Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ILMU KALAM

Disusun oleh :

HAMIAH Nim : 113105944 Prody :KPI Unit / semester : I / II

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE 2011 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunianya penulis dapat menyelesaikan tugas Ilmu kalam. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana tentang ilmu kalam itu, sekaligus untuk memperdalam ilmu kalam. Makalah ini berisi tentang beberapa informasi mengenai ilmu kalam. Yang penulis harapkan dapat memberikan informasi kepada para pembaca mengenai ilmu kalam. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan ini. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Penulis

Lhokseumawe, 14 April 2012

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. PENGANTAR 1. Pengertian, nama dan ruang lingkup kajian akidah ilmu kalam 2. Sejarah kelahiran akidah ilmu kalam 3. Sumber dan faktor timbulnya ilmu kalam 4. Hubungan akidah ilmu kalam dengan ilmu keislaman lainnya 5. Problem dan objek pokok ilmu kalam B. INTI AKIDAH ISLAMIAH 1. Dasar-dasar aqidah islam (alquran-hadist) 2. Makna filosofis keimanan 3. Aqidah pokok dan furu dalam islam 4. Kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam 5. Argumentasi hujjah ketuhanan muslim (surah, asma, sifat dan afal tuhan) 6. Karakter sikap arif dan inklusifisme dalam berakidah C. PEMIKIRAN KALAM KHAWARIJ DAN MURJIAH 1. Pengertian dan penisbatannya 2. Latar belakang kemunculannya 3. Doktrin doktrin pokoknya 4. Perkembangan, tokoh dan sekte(firqah) nya D. PEMIKIRAN KALAM JABARIYAH DAN QADARIYAH 1. Pengertian dan penisbatannya 2. Latar belakang kemunculannya 3. Doktrin doktrin pokoknya 4. Perkembangan, tokoh dan sekte(firqah) nya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Aqidah ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya.

Mempelajari akidah/teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat , yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu/esa dan keEsaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut juga ilmu kalam.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengantar 1. Pengertian, nama dan ruang lingkup kajian akidah ilmu kalam Pengertian aqidah ilmu kalam : Aqidah Ilmu Kalam secara bahasa terdiri dari kata Aqidah dan ilmu kalam . Aqidah berasal dari bahasa arab yaitu aqidah, aqid, uqad, uqud, Itiqad yang artinya ikatan, perjanjian dan keyakinan. Sedangkan ilmu kalam artinya Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan). Jadi Aqidah Ilmu Kalam artinya ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Secara istilah pengertian aqidah ilmu kalam yaitu : 1. Menurut Musthafa Abdul Raziq definisi aqidah ilmu kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah imani yang dibangun dengan argumentasiargumentasi rasional. 1 2. Menurut Al-Farabi definisi aqidah ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam 3. Menurut Ibnu Khaldun definisi aqidah ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional. 4. Menurut Syekh Muhammad Abduh definisi ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan darinya dan juga

Musthofa Abd Razak, Tamhid Li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, Lajnah Wa AtThalif Wa At-Tarjamah wa An-Nasyr, 1959, hlm. 265

tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan muhal dari mereka. 2

Nama-nama akidah ilmu kalam :

Aqidah ilmu kalam atau yang biasa disebut dengan ilmu kalam mempunyai beberapa nama yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena membahas pokok-pokok agama, disebut ilmu tauhid karena membahas keesaan Allah swt. Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar. karena menurut persepsinya hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi menjadi dua yaitu fiqh al-akbar (membahas keyakinan/ pokok-pokok agama/ilmu tauhid dan fiqh al-asghar (membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah). Teologi Islam merupakan istilah yang diambil dari bahasa inggris, theology William L Reese mendefinisikan dengan discourse or concerning (diskursus/pemikiran tentang Tuhan3). Dengan mengutip William Ockhan Reese lebih lanjut mengatakan Theologi to be a discipline and independent of both philoopy and science (teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan, perbuatan dan pengalaman agama secara rasional.

