Anda di halaman 1dari 19

TAFSIR ALQURAN SYED AHMAD KHAN;

Studi Analisis dari Perspektif Hermeneutik

Makalah Perbaikan
Mata Kuliah Hermeneutika
Program Studi S3 Agama dan Filsafat Islam

Disusun oleh: Parluhutan Siregar

Dosen Pembimbing
Dr. Yusuf Rahman

PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
TAFSIR ALQURAN SYED AHMAD KHAN;
Studi Analisis dari Perspektif Hermeneutik

Parluhutan Siregar

A. Pendahuluan
Syed Ahmad Khan (1817-1898) adalah seorang pembaru Islam di Anak-benua
India. Pembaruan Khan meliputi banyak aspek, terutama di bidang politik, sosial,
pendidikan, dan pemikiran keagamaan. Karena pemikiran dan usaha-usahanya, Khan
dijuluki Bapak Pembaruan Islam India dan Bapak Tafsir Modernis.
Pemikiran keagamaan Ahmad Khan didasarkan pada prinsip-prinsip pengetahuan
modern. Pengetehuan modern tersebut digunakan untuk menafsirkan kembali ajaran
Islam dan memahami konsep Alquran. Dengan kesungguhan yang luar biasa, ia
berusaha mempertemukan ajaran Islam dengan perkembangan kontemporer, dan
mempublisnya melalui media publikasi dan pendidikan. Karena kepiawaian, keberanian
dan ketegasannnya melakukan pembaruan membuat Khan sebagai sosok yang sempurna
bagi upaya modernisasi. Kebesarannya tidak hanya terekam dari pemikiran dan
gerakannya yang unik dan luar biasa, tetapi juga pada kemampuannya mendorong dan
menyumbangkan kemajuan bagi orang lain.
Metode penulisan Ahmad Khan terhadap kitab Tafsir Alquran menarik untuk
dikaji ulang. Isi kitab tafsir ini tergolong “ganjil”, karena menyimpang dari tradisi
penulisan kitab-kitab tafsir Alquran sebelumnya. Penafsiran Ahmad Khan terhadap ayat
Alquran banyak dipengaruhi oleh sains, sehingga dengan sangat jelas merefresentasikan
pemikiran pemikiran modern, dan metodenya pun berbeda dengan metode tafsir
lainnya. Para ahli kontemporer menggolongkan metode penulisan kitab Tafsir Khan ini
ke dalam kelompok hermeneutik. Fakhruddin Faiz menyebut Khan sebagai tokoh Islam
yang menggeluti kajian Hermeneutika sejajar dengan tokoh lainnya di India, seperti,
Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves. Alasannya, kitab tafsir Ahmad Khan berusaha
melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Alquran yang dianggap bersifat
mitologis.1
Mengingat peran Ahmad Khan yang besar dalam usaha pembaruan, pembahasan
mengenai penafsiran Alquran menjadi semakin penting dikaji ulang. Aspek-aspek yang
1
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta:
elSAQ, 2005), h. 14-15.
2
perlu diungkap tersimpul pada tiga pertanyaan berikut; “Bagaimana cara-cara
penafsiran Alquran dengan memanfaatkan sains modern dilihat dari kacamata
hermeneutik”?

B. Mengenal Syed Ahmad Khan


Ahmad Khan lahir pada tahun 1817 di Delhi. Ia dibesarkan dalam keluarga yang
taat beragama. Dari pihak ayah, Muhammad Muttaqy, keluarga Khan masih memiliki
hubungan geneologis dengan Husein –cucu Nabi Muhammad. Moyangnya berasal dari
Iran yang pindah ke Delhi pada masa pemerintahan Akbar Syah. Atas dasar hubungan
geneologis ini keluarga Ahmad Khan digelari “Sayyid”.2
Ahmad Khan dapat disebut seorang otodidak, karena tidak ada satu jenis
pendidikan formal pun yang benar-benar diselesaikannya. Pengetahuan agama tradisional,
seperti Alquran, Bahasa Arab dan Parsi, yang dipelajari dari ibunya dan Syekh Ghulam
Ali, seorang pemimpin tarikat mujaddidi yang cukup disegani, tidak sampai pada
tingkat mahir. Ia beralih ke pengetahuan umum, seperti matematika dan astronomi,
tetapi juga tidak ditekuni secara intensif dan hanya berlangsung beberapa waktu.3
Pengetahuan lain diperoleh Khan ketika bekerja sebagai pegawai pemerintah. Selama 8
tahun di Delhi, Khan banyak bergaul dengan para pemuka Muslim India, seperti Ghalib
(sasterawan), Maulvi Wilayat Ali, Maulvi Inayat Ali dan Maulvi Abdullah (para pembaru,
pengikut Syah Waliyullah), Nawab Ahmad Baksh dan Nawab Aminuddin (negarawan),
Mahmud Khan (hakim) serta Nawab Mushthafa Khan (ilmuwan)4. Pergaulan ini
menumbuhkan kesadaran baru bagi Khan atas keterbatasan ilmunya, sehingga ia merasa
perlu menyempurnakannya. Dari kesadaran itu, Khan semakin mencintai pengetahuan dan
terus belajar, sampai ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan sekaligus
mengangkat posisinya menjadi seorang intelektual.

2
Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadis, (Qohiroh: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyyah, 1979), h. 133. John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern
Islamic World, (New York: University Press, 1995), p. 57.
3
John L. Esposito, The Oxford…., p. 57.
4
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan,
1995), h. 56-57.
3
Pada tahun 1869 Ahmad Khan mendapat kesempatan berkunjung ke Inggris5.
Kunjungan sekitar 17 bulan tersebut ternyata cukup banyak membentuk pemikirannya.
Berbabagai kemajuan yang dilihat Ahmad Khan di negara Inggris membuka mata dan
hatinya atas kondisi sumber daya manusia di negerinya yang berada jauh di bawah
bangsa Eropa. Kesadaran itulah yang mendorong Khan mengambil keputusan untuk
melakukan moderniasasi di India.6 Keputusan ini membentuk gagasan dan aktifitasnya
pada masa-masa selanjutnya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1898.

