Anda di halaman 1dari 61

Pengertian ilmu kalam

Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain:ilmu


ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu
ushuluddin karena karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu
tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT. Namun argumentasi ilmu
kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari
Bahasa Inggris, theology. William L. Reese mendefisinikannya dengan discourse
or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).
Sementara itu Musthafa Abdul Raziq berkomentar, “ilmu ini (ilmu kalam)
yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas
argumentasi-argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah
Islami ini bertolak atas bantuan nalar ”. sementara itu Al-Farabi mendefinisikan
ilmu kalam sebagai berikut : “ilmu kalam adalah disiplinilmu yang membahas
Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang
berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan
doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara
filosofis”
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
“ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai aargumentasi
tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional”.
Adapun ilmu ini dinamakan ilmu Kalam, disebabkan :
a) Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan hijriah ialah apakah Kalam Allah (Al-qur’an) itu qadim atau hadits.
b) Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini
tampak jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang
mempergunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadits), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalili-dalil
fikiran.
c) Dinamakan Ilmu Kalam karena pembicaraan tentang Tuhan dibahas
dengan logika. Maksudnya menggunakan dalil-dalil aqliyah ; dari
permasalahan masalah sifat-sifat kalam bagi Allah.

 Dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu kalam


a. Al-quran
Sebagai dasar dan sumber ilmu kalam, Al-quran banyak menyinggung hal
yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah:
Artinya:
“Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan (3) dan tidak ada sesuatu yang
sama denganDia (4)”

Dan masih terdapat juga di dalam QS. Asyura :7, QS. Al furqan 59, QS. Al
fath 10 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berkaitan dengan dzat, sifat, asma,
perbuatan, tuntunan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya saja penjelasan rincinya tidak ditemukan.

b. Hadis
Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas
ilmu kalam yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai
kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya adalah:
“hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”

c. Pemikiran manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri
atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk
dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran
rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran,
terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat).
Seperti halnya filosof muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria
Al-Razi atau yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal
dalam memahami kalam Ilahi, ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk
mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk
mengatur hidup manusia di dunia.

d. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu
kepercayaaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama.
William L. Reese mengataakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan
ini yang dikenal dengan istilah theologia, telah bekembang sejak lama. Ia bahkan
mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos. Selanjutnya teologi itu
berkembang menjadi teologi alam dan teologi wahyu.
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus mengetahui
ajaran dasar agama yang oleh para mutakalimun tidak boleh diperselisihkan
seperti:
1.      Allah maha Esa
2.      Muhammad adalah Rasul
3.      Al-Quran adalah wahyu
4.      Hari akhirat itu pasti
5.      Surge dan neraka itu ada.

Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang lingkup),
seperti:
1.      Allah mempunyai sifat diluar dzat atau tidak
2.      Diutusnya Rasul wajib atau tidak
3.      Al-quran Qadim atau baharu
4.      Surga dan neraka itu jasmani atau rohani
5.      Melihat Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani
6.      Dan lain-lain.
 Sejarah timbulnya ilmu kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh
persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan utsman bin affan yang
berbuntut pada penolakan muawiyah atas kekhalifahan Ali bin abi thalib.
Ketegangan tersebut mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan
keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali menerima tipu muslihat Amr bin Al ash,
utusan dari pihak Muawiyah dalam tahkim. Kelompok yang awalnya berada
dengan Ali menolak keputusan tahkim tersebut mereka menganggap Ali telah
berbuat salah atas keputusan tersebut sehingga mereka meninggalkan barisannya,
kelompok ini dikenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan
memisahkan diri.
Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap
mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok syiah.
Harun lebih jauh melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul
adalaah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini timbul
berawal dari masalah politik yaitu ketika usman bin affan wafat terbunuh dalam
suatu pemberontakan . sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun
pencalonan Ali ini banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di
Mekah. Tantangan kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus salah
seorang keluarga dekat Usman bin Affan. Ia pun tidak mau pengangkatan Ali
sebagai khalifah. Muawiyah menuntut untuk menghukum para pembunuh Usman
bin Affan.
Hingga sampai terjadinya peristiwa tahkim yang membuat Muawiyah naik
tahta secara illegal. Ketika Ali membiarkan hal itu terjadi sebagian tentara Ali
tidak menyetujui hal tersebut.mereka memandang Ali telah berbuat salah dan
berdosa dengan menerima keputusan (arbitrase) itu.
Akhirnya mereka menganggap Ali dan Muawiyah telah kafir. Dan hal itu
berkembang bukan lagi menjadi masalah politik namun telah menjadi masalah
teologi. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Khawarij.
Kerangka Berpikir Aliran – Aliran Ilmu Kalam

Sebelum kita membahas tentang kerangka berpikir ilmu kalam, kita harus
memahami apa depenisi dari ilmu kalam itu sendiri. Ilmu kalam biasa disebut
dengan beberapa nama yaitu:
1.      Ilmu ushuludin
2.      Ilmu tauhid
3.      Fiqih ak-bar
4.      Teologi islam
Jadi dapat disimpulkan bahwa Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas
berbagai masalah keTuhanan dengan menggunakan argomentasi logika atau
filsafat’ secara teoritis ‘
Sebagaimana sumber ilmu kalam, Al –Qur’an banyak menyinggung hal
yang berkaitan dengan masalah keTuhanan seperti :
 Q. S al – iklas ( 112 ) : 3- 4 ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak beranak
dan tidak diperanakan, serta tidak ada sesuatupun didunia ini yang tanpak
sekutu baginya.
 Q. S . asy –syura ( 42 : 7 ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak
menyerupai apapun didunia ini. Ia maha mendengar dan maha mengetahui.
 Q. S. Ali – imron ( 3) : 84 – 85, ayat ini menunjukan bahwa Tuhanlah yang
menurunkan petunjuk jalan kepada para nabi.
Ayat – ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal
– hal lain yang berkaitan dengan ekstensi Tuhan, yaitu pembicaraan tentang hal –
hal yang berkaitan dengan keTuhanan itu disistimatiskan yang pada giliranhnya
menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.

 Latar Belakang Perbedaan Pendapat Dalam Islam


Latar belakang ilmu kalam muncul karena disebabkan oleh dua faktor yaitu :
1. Faktor internal adalah yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam karena
masalah – masalah politik karena akal pikiran mereka mulai
memfilsafatkan agama, dan karena Al – Qur’an itu tidak hanya sebagai
seruan dakwah.
2. Faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam karena
kebanyakan orang – orang memeluk agama islam sesuda kemenangannya,
karena golongan islam yang terdahulu terutama mu’tazilah lebih
mementingkan atau memusatkan perhatian untuk dakwah islamiyah dan
membantah orang orang yang membanta alasan orang – orang yang
memusuhi islam.
Mengkaji aliran – aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya
memahami kerangka berpikir dan peroses pengambilan keputusan para ulama
aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan – persoalan kalam.
Adapun perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat dikategoikan
menjadi dua macam yaitu kerangka berpikir tradisional metode tradisional dan
berpikir rasional .
Metode rasional memiliki perinsif – perinsif sebagai berikut :
1. Hanya terkait pada dogma – dogma yang dengan jelas disebut dalam al –
qur’an dan hadis nabi yaitu hadis qath’i
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak
serta memberikan daya yang kuat pada akal.

Adapun metode berpikir tradisional memiliki perinsif – perinsif yaitu:


1.      Terkait pada dogma – dogma dan ayat – ayat yang mengandung arti zhanni.
2.      Tidak memberikan kebebesan kepada manusia dalam berkehendak dan
berbuat.
3.      Memberikan daya yang kecil pada akal.

a.     Aliran antroposentris


Aliran ini menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intracosmos dan impersonsl, ia berhubungan erat dengan masyarkat cosmos baik
yang natural maupun yang supernatural dengan demikian manusia harus mampu
menghapus, keperibadian kemanusiannya. Untuk meraih kemerdekaan lilitan
natural.
b.     Teologi teosentris
Aliran ini mengagap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
supercosmos personal dan ketuhanan. Kadang kala manusia teoritis untuk
manusia yang statis sering kali terjebak dalam kepasraan mutlak kepada Tuhan
sikaf kepasraan menjadikan penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.
Aliran tioritis menggap bahwa daya yang menjadi potinsi perbuatan baik
atau jahad manusia bisa datang sewaktu dari Tuhan, bahkan manusia dapat
dikatakan tidak mempunyai daya sama sekali terhadap segala perbuatannya aliran
teologi tergolong dalam kategori Jabariayah.
c.    Aliran konvergensi / sentesis
Aliran ini menganggap bahwa hakekat realitas terensinden bersifat super
sekaligus intracosmos dan sifat lain yang dikotomik. Aliran konvergensi
memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu
( serba ganda ) baik substansional maupun formal. Substansi atau sesuatu
mempunyai nilai – nilai batinyah, hawiyah, dan enternal.
Aliran ini berkaitan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses
kerjasama antara daya yang transendental ( Tuhan ) dalam bentuk kebijakan dan
daya temporal ( manusia ) dalam bentuk teknis. Kesimpulannya aliran ini
berpendapat bahwa kehendak manusia yang perofan selalu berdampingan dengan
Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran yang dapat di
masukan kedalam kategori ini adalah asy’ariyah.
d.    Aliran Nihilis
Aliran ini menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilus.
Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi
Tuhan cosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam
suatu masyarakat yang serbah kebetulan.

