Anda di halaman 1dari 9

Pertemuan Ke 2

Mata Kuliah Ilmu Mantiq

(Pengertian dan Tujuan mempelajari Ilmu Mantiq)


(Tentang Pengetahuan Manusia)
(Dilalah/Signifikasi)

Muhammad Rizky HK, MA.


-

PENGERTIAN DAN TUJUAN ILMU MANTIQ

Ilmu Mantiq merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah


berfikir. Mantiq secara bahasa, berasal dari bahasa arab dan berakar pada kata
nathaqa, yang berarti orang yang sedang berkata-kata, sedangkan kata-kata
merupakan bentuk pernyataan atau hasil dari pikiran. Maka secara sederhana dapat
dipahami bahwa Ilmu Mantiq adalah Ilmu yang mempelajari hasil dari proses berpikir
yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, sementara berpikir itu sendiri adalah suatu
kegiatan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Mantiq merupakan suatu bentuk
adaptasi versi Islam dari ilmu logika yunani yang secara bahasa berasal kata
logike merujuk pada kata logos, yaitu pikiran atau kata sebagai hasil dari proses
berfikir.

Kegiatan berfikir adalah hal yang membedakan manusia dari hewan lainnya.
Manusia sebagai hewan yang mampu berfikir dan berkata-kata (hayawan nathiq),
memiliki kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri, dan mengenali objek yang ada
di sekitarnya. Artinya, kemampuan untuk berlogika merupakan karakteristik dasar dari
manusia itu sendiri. Kemampuan berfikir ini harus didukung dengan kaidah-kaidah
berfikir yang dapat menjauhkan manusia dari cara berfikir yang salah, yang pada
akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah. Manusia dalam aktivitas kesehariannya
membutuhkan pedoman-pedoman untuk menghindarkan diri dari kesalahan. Ketika
berbahasa menggunakan bahasa arab,misalnya, diatur di dalam disiplin Ilmu Nahwu.
Begitu pula aktifitas berfikiri, keraturan dan ketertiban diatur dalam Ilmu Mantiq atau
Ilmu Logika, sebagai pedoman untuk menghindarkan diri dari cara berfikir yang salah.
Al-Farabi menyebut Ilmu Mantiq sebagai “timbangan akal” (mi„yar al-aql), yang
membantu akal mengukur kebenaran, begitu pula al-Ghazali. Ibn Sina menyebut ilmu
mantiq sebagai “ilmu alat”, yang digunakan untuk menyelidiki objek dari pikiran
manusia.

ILMU MANTIQ DAN ILMU LOGIKA

Ilmu Logika lahir dari rahim khazanah pemikiran Yunani. Sementara Ilmu Mantiq
merupakan suatu bentuk adaptasi dari para ilmuwan muslim, ketika menyadur Ilmu
Logika yang telah disusun para filosof yunani ke dalam khazanah pemikiran Islam.
Aristoteles, filosof besar yunani, murid dari Plato, menjadi peletak dasar pondasi
keilmuan yang berusaha menyelidiki cara berpikir yang tersusun dalam pernyataan-
pernyataan, dan kemudian menghasilkan kesimpulan. Sejarah mencatat, Bangsa
Yunani pernah diliputi kepercayaan akan mitos, yang mendasarkan fenomena alam
semesta kepada asumsi takhayul yang tidak berdasar, Para filosof yunani kemudian
menawarkan suatu alternatif di dalam usaha menjawab segala macam perubahan
tersebut, dengan berpedoman kepada akal budi. Namun, bentuk logika yang muncul
pada masa itu masih umum, belum tersusun secara sistematis).

Sokrates, Guru dari Plato, memperkenalkan Metode Sokrates, dalam usaha


mencari „definisi‟ atau pengertian objektif atas sesuatu. Sokrates berusaha melawan
kaum sophist yang menganggap bahwa tidak ada yang disebut sebagai kebenaran
objektif (absolut). Kebenaran bersifat relatif dan subjektif sehingga siapapun bisa
mengartikan objek dengan berdasar pendapat masing-masing. Sokrates
memperkenalkan metode-nya dengan berdasar pada dialektika, untuk mencapai
„definisi‟ atau pengertian dari sesuatu. Sokrates menempatkan dirinya layaknya
seorang yang membantu lahirnya pengetahuan.