C. Pembaruan Ahmad Khan


Setidaknya ada tiga tahapan penting --dalam perjalanan hidup Ahmad Khan--
yang dapat digunakan untuk menganalisis corak pemikirannya dalam pembaruan. Ketiga
tahapan dimaksud adalah periode sebelum peristiwa mutiny7, periode pasca mutiny, dan
periode setelah kunjungan ke Inggris.
Sebelum mutiny (revolusi) tahun 1857, pemikiran Ahmad Khan masih menggam-
barkan corak ketimuran dan belum terpengaruh oleh pemikiran dan budaya Barat
modern. Tulisan-tulisannya pada waktu itu lebih menonjolkan bidang sastera atau sains-
sains Islam abad pertengahan. Gagasan-gagasan keagamaan yang ditawarkan juga lebih
menonjolkan upaya-upaya pemurnian agama, yang lebih-kurang sejalan dengan
pandangan kaum Wahhabi.8 Pasca mutiny, Ahmad Khan mulai memperlihatkan corak
pemikiran dan sikap berbeda dari mainstrem ulama dengan memperkenalkan ilmu-ilmu
modern; suatu pengetahuan yang masih dianggap “merusak”9 oleh kaum ulama konservatif.
5
Menurut Abul Hasan al-Nadwi, kunjungan Ahmad Khan ini sampai ke Prancis serta
bersama Ferdinand De Lesseps melakukan perjalanan ke Terusan Suez. Pada saat ini pula
pemerintah Inggris memberikan gelar C.S.I (Sir) kepada Ahmad Khan. Lihat Ali Nadwi,
Western Civilization Islam and Muslim, terjemahan Inggris oleh Mohammad Asif Kidwal,
(Lucknow: Academy of Islamic Research and Publications, edisi ke-3, 1978), h. 68-69.
6
W. C. Smith, Modern Islam in Idia: A Social Analysis, (New Delhi: Usha Publications,
1979), p. 11.
7
Peristiwa mutiny (pemberontakan Sepoy) pada 1857 merupakan masa kritis yang
membawa perubahan besar bagi jalan hidup Ahmad Khan. Pada saat pemberontakan terjadi,
Khan dengan tegas mengecam para pemeberontak dan ia bertindak sebagai pelindung orang-
orang Inggris. Lebih jauh, Khan berusaha untuk meyakinkan pemerintah Inggris
ketidakterlibatan umat Islam dalam gerakan revolusi, dengan mengungkapkan beberapa nama
orang Islam terkemuka yang memihak pada Inggris. Dalam buku “The Causes of the Indian
Revoll” (1859), Khan menjelaskan bahwa, jika ada orang-orang Islam yang terlibat dalam
pemberontakan, maka hal itu adalah karena kebodohan. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, cet.2, 1995), h. 166-167; A.
Mukti Ali, Alam Pikiran…, h. 60-61; Ahmad Amin, Zu’ama…, h. 134;
8
W. C. Smith, Modern Islam… h. 9.
9
Ahmad Amin, Zu’ama…., h. 130.
4
Periode ketiga ditandai dengan kesungguhan Ahmad Khan untuk memodernisasi
pemahaman ajaran Islam dengan menggunakan pendekatan rasional dan empiris.

D. Paradigma dan Metode Penafsiran Alquran


Karya-karya tafsir ditulis Ahmad Khan setahun setelah didirikannya Aligarh College.
Pada dasarnya, Ahmad Khan tidak secara khusus mempersiapkan sebuah kitab tafsir
yang lengkap, melainkan hanya memilih beberapa tema yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang dianggapnya penting pada masanya. Masalah-masalah dimaksud
berkaitan dengan fenomena alam, dan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah dasar umat
Islam, serta hubungan Muslim-Nonmuslim. Semua tema itu ditulis dalam bentuk esei,
kemudian dikoleksi menjadi kitab, baik dalam bentuk kumpulan esei maupun dalam
bentuk Kitab Tafsir.10
Tulisan-tulisan Ahmad Khan yang berkenaan dengan penafsiran Alquran dapat
dikelompokkan pada tiga kategori; (1) karya tulis yang membahas tentang prinsip-prinsip
dan pendekatan dalam penafsiran; (2) karya tulis yang menafsirkan Alquran secara
fragmentaris sesuai topik-topik tertentu; dan (3) karya tulis yang menafsirkan Alquran
khusus surat-surat tertentu secara lengkap. Dengan demikian, jika ingin mendalami
pikiran-pikiran Ahmad Khan berkaitan dengan penafsiran Alquran harus dirujuk pada
tiga kategori karya tulis tersebut.
Karya kategori pertama ditulis Ahmad Khan dalam bentuk artikel yang kemudian
menghasilkan sebuah antologi mengenai prinsip-prinsip tafsir Alquran. Kumpulan
artikel ini diberi judul “Tahrir fi Ushul at-Tafsir” (1892). Kehadiran Tahrir bermula
dari korespondensi Khan dengan Muhsin al-Muluk Mahdi Ali Khan, seorang sahabat
dekatnya, yang banyak tidak setuju dengan metode penafsiran Alquran yang diterapkan
Ahmad Khan.11 Prinsip-prinsip dasar yang ditulis Khan dalam Tahrir dinilai cukup
penting dalam memahami argumentasinya menafsir Alquran dengan cara-cara yang tidak
lazim.

10
Amal, Taufik Adnan, Ahmad Khan: Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h.
79.
11
1
Tafsir Ahmad Khan dipublikasikan secara berangsur-angsur. Ia mulai menulis tafsir tahun
1879 dan berakhir tahun 1898. Tafsir Ahmad Khan tidak hanya mendapat resistensi dari kaum ulama
ortodoks, tetapi juga dari sahabatnya sendiri Nawab Muhsin al-Mulk. Dengan sahabatnya Khan
berpolemik melalui korespondensi, yang kemudian kumpulan tulisan itu menghasilkan sebuah kitab.
Kumpulan tulisan tentang prinsip tafsir ini dipublikasikan pada 1892 dengan nama Tahrîr fi’l-Usûl
al-tafsîr. Lebih lanjut lihat; Troll, C.W. (1979), Sayyid Ahmad Khan: A Reinterpretation of
Muslim Theology, Oxford University Press, Karachi.
5
Karya tafsir Ahmad Khan kategori kedua ditulis dalam Tahzib al-Akhlaq yang terbit
berseri secara periodik. Karya-karya Khan dalam terbitan serial ini belakangan dikodifikasi
menjadi kumpulan tulisan diberi nama “Maqalat Sir Syed” sebanyak 16 volume. Setiap
volume dari buku antologi ini memuat tulisan-tulisan yang berdekatan topik atau temanya.
Sedangkan karya tafsir Khan dalam bentuk lain adalah tulisan-tulisan yang secara khusus
menerjemahkan dan menafsirkan surat-surat tertentu dari 114 surat Alquran. Forrmat
penulisan karya tafsir ini dimulai dari pengantar awal pada setiap surat, teks ayat Alquran,
terjemah, dan komentar (lihat gambar). Terjemah dan komentar Ahmad Khan menggunakan
bahasa Urdu dengan tulisan tangan. Usaha ini berlangsung sekitar 9 tahun sampai akhir
hayatnya dan menghasilkan 2 buah Kitab Tafsir (Juz I dan Juz II), atau 7 volume yang
diberi nama Tafsir Al-Qur'an wa Huwa al-Hudâ wa al-Furqân.
Gambar: Contoh Format Penulisan Kitab Tafsir Ahmad Khan