Ruang lingkup aqidah ilmu kalam: Masalah yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan masalah iman dan kafir. yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah-aqidah yang menyimpang.
2

Muhammad Abduh. Risalah. Tauhid, Ter. Firdaus An. Bulan Bintang, Jakarta, 1965

hlm. 25 Willieam L. Reese, Dictionary of philosophy and Religion, Humanities Press Ltd. , USA, 1980, hlm. 28
3

2. Sejarah kelahiran akidah ilmu kalam Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman bin affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara . Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan Tahkim (arbitrase). sikap ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash(utusan Muawiyah dalam tahkim), sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Al-Quran La Hukma Ila Lillah(tidak ada hukum selain dari hukum Allah). atau La Hukma Illa Allah( tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka . mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga meninggalkan barisannya, mereka terkenal dengan nama khawarij. dan kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib dikenal dengan nama syiah. 4 Harun lebih lanjut mengatakan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asyari adalah kafir berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah ayat 44. Persoalan ini telah menimbulkan tiga alioran teologi dalam Islam yaitu: Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. Aliran Murjiah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
4

Harun Nasution, Teologi Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986

Aliran Mutazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir , tetapi bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahjasa arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain(posisi diantara dua posisi). dalam Islam timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan Qadariyah dan Jabariyah. menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan

perbuatannya. adapun Jabariyah

berpendapat sebaliknya, manusia tidak

mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Aliran Mutazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam yaitu aliran Asyariyah dan Aliran Maturidiyah. 3. Sumber dan faktor timbulnya ilmu kalam Sumber-Sumber Ilmu Kalam : Pembahasan ilmu kalam selalu berdasarkan/bersumber pada dua dalil yaitu dalil naqli(al-quran dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran)5. Sebagai sumber Ilmu Kalam, Al-qur;an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah 1. Q. S. Al-Ikhlas(112):3-4. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak satupun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya. 2. Q. S. Asy-Syura(42):7. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. 3. Al-Furqan(25):59. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan Yang Maha Penyayang bertahta diatas Arsy. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada diantara keduanya. 4. Q. S. Al-Fath. (48):10. ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai tangan yang selalu berada diatas tangan-tangan orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
Drs. H. Sahilun A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1996, hlm. 28
5

5. Q. S. Thaha(20):39. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai mata yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak , termasuk gerakan hati makhluknya. 6. Q. S. Ar-Rahman(55):27. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai wajah yang tidak akan rusak selama-lamanya. 7. Q. S. An-Nisa(4)125. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama . seseorang dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.

Faktor-faktor Timbulnya Ilmu Kalam : 1. Faktor dari dalam(intern) : a. Sebagian orang musyrik ada yang mentuhankan bintang-bintang sebagai sekutu Allah. hal ini ditolak dengan firman Allah surat AlAnam ayat 76-78. b. Ada yang mentuhan kan Nabi Isa as. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-Maidah ayat 116. c. Orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-anam ayat 74. d. Golongan yang tidak percaya akan kerasulan nabi(nabi Muhammad saw. ) dan tidak percaya akan kehidupan akhirat. hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-Ambiya ayat 104. e. Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia ini adalah perbuatan Tuhan semuanya dan Soal politik (Khilafah) pemimpin negara. yang dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.

2. Sebab dari luar (ekstern) yaitu: a. Danyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragam yahudi, masehi dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah

memegang teguh Islam , mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya dalam ajaran-ajaran Islam. b. Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mutazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasanalasan mereka yang memusuhi Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya. sehingga kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya. c. Para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang

menggunakan filsafat , dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi ketuhanan.

4. Hubungan akidah ilmu kalam dengan ilmu keislaman lainnya Hubungan (filsafat dan tasawwuf) 1. Titik persamaan Ilmu kalam, filsafat dan tasawwuf mempunyai obyek kemiripan. Obyek ilmu kalam ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya. Obyek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu obyek kajian tasawwuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Argumentasi filsafat sebagaimana ilmu

kalam dibangun diatas dasar logika. Oleh karena itu , hasil kajiannya bersifat spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen). 6 Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawwuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran yang rasional. 2. Titik Perbedaan Perbedaan diantara ketiga ilmu itu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam , sebagai ilmu yang menggunakan logika di
6

Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu , Surabaya, 1990, hlm. 174

samping

argumentasi-argumentasi

naqliyah

berfungsi

untuk

mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai ketuhananya . Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional. Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelana) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Adapun ilmu tasawwuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawwuf bersifat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Dilihat dari aspek aksiologi(manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian langsung. Adapun tasawwuf lebih peran sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh yang ingin dicarinya. Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang tertentu . jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat dan yang terakhir adalah ilmu tasawwuf. 7

Ahmad Hanafi MA. Theologi islam (ilmu kalam), Bulan Bintang, Jakrta, 1974, hlm. 6-