Aristoteles, murid dari Plato, kemudian membangun kaidah-kaidah dasar


tentang cara berfikir yang benar di dalam menyimpulkan dan menentukan kebenaran-
kebenaran dari setiap argumentasi. Atas usahanya tersebut, Aristoteles dianggap
sebagai simbol dari rasionalitas yang memperkenalkan suatu kaidah berfikir baru yang
sistematis dan disebut sebagai Ilmu Logika. Aristoteles menggunakan pendekatan
rasional dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Perumusan
logika oleh Aristoteles dijadikan sebagai dasar ilmu pengetahuan untuk membantu
manusia di dalam mengetahui dan mengenal alam semesta.

SEJARAH ILMU MANTIQ

Ilmu Mantiq mulai dikenal dunia islam pada abad 2 Masehi, ketika bangsa arab
memulai proses penerjemahan karya yunani ke dalam bahasa arab. Penerjemahan
kitab-kitab yunani menjadi suatu proyek yang digalakkan kekhalifahan abbasiyah untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu penerjemah awal yang berpengaruh
adalah Ibn al-Muqaffa‟, yang menerjemahkan buku-buku logika Aristoteles Categoriae
(al-Maqulat), Interpretatione (Pori-Armenias), dan Analytica Priora (al-Qiyas) di masa
pemerintahan khalifah al-Manshur. Sementara buku Isagogi karangan Porporiyus,
diterjemahkan pada masa Khalifah al-Ma‟mun.

Tema-tema pokok yang mewarnai dan menghiasi percakapan ilmiah bangsa


arab pada masa itu dinataranya; Categoriae yang kemudian diterjemahkan menjadi al-
Maqqûlât, Perihermenias Seu de Interpretatione diterjemahkan menjadi al-„Ibârah,
Analytica Priora yang berbicara tentang silogisme menjadi al-Tahlîlât al-Ulâ, Analytica
Posteriora menjadi al- Tahlîlât al-Tsâniyyah, Topica berbicara mengenai dialektika dan
argumentasi diterjemahkan menjadi al-Jadal, De Sophisticis Elenchis, tentang
kerancuan berfikir kaum sophis diterjemahkan menjadi (alSafsathâ‟i). ditambah
dengan; Isagogue atau madkhal, Retorika atau al-Khithâbah dan Poetika atau al-
Syi‟r),

Kemunculan Ilmu Mantiq di dunia Islam, pada awalnya mendapatkan ragam


tanggapan. Ada yang menerima, dan adapula yang menaruh kecurigaan, karena pada
dasarnya mantiq bukan merupakan disiplin ilmu yang lahir dari khazanah pemikiran
Islam. Tetapi tidak dapat dipungkiri, kelahiran ilmu mantiq menjadi salah satu sebab
kegemilangan dunia pengetahuan islam. Para ulama muslim mempejalari mantiq dan
mengkolabirasikannya dengan berbagai cabang olmu pengetahuan. Di antara sarjana-
sarjana Islam yang tekun mempelajari lmu mantiq dan terkenal sebagai pengarang dan
penerjemah pada waktu itu ialah Abdullah ibn al-Muqaffa‟, al-Kindi, Abu Nashar al-
Farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid alGhazali, dan Ibn Rusyd.
TENTANG PENGETAHUAN MANUSIA

Dalam perspektif ilmu mantiq, yang dimaksud sebagai „ilmu‟ adalah


mengetahui sesuatu yang belum diketahui, baik secara yakin maupun dengan asumsi
yang kuat, baik pengetahuan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Mengetahui
adalah hasil dari proses mengetahui sesuatu yang tidak ketahui, dari apa saja yang
telah kita ketahui.