Paradigma Penafsiran; Ahmad Khan mendasari penafsirannya terhadap Alquran


dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam secara mutlak tidak bertentangan dengan hukum

6
alam. Mengenai prinsip ini, sejak awal, Ahmad Khan telah mendeklarasikan bahwa
alam dan Alquran sama-sama hasil kreasi Allah; alam merupakan hasil kerja-Nya
sedangkan Alquran merupakan kalam-Nya. Atas dasar itu tidak akan ada kontradiksi
antara sicience modern dengan firman Allah yang terdapat Alquran. Prinsipnya adalah:
“The word of God (Alquran) must be in harmony with the work of God (nature)”.
Alquran adalah kalâm Allah, sedangkan hukum alam adalah hasil perbuatanNya
(Nature is the “Work of God” and the Qur’ân is the “Word of God”). Atas dasar itu dapat
dipastikan bahwa mustahil terjadi pertentangan antara perkataan dan perbuatan-Nya
sendiri,12 atau tidak ada kontradiksi antara pernyataan Alquran dengan sains modern.13
Idealnya, alam (empiris), rasio dan Kalâm Allah tidak bertentangan satu sama lain,
ketiganya seiring dan saling melengkapi untuk memperkaya pengetahuan manusia.
Berdasarkan asumsi dasar tersebut, Ahmad Khan meyakini setiap apa saja yang
terjadi di alam ini sejatinya dapat dijelaskan berdasarkan hukum kausalitas. Karena itu,
dalam menafsir mau tak mau harus menjelaskan isi Alquran secara empiris.
Implikasinya, seperti ditulis Ahmad Khan dalam Tahrir, untuk menafsir Alquran harus
menggabungkan dengan teori-teori ilmiah paling mutakhir.14
Metode Penafsiran; Bertolak dari paradigma Ahmad Khan di atas, secara
metodologis penafsiran Alquran harus berpegang pada beberapa ketentuan; Pertama,
pernyataan Alquran yang menginformasikan peristiwa spritual harus dibedakan pada
dua kategori; yang benar-benar faktual terjadi berdasarkan hukum kausalitas dan yang
bukan faktual. Menurut Khan, ada di antara informasi yang bersifat supernatural itu
hanya terjadi dalam mimpi (bukan fakta), seperti proses kelahiran Nabi Isa.15 Karena itu
betapa pun luar biasanya suatu mimpi tentu bukanlah muzi’jat. Kedua, peristiwa
supernatural yang terjadi pada Rasul Allah harus dilihat dari hukum kausalitas. Setiap
ayat yang berkaitan dengan alam hendaknya dipahami berdasarkan hukum itu. Cerita

12
Said, Busthami Muhammad, Mafhum Tajdid al-Din, terjemahan Ibnu Marjan dan
Ibadur-rahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernitas dan Tadiduddin, (Bekasi: PT.
Wacanalazuardi Amanah, 1995), h. 132. Menurut Rosenthal, dengan mengutip A.H. Albiruni,
pemikiran Khan ini menetapkannya sebagai muktazilah modern. Rosenthal, Erwin I.J., Islam in
the Modern National State, (London: Cambridge at the University Press, 1966), p. 191
13
Ahmad Khan, “Tahrir fi Ushul at-Tafsir”, dalam Maqalat_e_Sir-Syed, Vo. 1, ; Lihat
juga Mukti Ali. Alam Pikiran…, h. 90
14
Mukti Ali. Alam Pikiran…, h. 90 Rosenthal, Erwin I.J., Islam in.., p. 345
15
Menurut Ahmad Khan, kelahiran Isa bukanlah suatu mukjizat, tetapi suatu kejadian
yang wajar saja melalui perkawinan. Adapun berita kelahiran anaknya yang kemudian dijawab
Maryam dengan: “Qalat rabbi anna yakunu li waladun walam yamsasny basyar’ terjadi dalam
mimpi sebelum ia menikah. Said, Mafhum…, h. 138
7
tentang Musa dan pengikutnya yang menyeberang lautan, misalnya, adalah hal yang
biasa terjadi. Ketika Allah menyuruh Musa dengan kata “an idhrib bi-’asaka al-hajar”
adalah suatu perintah untuk berjalan menyeberang lautan yang memang waktu itu
airnya dangkal.16
Kaidah dasar yang dipegang Ahmad Khan dalam menafsirkan Alquran adalah
pembedaan antara ayat-ayat muhkam dan mutasyabih17. Ayat-ayat muhkamat bersifat
asasi dan mengandung dasar–dasar aqidah, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat bersifat
simbolik dan dapat menerima lebih dari satu makna. Ayat mutasyabihat adalah
ungkapan-ungkapan Alquran bersifat metaforik, figurative, alegoris dan lainnya, Makna
ayat-ayat serupa dapat berubah sejalan dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Kedua, dengan menangkap inti pernyataan wahyu. Ini merupakan satu hal penting,
karena ayat Alquran memiliki ide pokok yang menjadi pesan dasar dan memiliki
pernyataan tambahan/ sampingan sebagai penjelas yang dapat berupa ungkapan-
ungkapan simbolik.18
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan hal penting karena Alquran berbicara tentang
alam gaib, yaitu satu alam yang tidak dapat diketahui dengan mudah melalui rasio. Pada
konteks serupa lafaz-lafaz simbolik penting untuk dikedepankan sekedar untuk
memudahkan pemahaman melalui contoh-contoh atau hal-hal yang mirip dengan apa
yang dialami manusia di dunia ini. Jadi pemahaman ayat-ayat Alquran atas dasar makna
zahir saja –tanpa menerima adanya ayat-ayat yang bersifat simbolik, sama artinya
dengan meniadakan ruh Alquran19.
Metode yang digunakan Ahmad Khan dalam penafsiran Alquran adalah metode
rasionalistik. Metode ini, menurut Khan, merujuk pada tafsir tradisional yang menerima
ta’wil. Maksud metode rasionalistik di sini adalah penentuan makna sutau lafaz Alquran
berdasarkan pemahaman akali. Metode ini lebih menempatkan akal sehat dan hukum
kausalitas sebagai parameter utama untuk mengukur kebenaran makna suatu ayat. Jika
berpegang pada arti leksikal, tetapi tidak sesuai dengan akal sehat atau bertentangan
dengan hukum alam, maka makna sebenarnya bukan menurut arti kata itu, melainkan

