Anda di halaman 1dari 11

MULLA SADRA DAN GAGASAN TEOSOFI TRANSENDEN

Sunday, 2 June 20133komentar

Oleh : Syafieh, M. Fil. I


A.

Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan
tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang
ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, orang sering beranggapan
bahwa penyerbuan Mongol terhadap dunia islam yang telah menghancurkan khilafah Timur dan terusirnya orang
Islam dari Spanyol telah menghilangkan khilafah Barat. Bersamaan dengan itu, umat Islam pun tenggelam
dalam tidur panjang. Dalam arti perkembangan pemikiran dari dunia Islam seakan-akan terhenti.
Dengan berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 905 H/1499 M oleh Syah Ismail, mengawali warna mistis dan
filosofis pada penguasa-penguasa Persia dari golongan Syiah. Perkembangan pemikiran pada zaman Safawi ini
mempunyai karakteristik yang khas, yang disebut sebagai mazhab Isfahan. Mazhab ini menampung
perkembangan Peripatetik (Masyai), Illuminasionis (Isyraqi), Gnostik (Irfani) dan Teologis (Kalam). Aliran-aliran
ini berkembang pesat selama empat abad sebelum Mulla Shadra, yang merupakan jalan buat sintesis utama
yang dilakukan oleh Mulla Shadra. Aliran filsafat yang digagas oleh Mulla Shadra ini biasa disebut Teosofi
Transenden

(al-

hikmah

al-mutaaliyah).

Meskipun sempat terlambat dikenal dan dipahami, sehingga timbul keyakinan bahwa filsafat Islam telah mati
setelah Ibn Rusyd, saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren
meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan
inkorporasi Al-Quran dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya tidak hanya sebagai bukti
masih-hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa-lebih dari
Paripateisme

dan

Israqiyah-filsafat

B.
1.

Hikmah

layak

dsebut

Mulla
Biografi

filsafat

Islam

yang

sesungguhnya.
Sadra

dan

Pendidikannya

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering dipanggil dengan julukan
Shadruddin Asy-Syirazi atau Mulla Shadra atau Shadra. Di kalangan muridnya, dia lebih dikenal sebagai Shadr
Al-Mutaallihin. Ia dinamakan dengan julukan itu karena ketinggian pengetahuannya tentang Hikmah.[1] Ia
dilahirkan di Syiraz yaitu sebuah kota yang paling terkenal di Iran, dikawasan sekitar Persepolis tahun 979/980 H
atau 1571/1572 M). Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya, ayahnya adalah seorang bangsawan terhormat di kota

tersebut.
Tidak lama di Syiraz, ia pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang penting pada masa itu, dan
melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereksi (wafat 1640). Tetapi akhirnya ia kembali ke
Syiraz sebagai guru pada sebuah Sekolah Agama (Madrasah) yang didirikan oleh Gubernur Propinsi Fars. Ia
telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan iapun wafat di Basharah pada tengah
perjalanannya

sepulang

naik

haji

yang

ketujuh

kalinya

pada

tahun

1641

M.[2]

Tradisi-tradisi intelektual, filosofis dan mistis Islam yang berkembang sebelumnya dan terus berlanjut dengan
munculnya generasi-generasi baru yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya,
telah memberikan jalan bagi perkembangan intelektual dan pemikiran Shadra. Di samping juga karena budaya
tulis baca yang memungkinkan pemikiran-pemikiran tersebut dikodifikasikan sehingga memungkinkan bagi
generasi setelahnya untuk mengakses, mengembangkan dan bahkan melakukan kritik terhadapnya. Kehidupan
dan kontinuitas tradisi intelektual tersebut yang memberikan ruang bagisosok seperti Shadra untuk tidak
tertinggal dalam mengakses karya-karya dan pemikiran-pemikiran, mengembangkan dan melakukan
perbandingan dan sintesa terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Mazhab-mazhab pemikiran besar dalam Islam
seperti masysyai (paripatetik), isyraqi (iluminasi) dan mazhab wihdah al-wujud diambil dan dikembangkan
menjadi satu bentuk formulasi intelektual baru dengan karakteristik yang juga baru dan unik. Dari karya-karya
beliau dapat dilihat bahwa beliau berhasil mengakomudasi pemikiran-pemikiran sejak Yunani hingga pemikiranpemikiran

yang

dikembangkan

pada

masanya.

