Anda di halaman 1dari 35

Sejarah Perkembangan

Fiqh dan Ushul Fiqh

Oleh Khodijah Ishak,


SH.I,M.E.Sy
Fase Perkembangannya terbagi
menjadi lima, yaitu
1. Fase Pertumbuhan (610-632M)
2. Fase Perkembangan (11H-akhir abad I
H)
3. Fase Formulasi dan Sistematisasi
(abad I sampai abad IIH)
4. Fase Kemunduran atau Stagnasi
(Abad ketiga sampai akhir abad 19 M)
5. Masa Kebangkitan (akhir abd ke 19
sampai sekarang)
Fase Pertumbuhan (610-632M)

Dimulai sejak masa nabi yang terbagi dalam dua


periode, yaitu periode Mekkah dan periode Medinah.
Pada periode Mekkah belum nampak embrio usul fiqh,
karena ayat-ayat yang turun berkisar masalah akidah,
baru pada periode Medinah sudah mulai nampak,
karena ayat yang turun mengatur tentang hukum dan
pranata sosial.
Ciri yang nampak a.l.: Rasul memberi peluang sahabat
untuk berijtihad ketika menghadapi masalah,
mengajarkan prinsip musyawarah (ijmak), muncul
pengunaan ray.
Sumber hukum pada masa ini hanya wahyu , Rasul
juga melakukan ijtihad ketika muncul persoalan dan
wahyu belum turun.
Fase Perkembangan (11H-akhir abad I H)
Terjadi pada masa sahabat dan disebut juga
dengan masa persiapan pembentukan fiqh
Muncul kreativitas dalam berijtihad, dimana
penggunaan ray lebih terarah. Sahabat mulai
mengimplementasikan metode isitimbath
hukum, seperti Umar menerapkan maslahah
dalam kasus pencurian dan Ali menerapkan
qiyas dalam masalah hukuman bagi pelaku
minuman keras.
Muncul fatwa-fatwa bagi peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nashnya. Para sahabat menjadi
pemegang otoritas fiqh di daerah masing-masing
(Mekkah, Medinah, Kufah, Basrah, Syam, dan
Mesir)
Sumber Hukum Islam: al-Quran, Sunnah, ijtihad
sahabat.
Fase Formulasi dan Sistematisasi
(abad I sampai abad IIH)
Terjadi pada masa dinasti-dinasti Islam (Umayyah dan Abbasiyah)
Muncul pusat-pusat intelektual, yaitu Hijaz (Mekkah dan Medinah), Iraq
(Kufah dan Basrah), dan Syria atau Syam.
Muncul aliran Ahlul Hadis dan Ahl Ray
Gerakan ijtihad sangat pesat, hal ini karena: wilayah Islam mulai meluas
dimana ajaran islam bertemu dengan adapt local masyarakat di luar
Arab, Quran sudah dikodifikasikan dan banyak fatwa sahabat yang
dijadikan sebagai sandaran.
Muncul Imam-imam Mazhab dalam fiqh dan karya-karya besarnya, Imam
Abu Hanifah menyusun kitab al-Fiqh al-Akbar (kitab Fiqh), Imam Malik
menulis kitab al-Muwatta (kitab Hadis dengan sistematika Fiqh), Imam
Syafii menulis ar-Risalah (usul fiqh) dan Kitab al-Umm (fiqh), Imam
Ahmad Ibn Hanbal menyusun Musnad Ahmad (kitab Hadis).
Sumber Hukum Islam pada masa ini adalah: al-Quran, sunnah, ijmak,
qiyas.
Fase Kemunduran atau Stagnasi
(Abad ketiga sampai akhir abad 19 M)
Tidak ada ulama yang mampu menjadi mujtahid
mutlak
Mereka taqlid pada ulama mazhab sebelumnya
Terjadi pergolakan politik, dimana umat Islam
terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil,
sehingga perhatian terhadap ilmu kurang.
Muncul fanatisme mazhab, dimana usaha para
ulama hanya memperkuat dasar-dasar dan
pendapat mazhab sebelumnya. Karya yang
muncul berupa syarah da mukhtasar.
Masa Kebangkitan (akhir abd ke 19
sampai sekarang)
Berkaitan dengan kebangkitan di bidang politik,
dimana umat Islam mulai berusaha melepaskan diri
dari olonialisme
Muncul gerakan-gerakan pemabaruan dalam islm,
seperti gerakan Wahabiyah di Saudi Arabia
Muncul tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-
Afghani di Mesir, Muhammad bin Sanusi di Libia.