16
Ibid.
17
Lihat Q.S. 3:7
18
Said, Mafhum…, h. 133-134
19
Ibid., h. 169
8
harus dicari makna lain yang masuk akal.20 Dengan metode ini, Khan sering menafsirkan
Alquran secara metaforik.

Penafsiran Alquran dengan Metode Hermeneutik


Berdasarkan paradigma dan metode penafsiran yang dikemukakan Ahmad Khan
di atas, berikut dikemukakan beberapa contoh penafsiran yang ditulis dalam Tafsir Al-
Qur`ân Huwa al-Hudâ wa al-Furqân dan artikel lainnya. Contoh yang dikutip hanya
dibatasi pada informasi-informasi Alquran tentang dunia gaib dan eskatologis dengan
maksud agar terlihat secara jelas tipologi penafsiran Khan yang menyelaraskan antara
kandungan Alquran dengan alam empiris. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa sisi penafsiran hermeneutik akan lebih mudah kelihatan pada tema-tema tersebut.
1. Tafsir tentang Malaikat, Syetan dan Jin;
Kepercayaan kepada makhluk halus (supernatural) merupakan kepercayaan lama
yang sudah ditemukan sejak zaman manusia purba. Ajaran tentang adanya makhluk
semacam ini, dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda, juga ditemukan dalam
kitab suci Taurat (Yahudi), Injil (Kristen), dan Alquran (Islam). Secara umum, para
teolog agama-agama memaknai makhluk supernatural itu sebagai invisible being.

Lain hal dengan pendapat Ahmad Khan, di mana tiga jenis makhluk (malaikat, jin,
dan syaitan) yang disebut Alquran, ditafsirkan secara berbeda. Ketika menafsir ayat
Alquran yang berkenaan dengan malaikat, jin, dan syetan, Ahmad Khan tidak
memaknainya sebagai makhluk yang memiliki entitas tersendiri, melainkan sebagai
ungkapan simbolis tentang sifat-sifat makhluk ciptaan Allah. Lebih spesifik, berikut
diturunkan pendapat Ahmad Khan terhadap tiga konsep tersebut.

a. Malaikat dan Syetan;


Konsep Alquran tentang malaikat mendapat perhatian khusus dari Ahmad Khan. Hal
yang dipersoalkan Ahmad Khan di sini bukanlah tentang eksistensi malaikat tersebut,
apakah ada atau tidak ada, melainkan tentang esensinya. Artinya, Khan tidak
menolak tentang adanya malaikat, tetapi ia tidak sependapat dengan pemahaman
umum tentang esensi malaikat itu, sebagai makhluk supernatural yang mengantarai
Tuhan dengan alam, termasuk manusia.
20
Ahmad Khan, Priciples of Exegesis, (MSIP), p. 35.
9
Pada dasarnya, konsep malak (jamaknya; malâikah) bukanlah bahasa Arab asli, ia
diambil dari bahasa Hebrew (Ibrani). Dalam literatur Ibrani ditemukan beberapa
istilah atau nama-nama, seperti Gabriel, Michael, Uriel, dan Raphael sebagai nama-
nama bagi Angels (malaikat). Alquran sendiri menggunakan dua dari nama-nama itu,
yaitu Gabriel dan Michael (Jibril dan Mikâîl), dan sejumlah nama lain seperi Izrail,
Israfil, Kiraman, Katibin, dan masih ada lagi yang lain. Sedangkan konsep malaikat
itu sendiri berulangkali disebut dalam Alquran. Dengan demikian, secara konseptual,
Alquran sendiri secara tegas menyebut adanya malaikat dan dengan menetapkan
nama-nama sebagian mereka.

Ahmad Khan memandang bahwa kepercayaan terhadap malaikat sudah ada sejak
lama (the ancients belief). Pemikiran tentang malaikat ini juga sudah beragam; ada
yang dihubungkan dengan angin, bumi, gunung, dan bahkan mediator Tuhan dengan
para nabi. Ini adalah bentuk khayal masa lalu yang tidak dapat diterima.21 Ahmad
Khan menganggap bahwa konsep malaikat dan syetan adalah ungkapan simbolik
Alquran berkenaan dengan dorongan kebaikan dan kejahatan yang berada dalam diri
manusia.22 Ia mendefinisikan malaikat sebagai Quwat-Malakuti (‫ )قوى ملكوتي‬dan
menolak keberadaannya sebagai physical existence. Atas dasar itu, malaikat adalah
simbol dukungan moral dari Allah yang membesarkan hati manusia dalam
perjuangannya melawan rintangan-rintangan berat. Lebih lanjut, Khan tidak percaya
bahwa Jibril itu sesuatu yang terpisah eksistensinya. Menurutnya, Jibril itu adalah
fakultas kenabian (Gabriel is a prophetic faculty).23

Seperti halnya malaikat, syetan, yang secara tekstual disebut Alquran berasal dari
api, didefinisikan Khan sebagai Quwat-Bahimi (‫)قوى بهيمي‬, karena itu adalah simbol
serba nafsu manusia yang selalu mendorong kepada kejahatan. Khan menolak
pendapat yang menyatakan keberadaan physical existence dan bahkan tidak
mengakui external independent syetan atau iblis tersebut. Karena itu, Khan
menyatakan bahwa keterangan Alquran mengenai komunikasi yang terjadi dalam