Setting sosial dimana beliau hidup turut mendukung perkembangan intelektual beliau. Dengan posisi dan status
terhormat keluarga beliau jelas memberikan ruang bagi beliau untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan
belajar yang memadai. Kota Syiraz, kota dimana beliau tumbuh dan berkembangsejak abad ke-8 H/12 M,
menjadi pusat kegiatan filsafat dan intelektual, misalnya saja Jalal Ad-Din Ad-Dawwani (835-908/1431-1502)
menyusun beberapa karya filosofis yang bercorak paripatetik dan iluminatif dan juga tentang logika dan Ilmu
Kalam. Sementara keluarga Dasytaki melahirkan figur-figur cemerlang seperti Amir Ad-Din Shadr As-Din
Muhammad Ad-Dasytaki (w. 903 H/1497-98 M) dan Giyas Ad-Din Manshur Ad-Dasytaki (w.948 H/1541-42 M).
Mereka berdua adalah figur yang banyak mempengaruhi para pemikir dinasti Syafawi dan juga figur-figur
intelektualMusli

di

anak

benua

India.[3]

Beliau tergolong seorang penulis yang produktif dan karya-karyanya mencapai sekita 40-an dalam bidang, baik
dalam bentuk buku yang utuh ataupun risalah-risalah yang singkat. Di antara karya-karya beliau adalah: AlHikmah Al-Muataliyah fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arbaah, Al-Mabda wa Al-Maad, Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi
Al-Manahij As-Suluki, Mafatih Al-Gaib, Kitab Al-Masyair, Tafsir Al-Quran Al-Karim, Asrar Al-Ayat wa Anwar AlBayyinat, Mutasyabihat Al-Quran, Al-Masail Al-Qudsiyah, Ajwibah Al-Masail, Ajwibah Masail Syams Ad-Din
Muhammad Al-Jilani, Ajwibah Al-Masail An-Nashiriyah, Al-Hikmah Al-Arsyiyah, Al Waridah Al-Qalbiyah Fi Maarif
Ar-Rububiyah, Al-Mazahir Al-Ilahiyah fi Asrar Al-Ulum Al-Kamaliyah, Iktsir Al-Arifin fi Marifah Tariq Al-Haq wa AlYaqin, Katsr Al-Ashnam Al-Jahiliyah, Relase Se Ashl, Risalah Fi Ittishaf Al-Mahiyah bi Al-Wujud, Risalah fi
Tasyakhkhus, Risalah fi Surayan Al-Wujud, Risalah fi Al-Qadla wa Al-Qadr, Risalah fi Al-Huduts Al-Alam, Risalah
fi Al-Hasyr, Risalah fi Khalq Al-Amal, Al-Lamaah Al-Masyriqiyyah, Risalah fi At-Tasawwur wa At-Tashdiq, AtTanqihat, Risalah fi Ittihad Al-Aqil wa Maqul, Tarh Al-Kaunaian, Diwan, Dibache Arsy Taqdis, Namayi Shadra bi
Ustadi Khud Sayyid Mir Daman (I dan II), Syarh Al-Ushul Min Al-Kafi, Syarh Ilahiyat Asy-Syifa, Taliqah Syarh
Hikmah Al-Isyraq dan Zad Al-Musafir. Di antara karya-karya yang disebutkan ini ada yang beberapa yang

berbahasa Persia dan yang lainnya berbahasa Arab. Di samping itu masih banyak karya yang dinisbahkan
kepada beliau, akan tetapi masih dalam perdebatan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui

orisinalitasnya.[4]

2.

Karya-Karya

Mulla

Sadra

Mulla Shadra di kala itu, dikenal sebagai penerus aliran Isyraz dan penyempurna berbagai aliran filsafat Islam
sebelumnya. Ia juga membuat banyak karya tulis, karya tulis yang dibuat oleh Mulla Shadra lebih dari 20 karya,
antara

lain

1.

Al-Hikmah

sebagai
Al-Mutaaliyah

berikut

fi

Asfar

Al-Aqliyah

Al-Arbaah

Kitab ini merupakan karya monumental karena menjadi dasar bagi karya pendeknya, juga menjadi risalah
pemikiran pasca Avicennian pada umumnya. Kitab ini juga menjelaskan pengembaraan intelektual dan spritual
manusia ke hadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini juga memuat hampir semua persoalan yang berkaitan dengan
wacana pemikiran dalam Islam; ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Penyajian menggunakan pendekatan
morfologis, metafisis, dan historis. Hingga saat ini, kitab Asfar digunakan sebagai teks-teks tertinggi dalam
memahami

hikmah.

2.

Al-Hasyr

(tentang

kebangkitan).

Kitab ini terdiri atas delapan Bab yang menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan, benda materi,
manusia,
3.

dan
Al

Hikmah

tumbuhan
Al

Arsyiyah

aka
(hikmah

kembali

yang

diturunkan

kepada-Nya.
dari

Arsy

Ilahi).

Kitab ini menjelaskan Tuhan dan kebangkitan (resurrection) dan kehidupan manusia setelah mati.
4.

Huduts

Al-Alam

(penciptaan

alam).

Kitab ini membicarakan asal-muasal penciptaan alam dan kejadiaanya dalam waktu berlandaskan atas alHarakah
5.

al-Jauhariyyah

dan

penolakan

atas

pemikiran

Mir

Damad.

Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi Dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala jahiliyah dalam mendebati

mereka

yang

berpura-pura

menjadi

ahli

sufi).

Mutashawifin dalam Kitab ini adalah mereka yang berpura-pura menjadi sufi dan meningkatkan syariat.
6.

Kalq

Al-Amal

Kitab ini membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia, kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia.
7.

Al-Lamaah Al-Masyiriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyah (percikan cahaya Illuminasionis dalam seni logika).

Kitab ini terdiri atas sembilan Bab, dan merupakan modifikasi dari Hikmat Al-Isyraq-nya Suhrawardi.
8.

Al-Mabdawa

Kitab

ini

Al-Maad

berisikan

9.

(permulaan

tentang

Mafatih

metafisika,

Al-Ghaib

dan

pengembalian).

kosmologi,

dan

(kunci

eskatologi

alam

ghaib)

Kitab ini tersusun setelah Mulla Shadra berhasil mencapai puncak kematangan ilmu, berisikan doktrin tentang
metafisika,

kosmologi,

10.

dan

Kitab

Kitab

ini

eskatologi

Al-Masyair
menjelaskan

11.

yang

berlandaskan

(kitab
teori

Al-Mizaj

atas

dalil-dalil

penembusan

ontologi

yang

(tentang

naqli.

metafisika).
sangat

ringkas

perilaku

persaan)

Kitab ini membicarakan perilaku akibat dari bawaan, perangai, dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.
12.
Kitab
13.

Mutasyabihat
membicarakan

Al-Quran

ayat-ayat

(ayat-ayat

Quran

yang

sukar

mutasyabihat
dipahami

dan

dalam

metaforis

dari

Al-Quran)
sudut

gnosis.

Al-Qadha wa Al-Qadar fi Afali Al-Basyar (tentang masalah Qadha dan Qadar dalam perbuatan manusia).

Kitab ini membahas tentang ketetapan, kebebasan, dan bagaimana pemberian iIlahi dapat dilihat dari kacamata
manusia.
14.

Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah

kesederhanaan

rohani)

Kitab ringkasan doktrin-doktrin Mulla Shadra yang paling lengkap yang ditulis berdasarkan tinjauan gnosis.[5]
3.

Pemikiran

Filsafat

Mulla

Sadra

Mulla Shadra adalah tokoh yang dengan potensi pribadinya dan didukung oleh bentukan tradisi intelektual
zamannya berhasil mengambil akumulasi tradisi-tradisi pengetahuan yang berkembang pada zamannya dan
juga pada masa-masa sebelumnya. Ia sebagaimana disebutkan oleh para pengagumnya bukan semata-mata
hanya mengadopsi dan mensintesakan pemikiran-pemikiran yang telah ada, melainkan ia telah melakukan yang
lebih

dari

itu

dengan

memberikan

nilai

dan

format

baru

sebuah

kecenderungan

intelektual.[6]

Menurut sumber-sumber yang otoritatif, pemikiran Shadra dipengaruhi oleh tiga mazhab besar filsafat dan
teosofi yang pernah berkembang di dalam Islam. Mazhab-mazhab tersebut adalah masysyiyah, isyrqiyah dan
wihdah al-wujud. Selain itu Shadra juga sangat mengenal dan menguasai teologi Islam baik yang sunni maupun

syiah dan juga ajaran syariat secara umum. Semua itu mempengaruhi mazhab pemikiran dan teosofi Mulla
Shadra

yang

dikenal

dengan

mazhab

Al-Hikmah

Al-Mutaliyah

(theosophy

transcendental).

Untuk lebih jelasnya kita akan melihat masing-masing dari mazhab pemikiran tersebut secara sekilas agas bisa
mengetahui bagaimana posisi Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Mutliyah. Mazhab masysyiyah dengan
tokohnya yaitu Ibnu Sina dan juga toko-tokoh lain yang muncul belakangan seperti Nshir Ad-Dn Ah-Ths dan
Atsr Ad-Dn Abhar telah dikenal dengan sangat akrab oleh Mulla Shadra. Bukti dari itu semua adalah
bagaimana Mulla Shadra memberikan komentar terhadap kitab karangan Ibnu Sina yaitu Asy-Syif dan juga
komentar

terhadap

Al-Hidyah

karya

Atsr

Ad-Dn

Abhar.[7]