13

5. Problem dan objek pokok ilmu kalam Pokok permasalahan Ilmu Kalam terletak pada tiga persoalan, yaitu: a. Esensi Tuhan itu sendiri dengan segenap sifat-sifat-Nya. Esensi ini dinamakan Qismul Ilahiyat. Masalah-masalah yang diperdebatkan yaitu: 1. Sifat-sifat Tuhan, apakah memang ada Sifat Tuhan atau tidak. Masalah

ini di perdebatkan oleh aliran Mutazilah dan Asyariyah. 2. Qudrat dan Iradat Tuhan. Persoalan ini menimbulkan aliran Qadariyah

dan Jabbariyah. 3. Persoalan kemauan bebas manusia, masalah ini erat kaitannya dengan

Qudrat dan Iradat Tuhan. 4. Masalah Al-Quran, apakah makhluk atau tidak dan apakah Al-Quran

azali atau baharu. b. Qismul Nububiyah, hubungan yang memperhatikan antara Kholik dengan makhluk, dalam hal ini membicarakan tentang: 1. Utusan-utusan Tuhan atau petugas-petugas yang telah di tetapkan Tuhan

melakukan pekerjaan tertentu yaitu Malaikat. 2. Wahyu yang disampaikan Tuhan sendiri kepada para rasul-Nya baik

secara langsung maupun dengan perantara Malaikat. 3. Para Rasul itu sendiri yang menerima perintah dari Tuhan untuk

menyampaikan ajarannya kepada manusia.

c. Persoalan yang berkenaan dengan kehidupan sesudah mati nantinya yang disebut dengan Qismul Al-Samiyat. Hal ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. 2. 3. 4. neraka

Kebangkitan manusia kembali di akhirat Hari perhitungan Persoalan shirat (jembatan) Persoalan yang berhubungan dengan tempat pembalasan yaitu surga atau

B. Inti Aqidah Islamiah 1. Dasar-dasar aqidah islam (alquran-hadist) Aqidah adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan keyakinan yang teguh dan pasti tentang permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hati diluar amal, seperti iman pada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari akhir serta taqdir yang baik maupun yang buruk. Masuk dalam istilah ini juga permasalahanpermasalahan cabang dari pokok di atas. Aqidah dengan pengertian di atas merupakan pondasi agama. ika pondasi aqidah- yang terbangun kokoh dan kuat, maka bangunan agama juga akan kokoh dan kuat. Namun jika pondasi yang berupa aqidah tersebut rusak, maka bangunan agama pun tidak bisa diharapkan akan menjadi bangunan yang kokoh dan kuat. Hanya dengan aqidah yang kokohlah kita bisa membentengi diri dari pemurtadan, baik berupa kristenisasi, pluralisasi, liberalisasi dan lain-lain. Oleh karena itu para ulama di setiap zaman telah memberikan perhatian lebih dalam masalah ini. Telah banyak kitab -kitab yang ditulis oleh mereka menjelaskan aqidah yang benar sekaligus membela dan membersihkannya dari aqidah yang batil. Contohnya: Kitabus Sunnah karya Imam Amad, kitab Syarhus Sunnah karya Imam alMuzani as- Syafii, Kitabus Sunnah karya Imam al-Khallal, kitab

Maqalaatul Islamiyyin karya Abul Hasan al- Asyari, kitab al- Itiqad Wal Hidayah karya Imam al-Baihaqi as- Syafii dan lain -lain. Aqidah yang kuat adalah aqidah yang bersumber dari sumber yang benar, sehingga terbangunlah prinsip -prinsip dasar yang kokoh, tidak mudah goyah oleh syubhat (kerancuan pemikiran) yang dihembuskan musuh-musuh Islam dan para antek-anteknya. 2. Makna Filosofis Keimanan Keimanan itu berupa pembenaran hati artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu alahi wa sallam. Pengakuan dengan lisan artinya mengucapkan dua kalimat syahadat asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. Sedangkan perbuatan dengan anggota badan artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya8. 3. Akidah Pokok Dan Furu dalam islam Secara etimologi, akidah berasal dari kata yang berarti pengikatan.