21
Ahmad Khan, Tafsir Alquran wa Huwa al-Huda wa al-Furqan, Vol. I, p. 54.
22
Amal,Taufik Adnan, Ahmad Khan…, h. 117.
23
Ahmad Khan, Maqâlât...., Vol. III, p. 37, 38. Ahmad Khan, Tafsir Alquran Huwa al-
Huda wa al-Furqan, Vol. I, p. 49.
10
sejarah Adam bukanlah actual dialogue; itu adalah sebuah metafora untuk
mengekspresikan habitat kemanusiaan.24

Dari keterangan Khan di atas, dengan demikian malaikat dan syetan atau quwwat al-
malakuty dan quwwat al-bahimy sama-sama ada pada internal diri manusia. Jika
pada saat kejadian diri manusia (nafs), Allah mengilhamkan kepadanya potensi
kejahatan (fujur) dan ketakwaan (taqwâ), maka malaikat dan syetan lah yang
menjadi induk kedua potensi manusia itu. Keterangan Khan ini bermakna, bahwa
pada saat yang sama, manusia adalah malaikat dan sekaligus syetan, keduanya
bertarung memperebutkan posisi tertinggi. Di sini, manusia menjadi medan
pertempuran tak pernah berakhir dari dua kubu yang bermusuhan; malaikat dan
syetan.

b. Jin;
Pembahasan tentang jin dikemukakan oleh Ahmad Khan pada Kitab Tafsirnya
dan dua artikelnya yang dimuat dalam Tahzib al-Akhlak. Dua artikel dimaksud
berjudul “Surat Jin Kay Tafsir” dan “Al-Jin wa al-Jân ‘alâ mâ fi al-Qur’ân”. Dalam
tulisannya ini Khan membahas sejumlah ayat Alquran berkenaan jin, seperti pada al-
An’am; 100, Saba; 41, al-Jinn; 5-6, Fushshilat; 29, dan ash-Shaffat; 158. Berdasarkan
analisisnya terhadap ayat-ayat tersebut, Khan menyimpulkan dua kategori keterangan
Alquran tentang jin;
1) Konsep jin hanyalah suatu informasi mengenai keyakinan orang-orang Arab pra-
Islam mengenai adanya makhluk suprahuman. Alquran sendiri tidak menyatakan
adanya eksistensi makhluk tersebut. Pengertian ini diambil Khan dari Alquran
Surat al-An’am; 100:

‫ن‬َ ‫ه ب َِني‬ُ َ ‫خَرُقوا ْ ل‬َ َ‫م و‬ْ ُ‫خل ََقه‬


َ َ‫ن و‬
ّ ‫ج‬ ِ ْ ‫كاء ال‬
َ ‫شَر‬ ُ ِ‫جعَُلوا ْ ل ِل ّه‬
َ َ‫و‬
(100) ‫ن‬ َ ‫صُفو‬ ِ َ ‫ما ي‬ّ َ‫ه وَت ََعاَلى ع‬ ُ َ ‫حان‬ ُ ٍ ‫عل ْم‬
َ ْ ‫سب‬ ِ ِ‫ت ب ِغَي ْر‬ٍ ‫وَب ََنا‬
Ahmad Khan menafsirkan ayat ini sebagai berikut:25

24
Ahmad Khan, Maqâlât...., Vol. I, p. 227
25
Ahmad Khan, Maqâlât, Vol. III, p. 155.
11
Inti dari penafsiran Khan ini adalah bahwa orang-orang Arab Jahiliyah
mempercayai sejumlah jin yang berupa makhluk spiritual. Mereka menduga-duga
melalui khayalan bahwa jin merupakan makhluk spiritual yang memiliki
kekuatan supernatural yang dapat memaksa dan memberikan sanksi.

2) Esensi atau hakikat jin itu adalah orang-orang (manusia) biadab yang jauh dari
dunia beradab. Kesimpulan ini didasarkan pada sejumlah ayat Alquran, di
antaranya Surat al-Jin; 1-6 yang menyatakan bahwa sekelompok jin mendengar
bacaan Alquran dan mengaku bodoh.
‫شِد‬ْ ‫( َيْهِدي ِإَلى الّر‬1) ‫جًبا‬
َ‫ع‬ َ ‫سِمْعَنا ُقْرآًنا‬ َ ‫ن َفَقاُلوا ِإّنا‬
ّ‫ج‬ِ ‫ن اْل‬
َ ‫سَتَمَع َنَفٌر ّم‬ْ ‫ي َأّنُه ا‬ّ ‫ي ِإَل‬
َ‫ح‬ِ ‫ل ُأو‬ْ ‫ُق‬
(3) ‫حَبًة َول َوَلًدا‬ِ ‫صا‬
َ ‫خَذ‬َ ‫جّد َرّبَنا َما اّت‬َ ‫( َوَأّنُه َتَعاَلى‬2) ‫حًدا‬ َ ‫ك ِبَرّبَنا َأ‬َ ‫شِر‬ ْ ‫َفآَمّنا ِبِه َوَلن ّن‬
ِّ ‫عَلى ا‬
‫ل‬ َ ‫ن‬ّ‫ج‬ ِ ‫س َواْل‬
ُ ‫لن‬ِ‫لا‬
َ ‫ظَنّنا َأن ّلن َتُقو‬ َ ‫( َوَأّنا‬4) ‫طا‬ ً‫ط‬َ‫ش‬ َ ‫ل‬ِّ ‫عَلى ا‬ َ ‫سِفيُهَنا‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ن َيُقو‬َ ‫َوَأّنُه َكا‬
(6) ‫ن َفَزاُدوُهْم َرَهًقا‬ّ ِ‫ن اْلج‬
َ ‫ل ّم‬ ٍ ‫جا‬
َ ‫ن ِبِر‬َ ‫س َيُعوُذو‬ِ ‫لن‬ ِ‫نا‬ َ ‫ل ّم‬ ٌ ‫جا‬َ ‫ن ِر‬ َ ‫( َوَأّنُه َكا‬5) ‫َكِذًبا‬
Terhadap ayat ini, Ahmad Khan memberi keterangan sebagai berikut;26