Sedangkan Asy-Syuhrawardi sebagai guru dari mazhab isyraqiyahnya tidak diragukan lagi demikian dominan
mempengaruhi Shadra baik secara doktrin ataupun istilah-istilah yang digunakan. Banyak istilah-istilah kunci
yang digunakan oleh Shadra dalam merumuskan pemikirannya yang diadopsi dari Asy-Syuhrawardi. Ini
diperkuat oleh kenyataan bahwa para murid-murid dan pengagumnya memberikan gelar kepadanya dengan
Shadr Al-Mutalihhin yang nota benarnya adalah istilah dan konsep yang dikeluarkan oleh guru mazhab
iluminasi ini. Asy-Syuhrawardi pernah mengatakan bahwa orang yang pada dirinya telah menyatu pengetahuan
rasional dan pengetahuan intuitif-ilahiyah secara seimbang disebut sebagai Al-Hakim Al-Mutaallihin (filsuf yang
dikaruniai sifat-sifat ilahi dan menyerupai Tuhan). Ini tentunya bukan secara kebetulan, akan tetapi karena
memang kuatnya pengaruh mazhab iluminasi terhadap pemikiran Mulla Shadra dengan mazhab Al-Hakim Al
Mutaaliyah.
Selain itu, Mulla Shadra juga terpengaruh oleh tokoh wihdah al-wujud yaitu Ibnu Arabi dan bahkan banyak
mengambil pemikiran-pemikirannya yang kemudian dijadikan salah satu dasar untuk membangun mazhabnya.
Jejak-jejak Ibnu Arabi sangat terlihat jelas dalam karya-karya dan pemikirannya terutama sekali dalam teori atau
konsepnya mengenai masalah wihdah al-wujud dengan segala pembahasan-pembahasannya. Demikian juga
dalam masalah eskatologi, Mulla Shadra banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Ibnu Arabi dan bahkan dalam
kitab Asfar Al-Arbaah ketika membahas masalah eskatologi dengan judul Al-Maad ia banyak mengutip dari guru
sufi

Andulusia

tersebut

terutama

dari

karya

besarnya

Futuhat

Al-Makiyyah.

Selain mengenal dan memahami secara mendalam mazhab-mazhab pemikiran tersebut, Shadra juga berhasil
melakukan sintesis umum terhadap masalah epitemologis. Menurutnya ada tiga jalan untuk memperoleh
pengetahuan yang sejati yang ketiga-tiganya tidak bisa dipisahkan jika ingin sampai kepada tujuan yang
sebenarnya yaitu wahyu (wahy), demonstrasi (burhn, taaqqul), dan pengetahuan irfn melalui muksyafah dan
musyhadah. Tiga hal ini berhasil beliau sintesakan dan kemudian menciptakan pola dan sistem pengetahuan
yang

menggabungkan

secara

indah

antara

wahyu

(al-Quran),

burhan

dan

juga

irfan.

Secara efistemologi, Mulla Shadra mengikuti Syuhrawardi dan mazhab iluminasi secara umum yang
membedakan antara pengetahuan konseptual (ilm al-hushuli) dengan pengetahuan dengan kehadiran (ilm alkhuduri). Pengetahuan konseptual (ilm al-hushuli) adalah apa yang diperoleh dari konsep-konsep dalam pikiran
mengenai

yang

diketahui

sedangkan

pengetahuan

dengan

kehadiran

adalah

pengetahuan

yang

mengimplikasikan kehadiran realitas yang diketahui dalam akal atau intelek tanpa melalui konsep-konsep
mental.[8] Dua kategori pengetahuan ini secara sederhana bisa dijelaskan bahwa yang pertama adalah
pengetahuan yang dimasyaratkan keaktifan rasio dan akal untuk mengetahui objek yang diketahui, sedangkan
yang kedua adalah pengetahuan langsung yang sebaliknya mensyaratkan kepasifan akal untuk menerima

pancaran langsung. Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan iliminatif dan melampaui rasio, akan tetapi
bukan berarti tidak mempunyai bobot intelektual. Bahkan bobot intelektualnya melampaui yang pertama karena
diantara karakteristiknya adalah bersifat menyeluruh, totalitas sedangkan yang pertama dicirikan dengan
keberadaannya yang besifat particular dan terfokus. Hal lain yang perlu dicatat mengenai pandangan Shadra
hubungannya dengan sumber pengetahuan adalah bahwa ia menerima iluminasi sebagai pengetahuan dengan
menambahkan wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan mengenai masalah filosofis dan teosofi.
a.

Theosophy

Transenden

(Al-Hikmah

Al-Mutaaliyah)

Sintesis pemikiran yang dilakukan oleh Shadra yang didasarkan atas tiga cara mengetahui sebagaimana telah
disebutkan di atas yang kemudian membawanya kepada satupandangan dunia dan menciptakan satu sudut
pandangan intelektual baru yang dikenal dengan istilah Al-Hikmah Al-Mutaaliyah (Teosofi Transendental).
Sekalipun istilah ini sebenarnya sudah ada dan disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelum Shadra, akan tetapi ia
dianggap sebagai tokoh yang merumuskan secara sistematis dan menjadikannya sebagai mazhab teosofi. Ia
sangat setia menggunakan istilah tersebut sehingga buku yang membahas secara sistematis dasar-dasar filsafat
mistisnya