Persoalan – Persoalan Kalam


Menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh
persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa
penbunuhan utsman bin affan, yang terbentuk dalam penolakan mu’awiyah atas
kekhalifaan Ali bin Abi thalib.
Persoalan ini telah menimbukan 3 aliran teologi dalam islam yaitu:

a. Alira khawarij
Aliran ini menegaskan bahwa orang yang berdosa besar atau kafir dalam arti telah
keluar dari islam maka wajib dibunuh.
b. Aliran murji’ah
Aliran ini menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mu’min
dan bukan kafir, adapun dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah
untuk mengampuni atau menghukumnya.
c. Aliran mu’tazilah
Aliran ini menegaskan bahwa tidak menerima kedua pendapat kahawarij dan
murji’ah, karena bagi mereka orang yang berdosa bukan kafir tetapi bukan pula
mu’min. Mereka mengambil antara mu’min dan kafir, yang dalam bahasa arabnya
dikenal dengan istilah Al- Manzilah Manzilatan ( posisi diantara 2 posisi.
Dalam islam timbul pula dua aliran dalam tiologi yang terkenal dengan
nama “ Qadariyah” dan “Jabariyah”. Menurut Qadariyah manusia mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun jabariah adalah bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran – aliran khawarij. murji’ah dan mu’tazilah tak mempunyai wujud
lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran
asy’ariyah dan maturidiyah yang keduanya disebut “ Ahluussunnah Wal Jam’ah “.

HUBUNGAN ILMU KALAM, FILSAFAT DAN TASAWUF

A.     Titik Persamaan


Ilmu kalam, filsafat", dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian.
Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu vang berkaitan
dehgan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah
alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf
adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari
aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan
ketuhanan. Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang
sama, yaitu kebenaran.
Ilmu kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang
Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula,
berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang
belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar
atau di atas jangkauannya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga
dengan metodenya yang tipikal-berusaha mehghampiri kebenaran yang berkaitan,
dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.

B.    Titik Perbedaan


Perbedaan di antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya.
Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-
argumentasi naqliah- berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama.
Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga
dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, ilmu kalam
berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui
argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu
ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama,
serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode
rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan
(mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun,
kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bemama logika. Peranan filsafat
sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan
melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of'conceptual clarity).
Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika
maka di dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam
pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan fakta
dan data itu sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, kebenaran adalah persesuaian
antara apa yang ada di dalam rasio dengan kenyataan sebenamya di alam nyata.
Di samping kebenaran korespondensi, di dalam filsafat juga dikenal
kebenaran koherensi. Dalam pandangan koherensi, kebenaran adalah kesesuaian
antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui
kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak
benarkalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama
urnum.
Di samping dua macam kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga
kebenaran pragmatik. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu
yang bennanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan
dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak
tampak manfaatnya secara nyata dan suiit untuk dikerjakan.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada
rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dan rasa, ilmu tasawuf
bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang.
Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio.
Hal ini karena pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan.
Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh orang yang ingin
memperoleh kebenarannya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang,
sehingga sangat interpretable (dapat diinterpretasikan bermacam-macam).
Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau
ilham, atau inspirasi yangdatang dan tuhan.
Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran
hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek
sendiri. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama
atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.
Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi di antaranya berperan
sebagai ilmu yang mengajak oranevang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya
mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu
yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal
Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya
langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima
diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya.Adapun
tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang
telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin
dicarinya.
Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang
tertentu. Jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat dan yang terakhir
adalah ilmu tasawuf.

C.    Titik Singgung Antara Ilmu Kalam Dan Ilmu Tasawuf


Ilmu kalam, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, merupakan disiplin
ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan
kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada
perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional
(aqliyah) maupun naqtiyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah
landasan pemaliaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis,
sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa
dalil-dalil Quran dan Hadis. Ilmu kalam sering menempatkan dirinya pada kedua
pendekatan ini (aqli dan naqli). Jika pembicaraan ilmu kalam ini hanya berkisar
pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, tanpa
argumentasi rasional, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan
istilah ilmu tauhid.
Pembicaraan materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak
menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan
bahwa Allah bersifat sama' (Mendengar), Bashar (Melihat), Kalam (Berbicara),
Iradah (Berkemauan), Qudrah (Kuasa), Hayat (Hidup), dan sebagainya. Namun,
ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba
dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihathya; Bagaimana
pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Quran; Dan bagaimana
seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari
Qudrah (Kekuasaan) Allah ?
Pertanyaan ini sulit terjawab apabila hanya melandaskan diri pada ilmu
tauhid atau ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan tentang penghayatan
sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu tasawuf. Disiplin inilah
yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan
bahwa persoalan tadzawwuq (bagaimana merasakan) tidak saja termasuk dalam
lingkup hal yang sunah atau, dianjurkan,tetapi justru termasuk hal yang
diwajibkan.
As-Sunnah memberikan perliatian yang begitu besar terhadap masalah
tadzcnvwuq. Ini tampak pada Hadis Rasul yang dikutip dari Said Hawwa: "Yang
merasakan imun adalah orang yang rida kepada Allah sebagai Tuhan, rida kepada
islam sebagai agama, dan rida kepada Muhammad sebagai Rasul". Dalam Hadis
lain, Rasulullah pun pernah mengungkapkan, "Ada tiga perkara yang
mengakibatkan seorang dapat merasakan lezatnya iman: Orang yang mencintai
Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain; Orang yang mencintai hamba karena
Allah; dan orang yang lakut kembali kepada kekufuran, seperti ketakutannya
untuk dimasukkan ke dalam api neraka.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran
dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu
tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan
keyakinaridan ketentraman, serta upaya menyelamatkan diri dari kemunafikan.
Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya mengetahui batasan-batasannya. Hal
ini karena terkadang seseorang yang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan pun
tetap saja melaksanakannya. Allah berfirman:
          
           
       
Artinya:"Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman".
Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ath-Thabrani, dalam kitab Al-Kabir, meriwayatkan Hadis sahih dari Ibnu
Umar r.a. la berkata:
Artinya:"Pada sualu hari saya bersama-sama dengan Nabi. Beliau didatangi
oleh Hurmalah bin Zaid. la duduk di hadapan Nabi seraya berkata, 'Wahai
Rasulullah, iman itu di sini (sambil mengisyaratkan pada lisannya) dan
kemunafikan itu di sini (seraya menunjuk dadanya). Kami tidak pernah
mengingat Allah, kecuali sedikit. Rasulullah mendiamkannya, maka Hurmalah
mengulangi ucapannya tadi, lalu Rasulullah SAW. memegang Hurmalah seraya
berdoa: 'Ya Allah jadikanlah untuknya lisan yang jujur dan hati yang bersyukur,
kemudian jadikan dia mencintai orang yang cinta kepadaku. dan jadikanlah
urusannya baik'. Kemudian Hurmalah berkata, 'Wahai Rasulullah aku
mempunyai banyak lemon yang munafik, dan aku adalah pemimpin mereka,
tidakkah aku akan memberi tahu nama-nama mereka kepadamu?' Rasulullah
SAW. menjawab, 'Siapa yang datang kepada kami. kami akan mengampuninya
sebagaimana kami mengampunimu, dan siapa yang berketetapan hati untuk
melaksanakan agamanya, maka Allah lebih ulama baginya, janganlah menembus
tirai (hati) seseorang !"
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebaagai
pemberi wawasan spiritual dalam pemahamah kalam. Penghayatan yang
mendalam lewat hati (dzauq dan widfan) terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam
menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan
demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna tauhid jika dilihat bahwa ilmu
tasawuf merupakan sisi terapan rohaniyah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam pun berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu,
jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah atau lahir suatu
kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, hal itu
merupakan penyimpangan atau penyelewengan Jika bertentangan atau tidak
pernah diriwayatkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah, atau belum pernah
diriwayatkan oleh ulama-ulama salah hal itu harus ditolak.
Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran
rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa
ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung
muatan rasional di samping muatan naqliyali. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran
rohaniah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih liberal dan bebas. Di
sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah, yang kering dari
kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).
Bagaimanapun amalan-amalan tasawuf mempunyai pengaruh yang besar
dalam ketauhidan. Jika rasa sabar tidak ada, misalnya, muncullah kekufuran. Jika
rasa syukur sedikit, lahirlah suatu bentuk kegelapan sebagai reaksi. Begitu juga
ilmu tauhid dapat, memberikan kontribusi kepada ilmu tasawuf. Sebagai contoh
jika cahaya tauhid telah lenyap akan timbullah penyakit-penyakit kalbu, seperti
ujub, congkak, riya, dengki, hasud, dan sombong. Andaikata manusia sadar bahwa
Allah-lah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki-akan sirna. Kalau saja dia
tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong. Kalau
saja manusia sadar bahwa dia betul-betui hamba Allah, niscaya tidak akan ada
perebutan kekuasaan. Kalau saja manusia sadar bahwa Allah-lah pencipta segala
sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat
bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah
(pendakian para kaum sufi).
Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu
tauhid terasa lebih bermakna, tidak kakum, tetapi lebih dinamis dan aplikatif