Sedangkan secara terminologi, akidah adalah iman kepada Allah Swt swt, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Akidah merupakan perbutan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Iman kepada Allah Swt artinya meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt itu wajib tersifati dengan sifat yang wajib bagi-Nya, mustahil memiliki sifat yang mustahil bagi-Nya, dan memiliki sifat yang jaiz bagi-Nya. Sifat yang wajib bagi Allah Swt ada 20 yang terbagi ke dalam empat keompok, yaitu sifat Nafsiyyah, Salbiyyah, Maanni, dan Manawiyyah. Sedangkan sifat-sifat yang mustahil baginya berjumlah 20 yang merupakan lawan dari sifat-sifat yang wajib

Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al Aali, hal. 9

bagi-Nya. Sementara sifat yangt jaiz bagi-Nya ada satu, yaitu berkehendak atau tidak berkehendak. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu' (cabang-cabang) agama Islam. Allah telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul sesama manusia seperti tatakrama pertemuan, tatacara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala. Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : 'Berlapanglapanglah dalam majlis', maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu" [Al-Mujaadalah : 11]

4. Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Ilmu Kalam Dalam mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan proses pengambilan keputusan para ulama teologi Islam dalam menyelesaikan persoalanpersoalan kalam. Terjadinya perbedaan pendapat di dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan dengan erat dengan cara (metode) berfikir aliran-aliran ilmu kalam dalam menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam). Metode berfikir secara garis besarnya dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut: - Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam AlQuran dan Al-Hadits, yakni ayat yang qatI (teks yang tidak diinterpretasikan lagi kepada arti lain, selain arti harfiahnya). - Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfiahnya). 2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3. Memberikan daya yang kecil (sempit) kepada akal. Argumentasi Hujjah Ketuhanan Muslim (Shurah/asma,sifat.dan afal tuhan) Perkataan ilah, yang diterjemahkan Tuhan, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.? Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Firaun untuk dirinya sendiri: Dan Firaun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Firaun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut: Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

5.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut: Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56) Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak berTuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya berTuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat la ilaaha illa Allah. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu tidak ada Tuhan, kemudian baru diikuti dengan penegasan melainkan Allah. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah. 6. Karakter sikap arif dan inklusifisme dalam berakidah Teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan zaman. Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement) yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar dan

seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965. Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon Islam inklusif dalam berbagai kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini. Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu, yakni humanisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion). Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang-ruang soteriologis (soteriological spaces) yang di dalamnya, atau jalan-jalan soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan

keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden. Klaim pluralisme ini sangat problematik dan membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritualnya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para

penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan? Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agamaagama primitif dan pangan yang kanibalistik? Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehingga mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya. Di samping itu, terminologi pluralisme di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin to let the others to be really other (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri). Islam dan Klaim Kebenaran Agama :

Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Quran. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang Muslim mengingkari hal ini, sebab Al-Quran adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya. Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi Islam. Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teoriteori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis. Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah

wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali. Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran

agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan. C. Pemikiran Kalam khawarij dan Murjiah 1. Pengertian dan penisbatannya Secara etimologis kata Khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam. Dalan terminologi Ilmu Kalam, yang dimaksud dengan Khawarij adalah suatu sekte atau kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang siffin pada tahun 37 H/ 648 M dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khalifah.9 Murjiah secara etimologi diambil dari kata arjaa yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Adapun kelompok Murjiah disebut dengan Murjiah karena ada beberapa alasan : a. Menunda penjelasan kedudukan Ali dan Muawiyah beserta pasukannya dalam sengketa khilafah ke hari kiamat kelak. b. Memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dari Allah SWT.

2. Latar belakang kemunculannya Ketidakpuasan atas pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah muncul dari Muawiyah yang masih tergolong keluarga dekat Utsman bin Affan. Hal itu mendorong terjadinya perang Shiffin yang mempertemukan pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Muawiyah. Pada saat itu Muawiyah berada dalam posisi hampir kalah, namun tangan kanan Muawiyah yang bernama Amr ibn Ash meminta berdamai dengan mengangkat Al-Quran ke atas. Maka kedua kubu menyepakati genjatan senjata dan dilaksanakanlah Arbitrase (tahkim) atas
Drs. Rohison Anwar, M.Ag. dan Drs. Abdul Razak, M.Ag. 2001. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Hal. 49.
9

