Dan masih terdapat juga di dalam QS. Asyura :7, QS. Al furqan 59, QS. Al
fath 10 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berkaitan dengan dzat, sifat, asma,
perbuatan, tuntunan dan hal-hal lain yang berkenaan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya saja penjelasan rincinya tidak ditemukan.
b. Hadis
Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas
ilmu kalam yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai
kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya adalah:
“hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”
c. Pemikiran manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri
atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk
dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran
rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran,
terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat).
Seperti halnya filosof muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria
Al-Razi atau yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal
dalam memahami kalam Ilahi, ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk
mengetahui yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk
mengatur hidup manusia di dunia.
d. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu
kepercayaaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama.
William L. Reese mengataakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan
ini yang dikenal dengan istilah theologia, telah bekembang sejak lama. Ia bahkan
mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos. Selanjutnya teologi itu
berkembang menjadi teologi alam dan teologi wahyu.
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus mengetahui
ajaran dasar agama yang oleh para mutakalimun tidak boleh diperselisihkan
seperti:
1. Allah maha Esa
2. Muhammad adalah Rasul
3. Al-Quran adalah wahyu
4. Hari akhirat itu pasti
5. Surge dan neraka itu ada.
Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang lingkup),
seperti:
1. Allah mempunyai sifat diluar dzat atau tidak
2. Diutusnya Rasul wajib atau tidak
3. Al-quran Qadim atau baharu
4. Surga dan neraka itu jasmani atau rohani
5. Melihat Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani
6. Dan lain-lain.
Sejarah timbulnya ilmu kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh
persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan utsman bin affan yang
berbuntut pada penolakan muawiyah atas kekhalifahan Ali bin abi thalib.
Ketegangan tersebut mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan
keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali menerima tipu muslihat Amr bin Al ash,
utusan dari pihak Muawiyah dalam tahkim. Kelompok yang awalnya berada
dengan Ali menolak keputusan tahkim tersebut mereka menganggap Ali telah
berbuat salah atas keputusan tersebut sehingga mereka meninggalkan barisannya,
kelompok ini dikenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang keluar dan
memisahkan diri.
Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap
mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok syiah.
Harun lebih jauh melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul
adalaah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.
Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini timbul
berawal dari masalah politik yaitu ketika usman bin affan wafat terbunuh dalam
suatu pemberontakan . sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun
pencalonan Ali ini banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di
Mekah. Tantangan kedua datang dari Muawiyah, gubernur Damaskus salah
seorang keluarga dekat Usman bin Affan. Ia pun tidak mau pengangkatan Ali
sebagai khalifah. Muawiyah menuntut untuk menghukum para pembunuh Usman
bin Affan.
Hingga sampai terjadinya peristiwa tahkim yang membuat Muawiyah naik
tahta secara illegal. Ketika Ali membiarkan hal itu terjadi sebagian tentara Ali
tidak menyetujui hal tersebut.mereka memandang Ali telah berbuat salah dan
berdosa dengan menerima keputusan (arbitrase) itu.
Akhirnya mereka menganggap Ali dan Muawiyah telah kafir. Dan hal itu
berkembang bukan lagi menjadi masalah politik namun telah menjadi masalah
teologi. Mereka inilah yang dikenal dengan kaum Khawarij.
Kerangka Berpikir Aliran – Aliran Ilmu Kalam
Sebelum kita membahas tentang kerangka berpikir ilmu kalam, kita harus
memahami apa depenisi dari ilmu kalam itu sendiri. Ilmu kalam biasa disebut
dengan beberapa nama yaitu:
1. Ilmu ushuludin
2. Ilmu tauhid
3. Fiqih ak-bar
4. Teologi islam
Jadi dapat disimpulkan bahwa Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas
berbagai masalah keTuhanan dengan menggunakan argomentasi logika atau
filsafat’ secara teoritis ‘
Sebagaimana sumber ilmu kalam, Al –Qur’an banyak menyinggung hal
yang berkaitan dengan masalah keTuhanan seperti :
Q. S al – iklas ( 112 ) : 3- 4 ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak beranak
dan tidak diperanakan, serta tidak ada sesuatupun didunia ini yang tanpak
sekutu baginya.
Q. S . asy –syura ( 42 : 7 ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak
menyerupai apapun didunia ini. Ia maha mendengar dan maha mengetahui.
