Kegiatan berfikir adalah hal yang membedakan manusia dari hewan lainnya.
Manusia sebagai hewan yang mampu berfikir dan berkata-kata (hayawan nathiq),
memiliki kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri, dan mengenali objek yang ada
di sekitarnya. Artinya, kemampuan untuk berlogika merupakan karakteristik dasar dari
manusia itu sendiri. Kemampuan berfikir ini harus didukung dengan kaidah-kaidah
berfikir yang dapat menjauhkan manusia dari cara berfikir yang salah, yang pada
akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah. Manusia dalam aktivitas kesehariannya
membutuhkan pedoman-pedoman untuk menghindarkan diri dari kesalahan. Ketika
berbahasa menggunakan bahasa arab,misalnya, diatur di dalam disiplin Ilmu Nahwu.
Begitu pula aktifitas berfikiri, keraturan dan ketertiban diatur dalam Ilmu Mantiq atau
Ilmu Logika, sebagai pedoman untuk menghindarkan diri dari cara berfikir yang salah.
Al-Farabi menyebut Ilmu Mantiq sebagai “timbangan akal” (mi„yar al-aql), yang
membantu akal mengukur kebenaran, begitu pula al-Ghazali. Ibn Sina menyebut ilmu
mantiq sebagai “ilmu alat”, yang digunakan untuk menyelidiki objek dari pikiran
manusia.
Ilmu Logika lahir dari rahim khazanah pemikiran Yunani. Sementara Ilmu Mantiq
merupakan suatu bentuk adaptasi dari para ilmuwan muslim, ketika menyadur Ilmu
Logika yang telah disusun para filosof yunani ke dalam khazanah pemikiran Islam.
Aristoteles, filosof besar yunani, murid dari Plato, menjadi peletak dasar pondasi
keilmuan yang berusaha menyelidiki cara berpikir yang tersusun dalam pernyataan-
pernyataan, dan kemudian menghasilkan kesimpulan. Sejarah mencatat, Bangsa
Yunani pernah diliputi kepercayaan akan mitos, yang mendasarkan fenomena alam
semesta kepada asumsi takhayul yang tidak berdasar, Para filosof yunani kemudian
menawarkan suatu alternatif di dalam usaha menjawab segala macam perubahan
tersebut, dengan berpedoman kepada akal budi. Namun, bentuk logika yang muncul
pada masa itu masih umum, belum tersusun secara sistematis).
Ilmu Mantiq mulai dikenal dunia islam pada abad 2 Masehi, ketika bangsa arab
memulai proses penerjemahan karya yunani ke dalam bahasa arab. Penerjemahan
kitab-kitab yunani menjadi suatu proyek yang digalakkan kekhalifahan abbasiyah untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu penerjemah awal yang berpengaruh
adalah Ibn al-Muqaffa‟, yang menerjemahkan buku-buku logika Aristoteles Categoriae
(al-Maqulat), Interpretatione (Pori-Armenias), dan Analytica Priora (al-Qiyas) di masa
pemerintahan khalifah al-Manshur. Sementara buku Isagogi karangan Porporiyus,
diterjemahkan pada masa Khalifah al-Ma‟mun.
Yang bisa diindera (Mahsus), adalah apa yang bisa ditangkap oleh lima indera
manusia, sedangkan yang bisa difikirkan (ma‟qul) adalah apa yang bisa ditangkap
manusia tanpa bantuan panca indera, seperti; 2 itu bilangan genap, 1 adalah bilangan
ganjil, 2 ditambah 2 sama dengan 4. Semuanya dapat diketahui manusia tanpa
bantuan panca indera dan hanya bisa ditangkap oleh akal.
Ketika manusia mengindera suatu objek, gambaran tentang objek itu muncul
dalam pikiran. Gambaran ini disebut Tashawwur (aprehensi); Ketika kita melihat
manusia, dan gambaran manusia tersebut muncul dalam pikiran kita, maka itu disebut
Tashawwur. Ketika mendengar suara ayam berkokok, pengetahuan atas suara itu
muncul dalam pikiran, maka itu juga disebut sebagai Tashawwur. Ketika kita
menyandangkan pengetahuan lain terhadap gambaran tersebut, maka itulah yang
disebut sebagai Tashdiq (afirmasi). Ketika gambaran manusia muncul dalam pikiran,
dan kita mengetahui „manusia itu adalah seorang dosen‟, atau „ayam itu sedang
berkokok‟ Penambahkan kata „itu adalah seorang dosen‟, dan „itu sedang berkokok‟
menjadi tashdiq (afirmasi) yang membutuhkan penilaian; benar atau salah, iya atau
tidak.
Maka dari itu, pengetahuan manusia adalah sebatas apa yang dapat ditangkap
pikirannya, berupa tashawwur (aprehensi), atau tashdiq (afirmasi). Jika tidak
berhubungan dengan pengetahuan lain disebut tashawwur, dan apabila berkaitan
dengan pengetahuan lain disebut tashdiq. Pengetahuan, sebagai bentuk persepsi atas
sesuatu, dapat berupa Tashawwur atau Tashdiq.
Setelah memahami tashawwur dan tashdiq, pada bab ini kita akan membahas
tentang bagian dari dua jenis pengetahuan tersebut, yaitu; Dilalah dan Lafaz
(Signifikansi dan Lafaz)
DILALAH
Dilalah lafziyyah adalah dilalah berupa lafaz, kata-kata atau suara yang dapat didengar,
dan terbagi menjadi
Dilalah ghayr lafziyyah adalah dilalah yang tidak berupa lafaz, kata-kata atau suara
yang dapat didengar, dan terbagi menjadi
Yang menjadi tujuan atau objek dalam ilmu mantiq adalah dilalah lafdziyyah
wadh‟iyyah, sebagai usaha memahami dalil-dalil fikiran yang diucapkan manusia
dalam memahami atau memaknai sesuatu.
Referensi:
DRS. H. A. BASIQ DJALIL, S.H., M.A, LOGIKA (ILMU MANTIQ) EDISI REVISI