Anda di halaman 1dari 13

INDRA, AKAL, INTUISI DAN WAHYU

MAKALAH
Ditujukan untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu

HABIBATUZ ZUHRO
NIM: 20192001480211

Dosen Pembimbing:
H. M. Zainur Rofi’, M.Pd.I.

INSTITUT AGAMA ISLAM ULUWIYAH MOJOKERTO


FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dalam menyelesaikan
Makalah ini yang berjudul “Indra, Akal, Intuisi dan Wahyu”. Shalawat serta salam
tak lupa kita haturkan kepada baginda Rasulullah yaitu Nabi Muhammad SAW
yang telah menjadikan kami kaum muslimin dan muslimat yang berada dizaman
yang terang benderang.
Dalam makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi
materi, maupun cara penulisan. Maka kami mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca untuk memberikan saran terhadap makalah kami. Semoga makalah
kami dapat menambah wawasan bagi para pembaca khususnya kami para penulis.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi dan
bisa menambah ilmu kita semua, Amin.

Mojokerto, 19 Nopember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.......................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN
A. Hierarki Ilmu.........................................................................................3
B. Indra......................................................................................................4
C. Akal.......................................................................................................5
D. Intuisi.....................................................................................................6
E. Wahyu...................................................................................................7

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam konsep epistemologi Islam, tidak hanya pancaindra dan akal
yang menjadi alat memperoleh pengetahuan, tapi juga melibatkan intuisi.
Gerak aktif memperoleh pengetahuan dilakukan manusia melalui ketiga alat itu
(indra, akal dan intuisi). Sementara itu, sumber pengetahuan lain yang mana
manusia bersifat menerimanya secara pasif adalah wahyu. Wahyu adala
Khabar Shodiq, informasi yang sangat benar diberikan Tuhan kepada manusia
melalui perantara nabi dan rasul-Nya. Bagi umat Islam, Al-Qur’an adalah
wahyu Allah SWT, sumber pengetahuan yang sangat berharga dan mulia.
Hal ini penting dipahami oleh para mahasiswa dan akademisi Muslim,
mengingat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sekularisasi bukan jalan
yang harus dipilih sebagaimana ilmu pengetahuan di Barat.
Keempat alat itu sama pentingnya dalam epistemologi Islam. Tidak ada
yang lebih penting di antara keempatnya. Semuanya saling menguatkan dan
memiliki peran masing-masing.
Pancaindera memerlukan akal agar tidak terjebak dalam kesalahan
paralaks atau kekeliruan dalam pengamatan. Sementara wahyu akan
melindungi akal dari kekeliruan memahami objek yang immaterial, wahyu
memberikan informasi yang gaib, misalnya tentang surga, neraka, mmalaikat,
setan dan bentuk immaterial lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Hierarki Ilmu itu?
2. Apakah Indra itu?
3. Apakah Akal itu?
4. Apakah Intuisi itu?
5. Apakah Wahyu itu?

1
C. Tujuan Permasalahan
1. Untuk mengetahui bagaimana Hierarki Ilmu.
2. Untuk mengetahui apa itu indera.
3. Untuk mengetahui apa itu akal.
4. Untuk mengetahui apa itu intuisi.
5. Untuk mengetahui apa itu wahyu.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hierarki Ilmu
1. Prinsip Tauhid
Ontologi Islam mendasarkan konsepnya pada tauhid. Prinsip tauhid
menjadikan dipilahkannya antara Yang Maha Ada, wajib ada (wajibul
wujud) dengan yang mungkin ada (mumkinul wujud), jika diadakan oleh
Yang Maha Ada. Ada Kholiq (pencipta), ada makhluq (yang diciptakan).
Dalam hal konsep ontologi, para filosof Muslim mengembangkan
hierarki wujud. Ibn Sina misalnya, mengelompokkan wujud kepada tiga
yaitu:
a. Wujud-wujud yang secara niscaya tidak berhubungan dengan materi
dan gerak, contohnya adalah Tuhan.
b. Wujud-wujud yang meskipun bersifat immateriil, terkadang
mengadakan kontak dengan materi dan gerak, misanya wujud
matematika.
c. Wujud-wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak,
yaitu wujud fisik.
Para filosof Muslim menyusun hierarki wujud (martabah al-
maujudat) dimulai dari entitas-entitas metafisika, dengan Tuhan di
puncaknya, kemudian menurun melalui alam “antara” (barzakh) yang bisa
kita lihat percampuran antara unsur-unsur metafisika dan fisik dengan
bentuk yang unik menuju alam fisik, tempat kita hidup dan berkembang.
Dalam salah satu skemanya, Al-Farabi, mengemukakan hierarki
wujud sebagai berikut:
a. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain.
b. Para malaikat yang merpakan wujud-wujud yang sama sekali
immateriil.
c. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (calestial), dan