Q. S. Ali – imron ( 3) : 84 – 85, ayat ini menunjukan bahwa Tuhanlah yang
menurunkan petunjuk jalan kepada para nabi.
Ayat – ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal
– hal lain yang berkaitan dengan ekstensi Tuhan, yaitu pembicaraan tentang hal –
hal yang berkaitan dengan keTuhanan itu disistimatiskan yang pada giliranhnya
menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
a. Alira khawarij
Aliran ini menegaskan bahwa orang yang berdosa besar atau kafir dalam arti telah
keluar dari islam maka wajib dibunuh.
b. Aliran murji’ah
Aliran ini menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mu’min
dan bukan kafir, adapun dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah
untuk mengampuni atau menghukumnya.
c. Aliran mu’tazilah
Aliran ini menegaskan bahwa tidak menerima kedua pendapat kahawarij dan
murji’ah, karena bagi mereka orang yang berdosa bukan kafir tetapi bukan pula
mu’min. Mereka mengambil antara mu’min dan kafir, yang dalam bahasa arabnya
dikenal dengan istilah Al- Manzilah Manzilatan ( posisi diantara 2 posisi.
Dalam islam timbul pula dua aliran dalam tiologi yang terkenal dengan
nama “ Qadariyah” dan “Jabariyah”. Menurut Qadariyah manusia mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun jabariah adalah bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran – aliran khawarij. murji’ah dan mu’tazilah tak mempunyai wujud
lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran
asy’ariyah dan maturidiyah yang keduanya disebut “ Ahluussunnah Wal Jam’ah “.
Kaum Khawarij
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kaum Khawarij berasal pengikut
Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan keluar dari barisannya disebabkan oleh
ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menyetujui
tawaran damai dengan Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dalam perang siffin yang
dikenal dengan arbitrase atau tahkim. Mereka merasa arbitrase hanya
menguntungkan bagi pihak Mu’awiyah yang menyatakan Mu’awiyah lah yang
harus diakui sebagai Khalifah.
Nama Khawarij berasal dari kata ”Kharaja” yang artinya” keluar”. Nama itu
diberikan kepada mereka dikarenakan mereka keluar dari barisan Ali Bin Abi
Thalib. Menurut Ahmad Amin, nama Khawarij mereka sendiri yang
menamakannya berdasarkan surat Annisa’ ayat 100, yang didalamnya disebutkan
” Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya. Berdasarkan pendapat ini
kaum Khawarij memandang kelompok mereka sebagai orang yang meninggalkan
rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan
Rasulnya.
Mereka juga menamakan diri mereka dengan ”al- Syur`at”, yang berasal
dari kata ”Yasri” artinya ” menjual” yang terambil dari surat al- Baqarah ayat 207.
Dan mereka juga mempunyai nama lain yaitu al- Harurat, disebabkan setelah
meninggalkan Ali mereka berkumpul di sebuah desa dekat kota Kuffah yang
bernama Harura. Di sinilah mereka mengangkat Abdullah Bin Wahab Arrasibi
sebagai imam mereka sebagai ganti dari Ali Bin Abi Thalib.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
kata Khawarij yang artinya keluar , karena meraka menyatakan keluar dari barisan
Ali disebabkan tidak setuju dengan arbitrase atau tahkim. Dan disandarkan kepada
penyebab mereka menyebut golongan mereka dengan nama khawarij, karena
mereka menganggap golongan mereka sebagai orang-orang yang bersikukuh
dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka harus meninggalkan
barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib. Hal ini disebabkan
oleh karena mereka tidak sependapat dengan Ali untuk menghentikan peperangan
yang sudah diambang kemenangan dan memilih arbitrase. Dan ternyata
Mu’awiyah yang sudah berpengalaman memanfaatkan arbitrase dengan
kelicikannya untuk menobatkan diri sebagai orang yang berhak menjadi Khalifah.
Konon pada awalnya Ali meragukan untuk menerima tawaran arbitrase atau
tahkim yang ditawarkan oleh Mu’awiyah dan pengikutnya, karena Ali tahu persis
dengan kelicikan dari Mu’awiyah sekalipun Mu’awiyah dan Amru Bin Ash
mengangkat Mushaf sebagai dasar bertahkim kepada Al-Quran, untuk
mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya. Akan tetapi dengan
pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin Abi Thalib yang setuju dengan
tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib menerima dengan lapang dada demi
menjaga keutuhan kelompoknya.