26
Syed Ahmad Khan, Maqalat, Vol. 2, p. 140. Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran
Interpretation, (Leiden: E. J. Brill, 1968), h. 157.
12
Inti dari pernyataan ini adalah bahwa jin itu adalah makhluk berjasad seperti
umumnya manusia, karena itu diberikan tanggung jawab (taklif) agama. Mereka
dikategorikan sebagai jenis manusia yang belum berperadaban. Ini diperkuat dengan
Surat az-Zariyat, 56 dan al-A’raf, 179:
(56) ‫ن‬
ِ ‫ل ِلَيْعُبُدو‬
ّ ‫س ِإ‬
َ ‫لْن‬
ِْ ‫ن َوا‬
ّ‫ج‬ِ ‫ت اْل‬
ُ ‫خَلْق‬
َ ‫َوَما‬
‫ن ِبَها‬
َ ‫صُرو‬
ِ ‫ل ُيْب‬
َ ‫ن‬
ٌ ‫عُي‬
ْ ‫ن ِبَها َوَلُهْم َأ‬
َ ‫ل َيْفَقُهو‬
َ ‫ب‬ٌ ‫س َلُهْم ُقُلو‬
ِ ‫لْن‬ ِْ ‫ن َوا‬ ّ‫ج‬
ِ ‫ن اْل‬ َ ‫جَهّنَم َكِثيًرا ِم‬
َ ‫َوَلَقْد َذَرْأَنا ِل‬
(179) ‫ن‬ َ ‫ك ُهُم اْلَغاِفُلو‬َ ‫ل ُأوَلِئ‬
ّ‫ض‬َ ‫ل ُهْم َأ‬ْ ‫لْنَعاِم َب‬َْ ‫ك َكا‬
َ ‫ن ِبَها ُأوَلِئ‬
َ ‫سَمُعو‬ ْ ‫ل َي‬
َ ‫ن‬ ٌ ‫َوَلُهْم َآَذا‬
Sesungguhnya penafsiran terhadap konsep jin sebagai makhluk jasadi. Seperti dalam
Kitab Tafsir Al-Manar karya Muhammad 'Abduh yang dilengkapi oleh muridnya
Rasyid Ridha mendefiniskan kata Jin sebagai "sesuatu yang tertutup", dan dapat
diartikan sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).27
Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint asy-Syathi' yang secara tegas menyatakan
bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa
dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan
seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat
mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak
terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita
berada."28

2. Tafsir tentang Kenabian dan pewahyuan;


Sejalan dengan tafsir Ahmad Khan terhadap konsep malaikat, ia juga membahas
tentang kenabian. Jika malaikat disebut sebagai potensi kebaikan yang pada diri
manusia, maka Jibril adalah potensi kebaikan yang khas pada diri para nabi. Menurut
Ahmad Khan, Jibril yang disebut Alquran sebagai perantara Allah untuk menyampaikan
wahyu kepada para nabi adalah sebuah pernyatan simbolik. Ahmad Khan, sangat
tegas mengatakan bahwa apa yang dalam teologi yang kita sebut malaikat hanya
kapasitas atau habitus dalam diri nabi yang memungkinkannya untuk mengetahui
kebenaran yang lebih tinggi dan tersembunyi. Pendapat seperti ini, jelas sekali
dipengaruhi oleh pendapat para filsuf sebelumnya seperti Ibn Sina dan lain-lain.

27
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H, Jilid III,
h. 95.
Aisyah Abdurrahman (Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm
28

li Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887.


13
Konsep Alquran mengenai “ruh al-amin” atau “ruh al-quds”, sebagai sebutan lain
dari Jibril, tidak lain adalah fakultas kenabian yang sudah ada pada diri para nabi.
Ketika menafsir QS. Al-Baqarah; 97 dan al-Qiyamah; 17-19,
‫شَرى‬ْ ‫ن َيَدْيِه َوُهًدى َوُب‬َ ‫صّدقًا ّلَما َبْي‬
َ ‫ل ُم‬ِّ ‫ن ا‬ِ ‫ك ِبِإْذ‬
َ ‫عَلى َقْلِب‬
َ ‫ل َفِإّنُه َنّزَلُه‬
َ ‫جْبِري‬
ِ ‫عُدّوا ّل‬
َ ‫ن‬
َ ‫ُقلْ َمن َكا‬
(98) ‫ن‬
َ ‫عُدّو ّلْلَكاِفِري‬
َ ‫ل‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ل َفِإ‬
َ ‫ل َوِميَكا‬ َ ‫جْبِري‬
ِ ‫سِلِه َو‬ُ ‫ل َوَملِئَكِتِه َوُر‬ ّ ‫عُدّوا‬ َ ‫ن‬َ ‫( َمن َكا‬97) ‫ن‬ َ ‫ِلْلُمْؤِمِني‬

(19) ‫عَلْيَنا َبَياَنُه‬


َ ‫ن‬
ّ ‫( ُثّم ِإ‬18) ‫( َفِإَذا َقَرْأَناُه َفاّتِبْع ُقْرآَنُه‬17) ‫جْمَعُه َوُقْرآَنُه‬
َ ‫عَلْيَنا‬
َ ‫ن‬
ّ ‫ِإ‬
Ahmad Khan menulis dalam buku tafsirnya, bahwa ayat-ayat ini membuktikan bahwa
tidak ada agen perantara antara Tuhan dan Nabi. Khan menyatakan bahwa nubuwwat
(prophetic faculty) itu sudah ada pada diri nabi secara natural, bukan yang dirancang
oleh dirinya sendiri.29 Tuhan telah memberikan kekuatan kenabian pada hati para
nabi selaras dengan fitrah mereka.30 Jadi ruh al-amin dan ruh al-quds (Jibril) sudah
ada pada diri nabi sebagai fakultas kenabian yang secara khusus diberikan oleh Allah
kepada orang-orang tertentu saja.
Berdasarkan pemahaman ini, Khan menyatakan bahwa “kenabian” adalah capaian
yang diperoleh melalui latihan jiwa (Riyadlah Nafsiyah) bagi mereka yang sudah
memiliki prophetic faculty itu, dan capaian tersebut adalah alami dan manusiawi.
Karena potensi kenabian itu hanya terbatas pada orang-orang tertentu, dengan
demikian kenabian Muhammad sebagai penutup Risalah Ilahi harus dapat diterima.
Ahmad Khan cukup berhati-hati untuk mengatakan bahwa seorang nabi menerima
wahyu tidak melalui agen, ia juga tidak belajar dengan menggunakan fakultas biasa,
seperti umumnya dimiliki manusia lain, karena dari sejak lahir ia telah memiliki
fakultas luar biasa itu yang ia kembangkan dalam tumbuhkan dalam dirinya.
Kapasitas itu bersifat independen dari kekuatan-kekuatan kognitif lain. Sementara
seorang nabi ketika menerima wahyu adalah benar-benar terputus dari hidup duniawi
dan berada dalam kontak langsung dengan realitas superior-dengan malaikat atau
Akal Aktif, sebagai realitas yang disebut bervariasi. Ini adalah hal yang sangat
penting. Untuk itu, dengan implikasi, menarik garis pemisah antara pengalaman
mistik dan kenabian.

