
semua anggota tim berbagi tanggung jawab untuk pengembangan rencana layanan, itu
diambil dari keluarga dan anggota tim lain yang ditunjuk sebagai penyedia layanan utama.22
Pendekatan transdisipliner mengasumsikan bahwa semua anggota tim (termasuk
orang yang bermasalah dan keluarganya) berkontribusi terhadap rencana intervensi.
Karakteristik tim transdisipliner meliputi:
saling ketergantungan di seluruh disiplin ilmu dan dengan konsumen;
intervensi terpadu dengan penekanan pada pengaturan secara alamiah;
tujuan fungsional;
King, Gillian, et.all., The Application of a Transdisciplinary Model for Early Intervention
Services, in Infants & Young Children, Vol. 22, No. 3, 2009 (Wolters Kluwer Health | Lippincott
Williams & Wilkins), p. 211-212.
22
Woodruff, Geneva & McGonigel, Mary J., "Early Intervention Team Approaches: The
Transdisciplinary Model", (Information Analyses - ERIC Information Analysis Products -- Reports Research/Technical), p. 143.
21
13
14
bukanlah untuk menambah "ketakutan", melainkan sebuah pendekatan baru yang lebih
menekankan pada solusi. Ide, konsep, teori, dan metode yang dirumuskan oleh para ahli
transdisipliner lebih berorietasi pada pencarian solusi terhadap masalah-masalah mendasar
yang dihadapi umat manusia di akhir abad 20 dan awal abad 21 ini.
UIN Sumatera Utara, yang menetapkan transdisipliner sebagai pendekatan utama
dalam proses integrasi pengetahuan, amat layak mengembangkan kegiatan-kegiatan
pengabdian dengan pendekatan transdisipliner. Dalam hal ini, UIN Sumatera Utara tidak
dapat disebut sedang melintasi jalan gelap, karena sudah banyak universitas dan lembaga
Nasional dan Internasional yang mengembangkan konsep dan menerapkan transdisipliner
dalam memberi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Pemikiran itu mencakup aspek
yang cukup luas, mulai filsafat, pendekatan, metode sampai teknik pelaksanaannya.
Pertanyaannya kemudian adalah; Apakah konsep-konsep yang ditawarkan dalam
tulisan ini sudah waktunya diterapkan? Lalu bagaimana pengembangan dan perkembangannya ke depan? Wallohu 'alam bi ash-showab.