permasalahan khilafah. Kedua belah pihak mengangkat pengantara untuk bermusyawarah dalam mencari penyelesaian terbaik. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, sementara pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abdullah bin Abbas, tetapi sebagian kaum muslimin tidak menyetujuinya dengan alasan beliau masih termasuk golongan Ali, kemudian mereka mengusulkan Abu Musa Al Asyari sebagai pengantara dengan harapan masalah bisa diselesaikan berdasarkan Al Quran. Musyawarah tersebut memutuskan kedua pengantara sepakat untuk mengumumkan penjatuhan kepemimpinan Ali dan Muawiyah. Tapi ketika pelaksanaan dari keputusan tersebut Amr bin Ash tidak menepati hasil musyawarah, ia hanya menjatuhkan kepemimpinan Ali dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah. Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash untuk mengadakan arbitrase, sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat masalah ini tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia tetapi putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukumhukum yang ada dalam Al Quran. Mereka berpendapat tidak ada hukum selain hukum Allah dan tidak ada pengantara selain Allah. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Inilah awal kemunculan golongan Khawarij. (Harun Nasution, 2007: 6-8).

Golongan murjiah pertama kali muncul di akhir abad pertama hijriyah, kemudian berkembang di Kuffah Irak. Ajaran ini muncul sebagai rival dari golongan khawarij dengan paham amal ibadah bukan bagian dari iman. Ada beberapa teori yang melatarbelakangi munculnya Murjiah. Diantaranya : - Gagasan irja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan untuk menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik antara Ali dan Muawiyah dengan tujuan untuk menghindari sektarianisme. Kemunculannya diperkirakan bersamaan dengan munculnya Syiah dan Khawarij (tahun 37 H/ 648 M).

- Gagasan irja diusung oleh cucu Ali bin Abi Thalib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 M dengan tujuan yang sama. Pada waktu itu umat Islam dikoyak oleh pertikaian sipil antara pengikut Al-Mukhtar yang membawa paham Syiah ke Kuffah dari tahun 685-687 dan Ibnu Zubayr yang mengklaim kekhalifahan di Mekkah. - Gagasan irja muncul sebagai tanggapan atas munculnya Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan menghalalkan darahnya, sehingga Khawarij menjelma menjadi golongan yang radikal (Abdul Rozak, Rosihon Anwar, 2007:56-57). Menurut KH. Siradjuddin Abbas (1987:167) gagasan irja telah dipegang oleh para sahabat sejak akhir kekuasaan Utsman bin Affan. Ketika Utsman meninggal, beberapa sahabat tidak membaiat Ali bin Abi Thalib dan tidak mendukung Muawiyah. Sikap mereka dilandaskan pada hadits Rasululloh Saw. yang artinya : Diriwayatkan dari Abu Bakarah bahwa Rasululloh Saw bersabda : Akan ada fitnah (kekacauan), maka orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berjalan, orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berusaha menghidupkan fitnah itu. Ketahuilah apabila terjadi fitnah itu maka yang punya unta kembalilah kepada untanya, yang mempunyai domba kembalilah kepada dombanya, yang punya tanah kembalilah kepada tanahnya. Seorang sahabat bertanya :Ya Rasulalloh ! bagaimana kalau ia tidak punya unta, kambing dan tanah ? Nabi menjawab : Ambillah pedangnya dan pecahkan mata pedangnya dengan batu kemudian carilah jalan lepas kalau mungkin (HR. Bukhari). (lihat Fathul Bari Juz XVI hal 138-139).

3. Doktrin-doktrin pokoknya Doktrin-doktrin Pokok Khawarij A.Mustadjib dan RHA. Suminto (2007:51-52) mengelompokan doktrindoktrin pokok Khawarij menjadi 3 kategori : a. Doktrin Politik b. Doktrin Teologi c. Doktrin Teologis Sosial

Doktrin pokok Murjiah dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Penangguhan keputusan atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa Al-Asyari hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak. b. Penangguhan kedudukan Ali sebagai khalifah yang keempat. c. Pelaku dosa besar keputusannya diserahkan kepada Allah SWT. sekaligus memberi harapan kepada mereka untuk meraih ampunanNya. d. Meletakan pentingnya iman daripada amal (amal ibadah bukan bagian dari iman). Berdasarkan hal ini seseorang dianggap mukmin walaupun meninggalkan fardu dan melakukan dosa besar. e. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman maksiat tidak akan mendatangkan madarat. Untuk mendapatkan pengampunan cukup dengan menjauhi syirik dan mati dalam akidah tauhid. Secara garis besar golongan Murjiah terbagi menjadi golongan Moderat yang dipelopori oleh Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa Ahli Hadits dan golongan Ekstrim yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, Abu Hasan Ash-shalihi, Yunus As-Sumary dan beberapa tokoh lainnya.