Kaum Khawarij
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kaum Khawarij berasal pengikut
Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan keluar dari barisannya disebabkan oleh
ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menyetujui
tawaran damai dengan Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dalam perang siffin yang
dikenal dengan arbitrase atau tahkim. Mereka merasa arbitrase hanya
menguntungkan bagi pihak Mu’awiyah yang menyatakan Mu’awiyah lah yang
harus diakui sebagai Khalifah.
Nama Khawarij berasal dari kata ”Kharaja” yang artinya” keluar”. Nama itu
diberikan kepada mereka dikarenakan mereka keluar dari barisan Ali Bin Abi
Thalib. Menurut Ahmad Amin, nama Khawarij mereka sendiri yang
menamakannya berdasarkan surat Annisa’ ayat 100, yang didalamnya disebutkan
” Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya. Berdasarkan pendapat ini
kaum Khawarij memandang kelompok mereka sebagai orang yang meninggalkan
rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan
Rasulnya.
Mereka juga menamakan diri mereka dengan ”al- Syur`at”, yang berasal
dari kata ”Yasri” artinya ” menjual” yang terambil dari surat al- Baqarah ayat 207.
Dan mereka juga mempunyai nama lain yaitu al- Harurat, disebabkan setelah
meninggalkan Ali mereka berkumpul di sebuah desa dekat kota Kuffah yang
bernama Harura. Di sinilah mereka mengangkat Abdullah Bin Wahab Arrasibi
sebagai imam mereka sebagai ganti dari Ali Bin Abi Thalib.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
kata Khawarij yang artinya keluar , karena meraka menyatakan keluar dari barisan
Ali disebabkan tidak setuju dengan arbitrase atau tahkim. Dan disandarkan kepada
penyebab mereka menyebut golongan mereka dengan nama khawarij, karena
mereka menganggap golongan mereka sebagai orang-orang yang bersikukuh
dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka harus meninggalkan
barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib. Hal ini disebabkan
oleh karena mereka tidak sependapat dengan Ali untuk menghentikan peperangan
yang sudah diambang kemenangan dan memilih arbitrase. Dan ternyata
Mu’awiyah yang sudah berpengalaman memanfaatkan arbitrase dengan
kelicikannya untuk menobatkan diri sebagai orang yang berhak menjadi Khalifah.
Konon pada awalnya Ali meragukan untuk menerima tawaran arbitrase atau
tahkim yang ditawarkan oleh Mu’awiyah dan pengikutnya, karena Ali tahu persis
dengan kelicikan dari Mu’awiyah sekalipun Mu’awiyah dan Amru Bin Ash
mengangkat Mushaf sebagai dasar bertahkim kepada Al-Quran, untuk
mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya. Akan tetapi dengan
pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin Abi Thalib yang setuju dengan
tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib menerima dengan lapang dada demi
menjaga keutuhan kelompoknya.
Namun sebagian lagi dari pengikut Ali Bin Abi Thalib tidak setuju dengan
arbitrase, karena kemenangan sudah hampir mereka peroleh dalam perang siffin,
dan menurut mereka arbitrase hanya menguntungkan bagi Mu’awiyah dan Amru
Bin Ash yang licik dengan taktiknya. Sehingga mereka yang tidak setuju dengan
menyatakan mundur dan keluar dari barisan Ali. Mereka pergi menuju Harura,
sebuah desa di dekat kota Kuffah di Irak. Dan mereka mengangkat Abdullah Bin
Wahb Al Rasyidi menjadi Imam mereka. Inilah kelompok yang dikenal dengan
sebutan Khawarij yang pertama yang beranggotakan sekitar 12 ribu orang.
Kelompok Khawarij disebut pula dengan Haruriyah, karena dinisbatkan
kepada Harura nama desa yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan Al-
Muhkamah, karena mereka yang mengatakan ”Bahwa tidak ada ketetapan Hukum
kecuali milik Allah”. Mereka juga menamakan kelompok mereka sendiri dengan
sebutan Asy-Syurat yang artinya orang yang menjual atau mengorbankan diri
kepada Allah berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 207.
Dengan demikian nyatalah Khawarij sebagai suatu golongan yang
memisahkan diri dari pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, disebabkan oleh watak
yang keras dan pemikiran yang ekstrim dari mereka, sehingga Khawarij dianggap
sebagai kelompok pemberontak dimasa Kekhalifahan Ali. Dalam berbagai
pertempuran besar Khawarij dapat dikalahkan oleh pasukan Ali. Namun akhirnya
seorang Khawarij yang bernama Abd Al-Rahman Bin Muljam berhasil
membunuh Ali Bin Abi Thalib.
Walaupun Khawarij telah mengalami kekalahan, mereka tetap bisa
menyusun kekuatan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan
Islam resmi baik di zaman Dinasty Umaiyyah maupun di zaman Dinasty
Abbasiyyah. Kemudian dalam perang saudara pada masa Ibn Az-Zubir, dua
gerakan kaum Khawarij yang memliki peran yang sangat besar dalam merangsang
pengembangan teologi sehingga berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi
kelompok yang cukup besar. Kelompok Khawarij pertama adalah sub sekte
Azraqiah sesuai dengan nama pimpinan mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq dan
kepemimpinan Az-Zubair. Namun pada tahun 684 M, kota Basra jatuh ke tangan
Ibn Az-Zubair, sehingga orang-orang sekte Azrqiah yang tersisa melarikan diri ke
pegunungan di sebelah timur Basra. Akhirnya tentara Bani Umaiyyah yang
berkuda pada waktu itu berhasil memusnahkan kekuatan mereka.
Sebagai golongan yang ekstrim Khawarij memang menanggapi setiap
permasalahan yang muncul pada waktu itu secara keras dan sempit, siapapun
pemimpin Islam, apabila tidak memerintah sesuai dangan Al-Quran dan Sunnah
yang mereka fahami secara lafziyah, mereka anggap telah menyeleweng dari
ajaran Islam, dan mereka mesti ditentang dan dijatuhkan, bahkan darah mereka
menjadi halal atau harus dibunuh. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang
berfaham sedikit moderat seperti Sekte Ibadiyah, yang akan penulis paparkan
berikut ini.

Sekte dan Ajarannya


1. Al-Muhakkimah
Sekte Al-Muhakkimah adalah golongan Khawarij yang terdiri dari
pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan dirinya telah keluar dari
barisan Ali dalam perang siffin. Mereka disebut dengan golongan Khawarij Asli.
Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dan kedua
pengantara Amru Bin Ash dan Abu Musa Al-Assyari dan semua orang yang
menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Kemudian hukum kafir ini
mereka perluas pengertiannya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang
melakukan dosa besar.
Menurut mereka berbuat zina adalah dosa besar, maka bagi pelaku zina
telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Dan begitu juga dengan orang yang
membunuh sesama manusia tanpa alasan yang sah, menurut mereka juga dosa
besar. Dengan demikian pelaku pembunuhan telah keluar dari Islam dan menjadi
kafir.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa galongan Khawarij telah
menganggap orang-orang yang menerima Tahkim atau arbitrase adalah kafir atau
murtad. Orang-orang seperti ini menurut mereka wajib dibunuh karena tidak
menentukan hukum sesuai dengan Al-Quran. Selain itu mereka juga
membicarakan masalah siapa yang tetap Mu’min yang menjadi ajaran pokok dan
teologi Khawarij seperti pelaku dosa besar.

2. Al-Azariqah
Golongan ini adalah kelompok yang besar dan terkuat setelah hancurnya
golongan Al-Muhakkimah. Daerah kekuasaan Al-Azariqah adalah pada
perbatasan Irak dengan Iran. Nama Al-Azariqah terambil dari nama pemimpin
mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq yang meninggal pada tahun 686 M di Irak. Sub
Sekte ini memiliki pandangan yang lebih radikal dibanding sekte Al-
Muhakkimah, karena mereka tidak lagi memakai istilah kafir bagi pelaku tahkim
dan dosa besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme yang dosanya
lebih besar dari trem kafir.
Menurut Al-Azariqah, semua orang yang tidak sefaham dengan mereka
adalah musyrik, walaupun orang yang sefaham dengan Al-Zariqah tetapi tidak
mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Menurut
mereka, daerah Islam itu hanyalah daerah kekuasaan mereka saja, sedangkan
orang yang tinggal diluar daerah kekuasaan Al-Zariqah adalah musyrik, mereka
boleh ditawan dan dibunuh. Bahkan istri dan anak-anak dari orang yang
dipandang musyrik boleh dibunuh.
Dengan demikian agaknya sekte Al-Zariqah nyata-nyata menganggap
hanya golongan merekalah yang sebenarnya orang Islam, adapun orang-orang
yang diluar lingkungan mereka adalah kaum musyrik dan daerahnya adalah Darul
Al Kufr, maka harus diperangi. Maka Ibn Al-Hazm mengatakan, orang-orang
sekte Al-Zariqah selalu melakukan Isti’rad, yakni selalu mempertanyakan
pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa yang mereka jumpai mengaku oarang
Islam, yang tidak termasuk golongan Al-Zariqah langsung mereka bunuh.
Sekte Al-Zariqah merangsang pemikiran teologis karena secara logika
mereka merumuskan kedudukan Khawarij pada kesimpulan yang ekstrim, prinsip
dasarnya yang telah dirumuskan dalam bahasa Al-Quran bahwa tidak ada
keputusan selain keputusan Allah ( La Hukma Illa Lillah ) yang berarti keputusan
adalah hak Allah semata, dengan demikian menurut mereka keputusan harus
diambil sesuai dengan harfiahnya Al-Quran.
Sekte ini juga berpendapat bahwa penguasa yang telah berbuat dosa dan
menyatakan bahwa siapa yang tidak ikut mereka dalam memerangi penguasa yang
ada juga adalah pendosa. Sedangkan anggota kelompok Al-Zariqah adalah
kelompok muslim sejati.