3. Tafsir tentang Eskatologis;


29
Ahmad Khan, Maqalat..., Vol. VIII, p. 73.
Ahmad Khan, Tafsir Al-Quran wa Huwa al-huda wa al-Furqan, Juz I, p. 201-204.
30

Lihat juga Ahmad Khan, “On the Mode and Nature of Prophet Revelation”, seperti dikutip oleh
Amal, Taufik Adnan, Ahmad Khan…, h. 120.
14
Ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan akhirat (eskatologi) dikelompokkan
Ahmad Khan sebagai deskripsi-deskripsi metaforik. Deskripsi tentang kenikmatan yang
luar biasa di surga dan kesengsaraan yang dahsyat di neraka tidak bisa dipahami seperti
peristiwa alam sekarang. Ayat-ayat semacam itu hanya merupakan suatu dorongan
berbuat baik dan pencegahan berbuat jahat.31 Demikian juga dengan deskripsi Alquran
tentang tiupan terompet sangkakala, seperti pada QS. al-An’am;73, pernyataan ini
merupakan ungkapan metaforis. Ayat tersebut harus dipahami dengan; “pada waktu
tertentu di hari kebangkitan, sebagaimana telah diterapkan Tuhan dalam hukum alam,
seluruhnya akan bangkit.32 Kebangkitan itu sendiri, menurut Khan tidak bersifat fisik
(tubuh), melainkan hanya bersifat ruhaniah (immaterial) saja.33

Pembahasan terhadap Penafsiran Hermeneutik Ahmad Khan


Ciri hermeneutik yang segera tampak dari tafsir Ahmad Khan, seperti diungkap
di atas, adalah pada upayanya untuk meniadakan aspek primordial dari penafsirannya.
Sebagai suatu kitab tafsir yang bersemangat untuk menyelaraskan antara pemahaman
teks-teks Alquran dengan fenomena alam, jelas kali terlihat pada semua tafsir Ahmad
Khan untuk merasionalkan makna ayat-ayat Alquran yang bersifat irrasional. Usaha
penafsiran semacam ini, jika diekuevalenkan dengan hermeneutik Schleiermacher,
termasuk dalam lingkup “membebaskan tafsir dari dogma” dan upaya melakukan
desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum ini, jelas bahwa tafsir Ahmad
Khan dapat dikategorikan tafsir hermeneutik.
Hal menarik dari tafsir Ahmad Khan, jika dikaitkan dengan Filsafat Wacana
Ricoeur, yang memberi otonomi kepada pembaca, maka pada konteks ini jelas sekali
sisi hermeneutik penafsiran Ahmad Khan. Khan sendiri sebagai pemberi makna
terhadap teks tampak otonom dalam memaknai teks-teks Alquran, sampai keluar jauh
dari makna dasarnya. Perlakuan serupa diakui oleh Khan yang tidak sepenuhnya mau
menerima makna-makna leksikal yang ditulis dalam kamus-kamus klasik yang merujuk
pada bahasa yang digunakan bangsa Arab pra-Islam.
Sehubungan dengan prinsip Khan tersebut, sebagai seorang penafsir yang
otonom, Ahmad Khan lebih menekankan penafsirannya pada konteks zaman dan dunia

31
Ahmad Khan, Tafsir...., Vol. I, p. 40; Baljon, The Reforms and Religion of Sir Ahmad
Khan, (Leiden: E. J. Brill, 1949), h. 56.
32
Ahmad Khan, Tafsir...., Vol. III, p. 597; Baljon, Reforms…, h. 57.
33
Ahmad Khan, Principles …, h. 31.
15
sosial di sekitarnya. Sisi hermeneutik penafsiran Ahmad Khan terletak pada
pertimbangan kontekstual, seperti yang diteorikan oleh hampir semua ahli metode
hermeneutik. Penafsiran berdasarkan konteks ini antara lain adalah pemaknaan terhadap
konsep malaikat, syetan, jin, tiuoan terompet pada hari berbangkit, dan Jibril atau ruh
al-amin dan ruh al-quds. Ketika penafsir konsep-konsep tersebut, Khan benar-benar
meninggalkan makna lafzi lalu mencoba merasionalkannya agar dapat diterima secara
akal sehat dan selaras dengan fenomena alam.
Tampaknya ada dua faktor kontekstual yang mendasari penafsiran hermeneutik
Ahmad Khan; Pertama, perkembangan sains modern yang saat itu sangat dikaguminya.
Atas dasar perkembangan sains ini, Khan berusaha keras untuk merumuskan ulang
penafsiran Alquran agar bersesuaian dengan sains modern tersebut. Kedua, lingkungan
sosial-keagamaan yang melingkari kehidupannya, termasuk termasuk teologi yang
diyakini oleh penganut agama Hindu dan Kristen. Usaha keras Ahmad Khan untuk
menafsir ulang ayat-ayat Alquran yang mengungkap agama lain dapat disebut sebagai
faktor kontekstual yang mendasari penafsirannya. Ini tertangkap dari corak
penafsirannya yang berorientasi pada upaya mencari titik temu antaragama. Faktor
kontekstual lain yang mempengaruhi pola penafsiran Ahmad Khan ajaran teologi Hindu
yang mempercayai sejumlah dewa-dewi. Untuk membedakan secara tegas antara teologi
Hindu dengan Islam, Khan harus mencari makna konsep malaikat dari perspektif lain,
yang secara primordial, memiliki kemiripan dengan konsep dewa-dewi dalam Hindu.
Dengan demikian, Ahmad Khan telah menerapkan metode hermeneutik, walau
mungkin metode penafsiran ini belum banyak dikenal waktu itu. Kesimpulan ini
berangkat dari cara-cara Ahmad Khan dalam menafsir Alquran yang tidak lagi
berdasarkan makna tekstual, melainkan telah menemukan makna terdalam atau nilai
dari suatu teks. Cara ini tidak lain adalah tujuan yang ingin dicapai dalam
hermeneutik, di mana nilai yang diungkap tidak berada di belakang teks tapi
melanglang ke depan teks.
Berangkat dari kenyataan tersebut, sesungguhnya maasih ada unusr paradigmatis
lain yang tidak disebut Khan, tetapi digunakannya, dalam penafsiran Alquran, yaitu
konteks sosial dan perkembangan sains menjadi pertimbangan yang cukup penting
dalam upaya menemukan makna teks Alquran. Sepertinya, paradigma kontekstual ini
digunakan secara intens oleh Ahmad Khan sebagai bagian penting dalam ikhtiarnya
menginterpretasi teks-teks Alquran. Sebab Khan selalu berangkat dari berbagai bentuk