Ulama mulai mempelajari karya ulama sebelumnya
untuk dipilih mana yang paling valid dan
membandingkannya dengan hukum positif.
Sumber Hukum dalam Islam
(Pengertian Sumber dan dalil)
Sumber atau masadir adalah wadah yang
darinya digali norma-norma hukum.
Dalil adalah petunjuk yang membawa kita
menemukan hukum tertentu.
Sumber hukum dapat diklasifikasikan dengan:
Dalil munsyi: atau dalil pokok yang keberadaannya
tidak memerlukan dalil lain. Termasuk dalam kategori
ini adalah Al-Quran dan Hadis.
Dalil muzhir: yaitu dalil yang menyingkap, diakui
keberadaannya karena ada isyarat dari dalil munsyi
tentang penggunaannya. Termasuk dalam kelompok
ini adalah metode-metode ijtihad seperti: ijmak, qiyas,
istihsan, istislah, istishab dan sebagainya.
Al-Quran sebagai sumber
hukum
Definisi: al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang berisi
khitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman bagi umat
Islam.
Fungsi: sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang
berupa:
doktrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi
manusia di dalamnya, seperti: petunjuk moral dan hukum yang
menjadi dasar syariat, metafisika tentang Tuhan dan kosmologi
alam, dan penjelasan tentang sejarah dan eksistensi manusia.
ringkasan sejarah manusia baik para raja, orang-orang suci, nabi,
kaum dsb.
mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari.
Kandungan: (1) Itiqadiyah (2) Khuluqiyah (3) Ahkam
amaliyah.
Penjelasan al-Quran:
Ijmali (global): yaitu penjelasan yang masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam
pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan
kaifiyahnya.
Tafshili (rinci): yaitu keterangannya jelas dan
sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan
sebagainya.
Kategori Ayat Hukum dan Ayat Non-hukum:
berdasarkan kandungan ayat, jika mengandung
ketetapan hukum maka disebut dengan ayat
hukum dan dapat menjadi dalil fiqh.
Dalalah atau petunjuk al-Quran dibagi
dua:
Qaty (definitive text): lafal yang mengandung
pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami
dengan makna lainnya. Lafal ini tidak
membutuhkan ijtihad dan takwil.
Zanny (speculative text): lafal yang
mengandung pengertian lebih dari satu dan
memungkinkan untuk ditakwil, dan dapat
menerima ijtihad.
Hadis sebagai sumber Hukum:
Definisi: Hadis adalah penuturan sahabat tentang
Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, dan
taqrirnya.
Keshahihan Hadis: Hadis yang dapat digunakan
sebagai sumber adalah hadis yang sahih dan hasan.
Hadis dhaif tidak dapat dipakai sebagai sumber hukum.
Sebagian ulama membolehkan menggunakan hadis
dhaif sebagai dalil dengan syarat:
Kedhaifanya tidak terlalu lemah
Memiliki beberapa jalur sanad
Tidak mengatur masalah yang pokok, hanya sampai hukum
sunnah atau makruh.
Penentuan kesahihan hadis dibuat oleh ulama sehingga
terjadi perbedaan pendapat.
Fungsi Hadis terhadap al-Quran: (1) Bayan tafsir (2)
Bayan takid, dan (3) Bayan tasyri.
Ulama cenderung menganggap al-Quran sebagai satu
kesatuan dan hadis sebagai satu kesatuan. Ayat mana
saja boleh ditafsir dengan hadis mana saja tanpa
memperhatikan unsure waktu dan keterkaitan antara
keduanya. Disamping itu terdapat ulama yang
memandang kedudukan hadis lebih rendah dari al-
Quran.
Hadis Ahkam, yaitu hadis-hadis yang disusun dengan
menggunakan sistematika fiqh. Contohnya:
- Subulus Salam karangan as-Shanani
- Naylul Authar karangan as-Syaukani
- Lulu wal marjan karangan Fuad Abdul Baqi
- Koleksi Hadis Hukum karangan Hasbi as-Shiddieqy.
Ijtihad dan Mujtahid
Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk
menemukan hukum syara melalui dalil-dalil yang rinci
dengan metode tertentu.
Fungsi ijtihad adalah: mengistimbathkan (mencari,
menggali, dan menemukan) hukum syara.