Namun sebagian lagi dari pengikut Ali Bin Abi Thalib tidak setuju dengan
arbitrase, karena kemenangan sudah hampir mereka peroleh dalam perang siffin,
dan menurut mereka arbitrase hanya menguntungkan bagi Mu’awiyah dan Amru
Bin Ash yang licik dengan taktiknya. Sehingga mereka yang tidak setuju dengan
menyatakan mundur dan keluar dari barisan Ali. Mereka pergi menuju Harura,
sebuah desa di dekat kota Kuffah di Irak. Dan mereka mengangkat Abdullah Bin
Wahb Al Rasyidi menjadi Imam mereka. Inilah kelompok yang dikenal dengan
sebutan Khawarij yang pertama yang beranggotakan sekitar 12 ribu orang.
Kelompok Khawarij disebut pula dengan Haruriyah, karena dinisbatkan
kepada Harura nama desa yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan Al-
Muhkamah, karena mereka yang mengatakan ”Bahwa tidak ada ketetapan Hukum
kecuali milik Allah”. Mereka juga menamakan kelompok mereka sendiri dengan
sebutan Asy-Syurat yang artinya orang yang menjual atau mengorbankan diri
kepada Allah berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 207.
Dengan demikian nyatalah Khawarij sebagai suatu golongan yang
memisahkan diri dari pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, disebabkan oleh watak
yang keras dan pemikiran yang ekstrim dari mereka, sehingga Khawarij dianggap
sebagai kelompok pemberontak dimasa Kekhalifahan Ali. Dalam berbagai
pertempuran besar Khawarij dapat dikalahkan oleh pasukan Ali. Namun akhirnya
seorang Khawarij yang bernama Abd Al-Rahman Bin Muljam berhasil
membunuh Ali Bin Abi Thalib.
Walaupun Khawarij telah mengalami kekalahan, mereka tetap bisa
menyusun kekuatan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan
Islam resmi baik di zaman Dinasty Umaiyyah maupun di zaman Dinasty
Abbasiyyah. Kemudian dalam perang saudara pada masa Ibn Az-Zubir, dua
gerakan kaum Khawarij yang memliki peran yang sangat besar dalam merangsang
pengembangan teologi sehingga berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi
kelompok yang cukup besar. Kelompok Khawarij pertama adalah sub sekte
Azraqiah sesuai dengan nama pimpinan mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq dan
kepemimpinan Az-Zubair. Namun pada tahun 684 M, kota Basra jatuh ke tangan
Ibn Az-Zubair, sehingga orang-orang sekte Azrqiah yang tersisa melarikan diri ke
pegunungan di sebelah timur Basra. Akhirnya tentara Bani Umaiyyah yang
berkuda pada waktu itu berhasil memusnahkan kekuatan mereka.
Sebagai golongan yang ekstrim Khawarij memang menanggapi setiap
permasalahan yang muncul pada waktu itu secara keras dan sempit, siapapun
pemimpin Islam, apabila tidak memerintah sesuai dangan Al-Quran dan Sunnah
yang mereka fahami secara lafziyah, mereka anggap telah menyeleweng dari
ajaran Islam, dan mereka mesti ditentang dan dijatuhkan, bahkan darah mereka
menjadi halal atau harus dibunuh. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang
berfaham sedikit moderat seperti Sekte Ibadiyah, yang akan penulis paparkan
berikut ini.
2. Al-Azariqah
Golongan ini adalah kelompok yang besar dan terkuat setelah hancurnya
golongan Al-Muhakkimah. Daerah kekuasaan Al-Azariqah adalah pada
perbatasan Irak dengan Iran. Nama Al-Azariqah terambil dari nama pemimpin
mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq yang meninggal pada tahun 686 M di Irak. Sub
Sekte ini memiliki pandangan yang lebih radikal dibanding sekte Al-
Muhakkimah, karena mereka tidak lagi memakai istilah kafir bagi pelaku tahkim
dan dosa besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme yang dosanya
lebih besar dari trem kafir.
Menurut Al-Azariqah, semua orang yang tidak sefaham dengan mereka
adalah musyrik, walaupun orang yang sefaham dengan Al-Zariqah tetapi tidak
mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Menurut
mereka, daerah Islam itu hanyalah daerah kekuasaan mereka saja, sedangkan
orang yang tinggal diluar daerah kekuasaan Al-Zariqah adalah musyrik, mereka
boleh ditawan dan dibunuh. Bahkan istri dan anak-anak dari orang yang
dipandang musyrik boleh dibunuh.