diberikan

judul

Al-Hikmah

Al-Mutaaliyah

Fi

Al-Asfar

Al-Aqliyah

Al-Arbaah.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya secara epistemologis Al-Hikmah Al-Mutaaliyah didasarkan atas tiga
prinsip, yaitu: Intuisi Intelektual (dzauq atau isyraq), Pembuktian Rasional (aql dan istidlal), dan Syariat. AlHikmah Al-Mutaaliyah tidak mengabaikan salah satu dari dua bentuk pengetahuan yaitu rasional dan intuitif dan
bahkan menggabungkan kedua-duanya dan ditambah dengan sumber yang ketiga yaitu wahyu. Dengan
demikian filsafat Mulla Shadra berupaya memperoleh kebijaksanaan melalui pencerahan rohani dan disajikan
secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Atau sebaliknya pengetahuan-pengetahuan
rasional ditransendensikan agar bisa mencapai pencerahan spiritual. Adapun dasar ontologis dari Al-Hikmah AlMutaaliyah didasarkan pada beberapa hal, yaitu: Pengistimewaan Wujud (ashlah al-wujud), Kesatuan Wujud
(wihdah al-wujud), Hirarki atau Gradasi Wujud (tasykik al-wujud). Masing-masing dari tiga pondasi ini akan
dijelaskan
b.

satu

persatu.

Filsafat

Wujud

Untuk memahami teosofi transenden Mulla Shadra, harus dipahami bahwa yang menjadi landasannya dan juga
keseluruhan bangunan metafisikanya adalah pengetahuan tentang wujud. Oleh sebab itulah filsafatnya secara
umum bisa dikategorikan sebagai filsafat wujudiyah karena dasar-dasar pengetahuan intelektual dan mistisnya
menjadikan kajian mengenai wujud sebagai titik tolaknya. Untuk lebih memahami bagaimana pemikiran Mulla
Shadra kita akan membahas mengenai masalah ini dan akan memulai dari pembahasan pertama yaitu
perbedaan antara konsep wujud (mafhum al-wujud) dengan realitas wujud (haqqah al-wujud) dan kemudian
mengupas konsepnya mengenai fundamentaslis wujud (ashlah al-wujud) terkait dengan perdebatan mengenai
status wujud dan mahiyah. Dan setelah itu juga akan dibahas mengenai pandangannya mengenai kesatuan
wujud
c.
al-

dan

hirarki

atau

gradasi

wujud

sebagai

konsep

lain

yang

melengkapi

filsafat

wujudnya.

Perbedaaan Antara Wujud sebagai Konsep (mafhm al-wujd) dengan Wujud Sebagai Realitas (haqqah
wujd).

Sebelum lebih jauh melihat bagaimana Shadra membedakan antara wujud sebagai konsep dan wujud sebagai

realitas, perlu didiskusokan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah wujud itu sendiri. Istilah ini adalah
murni dari bahasa Arab yang sering diterjemahkan dengan eksistensi dalam terminologi filsafat secara umum.
Dalam bahasa Arab, akar kata wujud ini terambil dari kata w-j-d yang makna dasarnya adalah menemukan atau
mengetahui sesuatu.[9] Dalam diskusus filsafat, istilah ini telah menjadi terminologi khusus yang dipengaruhi
oleh konsep filsafat Yunani. Untuk memahami istilah ini ada baiknya kita merujuk kepada terminologi lain yang
sering

diperbincangkan

oleh

para

filsuf

yaitu

istilah

mahiyah

(kuiditas).

Sedangkan mahiyah atau kuiditas adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan apa? Seperti pertanyaan apakah
manusia? Mahiyah atau kuiditas ini adalah sesuatu yang bersifat ideal pada diri sesuatu seperti manusia yang
mahiyah atau kuiditasnya adalah hewan yang berfikir akan tetapi tanpa melihat keberadaannya secara
eksternal. Adapun jika sesuatu yang ideal ini dilihat sebagai jika melihat aktualisasinya secara eksternal, maka ia
dinamakan dengan realitas (haqiqat) dan jika melihatnya sebagai sesuatu yang membedakannya dengan yang
lain maka ia dinamakan dengan identitas (huwayyah), dan jika melihatnya sesuatu yang diturunkan dari lafaz,
maka ia dinamakan dengan makna (madlul) dan jika melihat sebagai tempat segala bentuk perubahan dan
bentuk,

maka

dinamakan

dengan

istilah

substansi

(jauhar).[10]

Jadi secara sederhana bisa dikatakan bahwa mahiyah adalah kategori-kategori yang bersifat partikar dengan
berbagai tingkatan-tingkatannya, baik yang ideal ataupu yang riil, sedangkan wujud adalah kategori paling umum
dari semua itu dan melampaui kategori-kategori yang pertikular. Ada dua cara untuk menggambarkan istilah
wujud sebagai kategori yang paling umum dan universal dengan mahiyah sebagai kategori-kategori yang
partikular. Yang pertama adalah kenyataan bahwa Huzain secara identitas (huwayyah) dan realitas (haqiqah)
berbeda dengan Syamsul, akan tetapi esensinya adalah sama yaitu sebagai manusia. Demikian juga manusia
bisa dibedakan dengan binatang lain yang tidak berpikir sehingga ada esensi binatang, dan juga esensi
manusia. Akan tetapi hal yang menyamakan Huzain dan Syamsul atau manusia dengan binatang dan juga yang
lainnya

adalah

keberadaannya

sebagai

yang

ada

(wujud

atau

eksistensi).