Dasar Hukum Ijtihad: 1. Al-Quran (an-Nisa: 59) 2. Hadis
Muadz bin Jabal 3. Logika (jumlah ayat dan hadis
terbatas sedang masaah-masalah baru muncul)
Kedudukan ijtihad: sebagai sumber hukum yang ketiga
Ruang lingkup ijtihad:
Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih zanny (reformulasi)
Peristiwa yang belum ada nashnya sama sekali (formulasi)
Macam-Macam Ijtihad:
Dari segi pelaku: a. Ijtihad fardi b. Ijtihad jamai
Dari segi pelaksanaan:
Ijtihad Intiqai: yaitu ijtihad untuk memilih salah satu
pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang
ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan
meneliti dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan.
Disebut juga ijtihad selektif.
Ijtihad Insyai: yaitu mengambi konklusi hukum baru
terhadap suatu permasalahan yang belum ada
ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
Mujtahid
Syarat Mujtahid:
Umum: Islam, balligh dan berakal
Pokok: mengetahui al-Quran, sunnah, maqasid syariyah dan qawaid
al-fiqhiyah
Penting: menguasai bahasa Arab, ushul fiqh dan logika, mengetahui
khilafiyah dan masalah-masalah yang sudah diijmakkan.
Tingkatan Ijtihad:
Mujtahid Mutlak: yaitu mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum
dengan menggunakan metode yang disusun sendiri. Contohnya adalah
para Imam mazhab.
Mujtahd Muntasib: mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode
imamnya tetapi tidak bertaklid. Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi), Al-
Muzani (Syafii), Ibnu Abdil Hakam (Maliki), dan Abu Hamid (Hanbali).
Mujtahid Mazhab: yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam
usul maupun furu.
Mujtahid Murajjih: yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa
pendapat imam dan memilih salah satu yang dipandang kuat
Ijmak dan Qiyas sebagai Metode
Ijtihad
Pengertian Ijmak:
Imam Ghazali: Kesepakatan umat Muhamad terhadap suatu
masalah
Jumhur: Kesepakatan mujtahid pada suatu masa terhadap suatu
hukum syara setelah wafatnya Rasulullah.
Secara Historis :
Ijmak merupakan suatu proses alamiah bagi penyelesaian
persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas ummat
secara bertahap.
Ijmak bermula dari pendapat pribadi dan berpuncak pada
peneriamaan universal oleh ummat dalam jangka panjang.
Ijmak adalah aktifitas informal murni dari para ulama dalam
kedudukan pribadi mereka tanpa ada organisasi yang pasti dan
prosedur yang spesifik.
Dalil Ijmak: An-Nisa 59, 115, dan al-Maidah 103
Fungsi Ijmak:
Mengeliminir kesalahan-kesalahan dalam berijtihad
Menyatukan pendapat-pendapat yang berbeda
Menjamin penafsiran yang tepat atas Quran dan
keotentikan hadis
Rukun Ijmak:
Mujtahid: seluruh mujtahid hadir dan seluruh yang
hadir menyetujui
Kesepakatan: dilakukan secara tegas dan bulat
Macam Ijmak: sharih (kesepakatannya tegas)
dan sukuti (kesepakatannya tidak tegas).
pendapat Ulama tentang Ijmak:
SyafiI, Hambali, Zahiri: Ijmak hanya terjadi pada
masa sahabat
Malik: praktek orang Madinah dianggap Ijmak
Syiah: Ijmak adalah kesepakatan para anggota
keluarga Rasul
Abduh: Ijmak adalah mufakat orang yang berwenang
(ulul amri), dan dapat dibatalkan oleh generasi
berikutnya. Tidak ada ketentuan teknis tentang ijmak
dalam al-Quran.
Iqbal: Bentuk ijmak yang mungkin adalah pengalihan
kekuasaan ijtihad kepada lembaga legislative.
Qiyas (Analogical Reasoning):
Definisi: Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum
ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah
ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan illat.
Historis:
Ijmak merupakan sistematisasi ray (pendapat pribadi)
Bentuknya tidak kaku dan formal, tanpa batasan yang spesifik
Sikap ulama: menerima (jumhur), dan menolak (Zahiri).
Rukun dan Syarat Qiyas:
Ashl (Maqis alaih): masalah yang sudah ada hukumnya, baik dari al-
Quran maupun hadis.
Furu (maqis): masalah yang sedang dicari hukumnya.
Hukum Ashl: hukum yang sudah ditetapkan oleh nash
Illat: sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan
dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai.