Dengan demikian agaknya sekte Al-Zariqah nyata-nyata menganggap
hanya golongan merekalah yang sebenarnya orang Islam, adapun orang-orang
yang diluar lingkungan mereka adalah kaum musyrik dan daerahnya adalah Darul
Al Kufr, maka harus diperangi. Maka Ibn Al-Hazm mengatakan, orang-orang
sekte Al-Zariqah selalu melakukan Isti’rad, yakni selalu mempertanyakan
pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa yang mereka jumpai mengaku oarang
Islam, yang tidak termasuk golongan Al-Zariqah langsung mereka bunuh.
Sekte Al-Zariqah merangsang pemikiran teologis karena secara logika
mereka merumuskan kedudukan Khawarij pada kesimpulan yang ekstrim, prinsip
dasarnya yang telah dirumuskan dalam bahasa Al-Quran bahwa tidak ada
keputusan selain keputusan Allah ( La Hukma Illa Lillah ) yang berarti keputusan
adalah hak Allah semata, dengan demikian menurut mereka keputusan harus
diambil sesuai dengan harfiahnya Al-Quran.
Sekte ini juga berpendapat bahwa penguasa yang telah berbuat dosa dan
menyatakan bahwa siapa yang tidak ikut mereka dalam memerangi penguasa yang
ada juga adalah pendosa. Sedangkan anggota kelompok Al-Zariqah adalah
kelompok muslim sejati.
3. Al-Najdad.
Sekte Khawarij ini muncul disebabkan terjadinya perbedaan pendapat
dengan kubu Al-Zariqah, tentang faham bahwa orang yang tidak bergabung
dengan Al-Zariqah adalah orang musyrik. Maka untuk itu mereka mengangakat
pimpinan sendiri yang bernama Najdah Bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah.
Begitu juga dengan pendapat Al-Zariqah tentang boleh dan halalnya anak dan istri
orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka untuk dibunuh.
Najdah memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan dua sekte Khawarij
sebelumnya yakni bahwa orang yang melakukan dosa besar, yang menjadi kafir
dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan
golongannya. Sedangkan pengikut-pengikut Najdah yang melakukan dosa besar,
memang betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan didalam neraka dan kemudian
akan masuk ke syurga. Kemudian dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus akan
menjadi dosa besar dan orang yang mengerjakannya menjadi musyrik.
Sekte Najdah atau Najdiyah kebanyakan mereka terdiri dari kaum Khawarij
yang berasal dari Arabia Tengah yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka
mulai dari tahun 686 – 692 M adalah Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan
sekte Najdah mencakup bentangan luas Arabia bahkan Oman di pantai timur
Yaman serta Hadramaut di selatan dan barat daya. Pertikaian yang sering terjadi
dalam masalah kepemimpinan menjadikan sekte Najdah terpecah kepada
beberapa sub sekte, dan kemudian Yamamah ditindak oleh tentara Umayyah.
Nampaknya sebagian besar pandangan kaum Najdah berdasarkan pada
pandangan hukum seperti yang biasa muncul dalam pemerintahan suatu negara
yang memiliki wilayah yang luas, seperti persoalan-persoalan perlakuan pimpinan
terhadap tawanan perang wanita, hukuman pengadilan kasus-kasus pencurian
serta perampokan. Dari pandangan kaum Najdiyah mengenai masalah seperti itu,
tergambar bahwa adanya upaya awal untuk mempertimbangkan kembali konsep-
konsep Khawarij, tentang masyarakat Islam sejati dan tujuan memberikan
keringanan karena ketidak sempurnaan manuasia dalam menghindarkan diri dari
larangan Agama. Pandangan kaum Khawarij yang keras yang dijadikan dasar oleh
kaum Najdiyah adalah bahwa seseorang yang terlibat dalam dosa besar penghuni
neraka. Kalau bagi kaum Al-Zariqah pelaku dosa besar dengan mudah dapat
dikeluarkan dari daerah kekuasaannya, tetapi bagi kaum Najdiyah yang memiliki
daerah yang luas tidak mudah untuk mengeluarkan seseorang dari wilayahnya,
jadi menurut mereka hal itu tidak diperlukan, ini adalah atas dasar pertimbangan
bahwa manusia normal manapun juga cendrung untuk mengakui adanya
keburukan dan kebaikan.