3. Al-Najdad.
Sekte Khawarij ini muncul disebabkan terjadinya perbedaan pendapat
dengan kubu Al-Zariqah, tentang faham bahwa orang yang tidak bergabung
dengan Al-Zariqah adalah orang musyrik. Maka untuk itu mereka mengangakat
pimpinan sendiri yang bernama Najdah Bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah.
Begitu juga dengan pendapat Al-Zariqah tentang boleh dan halalnya anak dan istri
orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka untuk dibunuh.
Najdah memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan dua sekte Khawarij
sebelumnya yakni bahwa orang yang melakukan dosa besar, yang menjadi kafir
dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan
golongannya. Sedangkan pengikut-pengikut Najdah yang melakukan dosa besar,
memang betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan didalam neraka dan kemudian
akan masuk ke syurga. Kemudian dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus akan
menjadi dosa besar dan orang yang mengerjakannya menjadi musyrik.
Sekte Najdah atau Najdiyah kebanyakan mereka terdiri dari kaum Khawarij
yang berasal dari Arabia Tengah yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka
mulai dari tahun 686 – 692 M adalah Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan
sekte Najdah mencakup bentangan luas Arabia bahkan Oman di pantai timur
Yaman serta Hadramaut di selatan dan barat daya. Pertikaian yang sering terjadi
dalam masalah kepemimpinan menjadikan sekte Najdah terpecah kepada
beberapa sub sekte, dan kemudian Yamamah ditindak oleh tentara Umayyah.
Nampaknya sebagian besar pandangan kaum Najdah berdasarkan pada
pandangan hukum seperti yang biasa muncul dalam pemerintahan suatu negara
yang memiliki wilayah yang luas, seperti persoalan-persoalan perlakuan pimpinan
terhadap tawanan perang wanita, hukuman pengadilan kasus-kasus pencurian
serta perampokan. Dari pandangan kaum Najdiyah mengenai masalah seperti itu,
tergambar bahwa adanya upaya awal untuk mempertimbangkan kembali konsep-
konsep Khawarij, tentang masyarakat Islam sejati dan tujuan memberikan
keringanan karena ketidak sempurnaan manuasia dalam menghindarkan diri dari
larangan Agama. Pandangan kaum Khawarij yang keras yang dijadikan dasar oleh
kaum Najdiyah adalah bahwa seseorang yang terlibat dalam dosa besar penghuni
neraka. Kalau bagi kaum Al-Zariqah pelaku dosa besar dengan mudah dapat
dikeluarkan dari daerah kekuasaannya, tetapi bagi kaum Najdiyah yang memiliki
daerah yang luas tidak mudah untuk mengeluarkan seseorang dari wilayahnya,
jadi menurut mereka hal itu tidak diperlukan, ini adalah atas dasar pertimbangan
bahwa manusia normal manapun juga cendrung untuk mengakui adanya
keburukan dan kebaikan.
Menurut kaum Najdiyah dosa kecil yang dilakukan seseorang akan menjadi
dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya akan
menjadi musyrik. Kemudian yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui
Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya
pada seluruh yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tidak
mengetahui tiga macam ini tidak dapat diampuni. Yang dimaksud orang Islam
disini adalah orang kaum Najdiyah. Dalam masalah selain diatas, orang Islam
tidak diwajibkan untuk mengetahuinya, kalau ia melakukan sesuatu yang haram
dengan alasan ia tidak tahu bahwa itu adalah haram, ia dapat dimaafkan.
Selain itu lapangan politik Najdah berpendapat bahwa Imam itu perlu jika
maslahat menghendakinya. Menurut mereka seseorang boleh saja tidak berhajat
pada adanya imam atau pemimpin. Di kalangan Khawarij, golongan ini
kelihatannya yang berkeyakinan bahwa mereka boleh saja merahasiakan
keyakinan demi untuk keamanan diri seseorang yang disebut dengan Taqiah.
Taqiah bukan hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Dengan
demikian seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan
perbuatan yang mungkin menunjukkan dia secara lahiriyah nya bukan orang
Islam, tetapi pada hakikatnya ia tetap menganut agama Islam.
Walaupun demikian tetapi tidak semuanya golongan Najdiyah setuju
dengan pendapat tersebut, terutama bahwa dosa besar tidak membuat pelakunya
menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Akhirnya
perpecahan dikalangan mereka terjadi dalam masalah pembagian harta rampasan
perang atau qarimah, dan sikap lunak yang diambil oleh Najdah terhadap khalifah
Abd Al-Malik Ibn Marwan dari Dinasty Bani Umayyah. Dalam perpecahan ini
Abd Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Afiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah
ke Sajistan Iran dan akhirnya Najdah dapat mereka bunuh.

4. Al-Jaridah
Golongan ini adalah pengikut Abd. Karim Bin Ajrad yang sekelompok
dengan ’Atiah bin Al-Aswad. Dimana pada awalnya mereka adalah golongan Al-
Najdah, sehingga pemikiran Al-Jaridah serupa dengan pemikiran Al-Najdah.
Diantara pemikiran Al-Jaridah yang spesifik adalah tentang masalah anak kecil
harus bebas dari seruan kepada Islam, kecuali setelah ia baligh. Dan bagi orang
musyrik tetap berada didalam neraka bersama orang tuanya. Diantara prinsip
mereka adalah Hijrah hanya merupakan keutamaan bukan kewajiban. Orang-
orang yang melakukan dosa besar tetap kafir dan tidak boleh mengambil harta
rampasan perang, tidak boleh membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang.
Kalau Al-Jaridah masih bersikap lunak terhadap kewajiban berhijrah karena
hijrah itu hanya merupakan suatu kewajiban saja. Dan pengikut Al-Jaridah boleh
tinggal diluar daerah kekuasaan mereka, artinya mereka tidak dianggap kafir.
Selanjutnya kaum Al-Jaridah ini mempunyai faham puritanisme. Menurut mereka
Al-Quran sebagai kitab suci tidak mungkin mengandung cerita cinta sebagaimana
yang diyakini golongan lain, sehingga mereka tidak meyakini surat Yusuf sebagai
bagian dari Al-Qur`an.

5. Al-Sufriah
Pimpinan golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar. Dimana golongan ini
terkenal dengan gerakan evolusi praktis dalam pemikiran Khawarij. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Mahmud Abdurrazaq dalam bukunya ”Al-Khawarij fi biladil
Magrib” bahwa keyakinan golongan Sufriyah atau Syafariyah bahwa mereka tidak
berlebihan dalam bersikap yang hanya justru menyebabkan perpecahan
dikalangan Khawarij seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka tetap melakukan
hukum rajam bagi pezina, tidak membunuh anak-anak orang musyrik serta tidak
mengkafirkan seperti pendapat golongan Azariqah. Mereka juga membolehkan
Taqiah, tetapi hanya dalam perkataan, bukan perbuatan.

6. Al- Ibadiyah
Golongan Al-Ibadah adalah pengikut Abdullah Bin Ibadh At-Tamimy. Ia
hidup pada pertengahan kedua abad I Hijriyah. Mereka lebih dekat kepada
golongan Islam dari pada golongan Khawarij. Pendapat-pendapat mereka lebih
solider dari pada kelompok Khawarij yang lain. Pada tahun 686 M, mereka
memisahkan diri dari golongan Al-Zariqah. Faham moderat mereka dapat dilihat
di ajaran-ajarannya sebagai berikut :

1. Orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan
bukan pula musyrik tetapi kafir. Maka orang Islam yand demikian boleh
melakukan perkawinan dengan orang Islam lain, dan hubungan warisan,
shahadat mereka dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram.
2. Daerah Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah kafir
3. ”Dar Tawhid” yakni daerah yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp
pemerintah. Mereka boleh diperangi karena menurut mereka camp
pemerintah adalah daerah orang kafir.
4. Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah muwahid, orang yang
meng Esakan Tuhan tetapi bukan mukmin, dan kalaupun mereka kafir
tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir rullah.

Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta seperti
emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya kecuali bila dia sudah
mati.

Kemudian pendapat golongan Ibadiah yang terpenting adalah bahwa semua


yang di wajibkan Allah terhadap makhluknya merupakan gambaran dari iman.
Iman harus mencakup sisi awal yang merupakan bagian dari iman. Namun mereka
tidak memberikan kejelasan tentang masalah kedudukan anak orang musyrik.
Menurutnya mereka boleh saja disiksa atau boleh juga masuk syurga.

Ajaran Pokok Khawarij

Diantara ajaran pokok Khawarij berkisar tentang masalah kekhalifahan atau


politik ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal perbuatan umat Islam antara
lain:
1. Khalifah tidak mesti berasal dari suku Quraisy, siapa saja yang mapunyai
kapasitas untuk menjadi khalifah dan bisa berlaku adil dapat dipilih,
apabila tidak mampu wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak bersifat turun
temurun. Pendapat ini akhirnya dianut oleh Ahli Sunnah.
2. Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir. Dosa besar yang
dimaksud kaum Khawarij adalah orang yang bertahkim tidak dengan Al-
qur`an, berzina dan memakan harta anak yatim tidak sefaham dengan
mereka dinyatakan kafir.
3. Untuk menentukan kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada
amal perbuatannya. Sungguhpun seseorang telah bersahadat, tetapi
melanggar ketentuan agama maka dihukum kafir.