Pembagian Qiyas:
Qiyas Aulawi: jika hukum pada furu lebih kuat daripada ahl
(seperti mengqiyaskan memukul dengan kata ah).
Qiyas Musawi: Jika hukum pada furu sama kuatnya dengan
hukum pada ashl (seperti memakan harta anak yatim dengan
membakarnya).
Qiyas Adna: yaitu hukum pada furu lebih lemah daripada ashl
(seperti mengqiyaskan apel dengan gandum).
Kejelasan Illat:
Qiyas Jaly: Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum ashl (seperti memukul orang tua)
Qiyas Khafy: Qiyas yang illatya tidak disebut dalam nash.
Hukum Syara
Pengertian
Hukum syara adalah: khitab Allah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik
berupa tuntutan (iqtidha), pilihan (takhyir), atau
penetapan (wadhaan).
Pembagian
Hukum Syara terbagi menjadi dua, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadhi.
Hukum Taklifi yaitu: tuntutan Allah yang
berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau
untuk tidak berbuat atau memilih diantara
keduanya.
Menurut jumhur ulama Hukum
taklifi terbagi menjadi lima:
1. Ijab: tuntutan secara pasti untuk dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan,
dan ada hukuman bagi yang melanggarnya. Akibat perbuatannya
adalah wujub, perbuatan yang dituntut namanya wajib. Contoh:
kewajiban shalat.
2. Nadb: tuntutan untuk melaksanakan perbuatan tapi tidak secara pasti.
Perbuatan yang dituntut namanya mandub, akibat perbuatannya
disebut nadb. Contoh anjuran mencatat transaksi.
3. Ibahah: khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau
tidak berbuat. Akibat dari tuntutannya disebut ibahah, perbuatannya
namanya mubah. Contoh mencari rizki setelah shalat jumat.
4. Karahah: tuntutan untuk meninggalkan tapi redaksinya tidak pasti.
Akibat perbuatannya namanya karahah, perbuatannya disebut
makruh. Contoh: menanyakan sesuatu yang menyulitkan.
5. Tahrim: tuntutan secara pasti untuk tidak melaksanakan perbuatan.
Akibat dari tuntutan disebut hurmah, perbuatannya dinamakan haram.
Contoh: larangan membunuh
Menurut Hanafiyah, hukum taklifi
dibagi menjadi tujuh:
1. Iftiradh: tuntutan pasti untuk dilaksanakan berdasarkan dalil
qaty. Contoh: kewajiban shalat (fardu)
2. Ijab: tuntutan pasti untuk dilaksanakan berdasarkan dalil zanny.
Contoh: membaca fatihah dalam shalat.
3. Nadb: sama dengan jumhur
4. Ibahah: sama dengan jumhur.
5. Karahah Tanzihiyah: tuntutan untuk meninggalkan tetapi tidak
pasti (sama dengan karahah versi jumhur).
6. Karahah Tahrimiyah: tuntutan pasti untuk meninggalkan
berdasarkan dalil zanny. Contoh: jual beli waktu shalat jumat.
7. Tahrim: tuntutan pasti untuk meninggalkan berdasarkan dalil
qaty.
Hukum Wadhi: hukum tentang
pengkondisian sesuatu.
Hukum wadhI dibagi menjadi 7 kategori:
1. Sabab: sifat nyata yang dijelaskan oleh nash bahwa keberadaannya
menjadi hukum syara. Keberadaan sabab menjadi pertanda ada atau
tidaknya hukum. Contoh: tergelincirnya matahari menjadi sebab
masuknya waktu zuhur.
2. Syarat: sesuatu yang berada di luar hukum syara tetapi keberadaan
hukum syara tergantung padanya. Syarat tidak ada maka hukum pun
tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum.
Contoh: wudhu adalah syarat sahnya salat.
3. Mani: sifat nyata yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya
hukum. Contoh: haidl menjadi mani bagi shalat.
4. Shihah: suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara (sabab,
syarat, dan tidak ada mani).
5. Bathil: terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan.
6. Azimah: hukum yang ditetapkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak
semula
7. Rukhsah: hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya
uzur.
Perbedaan antara hukum taklify
dan hukum wady:
Hukum taklify berisi tuntutan untuk
melaksanakan/meninggalkan dan
memilih. Hukum wady mengandung
keterkaitan antara dua persoalan.