3
d. Benda-benda bumi (terrestrial).
2. Sarat Nilai
Ilmu pengetahuan dalam Islam didedikasikan untuk menjalankan
peran sebagai hamba (‘abid) dan khalifah, memakmurkan bumi. Pada
dimensi horizontal, ilmu pengetahuan ditujukan untuk kemanfaatan
manusia dan membangun bumi. Kerusakan akibat dari pengembangan ilmu
pengetahuan bertentangan denan prinsip kemanfaatan. Dengan demikian,
bagi epistemologi Islam, ilmu tidak untuk ilmu, tapi untuk kemanfaatan
manusia dan kemakmuran bumi. Ilmu tidak bebas nilai (free value) namun
sarat nilai (value laden).
Sementara pada dimensi vertikal, ilmu pengetahuan ditujukan untuk
meningkatkan kualitas iman dan bentuk sikap tauhid kepada Allah SWT.
Seorang yang berilmu akan semakin meningkat keimanan dan
ketakwaannya. Semakin menyadari tidak mengetahui apa pun, semakin
menyadari bahwa betapa luasnya ilmu Allah SWT. Arogansi keilmuan
hanya ada pada mereka yang tak menyertakan ilmu pengetahuannya
dengan nilai keimanan. Semakin tinggi ilmu, semakin takutlah, karena
laknat manusia yang semakin tinggi ilmunya namun tak bertambah amal
kebajikannya. Mencari ilmu itu wajib ain, dari mulai lahir hingga
menjelang ajal.
Dari sisi individual, ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan
iman dan amal. Semakin tinggi ilmunya, semakin rendah hati, tawaduk, dan
semakin tinggi iman juga semakin banyak amal kebajikannya. Iman, ilmu
dan amal menjadi kesatuan tak terpisahkan dalam paradigma epistemologi
Islam.

B. Indera
Pancaindera sebagai sumber pengetahuan ternyata tidak sepenuhnya
memberikan informasi tentang suatu objek dengan benar. Oleh karena itu, kita
membutuhkan bantuan alat lain untuk mengetahui sesuatu sebagaimana
adanya. Al-Ghazali dalam kitabnya, Misykat Cahaya-cahaya, memandang akal

4
lebih patut disebut “cahaya” daripada indra. Dengan kata lain, akal lebih patut
disebut sebagai sumber ilmu dariada indra.
Selain pancaindera fisik/lahir, dalam epistemologi Islam dikenal konsep
pancaindera batin. Ibn Sina dan Al-Farabi menjelaskan sebagai berikut:
1. Indra Bersama (al hiss al-musytarak)
2. Khayal atau daya imajinasi retentif
3. Daya Estimasi (wahm)
4. Imajinasi (mutakhayyilah atau compositive imaginative faculty)
5. Memori (al-hafizhah)

C. Akal
Logika manusia dan penalaran matematika adalah contoh fungsi dari
akal. Oleh para filosof Muslim, akal biasanya dibagi menjadi dua macam, akal
praktis dan akal teoretis.
Akal merupakan potensi setiap manusia, sarana untuk memperoleh
pengetahuan. Dalam hidupnya, manusia selalu memersepsi segala sesuatu yang
ada di luar dirinya dan bahkan dirinya sendiri menjadi objeknya dan kemudian
memikirkannya.
Menurut Al-Ghazali, akal merupakan fitrah instingtif sebagai cahaya
orisinil yang menjadi sarana manusia dalam memahami realitas segala sesuatu1.
Sedangkan menurut Ibn Khaldun, akal itu timbangan yang cermat, yang
hasilnya pasti dan dapat dipercaya2.
Diharapkan dengan akal tersebut, manusia dapat memahami realita
kehidupan dan semesta yang akhirnya membawa ke tujan hidupnya. Islam
menghendaki setiap manusia menggunakan akal dalam setiap tindakannya.
Muhammad Abduh menyatakan bahwa akal adalah daya yang hanya dimiliki
manusia dan akal yang membedikan manusia dari makhluk lainnya, akal
merupakan tongkat kehidupan manusia dan dasar kelanjutan hidupnya3.
1
Prof. Dr. Suparman Syukur, M.A. Epistemologi Islam Skolastik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
2007. Hal. 64.
2
H. Endang Saifuddin Anshari, M.A. Wawaasan Islam. Gema Insani. Jakarta. 2004. Hal. 151.
3
Prof. Dr. Suparman Syukur, M.A. Epistemologi Islam Skolastik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
2007. Hal. 64.