Menurut kaum Najdiyah dosa kecil yang dilakukan seseorang akan menjadi
dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya akan
menjadi musyrik. Kemudian yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui
Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya
pada seluruh yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tidak
mengetahui tiga macam ini tidak dapat diampuni. Yang dimaksud orang Islam
disini adalah orang kaum Najdiyah. Dalam masalah selain diatas, orang Islam
tidak diwajibkan untuk mengetahuinya, kalau ia melakukan sesuatu yang haram
dengan alasan ia tidak tahu bahwa itu adalah haram, ia dapat dimaafkan.
Selain itu lapangan politik Najdah berpendapat bahwa Imam itu perlu jika
maslahat menghendakinya. Menurut mereka seseorang boleh saja tidak berhajat
pada adanya imam atau pemimpin. Di kalangan Khawarij, golongan ini
kelihatannya yang berkeyakinan bahwa mereka boleh saja merahasiakan
keyakinan demi untuk keamanan diri seseorang yang disebut dengan Taqiah.
Taqiah bukan hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Dengan
demikian seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan
perbuatan yang mungkin menunjukkan dia secara lahiriyah nya bukan orang
Islam, tetapi pada hakikatnya ia tetap menganut agama Islam.
Walaupun demikian tetapi tidak semuanya golongan Najdiyah setuju
dengan pendapat tersebut, terutama bahwa dosa besar tidak membuat pelakunya
menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Akhirnya
perpecahan dikalangan mereka terjadi dalam masalah pembagian harta rampasan
perang atau qarimah, dan sikap lunak yang diambil oleh Najdah terhadap khalifah
Abd Al-Malik Ibn Marwan dari Dinasty Bani Umayyah. Dalam perpecahan ini
Abd Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Afiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah
ke Sajistan Iran dan akhirnya Najdah dapat mereka bunuh.
4. Al-Jaridah
Golongan ini adalah pengikut Abd. Karim Bin Ajrad yang sekelompok
dengan ’Atiah bin Al-Aswad. Dimana pada awalnya mereka adalah golongan Al-
Najdah, sehingga pemikiran Al-Jaridah serupa dengan pemikiran Al-Najdah.
Diantara pemikiran Al-Jaridah yang spesifik adalah tentang masalah anak kecil
harus bebas dari seruan kepada Islam, kecuali setelah ia baligh. Dan bagi orang
musyrik tetap berada didalam neraka bersama orang tuanya. Diantara prinsip
mereka adalah Hijrah hanya merupakan keutamaan bukan kewajiban. Orang-
orang yang melakukan dosa besar tetap kafir dan tidak boleh mengambil harta
rampasan perang, tidak boleh membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang.
Kalau Al-Jaridah masih bersikap lunak terhadap kewajiban berhijrah karena
hijrah itu hanya merupakan suatu kewajiban saja. Dan pengikut Al-Jaridah boleh
tinggal diluar daerah kekuasaan mereka, artinya mereka tidak dianggap kafir.
Selanjutnya kaum Al-Jaridah ini mempunyai faham puritanisme. Menurut mereka
Al-Quran sebagai kitab suci tidak mungkin mengandung cerita cinta sebagaimana
yang diyakini golongan lain, sehingga mereka tidak meyakini surat Yusuf sebagai
bagian dari Al-Qur`an.
5. Al-Sufriah
Pimpinan golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar. Dimana golongan ini
terkenal dengan gerakan evolusi praktis dalam pemikiran Khawarij. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Mahmud Abdurrazaq dalam bukunya ”Al-Khawarij fi biladil
Magrib” bahwa keyakinan golongan Sufriyah atau Syafariyah bahwa mereka tidak
berlebihan dalam bersikap yang hanya justru menyebabkan perpecahan
dikalangan Khawarij seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka tetap melakukan
hukum rajam bagi pezina, tidak membunuh anak-anak orang musyrik serta tidak
mengkafirkan seperti pendapat golongan Azariqah. Mereka juga membolehkan
Taqiah, tetapi hanya dalam perkataan, bukan perbuatan.
6. Al- Ibadiyah
Golongan Al-Ibadah adalah pengikut Abdullah Bin Ibadh At-Tamimy. Ia
hidup pada pertengahan kedua abad I Hijriyah. Mereka lebih dekat kepada
golongan Islam dari pada golongan Khawarij. Pendapat-pendapat mereka lebih
solider dari pada kelompok Khawarij yang lain. Pada tahun 686 M, mereka
memisahkan diri dari golongan Al-Zariqah. Faham moderat mereka dapat dilihat
di ajaran-ajarannya sebagai berikut :
1. Orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan
bukan pula musyrik tetapi kafir. Maka orang Islam yand demikian boleh
melakukan perkawinan dengan orang Islam lain, dan hubungan warisan,
shahadat mereka dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram.