Cara kedua untuk memahami wujud ini sebagai kategori yang paling umum adalah dengan membedakan antara
Huzain sebagaimana alam realitasnya dengan Huzain sebagai yang ideal. Huzain yang nyata dan duduk
manusia dihadapan kita adalah Huzain yang riil (nyata), sedangkan Huzain yang ada di pikiran ceweknya yang
ada di Sulawesi adalah Huzain yang ideal. Kedua-duanya berbeda, karena yang satu adalah Huzain yang riil dan
yang lainnya Huzain yang ideal. Akan tetapi yang menyamakan adalah keberadaan kedua-duanya sebagai yang
ada atau keberadaannya sebagai wujud atau eksistensi. Ilustrasi lain adalah ketika Huzain sedang berkaca di
cermin dan melihat bayangannya yang berewok di dalam cermin. Pada saat itu ada dua Huzain yaitu Huzain
yang riil yang ada di depan cermin dan Huzain yang tidak nyata yaitu yang ada di dalam cermin. Kedua-duanya
berbeda

akan

tetapi

sama-sama

ada

(wujud).

Dengan keberadaannya sebagai kategori yang paling umum dan universal, wujud pada hakekatnya adalah satu
yaitu wujud segala sesuatu. Wujud ini bersifat universal dan tidak terbatas dan dalam dirinya ada hirarki dan
gradasi dari tingkatan yang paling rendah sampai yang paling tinggi, sebagaimana akan dijelaskan pada point
ketiga

dan

keempat.

Namun demikian Shadra membedakan wujud sebagaimana dalam konsep (mafhm al-wujd) yang merupakan
hasil abtraskis rasional denga wujud sebagai realitas yang hakiki. Bagi Shadra wujud dalam pengertian
konseptual seperti di atas tidak sulit dan bisa dilakukan oleh siapapun. Berbeda dengan wujud hakiki (haqqah

al- wujd) karena itu hanya bisa dicapai oleh pengalaman tingkat tinggi. Wujud yang hakiki bukanlah yang
dihasilkan melalui penalaran rasional semata. Wujud sebagai realitas yang hakiki adalah sesuatu yang dialami
secara langsung melalui jalan spiritual yang melampaui kategori-kategori rasional. Yang pertama mensyaratkan
adanya keaktifan akal untuk bisa menginternalisasikan objek yang ada di luar, sedangkan yang kedua
mensyaratkan adanya kesiapan mental dan penyucian jiwa agar intelek yang ada pada diri manusia tidak
terhambat dengan tabir nafsu dan bisa mempersepsi secara langsung melalui musydah dan muksyafah. Inilah
yang tergambar dalam prinsip kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui (ittihad al-aqil wa almaqul).
d.

Ashalah

al-Wujud

(Pengistimewaan

Wujud)

Untuk memahami ashlah al-wujud ini, kita perlu melihat kembali kepada polemik filosofis yang berkembang
dalam tradisi-tradisi filsafat sejak Yunani dan juga pada filsafat Islam secara khusus. Dalam filsafat Islam ada
perbedaan antara wujud (eksistensi) dengan mahiyah (kuiditas). Segala sesuatu selalu tersusun dari dua
komponen ini yaitu wujud dan mahiyah. Wujud sebagaimana telah disinggung adalah kategori paling umum dan
universal yaitu keberadaan sesuatu sebagai yang ada, sedangkan mahiyah adalah bentuk yang membuat segala
sesuatu berbeda dengan sesuatu yang lain. Perdebatan klasik di kalangan para filsuf muslim seputar
pertanyaan: Manakah diantara dua hal ini yang pokok dan fundamental secara ontologis, wujud atau mahiyah?
Pemikiran Islam terpecah menjadi dua kelompok yaitu mereka yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang pokok
(ashalah al-mahiyah), sedangkan wujud adalah skunder dan merupakan hasil abstraksi pikiran atau konsep. Dan
kelompok yang lain mengatakan bahwa wujudlah yang fundamental secara ontologi (ashalah al-wujud),
sedangkan mahiyat adalah skunder dan merupakan hasil konseptualiasi atau abstraksi pikiran semata.
Kelompok pertama yaitu mereka yang mengutamakan mahiyah (ashalah al-mahiyah) antara lain adalah guru
dari Shadra sendiri yaitu Mir Daman dan juga Syuhrawardi, sedangkan pandangan yang kedua yaitu ashalah alwujud diwakili oleh Ibnu Sina dan para filsuf paripatetik lainnya. Adapun Shadra pada awal perjalanan
intelektualnya mengikuti pandangan yang pertama[11] dan pada akhir perjalanannya setelah mencapai
pencerahan spiritual ia cenderung kepada pandangan menganai ashalah al-wujud. Sekalipun demikian ia
berbeda dengan pendukung guru filsafat paripatetik, Ibnu Sina, karena pada Shadra masalah ini telah diramu
dengan nuansa irfan atau mistis dan dilengkapi dengan pengakuan mengenai wihdah al-wujud yang jelas-jelas
mempunyai implikasi dan sangat jauh, sedangkan Ibnu Sina sama sekali tidak menerima pandangan mengenai
wihdah
e.

