Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

KELOMPOK 5

LOGISTIK DAKWAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Dakwah

Dosen Pengampu : Ramadiva Muhammad Akhyar, M.A

Disusun Oleh :

KELOMPOK 5

Aru Arrafi Liandra (1941913050)

Iqbal Maulana A.Y (1941913071)

M. Ade Reynaldi (1941913051)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH (MD)


JURUSAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayahnya-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam kami haturkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah menyampaikan petunjuk
Allah kepada kita semua.

Adapun makalah ini kami susun sebagai wujud tanggung jawab dan
kewajiban kami guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Dakwah.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalam makalah ini,


oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat
bermanfaat dalam menambah pengetahuan dan wawasan.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Tharieq.

Tsummassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Samarinda, 30 Maret 2020

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana etika normatif Logistik Dakwah?

2. Bagaimana cara penggandaan Logisitik Dakwah

3. Bagaimana cara perawatan dan pemanfaatan Logistik Dakwah

C. Tujuan

1.

2.

3.
A. Etika normatif Logistik Dakwah

Tidak banyak punulisan buku ilmu dakwah yang menuraikan tentang


logistik dakwah. Padahal, urgensi logistik dakwah dalam kegiatan dakwah
sepadan dengan metode dakwah dan media dakwah, yakni sebagai unsur sekunder
dari kegiatan dakwah. Hampir setiap kegiatan dakwah tidak bisa mengelak dari
logistik dakwah, betapa pun kecilnya. Luputnya pembahasan logistik dakwah
boleh jadi karena logistik merupakan bagian dari ilmu ekonomi dan ilmu
manajemen (mesin adalah salah satu unsur manajemen).

Kita dapat mengetahui besarnya peranan logistik dakwah dari definisi


logistik itu sendiri. Secara bahasa, kata “logistik” berasal dari kata “logos’’ yang
berarti ilmu. W. J. S. Poerwadarminta, memaki logistik sebagai “ penggandaan,
distribusi, pemeliharaan, dan penggantian (penyediaan untuk mengganti) materil
dan personal. Logistik adalah seni dan ilmu mengatur dan mengontrol arus
barang, energi, informasi, dan sumber daya lainnya, seperti produk, jasa, dan
manusia, dari sumber produksi di pasar. Logistik mencakup informasi,
transportasi, inventori, pergudangan dan pemaketan. Dari kedua pengertian ini,
logistik dakwah dapat diartikan sebagai teknis, penggadaan, pemeliharaan, dan
penggantian barang dan jasa untuk kelangsungan kegiatan dakwah. Apabila
logistik digunakan untuk berdakwah, maka ia harus mengikuti etika islam.

Tujuan baik manjadi buruk bila dilakukan dengan cara yang buruk atau
menggunakan barang-barang yang buruk. Dalam fikih islam, sebagai wujud dari
etika islam, dinyatakan bahwa suatu barang atau jasa dinyatakan bermutu bila
hakikatnya halal, cara mendapatkanya benar, dan memberikan nilai manfaat.

Kehalalan logistik dakwah dipandang dari substansi barangnya harus


memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Logistik dakwah bukan sesuatu yang membahayakan secara langsung


maupun tidak langsung. Ukuran bahaya di sini adalah menimbulkan
kerusakan kepada iman/agama, nyawa/jiwa, keturunan/kehormatan,
akal/otak, dan uang/harta.
2. Logistik dakwah bukan sesuatu yang najis atau terkena najis. Logistik
dakwah tidak hanya suci, tetapi juga bersih, yakni tidak kotor atau
kelihatan kotor.
3. Logistik dakwah tidak merusak moral ataupun melanggar norma
masyarakat dan hukum yang berlaku. Seperti logistik dakwah yang
mengandung unsur pornografi, pencemaran nama baik seseorang ataupun
kelompok, dan lain sebagainya.
4. Logistik dakwah tidak mencemari lingkungan apalagi merusaknya.
Lingkungan yang dimaksud mencakup wilayah daratan, lautan maupun
udara.
5. Logstik dakwah harus memiliki nilai guna, jika perlu nilai ekonomis.
Peralatan ataupun sarana yang telah rusak dan sehingga tidak layak pakai,
tidak boleh digunakan hingga ada perbaikan dan penggantian.

Kelima etika yang terkait dengan barang di atas berlaku untuk semua
infrastruktur dakwah, baik sebagai media dakwah maupun logistik dakwah.

B. Pengadaan Logistik Dakwah

Islam mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Kepemilikan


terkait dengan barang/jasa beserta nilai gunanya. Karenanya, ada tiga bentuk
kepemilikan barang/ jasa. Pertama, kepemilikan barang/jasa gunanya sekaligus.
Kepemilikan ini dapat di peroleh melalui pemberian ataupun
pembelian. Kedua, kepemilikan nilai guna barang atau jasa, bukan barang. Contoh
hal ini adalah persewaan suatu barang. Dalam persewaan, barang yang disewakan
bukan menjadi pemilik penyewa, melainkan pemilik orang yang menyewakan.
Ketiga, kepemilikan barang/jasa, bukan nilai gunanya. Siapapun yang memegang
suatu barang atau siapapun yang memegang suatu keahlian pasti nilai barang atau
nilai keahlian tersebut berada dalam pemegangnya, meski ia bukan pemilik
sebenarnya.

C. Perawatan dan pemanfaatan logistik dakwah

Dipandang dari sudut perawatan, logistik dakwah dapat dibagi menjadi


dua macam, logistik yang dirawat secara kuratif dan secara preventif. Perawatan
kuratif adalah upaya merawat logistik dengan membenahinya bila ada suatu
masalah. Sedangkan perawatan perventif merupakan upaya antifipatif atas suatu
benda/barang dari kerusakan, kehilangan, kotoran, dan penyusutan. Untuk itu,
suatu barang dirawat oleh orang yang megerti dan menguasai penggunaan barang
tersebut. Selain itu, rasa cinta terhadap suatu barang juga mendorong perawatan
yang baik. Apa bila ada dana kusus yang besar untuk perawatan, maka lebih baik
menunjuk petugas khusus yang mampu memanfaatkan barang dan mau
merawatnya dengan baik.
Dalam memanfaatkan logistik dakwah, ada satu kepentingan yang harus
dipenuhi terlebih dahulu, yaitu kebaikan umum untuk umat manusia (al-
mashlahah- al-‘ammah). Kaidah fikih yang mendasari kebijakan ini adalah “
Kebijakan pemimpin atau pejabat atas rakyatvharus diorientasikan untuk
kepentingan umum (tasharru al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth manuth bi al-
mashlahah)” dan “kebaikan yang bermanfaat untuk orang yang lebih utama dari
kebaikan yang bermanfaat untuk orang-orng yang terbatas (al-khair al-
muta’addi afdlal min al-qashir)”. Kaidah yang kedua ini dapat dikatakan sebagai
penjelasan dari kaidah yang pertama. Pemanfaatan selama-lamanya mengacu pada
hukum wakaf. Atas dasar ini, wakaf dengan uang diperselisikan keabsahannya,
karena uang mudah habis. Begitu pula, harta wakaf tidak boleh dijual maupun
diberikan, sekiranya pemilik harta tersebut telah pindah. Namun, jika harta wakaf
yang telah rusak dijual lalu hasilnya diwujudkan kembali, maka hal itu
diperbolehkan. Ini berarti magsud dari selama-lamanya adalah pada sisi
manfaatnya

Anda mungkin juga menyukai