Kaum Murji`ah
Munculnya kaum murji’ah ditengah suasana pertentangan yang terjadi
dikalangan umat Islam pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan munculnya kaum
Khawarij. Kaum murji’ah muncul juga disebabkan oleh persoalan politik dalam
masalah khilafah. Dapat dikatakan agaknya kaum murji’ah adalah orang-orang
yang tehimpun dalam sebuah golongan yang tampil beda dalam menyikapi
persoalan-persoalan yang terjadi pada masa mereka . Namun kaum murji’ah
tidaklah terpengaruh dengan praktek kafir-mengkafirkan sesama umat Islam.
Mereka lebih netral dibanding Khawarij yang begitu fanatik dan ekstrim dalam
ajarannya.
Kata Murji`ah berasal dari kata ”al- Irja`” yang berarti ”al- Ta`khir” yang
artinya menangguhkan atau menomorduakan, hal ini berdasarkan pada firman
Allah yang terdapat dalam surat al-A`raf ayat 111,”Qaaluu arjih wa akhaahu”
yang artinya mereka menjawab”beri tangguhlah dia dan saudaranya, dan juga
berarti ”I`thaa`u al-rajaa”. Pengertian murji`ah yang ke dua ini adalah disebabkan
mereka berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak merusak iman, sebagaimana
halnya ketaatan seseorang tidak berpengaruh dengan kekufurannya.
Murji’ah lebih tepat dikatakan sebagai suatu kecendrungan atau nazi’ah,
yakni sebuah kecendrungan untuk mencari keselamatan dengan tidak
menenggelamkan diri ke dalam urusan politik, baik sebagai penyokong maupun
sebagai penentang. Semua permasalahan kecil yang menyebabkan timbulnya
masalah besar tampaknya dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan
teori maupun yang bersifat perbuatan dan tindakan.
Sebuah kesimpulan logis yang dapat diberikan terhadap sikap kaum
murji’ah adalah bahwa mereka memandang yang menentukan mukmin atau
kafirnya seseorang bukanlah soal perbuatan atau amalnya, tetapi terkait pada
masalah kepercayaan atau iman, artinya amal adalah sesudah duduknya masalah
keyakinan dalam diri orang mukmin. Inilah yang menjadi salah satu dasar
pemberian nama terhadap kaum murji’ah yang terambil dari kata arjaa’ yang
berarti mengambil tempat di belakang. Dalam artian memandang masalah
perbuatan seseorang menjadi kurang penting dalam menentukan posisi amal atau
kafirnya seseorang. Kata arjaa’ juga berarti penyelesaian persoalan siapa yang
salah dan siapa yang benar nanti diserahkan kepada pengadilan Tuhan. Pengertian
lain dari arjaa’ juga mengandung makna pemberian harapan bahwa orang Islam
yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan
kekal didalam neraka, disini jelas masih adanya penghargaan yang diberikan
kepada pelaku dosa besar dengan harapan mendapat rahmat dari Allah.

Sekte dan Ajarannya

Beberapa sekte dan ajaran Murji`ah yang terkenal adalah:

1. Yunusiyah
Pemimpin mereka adalah Yunus ibnu `Aun al Hamiri. Mereka berpendapat
bahwa iman adalah mengenal Allah, tunduk dan cinta serta tidak takabur kepada
Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang berarti telah layak dikatakan
sebagai mukmin, sedangkan amal perbuatan yang berbentuk ketaatan bukanlah
unsur dari iman artinya tidak akan berpengaruh pada iman apabila ditinggalkan.
Bahkan menurut mereka apabila di hati seseorang telah bersemi rasa tunduk
dan cinta kepada Allah, perbuatan maksiatpun tidak akan bisa merusaknya, dan
inilah yang akan memasukkan seseorang ke syurga.
2. Ubaidiyah
Mereka sependapat dengan sekte Yunusiyah, bahwa dosa dan kejahatan tidak
akan merusak iman . Semua dosa tidak mustahil akan diampuni Allah selain dosa
syirik. Mereka adalah pengikut dari `Ubaid al- Mukta`ib.

3. Ghassaniyah
Mereka adalah pengikut Ghassan al- Kufi. Mereka berpendapat bahwa iman
adalah mengenal Allah dan RasulNya , serta mengakui kebenaran segala
ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman bersifat tetap tidak bisa
bertambah dan juga tidak bisa berkurang. Selanjutnya Iman menurut mereka
adalah pengakuan dan cinta kepada Allah, mengagungkannya dan tidak takabur
kepada Allah.

4. Saubaniyah

Sekte ini dipimpin oleh Abu Sauban al- Murji`i. Iman menurut mereka
adalah mengakui Allah dan RasulNya , mengetahui apa yang diperintah dan apa
yang dilarang secara rasional menurut mereka bukanlah iman.

5. Tumaniyah

Mereka adalah pengikut Abu Mu`az al- Tumani. Menurut mereka iman
adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di dalamnya terkandung
berberapa unsur iman yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kufur bila
ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq, mahabbah, ikhlas serta
mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. seperti orang yang meninggalkan
shalat atau puasa karena menganggap halal dianggap kafir, akan tetapi kalau
meninggalkannya dengan niat mengqada maka tidaklah kafir. Orang yang
membunah Nabi dipandang kafir karena dipandang telah menghina dan memusuhi
nabi, bukan karena perbuatan pembunuhannya.
6. Shalihiyah
Pimpinan mereka adalah Shalih ibnu Umar al- Shalihi. Menurut mereka
iman adalah mengenal Allah, siapa yang tidak mengenal Allah berarti kafir.
Ibadah menurut mereka bukan dipandang amal, tetapi adalah iman itu sendiri
yakni mengenal Allah, iman juga tidak bertambah dan tidak berkurang begitu juga
kafir. Shalat , puasa dan ibadah lainnya menurut mereka bukanlah ibadah tetapi
adalah ketaatan melaksanakan iman.

Ajaran Pokok Murji`ah


Kaum Murji`ah yang timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij dalam faham
mereka sangat bertentangan dengan faham Khawarij. Dimana menurut mereka
orang Islam yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap
mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya diserahkan kepada keputusan
Allah kelak di Akhirat. Apabila dosa besarnya diampuni Allah ia akan masuk
syurga, kalau tidak ia akan masuk neraka sesuai dengan dosa yang dilakukan,
kemudian dimasukkan ke syurga. Adapun argumen yang dipakai oleh kaum
Murji`ah adalah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masi
mengucapkan dua kalimat syahadat, orang ini masih tetap mukmin.
Pada umumnya kaum Murji`ah berpendapat bahwa iman adalah mengenal
Allah dengan hati. Seseorang dikatakan mukmin jika dia telah beriman dengan
hatinya, walaupun lidahnya tidak mengucapkan dua kalimah syahadat atau secara
lahirnya berprilaku Yahudi atau Nasrani. Menurut mereka iman adalah tasdiq,
amal seseorang lahir bukanlah karena tasdiq, maka iman dengan amal tidak
memiliki hubungan. Inilah golongan Murjiah yang ekstrim dalam fahamnya.
Dengan demikian menurut Murji’ah ekstrim, orang Islam yang melakukan
dosa besar masih tetap mukmin, karena menurut Abu Hanifah, iman itu ialah
sebuah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Nya dan
tentang segala yang datang dari Tuhan secara kaseluruhan. Iman menurutnya tidak
bisa bertambah dan tidak bisa pula berkurang serta tidak ada perbedaan antara
manusia dalam masalah iman. Pendapat ini mungkin muncul dikarenakan Abu
Hanifah sebagai seorang imam mahzab yang banyak berpegang pada logika.
Karena menurutnya iman semua orang adalah sama, walaupun dia orang baik atau
orang jahat, sehingga terjadi pro kontra di kalangan ulama dalam menilai
pendapat Abu Hanifah ini sehingga ada yang menggolongkan Abu Hanifah
sebagai tokoh ekstrim Murji’ah.
Menurut mereka sembahyang bukanlah merupakan ibadat kepada Allah,
karena yang disebut ibadah adalah iman kepada Allah, dalam arti Shalikiah
sembahyang, zakat, puasa dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak
merupakan ibadat kepada Allah. Karena yang mereka sebut ibadah itu hanyalah
iman kepada Allah.
Agaknya pendapat golongan Murji’ah ini sangat ekstrim sekali karena
menurut pendapat golongan ini antara perbuatan dan amal tidaklah sepenting
iman. Dan hanya imanlah yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang.
Sedangkan perbuatan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap iman. Iman itu
letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak dapat diketahui
oleh orang lain. Makanya ucapan dan perbuatan seseorang tidaklah mesti
mengandung arti bahwa dia tidak mempunyai iman, yang penting adalah iman di
dalam hati.
Golongan Murjiah kedua adalah golongan yang moderat, mereka
berpendapat bahwa seseorang mukmin selama dia mengakui tiada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya, dia adalah mukmin. Walaupun dia
melakukan dosa besar, namun dosa besar yang dilakukannya tidaklah membuat
dia keluar dari Islam. Artinya di a tetap menjadi orang Islam dan tetap akan masuk
surga. Karena menurut mereka iman bukan hanya membenarkan dengan hati,
tetapi juga harus diikrarkan dengan lisan.
Begitu juga pendapat ini dikuatkan oleh tokoh Murji’ah yang bernama Al-
Bazdawi bahwa iman adalah kepercayaan dalam hati, yang dinyatakan dengan
lisan. Kepatuhan kepada Tuhan merupakan akibat dari keimanan. Orang yang
meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah orang kafir. Orang mukmin yang
melakukan dosa besar tidak akan dalam neraka sekalipun dia tidak sempat
bertaubat, artinya nasib seseorang diakhirat tergantung kepada kehendak Allah.
Dengan demikian iman adalah kunci untuk masuk syurga, sedang amal hanya
berfungsi untuk membedakan tingkatan seseorang dalam syurga.

Pengertian Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah


1. Qadariyah
Istilah Qadariyah mengandung dua arti, pertama, orang-orang yang
memandang manusia berkuasa atas perbuatannya dan bebas untuk berbuat. Dalam
arti ini Qadariyah berasal dari kata qadara artinya berkuasa. Kedua, orang-orang
yang memandang nasib manusia telah ditentukan aleh azal. Dengan demikian,
qadara di sini berarti menentukan, yaitu ketentuan Tuhan atau nasib.
Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa
manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal
dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah inggris paham ini dikenal
dengan nama free will dan free act.
2. Jabariyah
Sedangkan nama Jabariyah berasal dari kata Arab jabara yang berarti
alzama hu bi fi’lih, yaitu berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya.
Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu
atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak
atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Dalam
filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination.
Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang
berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi
adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya.
Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut
mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah.