al-wujud.
Kesatuan

Wujud

(Wihdah

Al-Wujud)

Dalam sejarah Islam, aliran wihdah al-wujud ini sering diidentikkan kepada Muhyiddin Ibn Arabi, filsuf-sufi dari
Andalusia. Beliau dianggap sebagai orang pertama yang secara lengkap dan sistematis membicarakan
mengenai masalah wihdah al-wujud ini, meskipun jejak-jejak pandangan ini sebenarnya sudah ada sebelum
beliau. Mulla Shadra mengambil pandangan ini dan bahkan sangat mungkin ia menemukan visi spiritual
mengenai wihdah wujud ini dari Ibnu Arabi, karena dalam karya-karyanya ia banyak mengutip pandanganpandangan Ibnu Arabi. Mulla Shadra mengambilnya dan menjadikannya sebagai dasar metafisik bagi filsafat
atau hikmahnya secara keseluruhan dan menambahkannya kepada prinsip lain yang menjadi basis
pemikirannya

yaitu

gradasi

wujud

(tasykik

al-wujud).

Shadra melihat kesatuan wujud dalam pluralitas atau keragamannya. Hakikat dari wujud yang paling dalam
adalah adanya satu kesatuan, sedangkan fenomena-fenomena yang nampak sebagai keragaman adalah
penampakkan luar dan sesuai dengan cara manusia memandangnya. Akan tetapi dari kontemplasi filosofis dan
mistik akan didapatkan kenyataan terdalam bahwa pada dasarnya wujud ini adalah satu yaitu Wujud Yang
Universal dan Mutlak. Mulla Shadra dalam menjelaskan ini menggunakan ilustrasi dengan matahari dan cahayacahayanya, dimana cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari akan tetapi pada saat yang sama mereka tidak
lain

dari

f.

Gradasi

matahari.[12]

Wujud

(Tasykk

Al-Wujd)

Pengakuan terhadap kesatuan wujud dalam pandangan Shadra harus dipahami dalam satu gradasi atau hirarki.
Ini karena dalam kesatuan tersebut terdapat pluralitas (katsrah) atau sebaliknya dalam keragaman terdapat
kesatuan. Pengakuan terhadap adanya kesatuan pada dasarnya mengandalkan adanya bagian-bagian atau
unsur-unsur yang ada di dalamnya saling menyatu sehingga dan terciptalah apa yang disebut sebagai
kesatuan (wihdah). Kesatuan tidak bisa dibayangkan akan bisa terjadi jika hanya ada satu unsur secara mutlak
karena pada saat itu tidak ada yang menyatu. Sebagai konsekwensi dari adanya pendangan mengenai wihdah
al-wujud adalah pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud. Kesatuan dan pluralitas adalah dua yang
berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan. Ketika menekan pada kesatuan sedangkan tidak mengakui pluralitas,
maka itu adalah omong kosong, demikian juga mengakui pluralitas dan tidak mengakui adanya kesatuan adakah
pandangan

yang

persial

dan

sempit.

Prinsip kesatuan wujud menyiratkan pengertian bahwa di dalam wujud yang mempunyai kesatuan tersebut pada
dasarnya ada hirarki dan tingkatan-tingkatan yang kemudian membentuk wujud secara keseluruhan. Hirarki atau
gradasi ini menurut Shadra mulai dari tingkatan atau hirarki yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dan
masing-masing tingkatan yang lebih tinggi mencakup tingkatan yang lebih rendah darinya demikian seterusnya
sehingga

sampai

kepada

prinsip

kesatuan

secara

mutlak.

Kecenderungan intelektual dan mistis Mulla Shadra dikenal dengan Al-Hikmah Al-Mutaaliyah (Teosofi
Transendental) sekalipun pada dasarnya Mulla Shadra sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa alirannya ia
namakan dengan istilah tersebut. Akan tetapi karena kecenderungan intelektualnya secara sistematis
mempunyai dasar ontologis
pengidentikkannya

sebagai

atau metafisik dan


satu

mazhab

juga dasar epistemologis yang


intelektual

mempunyai

sistematis, maka

dasar

yang

kuat.