5
D. Intuisi
Intuisi adalah alat memperoleh pengetahuan yang khas dalam
epistemologi Islam. Memang dalam epistemologi Barat dikenal dan
diembangkan oleh Henry Bergson, filosof dari Prancis, namun tidak menjadi
paradigma besar, kalah oleh dominasi positivisme.
Henry Bergson menyatakan bahwa akal sangat kompeten untuk
menganalisis ruang, tetapi tidak dengan waktu. Untuk memahami waktu, kita
harus menggunakan intuisi sebagai alat atau metode filosofis yang paling tepat
untuknyaa. Akal memang sangat kompeten untuk memahami apa yang disebut
sebagai pengalaman fenomenal, tetapi tidak untuk pengalaman eksistensial.
Intuisi adalah penguat dari akal. Imam Al-Ghazali berkata, “ketika kita
dalam keadaan tidur (mimpi), tampak semua seperti masuk akal, tetapi ketika
kita tersadar, tampak betapa mereka tidak masuk akal karena akal tidak mampu
memahaminya”.
Bahkan Ibn Sina sendiri sebagai filosof, yang tentunya sangat
mengagungkan akal, tetap masih mengakui adanya daya yang lebih kuat
daripada akal, yaitu intuisi suci yang pada umumnya dimiliki oleh seorang
nabi.
Secara umum, kita bisa mengatakan bahwa intuisi mampu memahami
banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal, yaitu:
1. Akal sering dibuat tidak berdaya terhadap persoalan-persoalan hidup yang
lebih dalam, yang menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Dengan
kata lain, akal tidak mengerti banyak tentang pengalaman-pengalaman
eksistensial, yaitu pengalaman yang secara langsung dirasakan, dan bukan
seperti yang dikonsepsikan.
2. Bahwa setiap saat dari kehidupan itu unik, sulit dimengerti oleh akal
karena bagi akal, satu menit di sini akan sama saja dengan satu jengkal di
manapun.
3. Hati (intuisi) yang telah terlatih akan dapat memahami perasaan sesorang
hanya dengan mendengar suara atau memandang matanya. Ketika akal

6
hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam
ketidaksadaran sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman
nonindrawi atau apa yang disebut ESP (extra-sensory perception),
termasuk pengalaman-pengaaman mistik atau religius.
4. Intuisi mempunyai kemampuan untuk mengenal objeknya secara lebih
akrab dan langsung. Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan eksperiensial
atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman.

E. Wahyu
Al-Qur’an sebagai ayat qauliyah memiliki peran besar dalam
memberikan inspirasi keilmuan kepada sarjana Muslim. Hal ini dibutikan
dengan banyaknya sarjana Muslim yang mempelajari dan menguasai berbagai
disiplin ilmu. Kemunculan banyak tokoh dan ulama besar dalam Islam yang
menguasai kedokteran, fisika, kimia, astronomi, sastra dan filsafat
mengindikasikan adanya semangat yang besar di kalangan umat Islam, hingga
Islam mencapai kejayannya dan mencerahkan peradaban dunia. Semangat
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dilakukan para sarjana Muslim
dapat dilacak pada sumber ajaran Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an.
Wahyu adalah kalam Illahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dalam bentuk teks. Menurut Nurcholish Madjid, tidak seorang pun
Muslim di berbagai belahan dunia yang meragukan keaslian dan keautentikan
kitab sucinya sebagai hal yang diwahyukan Allah kepada manusia melalui
perantaraan Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan wahyu yang
bersumber dari Allah4.
Wahyu adalah sebuah jalan untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus
ia adalah sumber pengetahuan. Jalan wahyu disebut dengan jalan khusus,
disebut jalan khusus karena tidak semua orang mampu mendapatkannya,
wahyu hanya diperleh oleh para nabi, manusia pilihan Allah.
Tentu saja wahyu berbeda dengan sarana untuk mendapatkan
pengetahuan lainnya. Namun, wahyu tidak bertolak belakang dengan sumber

4
Husein Heriyanto. Paradigma Holistik. Teraju-Mizan. Jakarta. 2011. Hal. 38.

7
yang lainnya. Justru di sini wahyu memperkuat sarana yang lainnya sekaligus
menjelaskan keterbatasannya. Wahyu berperan juga mengarahkan pada objek
dan menuntun akal agar berpikir ddengan benar. Wahyu melampaui akal dalam
berbagai aspeknya, ada banyak hal dalam alam ini yang tidak mampu
dijelaskan oleh akal, maka dalam hal ini, akal hanya pasrah menerima
keputusan wahyu.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori atau filsafat pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan
tentang sumber-sumber pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh.
Sumber-sumber itu, menurut epistimologi Islam, tak lain adalah indra, akal,
hati (intuisi) dan wahyu.
Dalam epistemologi Islam, indera disebut pancaindera batin yang
cukup efektif dalam membantu fungsi esensial akal. Kelebihan yang paling
istimewa dari akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk
menangkap kuisitas dan esensi dari sesuatu yang diamati atau dipahaminya.
Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep universal dari
sebuah objek yang diamatinya lewat indra yang bersifat abstrak dan tidak lagi
berhubungan dengan data-data partikular.
Secara umum, kita bisa mengatakan bahwa intuisi mampu memahami
banyak hal yang tidak bisa dipahami oleh akal. Akal memiliki beberapa
kelemahan dan membutuhkan pelengkap untuk menyempurnakannya, maka
dar itu untuk menutupi kekurangan akal tersebut, manusia dilengkapi oleh
Tuhan dengan intuisi ata hati sehingga akan lengkaplah seluruh perangkat ilmu
bagi manusia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, M.A., H. Endang Saifuddin. 2004. Wawasan Islam. Jakarta: Gema Insani.

Heriyanto, Husein. 2011. Paradigma Holistik. Jakarta: Teraju-Mizan.

Rusliana, S.Fil.I., M.Si., Lu. 2015. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Refika Aditama.

Syukur. M.A., Prof. Dr. Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

10

Anda mungkin juga menyukai