2. Daerah Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah kafir
3. ”Dar Tawhid” yakni daerah yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp
pemerintah. Mereka boleh diperangi karena menurut mereka camp
pemerintah adalah daerah orang kafir.
4. Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah muwahid, orang yang
meng Esakan Tuhan tetapi bukan mukmin, dan kalaupun mereka kafir
tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir rullah.
Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta seperti
emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya kecuali bila dia sudah
mati.
Kaum Murji`ah
Munculnya kaum murji’ah ditengah suasana pertentangan yang terjadi
dikalangan umat Islam pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan munculnya kaum
Khawarij. Kaum murji’ah muncul juga disebabkan oleh persoalan politik dalam
masalah khilafah. Dapat dikatakan agaknya kaum murji’ah adalah orang-orang
yang tehimpun dalam sebuah golongan yang tampil beda dalam menyikapi
persoalan-persoalan yang terjadi pada masa mereka . Namun kaum murji’ah
tidaklah terpengaruh dengan praktek kafir-mengkafirkan sesama umat Islam.
Mereka lebih netral dibanding Khawarij yang begitu fanatik dan ekstrim dalam
ajarannya.
Kata Murji`ah berasal dari kata ”al- Irja`” yang berarti ”al- Ta`khir” yang
artinya menangguhkan atau menomorduakan, hal ini berdasarkan pada firman
Allah yang terdapat dalam surat al-A`raf ayat 111,”Qaaluu arjih wa akhaahu”
yang artinya mereka menjawab”beri tangguhlah dia dan saudaranya, dan juga
berarti ”I`thaa`u al-rajaa”. Pengertian murji`ah yang ke dua ini adalah disebabkan
mereka berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak merusak iman, sebagaimana
halnya ketaatan seseorang tidak berpengaruh dengan kekufurannya.
Murji’ah lebih tepat dikatakan sebagai suatu kecendrungan atau nazi’ah,
yakni sebuah kecendrungan untuk mencari keselamatan dengan tidak
menenggelamkan diri ke dalam urusan politik, baik sebagai penyokong maupun
sebagai penentang. Semua permasalahan kecil yang menyebabkan timbulnya
masalah besar tampaknya dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan
teori maupun yang bersifat perbuatan dan tindakan.
Sebuah kesimpulan logis yang dapat diberikan terhadap sikap kaum
murji’ah adalah bahwa mereka memandang yang menentukan mukmin atau
kafirnya seseorang bukanlah soal perbuatan atau amalnya, tetapi terkait pada
masalah kepercayaan atau iman, artinya amal adalah sesudah duduknya masalah
keyakinan dalam diri orang mukmin. Inilah yang menjadi salah satu dasar
pemberian nama terhadap kaum murji’ah yang terambil dari kata arjaa’ yang
berarti mengambil tempat di belakang. Dalam artian memandang masalah
perbuatan seseorang menjadi kurang penting dalam menentukan posisi amal atau
kafirnya seseorang. Kata arjaa’ juga berarti penyelesaian persoalan siapa yang
salah dan siapa yang benar nanti diserahkan kepada pengadilan Tuhan. Pengertian
lain dari arjaa’ juga mengandung makna pemberian harapan bahwa orang Islam
yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan
kekal didalam neraka, disini jelas masih adanya penghargaan yang diberikan
kepada pelaku dosa besar dengan harapan mendapat rahmat dari Allah.
1. Yunusiyah
Pemimpin mereka adalah Yunus ibnu `Aun al Hamiri. Mereka berpendapat
bahwa iman adalah mengenal Allah, tunduk dan cinta serta tidak takabur kepada
Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang berarti telah layak dikatakan
sebagai mukmin, sedangkan amal perbuatan yang berbentuk ketaatan bukanlah
unsur dari iman artinya tidak akan berpengaruh pada iman apabila ditinggalkan.
Bahkan menurut mereka apabila di hati seseorang telah bersemi rasa tunduk
dan cinta kepada Allah, perbuatan maksiatpun tidak akan bisa merusaknya, dan
inilah yang akan memasukkan seseorang ke syurga.