Dasar metafisis dari keseluruhan kajian Shadra adalah pemahaman mengenai masalah wujud yang didasarkan
pada tiga pandangan yaitu: Kesatuan Eksistensi (Wihdah Al-Wujud) yang diadopsi dari mazhab Ibnu Arabi,
keaslian atau pengutamaan wujud dari kuiditas secara Ontologis (Ashalah Al-Wujud), dan yang ketiga adalah
Gradasi atau Hirarki Wujud (Tasykik Al-Wujud). Tiga hal inilah yang menjadi dasar keseluruhan bangunan
intelektual

dan

mistis

Ibnu

Arabi

baik

dalam

masalah

teologis,

psikologi

dan

yang

lainnya.

Doktrin Ashalah Al-Wujud pandangan yang mengatakan bahwa yang fundamental secara ontologis adalah wujud
dan bukan mahiyah. Wujudlah yang sebenarnya riil atau nyata, sedangkan kuiditas atau mahiyah adalah hasil
dari abstraksi pikiran. Dengan pengakuan terhadap fundamentalitas wujud, maka akan terbuka peluang untuk
memahami wujud sebagai sesuatu yang ada secara hakiki. Akan tetapi wujud menurud Mulla Shadra harus

dilihat sebagai satu kesatuan yang di dalamnya terdapat gradasi atau hirarki. Ini mengandaikan adanya
pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud yang diikat oleh satu kesatuan. Keragamannya adalah
karena adanya hirarki, akan tetapi hirarki dan keragaman tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yaitu
sebagai

Wujud

Yang

Universal.

C.

Kesimpulan

Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla
Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai AlHikmah Al Mutaaliyah (Filsafat Transendental) merupakan suatu sistem filsafat yang koheren meskipun
menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan
spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok
utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini,
dan inkorporasi Al-Quran dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam
yang

sesungguhnya.

DAFTAR

PUSTAKA

Mustofa,
Nur,

A.
Syaifan,

----------------,

Filsafat
Filsafat

Mulla

Islam,

Wujud

Shadra:

Pendiri

Bandung:

Mulla

Sadar,

Madzhab

Pustaka

Yogyakarta:

Al-Hikmah

Setia,

Pustaka

Al-Mutaaliyah,

1999

Pelajat,

Jakarta:

Teraju,

2001
2003

Nur Mufidah, Luk Luk, Teosofi Transendental: Studi Pemikiran Mulla Shadra dalam Episteme: Jurnal
Pengembangan

Ilmu

Keislaman,

Tulungagung:

Pascasarjana

STAIN,

2006,

volume

I,

nomor

Nashr, Seyyed Hosen, (edt), Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam jilid II, Bandung: Mizan, 2004
Shaliba,

Jamil,

Mujam

Al-Falsafi,

jilid

Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Wehr,

Hans,

Dictionary

Of

Modern

Written

Arabic,

Beirut:

Maktabah

Du

Leban,

1974

[1] Dalam Madzhab Isyraq (Shadra), ketinggian ilmu pengetahuan seseorang tentang hikmah akan diberi gelar
hakim Al-Mutaallih yang berarti seorang filsuf atau ahli hikmah yang sudah menjadi sperti Tuhan, lihat, Syaifun
Nur,

Mulla

Shadra:

[2]

A.

Mustofa,

[3]

Syaifan

[4]

Nur,

Pendiri

Madzhab

Filsafat

Filsafat

Wujud
Ibid,

Al-Hikmah

Islam,
Mulla

Al-Mutaaliyah,

(Bandung:
Sadar,

Pustaka

(Yogyakarta:

(Jakarta:
Setia,

Pustaka
hlm.

Teraju,

Pelajat,

2003),

1999),
2001),

hal.

hal.

336

hal.

34-35.
58-72.

[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam , hlm. 272, lihat juga, Luk Luk Nur Mufidah, Teosofi
Transendental: Studi Pemikiran Mulla Shadra dalam Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman,
(Tulungagung:

Pascasarjana

STAIN,

2006),

volume

I,

nomor

1,

hlm.

93-95

[6] Seyyed Hosen Nashr (edt), Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam jilid II, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 913.
[7]

Ibid,

hal.

192.

[8]

Ibid,

hal.

913.

[9] Hans Wehr, A Dictionary Of Modern Written Arabic, (Beirut: Maktabah Du Leban, 1974), hal. 1049.
[10]
[11]

Jamil
Seyyed

Shaliba,
Hosen

Mujam
Nashr

(edt),

Al-Falsafi,

jilid

2,

Ensiklopedi

Tematik

hal.
hlm.

315.
917-918

[12] Ibid,. hal. 916

https://syafieh.blogspot.com/2013/06/mulla-sadra-dan-gagasan-teosofi.html
oleh Syafieh Yanti

Anda mungkin juga menyukai