16
problematika sosio-politik dan budaya yang dihadapi umat Islam dengan berbagai 'ciri
khas'nya; khususnya perbedaan agama, kolonialisme, kondisi obyektif aqidah umat
Islam, dan keterbelakangan mereka. Paling tidak, Khan telah melakukan interaksi
dengan sosial, budaya dan produk intelektual yang dihasilkan Barat yang diimpornya
secara terbuka, melalui dialektika yang kritis, intens dan produktif.

E. Penutup
Keberanian Khan untuk keluar dari tradisi ulama tafsir yang lazim mencari makna
leksikal teks dan kemudian ia menerapkan metode tafsir kontekstual adalah suatu
tindakan yang sangat luar biasa di zamannya. Ternyata, buku Tafsir Alquran yang
dihasilkan oleh Ahmad Khan tidak sekedar tafsir modern, seperti yang dijuluki oleh
banyak ahli, melainkan merupakan suatu kitab tafsir hermeneutik. Walaupun
belakangan ini muncul pemikiran para penafsir liberal yang dinilai cukup berani, namun
buku tafsir Ahmad Khan belum dapat ditandingi, paling tidak masih belum dapat
dikalahkan kehebatannya. Pikiran-pikiran genial dalam buku tafsir Ahmad Khan
sungguh luar biasa, seolah baru ditulis kemarin sore mengikuti perkembangan
pemikiran kaum liberal hari ini. Itulah Ahmad Khan, seorang pembaru abad 19 di Anak-
benua India.
Sebagai proyek rintisan, tentu buku tafsir Ahmad Khan belum sempurna dan
belum selesai. Tidak sempurna, karena pemaknaan teks-teks Alquran yang belum final
–yang menurut Khan akan terus berkembang mengikuti perkembangan zamannya, dan
belum selesai karena Ahmad Khan baru menafsirkan sebagian kecil teks-teks Alquran.
Ini sejatinya menjadi pendorong bagi pemikir muslim kontemporer untuk melanjutkan
usaha-usaha Ahmad Khan untuk memproduk tafsir Alquran yang lebih genius dan
memberdayakan.

17
Pustaka Acuan:
Ahmad Khan, “Tahrir fi Ushul at-Tafsir”, dalam Maqalat_e_Sir-Syed, Vo. 1,
Muhammad Isma’il Panipati, Lahore, Majlis Taraqqi-e Adab, 1984.
Ahmad Khan, “Surat Jin Kay Tafsir”, dalam Maqalat_e_Sir-Syed, Vo. 1, Muhammad
Isma’il Panipati, Lahore, Majlis Taraqqi-e Adab, 1984.
Ahmad Khan, “Al-Jin wa al-Jân ‘alâ mâ fi al-Qur’ân”, dalam Maqalat_e_Sir-Syed, Vo.
1, Muhammad Isma’il Panipati, Lahore, Majlis Taraqqi-e Adab, 1984.
Ahmad Khan, Maqalat-e Sir Syed, Vol. 1, ed., Muhammad Isma’il Panipati, Lahore,
Majlis Taraqqi-e Adab, 1984.
Ahmad Khan, Vol. 2, ed., Muhammad Isma’il Panipati, Lahore, Majlis Taraqqi-e Adab,
1984.
Ahmad Khan, Maqalat-e- Sir Syed, Vol. 3, (Lahore: Aligarh, 1898).
Ahmad Khan, Maqalat-e- Sir Syed, Vol. 8, (Lahore: Aligarh, 1880).
Ahmad Khan, Priciples of Exegesis, (MSIP).
Ahmad Khan, Tafsir Alquran Huwa al-Huda wa al-Furqan, Vol. I.
Aisyah Abdurrahman (Bint Al-Syathi') Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilm li
Al-Malayin, Beirut, 1982, h. 887.
Ali Nadwi, Western Civilization Islam and Muslim, terjemahan Inggris oleh
Mohammad Asif Kidwal, (Lucknow: Academy of Islamic Research and
Publications, edisi ke-3, 1978).
Ali, Mukti A., Alam Pokiran Islam Modren di India dan Pakistan (Bandung: Mizan,
1995).
Amal, Taufik Adnan, Ahmad Khan: Bapak Tafsir Modern, (Jakarta: Teraju, 2004).
Amin, Ahmad, Zu’ama’ al-Ishalah fi al Ashr al-Hadits (Qahirah: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishirayyah, 1979).
Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, (Leiden: E. J. Brill, 1968).
Baljon, The Reforms and Religion of Sir Ahmad Khan, (Leiden: E. J. Brill, 1949), h. 56.
Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Word (New York:
Oxford University Press, 1995).
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta:
elSAQ, 2005).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, cet.2, 1995)
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Percetakan Al-Manar, 1367 H, Jilid III.
Rosenthal, Erwin I. J., Islam in the Modren National State (Combride: Combridge
University Press, 1965).
Said, Busthami Muhammad, Mafhum Tajdid al-Din, terjemahan Ibnu Marjan dan
Ibadur-rahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernitas dan
Tadiduddin, (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995).

18
Smith, W.C., Modern Islam in India: A Social Analysis. (New Delhi: Usha Publications,
1979).
Troll, C.W. (1979), Sayyid Ahmad Khan: A Reinterpretation of Muslim Theology,
Oxford University Press, Karachi.

19

Anda mungkin juga menyukai