Dalam proses mengetahui, manusia memiliki komponen yang disebut pikiran


(zihn). Pikiran menangkap gambaran objek seperti halnya cermin menangkap
bayangan objek yang ada di hadapannya. Perbedaannya adalah, Cermin hanya
menangkap bayangan visual yang dapat dilihat mata, sedangkan pikiran mampu
menangkap gambaran yang ditangkap oleh akal dan panca indera. Dalam arti lain,
Pikiran sebatas menangkap apa yang bisa dipikirkan dan apa yang bisa diindera.

Yang bisa diindera (Mahsus), adalah apa yang bisa ditangkap oleh lima indera
manusia, sedangkan yang bisa difikirkan (ma‟qul) adalah apa yang bisa ditangkap
manusia tanpa bantuan panca indera, seperti; 2 itu bilangan genap, 1 adalah bilangan
ganjil, 2 ditambah 2 sama dengan 4. Semuanya dapat diketahui manusia tanpa
bantuan panca indera dan hanya bisa ditangkap oleh akal.

Ketika manusia mengindera suatu objek, gambaran tentang objek itu muncul
dalam pikiran. Gambaran ini disebut Tashawwur (aprehensi); Ketika kita melihat
manusia, dan gambaran manusia tersebut muncul dalam pikiran kita, maka itu disebut
Tashawwur. Ketika mendengar suara ayam berkokok, pengetahuan atas suara itu
muncul dalam pikiran, maka itu juga disebut sebagai Tashawwur. Ketika kita
menyandangkan pengetahuan lain terhadap gambaran tersebut, maka itulah yang
disebut sebagai Tashdiq (afirmasi). Ketika gambaran manusia muncul dalam pikiran,
dan kita mengetahui „manusia itu adalah seorang dosen‟, atau „ayam itu sedang
berkokok‟ Penambahkan kata „itu adalah seorang dosen‟, dan „itu sedang berkokok‟
menjadi tashdiq (afirmasi) yang membutuhkan penilaian; benar atau salah, iya atau
tidak.
Maka dari itu, pengetahuan manusia adalah sebatas apa yang dapat ditangkap
pikirannya, berupa tashawwur (aprehensi), atau tashdiq (afirmasi). Jika tidak
berhubungan dengan pengetahuan lain disebut tashawwur, dan apabila berkaitan
dengan pengetahuan lain disebut tashdiq. Pengetahuan, sebagai bentuk persepsi atas
sesuatu, dapat berupa Tashawwur atau Tashdiq.

PEMBAGIAN TASHAWWUR DAN TASHDIQ

Tashawwur dapat dimaknai dengan kata “Konsep”, yang merupakan padanan


kata Yunani íδέα (idea) atau εíδoς (eidos) yang berarti “penglihatan, persepsi, bentuk,
rupa, atau gambar”. Konsep memiliki makna yang sama dengan ide, yaitu gambar atau
bayangan dalam fikiran yang merupakan hasil tangkapan akal terhadap segala sesuatu
yang menjadi obyek pikiran.14 Dengan kata lain, konsep adalah sesuatu yang abstrak,
yang dihasilkan oleh pemikiran secara apa adanya, tanpa memberi penilaian positif
atau negatif.

Tashawwur terbagi menjadi dua; Badihi dan Nazhari

1. Tashawwur Badihi ( Aprehensi Sederhana)


Gambaran atas sesuatu yang nampak dan bisa diindera, tanpa membutuhkan
pemikiran mendalam, seperti; kuda, kambing, air, api, manusia.
2. Tashawwur Nazhari ( Aprehensi Kognitif)
Gambaran atas sesuatu yang tidak nampak dan belum diketahui, dan
membutuhkan pemikiran mendalam, seperti; Tuhan, Jin, Surga Neraka.