4. Perkembangan, tokoh dan sekte(firqah)nya Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syakah menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqahfirqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun. Menurut Syahrastani ada 8 sekte terbesar dalam Khawarij, Sekte-

sekte Khawarij tersebut antara lain, Al-Muhakkimah, Al-Azariqoh, Al-Nadjat, AlBaihasiyyah, Al-Saalibah, Al-Ibadiah, Al-Sufriyah. Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Muin, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij, yakni : a. Sekte Al-Azariqoh Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari amir al-mukminin. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij. Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik. Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anakanak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni dar al-Islam dan dar al-kufur. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi. b. Sekte Al-Ibadiah Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.

Kaum Murjiah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murjiah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan. Sedangkan Murjiah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya. Kelompok ekstrim dalam Murjiah terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu : 1. Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syahwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia. 2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. 3. Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman

berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik. 4. Hasaniyah, jika seseorang mengatakan saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir.

D. Pengertian dan penisbatannya 1. Pengertian dan penisbatannya Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam AlMunjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Ditinjau dari segi llmu Bahasa, kata Qadariyah berasal dari akar kata Sedang menurut pengertian terminologi, al-Qadariyah adalah : Suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan, bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang melawan pendapat mereka ini adalah al-Jabariyah. 2. Latar belakang kemunculannya Sebagaimana tidak jelasnya kapan paham Jabariyah itu mulai dibicarakan dalam teologi Islam, paham Qadariyah pun mengalami hal seperti itu. Muhammad ibn Syu'aib yang memperoleh informasi dari al-Auza'i mengatakan, bahwa mula pertama orang yang memperkenalkan paham Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah "SUSAN". Dia penduduk Irak, beragama Nasrani yang masuk Islam kemudian berbalik Nasrani lagi. Dari orang inilah untuk pertama kalinya Ma'bad

ibn Khalif al-Juhani al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham tersebut. Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dikatakan, bawah lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya. Sejarah timbulnya Jabariyah Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik. 3. Doktrin-doktrin pokoknya Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut: Jahm bin Shufwan Jad bin dirham An-Najjar Adh-Ddirar

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula

yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahqa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat. Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatanperbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah. 4. Perkembangan, tokoh dan sekte(firqah)nya Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Harun Nasition menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Mabad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasqy. Mabad adalah seorang tabaI yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri.

Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Mabad dan Ghailan mengambil faham ini. Jabariah sebagai telah dijelaskan sebelumnya, di antara tokoh penting aliran Jabariyah adalah Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan. Keduanya termasuk pemuka Jabariyah ekstrim. Tokoh lainnya adalah Husain dan Dirar. Kedua tokoh yang terakhir ini termasuk pemuka Jabariyah moderat. Berikut ini akan dijelaskan tokoh-tokoh tersebut serta ajaran masing-masing secara lebih terinci. a. Ja'ad ibn Dirham b. Jahm ibn Shafwan c. Husain al-Najjar d. Dirar ibn 'Amr

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Aqidah Ilmu Kalam secara bahasa terdiri dari kata Aqidah dan ilmu kalam . Aqidah berasal dari bahasa arab yaitu aqidah, aqid, uqad, uqud, Itiqad yang artinya ikatan, perjanjian dan keyakinan. Sedangkan ilmu kalam artinya Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan). Jadi Aqidah Ilmu Kalam artinya ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. B. Saran Semoga makalah ini berguna baik bagi penulis maupun pembaca, penulis sangat mengharapkan kritikan dan sarannya demi kelancaran penulis dalam membuat makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman

Saleh

Abdullah, Teori-Teori

Pendidikan

Berdasarkan

Al-

Qur'an. Jakarta : Rineka Cipta. 1994. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : Rosda. 2000. --------------, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung : Rosda. 2002. Al-Maktabah Alfiyah, Al-Maktabah 1.50 (CD Hadits). Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. Bandung : Rosda. 2000. Djamaludin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Al-Fiyah Lisunnatin Nabawiyah ver

Bandung : Pustaka Setia. 1999. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Logos. 1999. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung : Mizan. 1998. Oemar Muhammad Al-Taomy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1979. Quran Auto Reciter Sofware, The Holy Qur'an Program ver. 6.50. Mesir : SearchTruth.com. 1997.

Anda mungkin juga menyukai