Hukum taklify merupakan tuntutan
langsung kepada mukallaf , hukum wady
merupakan wahana untuk dapat
dilaksanakannya hukum taklify.
Mazhab dalam Fiqh
Pengertian:
Mazhab adalah kelompok atau faham dalam fiqh yang
berhubungan dengan penafsiran dan pelaksanaan
hukum Islam.
Bermazhab berarti mengikuti hasil pemikiran seseorang
atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan
pelaksanaan hukum Islam.
Mazhab bermula dari pendapat individu (seorang ulama)
yang kemudian diikuti oleh banyak orang dan
berakumulasi menjadi keyakinan kelompok.
Hukum bermazhab adalah mubah
Bermazhab ada dua:
Bermazhab fil aqwal: yaitu mengikuti segala
pendapat dari seorang ulama. Kategori ini
sama dengan taqlid.
Bermazhab fil manhaj: yaitu mengikuti
seorang ulama dalam hal metode ijtihadnya,
bukan sekedar mengikuti pendapat saja.
Kategori ini sama artinya dengan ittiba.
Sejarah Mazhab:
Pada masa sahabat telah terbentuk pusat-pusat
intelektual, seperti: Hijaz, Iraq, dan Syria. Disetiap kota
tersebut terdapat sahabat yang menjadi pemuka dan
diikuti pendapatnya.
Di Hijaz terdapat Umar, Aisyah, Ibn Umar, dan Ibnu
Abbas. Di Iraq terdapat: Ali bin Abi Thalib dan Abdullah
bin Masud. Di Syria terdapat Umar bin Abdul Aziz.
Pendapat para sahabat tersebut kemudian diikuti oleh
para tabiin di kota-kota tersebut, sehingga muncullah
cirri-ciri khusus di setiap kota. Hal ini melahirkan
munculnya Madrasah Ahl hadis dan Madrasah Ahl Ray.
Perkembangan Mazhab:
Mazhab yang pertama muncul (abad ke 2 H) adalah
mazhab local, yaitu:
Mazhab Hijazi, yang meliputi kota Mekkah dan Medinah.
Mazhab Iraqi, yang meliputi kota Kufah dan Basrah.
Mazhab Syam, yaitu terdapat di Syria.
Mazhab local ini memiliki cirri:
Unsur local sangat mempengaruhi dalam setiap fatwa yang
muncul
Munculnya kebebasan pendapat dalam fiqh.
Sunnah diartikan dengan adapt istiadat masyarakat, sedangkan
ijmak merupakan kesepakatan ulama setempat
Mazhab yang kedua (muncul pada abad ke 3 H) adalah
mazhab individu. Mazhab ini mendasarkan ajarannya
pada pendapat perorangan. Mazhab tersebut adalah:
Mazhab Hanafi (w. 150H/767M) berkembang di Turki dan
Pakistan.
Mazhab Maliki (w. 179H/795M) berkembang di Afrika Utara
Mazhab SyafiI (w. 204H/819M) berkembang di Asia Tenggara
Mazhab Hambali (w. 241H/855M) berkembang di Saudi Arabia.
Dasar pelaksanaan mazhab ini adalah ketaatan kepada
imam.
Perbadan Kaidah Usul Fiqih
Dengan Kaidah Fiqih
Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qaidah istidlaliyah yang menjadi wasilah para
mujtahid dalam istinbath(pengambilan) sebuah hukum syariyah amaliah. Kaidah ini
menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum.
Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum,
ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syari.
Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna
hukum syariyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu. Sehingga
kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syari. Dan kaidah ini
digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil)
hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul al-aslu fil amri lil wujub
bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu
hukum syari. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil
(baik Quran maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda
dengan kaidah fiqih al-dharar yuzal bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam
kaidah ini mengandung hukum syari, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus
syari (rahasia-rahasia syari) tidak pula mengandung
hikmah syari. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya
terkandung kedua hal tersebut.
Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah)
dan mencakup seluruh furu di bawahnya.
Sehinggaistitsnaiyyah (pengecualian) hanya ada sedikit
sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda
dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsnaiyyah,
karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa
dilihat dari maudhunya (objek). Jika Kaidah
ushulmaudhunya dalil-dalil samiyyah. Sedangkan kaidah
fiqih maudhunya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan
atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah
fiqh.
Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh.
Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul
adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil
yang qotI. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda
pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah
fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan
hujjah bagi mujtahid alim dan bukank hujjah bagi
selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa
kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh

Anda mungkin juga menyukai