Latar Belakang munculnya aliran Mu’tazilah


Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun
105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin
Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha'
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang
berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih
berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan
tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun
dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang
dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami
buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka
sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam
(yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah). A. Asal-usul Kemunculannya Menurut harfiahnya, asal kata dari
mu’tazilah ialah kata ‫ " " إ ْعتـ َ َز َل‬yang mempunyai makna berpisah atau memisahkan
diri, menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk
pada 2 golongan, yakni: 1. Golongan Mu’tazilah I, yakni sebagai golongan yang
respon politiknya murni. Dimaksudkan dmikian karena golongan ini tumbuh
sebagai golongan yang netral politik. Mereka bersikap lunak terhadap
pertentangan yang terjadi antara ali dan lawan-lawannya. 2. Golongan Mu’tazilah
II, yakni golongan sebagai golongan yang respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah, akibat adanya peristiwa tahkim.
Mereka muncul karena berbeda pendapat dengan khawarij dan murji’ah tentang
pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Secara pemikiran
teologi islam, asal-usul kemunculan aliran mu’tazilah ini diawali dengan
penstatusan pelaku dosa besar. ُ‫( ْاألُصُوْ ُل ْال َخ ْمـ َسة‬lima ajaran dasar teologi
Mu’tazilah) 1. ‫( التَّوْ ِح ْي ُد‬peng-Esaan Tuhan) Tauhid adalah dasar agama islam yang
pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan monopoli aliran mu’tazilah saja,
tetapi ia menjadi milik setiap orang islam. Hanya saja aliran mu’tazilah
mempunyai tafsir yang khusus, sedemikian rupa dan mereka mempertahankannya,
sehingga mereka menekan diri mereka sebagai Ahlul Adli Wat Tauhid. Tauhid
yang mereka pakai itu merupakan prinsip utama dalam aliran Mu’tazilah. Sampai-
sampai mereka menolak konsep-konsep sebagai berikut: Tuhan memiliki sifat.
Hal yang mereka percayai, sifat ialah sesuatu yang melekat. Sedangkan Tuhan
(dalam hal ini Allah), ialah ‫( قـ َ ِد ْي ٌم‬Dzat yang terdahulu). Penggambaran fisik
َ ‫لَي‬
(antromorfisme tajassum). Mereka berlandaskan atas firman Allah, yakni: ‫ْس‬
) ۹ : ‫ َك ِمثـْلِ ِه َش ْي ٌء ( ا لشورى‬Yang artinya: “ tak ada satu pun yang menyamai-Nya”.
( Asy-syura : 9 ) Tuhan dapat dilihat dengan mata karena Tuhan merupakan
immateri (tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan juga
tidak berbentuk). Jadi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa sangat tampak
betapa aliran mu’tazilah itu menyusun jalan pikirannya secara filosofis yang
jilimet, dan kadang bertentangan dengan apa yang sudah ditanamkan dalam
keyakinan kita sebagai seorang muslim. 2. ‫( ال َع ْد ُل‬Tuhan Maha Adil/adil) Allah itu
selalu adil dalam tiap-tiap janji-Nya. Oleh karena itu, aliran Mu’tazilah percaya
akan adanya surga dan neraka yang merupakan salah satu balasan dari janji Tuhan
mereka. Di dalam ajaran dasar yang kedua ini, dipercayai akan adanya keterkaitan
yakni: Perbuatan manusia. Manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya
sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, secara langsung atau pun
tidak. Dan yang terpenting ialah Tuhan itu hanya menyuruh kepada hal yang baik.
)‫( الصحيح واألصح (األصلح‬Berbuat baik dan terbaik). Disini Tuhan itu memiliki
kewajiban untuk berbuat baik , bahkan yang terbaik bagi manusia. Mengutus
Rasul merupakan kewajiban Tuhan, karena alasan-alasan sebagai berikut : 
Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan untuk mewujudkannya maka
Tuhan mengutus rasul kepada mereka.  Tuhan memberi belas kasih kepada
manusia. (Asy-syu’ara : 29), cara terbaik ialah dengan mengutus rasul.  Tujuan
diciptakannya manusia ialah beribadah kepada-Nya. Jalan untuk berhasil
mencapai tujuan tersebut ialah mengutus rasul. 3. ‫الو ْع ُد َو ْال َو ِعـْي ُد‬
َ (janji dan ancaman).
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan menjatuhkan siksaan,
pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang
berbuat baik maka dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat
kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Sebagaimana yang mereka (aliran
ُ ‫ َو َغالَ بَ ْع‬,‫اب بِاألَ ْع ِما ِل َربَطًا َح ْت ًما‬
mu’tazilah) katakan: ‫ضهَ ْم فِى الَّت ْعبِـي ِْر فَـقَا َل ؛‬ َ َ‫اب َو ْال ِعق‬
َ ‫ثُ َّم َربَطُوْ االَّثـ َو‬
ْ ‫احبُ ْال َكبِ ْي َر ِة إ َذا َماتَ َولَ ْم يَتُبْ الَيَجُوْ ُز‬
‫أن‬ ِ ‫ص‬َ َ‫ ف‬,‫ب ْال َكثِ ْي َر ِة‬ َ َ‫أن يُثـْبِتَ ْال ُم ِط ْي َع َويُ َعاق‬
َ ‫ب ُمرْ تَ ِك‬ ْ ِ‫يَ ِجبُ عَل َى هللا‬
ِ ‫ َوألَ َّن الـَّطاعَا‬,‫ فَلَوْ لَ ْم يُ َعاقِبْ لَ َز َم ْالخ َْلفُ فِى َو ِع ْي ِد ِه‬.‫أخبَ َر بِ ِه‬
‫ت‬ ْ ‫ب عَل َى ْال َكبَائِ ِر َو‬ ِ ‫يَ ْعفُ َواهللاُ َع ْنهُ ألَنَّهُ أوْ َع َد بِ ْال ِعقَا‬
ِ ‫ َواألَ ْم َر بِهَا َو ْال َم َعا‬Yang artinya:
)‫ (هذا قول اإلعتزال أي لقوم المعتـزلة‬.‫صى َوالـَّن ْه َي َع ْنهَا‬
”kemudian mereka menghubngkan dengan ikatan yang kuat antara pahala dan
siksaan itu dengan amat perbuatan. Sebagian Mu’tazilah keterlaluan pendiriannya,
mengatakan: wajib bagi Allah memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa
orang berdosa besar. Orang yang berdosa besar apabila meninggal dan tidak
bertaubat, Allah tidak boleh mengampuninya, karena Allah telah mengancam
siksaan atas orang yang berdosa besar. Kalau seandainya tak menyiksanya, berarti
Allah mengingkari ancaman-Nya. Taat kepada-Nya adalah perintah dan maksiat
adalah larangan-Nya. (perkataan iktizal atau kaum mu’tazilah). Jadi, jika kita
berlaku baik dan tidak melanggar apa yang telah tuhan berikan, maka Tuhan akan
memberikan semua janji-janji-Nya, yakni Surga. Berlaku begitu juga sebaliknya
siapa yang melanggar maka neraka selalu menanti. Kata-kata ‫( تَوْ بَة ًنَصُوْ حًا‬taubat
yang sebenar-benarnya) itu berlaku dalam aliran mu’tazilah. Ini bertujuan
mendorong manusia agar berbuat baik dan tidak berbuat dosa. 4. َ‫ـزلَةُ بَ ْين‬ ِ ‫ْال َم ْن‬
‫( ْال َم ْنـِزلَتـَي ِْن‬tempat diantara dua tempat). Washil bin Atho’ mengatakan bahwa
seorang muslim yang melakukan dosa besar selain musyrik dan belum sempat
bertobat, maka ia tidak dikatakan mukmin dan tidak juga kafir.Tetapi Ia dianggap
fasik, yang mana fasik itu terletak antara iman dan kafir. Sebagaimana yang telah
diucapkan oleh aliran iktizal (kaum mu’tazilah) ialah: ‫ص ُل ِم ْن ِكب ِْر ِه إل َى‬ َ ‫إِ َّن ْال َكبَائِ َر بَ ْع‬
ِ َ‫ضهَا ي‬
.ُ‫ َوهُنَاكَ َكبَائِ ُر أقـَلُّ ِم ْنهَا ْال َم ْن ِزلَة‬,‫ فَ َم ْن شـَبَّهَ هللاُ بِخ َْلقِ ِه أوْ َج َّو ّزهُ فِى ُح ْك ِم ِه أوْ َك َّذبَهُ فِى خَ بَ ِر ِه فَقَ ْد َكفَ َر‬,‫َح ِّد ْال ُكـ ْف ِر‬
َ‫ْس ُم ْؤ ِمنًا َوال‬ َ ‫ق لَي‬ ْ َ‫ ف‬, َ‫ الَ ُك ْف َر ِوالَ إ ْي َمان‬,‫ق َم ْن ِزلَة ٌ بَ ْينَ ْال َم ْن ِزلَتَ ْي ِن‬
ُ ‫ـالفَا ِس‬ ُ ‫ َو ْالفِ ْس‬,‫َوهَ ِذ ِه ْال َكبَائِ ُر يُ َس َّمى ُمرْ تَ ِكبُهَا فَا ِسقًا‬
) ‫ ( هذا قول اإلعتزال أي لقوم المعتـزلة‬.‫ بَلْ ه َُو فِى َم ْن ِزلَ ٍة بَ ْينَ ْال َم ْن ِزلَتَـي ِْن‬,‫ َكافِرًا‬Yang artinya:
“sesungguhnya dosa besar sebagiannya sampai ke batas kufur. Barang siapa yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nyaatau memperbolehkan sesuatu yang
diharamkan atau mendustakan firman-Nya dia benar-benar kufur. Ini adalah dosa
besar, paling sedikit berada pada suartu tempat. Dosa-dosa besar ini pelakunya
dinamakan fasiq. Fasiq itu berada pada suatu tempat di antara dua tempat, tidak
kufur dan tidak pula beriman. Orang yang fasiq bukan mukmin bukan pula kafir,
tetapi dia berada pada suatu tempat di antara dua tempat. (perkataan iktizal atau
kaum mu’tazilah). Maka dari perkataan di atas bahwa yang dimaksud bukan
mukmin mutlak karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan.
Bukan pula kafir mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, rasul-Nya dan
masih mengerjakan pekerjaan yang baik. Jika sebelum meinggal belum bertobat,
maka ia akan kekal di dalam neraka selamanya. Fasik juga akan disiksa dengan
dimasukan ke dalam neraka. Namun, siksanya Namun, siksanya lebih ringan dari
pada kafir. Inilah yang mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan
dosa, terutama dosa besar. 5. ‫ف َوالنَّ ْه ُي َع ِن ْال ُم ْن َك ِر‬
ِ ْ‫‘( األَ ْم ُر بِ ْال َمعْـرُو‬amar ma’ruf nahi
mungkar). Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih
daripada lapangan tauhid. Tapi sejarah menunjukkkan betapa gigihnya kaum
mu’tazilah itu mempertahankan Islam, memberantas kesesatan, untuk
melaksanakan suatu ‘amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaiman yang telah difirman
ِ ْ‫َو ْلتَـ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم أ ّـًمًّة ٌ يَّ ْد ُعوْ نَ إِل َى ْالخَ ي ِْر َويَأْ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬
oleh Allah SWT.: ‫ف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك ِر قلى‬
)١٠٤ ‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ِن (أل عمران ؛‬
َ ِ‫ َوأولَئ‬Dari ayat dia atas terdapat syarat-syarat yang
harus mukmin penuhi dalam melaksanakan amal ma’ruf nahi munkar ini, yaitu : 
Mengetahi bahwa yang disuruh ialah ma’ruf (benar) dan yang dilarang ialah
munkar (kejelekan).  Mengetahui kemungkaran telah nyata dilakukan orang. 
Mengetahui perbuatan amal m’ruf nhi munkar tidak membawa mudarat yang
lebih besar.  Mengetahui/menduga bahwa tindakan tidak membahayakan dirinya
ataupun hartanya. Yang perlu digaris bawahi bahwasannya dari aliran Mu’taziah
ialah dalam setiap melaksanakan ajaran-Nya termasuk dalam hal ‘amar ma’ruf
nahi mungkar, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan, meskipun
terhadap sesama golongan Islam, karena mereka berpegang teguh dengan
pendapat mereka, meskipun bertentangan dengan apa yang difirmankan oleh
Allah ta’ala di atas. Dengan kata lain jika memang diperlukan kekerasan maka
mereka akan menempuhnya. Sampai sejarah telah memberikan ciri-ciri khusus
daripada kaum Mu’tazilah, yaitu: suka berdebat, terutama dihadapan umum.