2. Ubaidiyah
Mereka sependapat dengan sekte Yunusiyah, bahwa dosa dan kejahatan tidak
akan merusak iman . Semua dosa tidak mustahil akan diampuni Allah selain dosa
syirik. Mereka adalah pengikut dari `Ubaid al- Mukta`ib.
3. Ghassaniyah
Mereka adalah pengikut Ghassan al- Kufi. Mereka berpendapat bahwa iman
adalah mengenal Allah dan RasulNya , serta mengakui kebenaran segala
ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman bersifat tetap tidak bisa
bertambah dan juga tidak bisa berkurang. Selanjutnya Iman menurut mereka
adalah pengakuan dan cinta kepada Allah, mengagungkannya dan tidak takabur
kepada Allah.
4. Saubaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu Sauban al- Murji`i. Iman menurut mereka
adalah mengakui Allah dan RasulNya , mengetahui apa yang diperintah dan apa
yang dilarang secara rasional menurut mereka bukanlah iman.
5. Tumaniyah
Mereka adalah pengikut Abu Mu`az al- Tumani. Menurut mereka iman
adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di dalamnya terkandung
berberapa unsur iman yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kufur bila
ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq, mahabbah, ikhlas serta
mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. seperti orang yang meninggalkan
shalat atau puasa karena menganggap halal dianggap kafir, akan tetapi kalau
meninggalkannya dengan niat mengqada maka tidaklah kafir. Orang yang
membunah Nabi dipandang kafir karena dipandang telah menghina dan memusuhi
nabi, bukan karena perbuatan pembunuhannya.
6. Shalihiyah
Pimpinan mereka adalah Shalih ibnu Umar al- Shalihi. Menurut mereka
iman adalah mengenal Allah, siapa yang tidak mengenal Allah berarti kafir.
Ibadah menurut mereka bukan dipandang amal, tetapi adalah iman itu sendiri
yakni mengenal Allah, iman juga tidak bertambah dan tidak berkurang begitu juga
kafir. Shalat , puasa dan ibadah lainnya menurut mereka bukanlah ibadah tetapi
adalah ketaatan melaksanakan iman.
Kata salaf
Secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman,
keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur : “Salaf juga berarti orang-
orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang
lebih banyak”. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-
Salafush Shalih. Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus
untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan
karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min
Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam
ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah SWT
telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka
sebagai imam-imam umat.
Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang mengacu
kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi salaf itu. Kata
salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘terdahulu’, yang
maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad
SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in
Menurut Thabawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in, para
pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas
para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup
pada tiga abad pertama islam. Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf
adalah ulama yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang
mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme).
Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan
salaf sebagai sahabat, tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery
watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di bagdad pada
abad ke-13. Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau
salafiyah sebagai berikut :
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri
masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan
dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain,
mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan
Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para
filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan
berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali
dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang
diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh
ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.
c. Ibn Taimiyah
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H
timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali
Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi. Perkataan Ahlussunnah wal
Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan
kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama besarnya
yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin
Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah
menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri
madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah
dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M,[4] ketika berusia lebih
dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab
Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi
Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul
Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan
untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah
perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan
ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia
bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah
madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan
Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada
sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan
keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar
menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40
tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid
bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan
keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari
meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi
bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan
ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya
agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah
diriwayatkan dari beliau.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah,
Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada
Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in,
serta imam ahli hadits.
Metode Asy’ariah
Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata
teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum
Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh
Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan
al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-
nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna
lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian
rasional.Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga
mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks
agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal
laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan
membela agama.
Pandangan-pandangan asy’ariah
a. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara
seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
b. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
c. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena diciptakan.
e. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak
dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
ُإِنَّ َما قَوْ لُنَا لِ َش ْي ٍء إِ َذا أَ َر ْدنَاهُ أَ ْن نَقُو َل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون
Artinya: “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka
jadilah ia. (Q.S. An-Nahl:40)
e. Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama
Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan
mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak sependapat
dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-
asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia
harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah
penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan
keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi
bahewa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-
Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di
beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-
namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
a. AkhdzuAl Syara’i
b. Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
c. Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
d. Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
e. Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
f. Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
g. Rad Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi
h. Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
i. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-
Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal
pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah
karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan
buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan
petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena
larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari
Mutazilah dan Al-Asy’ari.
(2) Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan
keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.