Fahaman atau kumpulan


Syiah ini bukannya wujud pada atau sebelum zaman Rasulullah, malah
zaman Khalifah Ali pun, kumpulan syiah ini belum wujud lagi.  Golongan Ansar,
Muhajirin, Aus, Khazraj dan Khawarij adalah sebahagian nama-nama golongan
yang pernah tercatat dalam sejarah Rasulullah. Tiada bukti yang tertulis
menunjukkan wujudnya satu fahaman atau kumpulan yang dinamakan syiah
ketika itu. Istilah "syiah" ini mula digunakan selepas kesyahidan cucu Rasulullah
s.a.w, Saidina Husain bin Ali.
Syiah dari pandangan golongan syiah itu sendiri bererti pengikut,
penyokong dan pencinta yang merujuk kepada Saidina Ali r.a dan ahlul
baitnya. Menerusi ulama syiah, Fairuz Abadi di dalam Qamus al-Lughat pada
kalimat “َ‫ ” َشاع‬menyatakan: Syiah umumnya bererti setiap orang yang mengakui
kepimpinan Ali dan Ahlul Baitnya.
Dari mana penggunaan perkataan "Syiah" ini di ambil?
Syiah dari sudut bahasa bererti pengikut. Perkataan ini ada disebutkan di
dalam ayat al-Quran menerusi surah as-Safat: 83
‫واِ َّن ِمن ِشي َعتِ ِهَ ِالب َرا ِهيم‬
“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk Syiah-nya (pengikut
Nuh)”

Sementara di dalam ayat lain:


‫هذا ِمن ِشي َعتِ ِه وهذا من َع ُد ِّو ِه فا ْستَغَاثَهُ ال ِذي ِمن ِشي َعتِ ِه َعلى ال ِذي ِمن َع ُد ِّو ِه‬
“(Orang) ini adalah dari Syiah-nya (pengikutnya) dan (orang) ini adalah dari
musuhnya. Lalu Syiah-nya meminta bantuan darinya terhadap lawan musuhnya”
[al-Qasas: 15] Ayat-ayat al Quran ini tidak merujuk kepada golongan syiah (al-
Ithna ‘Asyariyyah, Ismailiyyah, Zaidiyyah dsb) yang kita kenali pada hari ini,
malah tidak wujud pun pada zaman Nabi Ibrahim. Maksud syiah di dalam al
Quran itu merujuk kepada pengikut sesuatu kaum/umat Kumpulan yang
bersimpati kepada kesyahidan dan amat menyanjungi Saidina Husain telah
mengguna pakai perkataan "syiah" di dalam al Quran, untuk menamakan
kumpulan mereka. Dan seterusnya istilah syiah ini sudah menjadi hak eksklusif
khusus bagi golongan ini.pada masa itu. Istilah itu adalah sekadar kata umum
yang bererti pengikut, bukannya nama khas yang dikhususkan kepada pengikut
Ali dan Ahlul Baitnya.

Kata salaf
Secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman,
keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf  juga berarti orang-
orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang
lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-
Salafush Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus
untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan
karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min
Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam
ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT
telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka
sebagai imam-imam umat.
Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu
kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata
salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang
maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad
SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in
Menurut Thabawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para
pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas
para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup
pada tiga abad pertama islam.  Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf
adalah ulama yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang
mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme).
Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan
salaf sebagai sahabat, tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery
watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di bagdad pada
abad ke-13. Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau
salafiyah sebagai berikut :

I. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).


II. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-
persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan
Al-Kitab dan As-Sunnah.
III. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-
Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
IV. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya,
dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.

Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam


Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian
disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang
di dunia Islam secara sporadis.

Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri
masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan
dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain,
mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan
Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para
filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan
berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali
dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang
diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh
ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.

Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya


A. Imam Ahmad Bin Hanbali
Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn
Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada
tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil
Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih
dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi
Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti Maimunah binti
Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita dari bangsa
Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah
memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia
belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’ Baghdad.
Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam, Yaman,
Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin Khallid, Ismail
bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman,
Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin Humam, dan  Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya
Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia berpuasa
dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai seorang
dermawan.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang
paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu
hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab
Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al
Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.

Pemikiran Teori Ibn Hanbal

a)      Tentang ayat-ayat Mutasyabihat


Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan
dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika
ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab
“Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki
dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit
dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang
telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani dan
membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan
(tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-
Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.

b)      Tentang Status Al-Qur’an


Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-Qur’an
tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim disamping
Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik
dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu
dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur
Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal. Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak
diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

c. Ibn Taimiyah

a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah


Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim
binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun
661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun
729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus,
Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama
Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin
Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan seorang
tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada
akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan
penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang
muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang
filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia
juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada
kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya.
Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan
para ulama sezamannya.

Pemikiran Teori Ibn Taimiyah


Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :
a)      Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist
b)      Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
c)      Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d)     Di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan
tabi’i-tabi’in)
e)      Allah memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa
kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah adalah
seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama mazhab
Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorpisme)
Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi
berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
a) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-
Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:

 Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu


binafsihi, dan wahdanniyah.
 Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan
kalam.
 Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis
walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan
bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat
oleh orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam
makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-nawa.

b)      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya


sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-
hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c)      Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah
makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd,
tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak
menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat.
Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima
dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

Perkembangan Salafiyah di Indonesia

Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-gerakan


persatuan islam (persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada
dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di
pengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para
ulama yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak
menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencatat bahwa salafiyah tumbuh
dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham golongan,
sebagaimana Khawarrij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan kelompok-kelompok Islam
klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan ahl-sunnah wa al-
jama’ah, di luar kelompok Syiah.

Ahl Al Sunah : Khalaf (Asy’ari dan Maturidi)

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H
timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali
Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal
Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan
kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya
yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.

Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh  aliran yang  tidak   jauh   berbeda


dengan aliran al-Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap
sunnah. Bila aliran   al-Asy'ariyah  berkembang di Basrah  maka aliran  al-
Maturidiyah berkembang di Samargand.

Kota   tempat   aliran   ini   lahir   merupakan   salah   satu   kawasan  


peradaban yang maju. menjadi  pusat  perkembangan  Mu'tazilah disamping 
ditemukannya aliran Mujassimah. Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut  Adam
Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang
besar.
Al-Maturidi saat itu terlihat  dalam  banyak pertentangan dan  dialog
setelah  melihat kenyataan berkurangnya pembelaan  terhadap   sunnah.   Hal  
ini   dapat   dipahami   karena   teologi mayoritas   saat   itu   adalah  aliran 
Mu'tazilah  yang    banyak   menyerang   golongan   ahli fiqih dan ahli hadits.
Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.
Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab  Mu'tazilah.
Bahkan  al- Asy'ary  pada  awalnya  adalah  seorang  Mu'taziliy   namun 
terdorong  oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah   ajaran mereka
hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah   wal  
jama'ah.Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa keduanya pernah bertemu,
namun hal ini membutuhkan analisa.
Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah
dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar
Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman
Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama daripada golongan
Muktazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang
dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama
yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al
Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di Basrah, Kufah
dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka, karena fahamannya
disokong oleh pemerintah.

Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jamaah


Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah
berasal dari kata-kata:
a.    Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”
b.     Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang
mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.
c.    Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”
d.    Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw.
Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan
yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para
sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah
para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul
Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu
Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-
sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih
dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan
perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian
ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti
Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad
shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu
kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam
dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah
sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau
aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah.
Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya
dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan.
Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan
menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang
disebut firqah yang selamat (‫)الفرقة الناجية‬. Dari beberpa riwayat itu ada yang secara
tegas menyebutkan; ( ‫ )أهل الســنة والجمــاعة‬ahlussunnah waljamaah”. ataub
“aljamaah”.   (‫ الجماعة‬Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi
wa ashhabi” ( ‫ )ماأنا عليه وأصحا‬. baiklah penulis  kutipkan sebagian hadits tentang
firqah atau millah:.
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi
Thariq Al-Haqq, Juz 1, Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;
“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW (meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang
dimaksudkan dengan pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh
para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah
diberi hidayah oleh Allah SWT”.
Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda,
“ Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani
kepada 72 golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya
akan dimasukkan keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah,
Siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang
mengikuti aku dan para sahabatku”.  (HR Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai
berikut:
Penganut suatu agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak
yang ‘menyimpang’ dari ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang
kemudian terakumulasi menjadi firqah-firqah.
Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa
jumlahnya? Bilangan 73  apakah sebagai angka pasti atau menunjukkan banyak,
sebagaimana kebiasaan budaya arab waktu itu?.
Bermacam-macam  firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai umatnya,  berarti  apapun nama firqah mereka dan apaun produk
pemikiran dan pendapat mereka  asal masih mengakui Allah sebagai Tuhan,
Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya tetap diakui muslim. Tidak
boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana  wa alaihi ma alainaa.’
Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu  mereka  yang tidak persis sesuai
dengan sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak
kekal didalmnya yang nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil
iman dalam hatinya. Sedangkan yang satu akan langsung ke surga tanpa mampir
di neraka dahulu.
‫( الفرقة النـاجية‬kelompok yang selamat) adalah mereka yang mengikuti sesuai apa
yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (‫) ماأناعليه وأصحـابه‬
yang mungkin berada di berbagai tempat, masa  dan jamaah.   tidak harus satu
organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham
gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M.
Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam
masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-
khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847
M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui
sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat
qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah.
Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah.
Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai
konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim
harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul
Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah
wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada
kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini.
Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus
Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan
Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal
Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Asy’ari

1.      Riwayat Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin
Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah
menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri
madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah
dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih
dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab
Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi
Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul
Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan
untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah
perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan
ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia
bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan
Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada
sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan
keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar
menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40
tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid
bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan
keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari
meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi
bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan
ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya
agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah
diriwayatkan dari beliau.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in,
serta imam ahli hadits.

Toko-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

a.     Abu Hasan Al-Asy’ari


b.    Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)

c.    Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)

d.   Al-Ghazali (505 H = 1111 M)

e.    Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)

f.     Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)

Metode Asy’ariah
Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata
teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum
Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh
Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan
al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-
nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna
lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian
rasional.Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga
mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks
agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal
laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan
membela agama.

Pandangan-pandangan asy’ariah

Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di


antaranya ialah:

a.         Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara
seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

b.        Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

c.          Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena diciptakan.

d.        Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan


diciptakan oleh Tuhan.

e.         Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak
dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

f.         Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu


seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan
tidak seperti apa pun.

g.         Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[8],


sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada
kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan,
tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi
mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka
berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya.
Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman.
Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa
Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa
sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab
kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman
kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin
mengingkari janji-Nya Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut
mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia
kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada
kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah
ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka.
Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan
memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari


Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi
lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt barang kali di pengaruhi
teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab). Pemikiran-pemikiran
al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini:
Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi
kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a.        Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok
mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-
sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan
dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain
selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak
boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.
Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu,
seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah,
melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-
Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah
berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah)
tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.

b.        Kebebasan dalam berkehendak (free will)


Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk
memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat
yang ekstrim, yakni Jabariah  yang fatalistik dan penganut faham pradeterminisme
semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan
berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq)
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya
(muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk
keinginan manusia).

c.         Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk


Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya
akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu,
sementara mutazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara
mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada
wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.

d.        Qadimnya Al-Qur'an


Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga
tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah
bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim.
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-
Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan
bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan
sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:

ُ‫إِنَّ َما قَوْ لُنَا لِ َش ْي ٍء إِ َذا أَ َر ْدنَاهُ أَ ْن نَقُو َل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka
jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
e.         Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama
Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan
mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat
dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-
asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

f.          Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia
harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah
penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan
keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi
bahewa Allah adalah pemilik mutlak.
g.         Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-
Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

6.     Penyebaran Akidah Asy-'ariyah


Akidah ini menyebar luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada
dinasti Bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah
semakin berkembang lagi pada masa keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik
yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di
Baghdad adalah Universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri
itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab
Asy-Syafi'i dan Mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali
bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer
dan tersebar di seluruh dunia

Sejarah Berdiri Dan Berkembangnya  Al-Maturidi


  Definisi Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil
dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di
samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi,
kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-
Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami
dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk
menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran
Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah
yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

Sejarah Aliran Al-Maturidi


Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia
dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di
wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan
abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang
fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun
268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada
tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-
pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah
kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada
pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan
sarah fiqih.
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil
dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan
pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan
mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum
rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun
ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah
kaum Hanabilah.

Karya Aliran Al-Maturidi


a.       Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah
aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya,
ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan
keutamaan yang lebih besar kepada akal.
b.      Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di
dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-
pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah
buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan
buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir
Qur’an.

     Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di
beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-
namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:

a.        AkhdzuAl Syara’i
b.          Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
c.         Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
d.        Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
e.         Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
f.          Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
g.         Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi
h.        Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
i.           Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi

Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya

Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-
Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal
pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah
karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.

Al- Badzawi   sendiri   mempunyai   beberapa   orang   murid,   yang   salah 


satunya adalah Najm al-Din  Muhammad  al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang
buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.[26]

Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya 


sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini,
terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti
paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-
paham Al-Badzawi.

Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi


a.        Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an
dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal.
Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-
Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan
dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak
akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau
menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah
berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal
menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan
buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.

2.     Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu

3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan
petunjuk ajaran wahyu.

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena
larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari
Mutazilah dan Al-Asy’ari.

b.         Perbuatan manusia


Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena
segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan
sebagai pencipta perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian
karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah
perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga
daya manusia.

c.         Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan


Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu
dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Allah Swt. Menurut
Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya sendiri.

d.        Sifat Tuhan


Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah.
Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-
sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat
tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak
berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa
kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati
faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat
Tuhan.

e.         Melihat Tuhan


Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini
diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah
ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.          Kalam Tuhan


Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam
nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf
dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi  tidak dapat kita ketahui hakikatnya
bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan
suatu perantara.

g.        Perbuatan manusia


Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau
membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat
ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan
tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada
manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-
kewajiban tersebut adalah :

(1)          Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia


di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan
manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya

(2)          Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan
keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h.        Pelaku dosa besar


Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena
tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang
berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa
besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad

i.          Pengutusan Rasul

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang


berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah
kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam
kehidupannya.

Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya


wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang
berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[30]
6.    Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi

a.    Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)


Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan
ini cenderung  ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-
sifat tuhan, maturidi dan  asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut
maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan dengan zatnya,
melainkan dengan pengetahuannya.
Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa
al-waid. Bahwa  janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.

b.    Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)


Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-
Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik
dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari
orang tuanya, Al-Bazdawi  dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian
yang di maksud golongan Bukhara  adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di
dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada
pendapat-pendapat Al-asy’ary.

Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran


Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada
Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya
sepaham dengan maturidi.Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin
umat Islam yang  bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai
sekarang masih hidup  dan berkembang dikalangan umat Islam.

7.    Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam


Aliran   al-Maturidiyah   ini  telah   meninggalkan   pengaruh   dalam
dunia Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri
mengambil sikap tengah antara akal dan dalil naqli,   pandangannya yang  bersifat
universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke sesuatu yang
kulliy. Aliran ini juga berusaha  menghubungkan antara fikir  dan  amal,
mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh
banyak ulama  kalam  namun  masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi
letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan   yang   juga  dimiliki   al-Maturidiyah   bahwa   pengikutnya  
dalam perselisihan   atau   perdebatan   tidak   sampai   saling   mengkafirkan  
sebagaimana   yang pernah terjadi dikalangan Khawarij, Rawafidh dan
Qadariyah.Aliran mi selanjutnya banyak dianut oleh mazhab Hanafiyah.

E.       Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi


1.        Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif
sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan
sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan
sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

2.         Tentang Perbuatan Manusia


Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu
sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang
secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata
diwujdukan oleh manusia itu sendiri.

3.        Tentang Al-Quran


Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya
sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim.
Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran
itu makhluq.

4.        Tentang Kewajiban Tuhan


Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah.
Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5.        Tentang Pelaku Dosa Besar


Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama
mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi
kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa
orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.

6.        Tentang Janji Tuhan


Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti
memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang
berbuat jahat.[34]

7.        Tentang Rupa Tuhan


Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil
dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan
bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu
adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus
Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari
dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal
jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam
majalah Al-Bayan bahwa:
Ø  Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan
orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah
hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam
banyak sebab.
Ø  Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk
menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang
digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang
menggunakan istilah ini.
Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul
Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh
kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode
dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan,
di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang
perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa
Tuhan, dan juga janji Tuhan.
Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak
kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam merad pendapat-pendapat 
Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran
mereka  atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan
didapati bahwa al-Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal
manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah
sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang
berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri
yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan
kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

Anda mungkin juga menyukai