Tashdiq terbagi menjadi dua; Badihi dan Nazhari

1. Tashdiq Badihi ( Afirmasi Sederhana)


Persepsi atas sesuatu yang nampak dan dapat diindera, tanpa membutuhkan
pemikiran yang mendalam, seperti; Api itu Panas, Es itu dingin.
2. Tashdiq Nazhari (Afirmasi Kognitif)
Persepsi atas sesuatu yang tidak nampak dan tidak dapat diindera, dan
membutuhkan pemikiran yang mendalam, seperti; Alam itu diciptakan, Neraka
itu panas, Tuhan adalah pencipta alam semesta.

Tashawwur Nazhari, dapat diketahui melalui Tashawwur Badihi, Proses ini


kemudian melahirkan definisi atau pengertian (ta‟rif). Tashdiq Nazhari dketahui melalui
Tashdiq Badihi yang kemudian melahirkan argumentasi (hujjah), untuk menilai; benar
atau salah, iya atau tidak.

DILALAH DAN LAFAZH

Setelah memahami tashawwur dan tashdiq, pada bab ini kita akan membahas
tentang bagian dari dua jenis pengetahuan tersebut, yaitu; Dilalah dan Lafaz
(Signifikansi dan Lafaz)

DILALAH

Dilalah (Signifikansi) dapat dimaknai; pengetahuan atas sesuatu, yang


menghantarkan atau menunjukkan kepada pengetahuan yang lain. Seperti; Wajah
Pucat merupakan tanda ketakutan, Adanya asap tanda adanya api. „Ketakutan‟ dan
Api‟ disebut madlul (yang ditunjuki), sedang „wajah pucat‟ dan „asap‟ disebut daal
(yang menunjuki).Jadi, sesuatu itu dapat dimengerti dan dipahami atas dasar
pengetahuan akan sesuatu yang lain yang menunjukinya.

Dilalah terbagi menjadi dua;

1. Dilalah Lafzhiyyah (Signifikansi Verbal)


2. Dilalah Ghayr Lafzhiyyah ( Signifikansi Non Verbal)

Dilalah lafziyyah adalah dilalah berupa lafaz, kata-kata atau suara yang dapat didengar,
dan terbagi menjadi

1. Dilalah Lafzhiyyah Thabi‟iyyah (Signifikansi Verbal Natural)


Ketika dilalah merupakan gejala alamiah. Seperti orang yang secara spontan
mengucap “aduh” menunjukkan kesakitan.
2. Dilalah Lafzhiyyah „Aqliyyah
Ketika dilalah merupakan apa yang didengar dan kemudian disimpulkan semata
pertimbangan akal seperti adanya suara orang bercakap-cakap di balik suatu
kamar, menunjukkan adanya orang di dalam kamar.
3. Dilalah Lafzhiyyah Wad‟iyyah
Ketika dilalah merupakan istilah atau buatan yang digunakan untuk
menunjukkan sesuatu, misalnya kata „lampu merah‟ untuk menunjuk kepada
makna lampu petunjuk lalu lintas, atau dalam berbagai penggunaan istilah lain
yang merujuk pada kesepakatan manusia, seperti; bahasa daerah.

Dilalah ghayr lafziyyah adalah dilalah yang tidak berupa lafaz, kata-kata atau suara
yang dapat didengar, dan terbagi menjadi

1. Dilalah Ghayr Lafzhiyyah


Ketika dilalah merupakan gejala alamiah. Seperti orang yang wajahnya memerah
menandakan marah
2. Dilalah Ghayr Lafzhiyyah „Aqliyyah
Ketika dilalah merupakan apa yang dilihat dan kemudian disimpulkan semata
pertimbangan akal seperti adanya asap menandakan adanya api
3. Dilalah Ghayr Lafzhiyyah Wad‟iyyah
Ketika dilalah merupakan tanda yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu,
misalnya; bendera kuning di rumah seseorang, menandakan ada yang
meninggal.

Yang menjadi tujuan atau objek dalam ilmu mantiq adalah dilalah lafdziyyah
wadh‟iyyah, sebagai usaha memahami dalil-dalil fikiran yang diucapkan manusia
dalam memahami atau memaknai sesuatu.

Dilalah Lafziyyah Wad‟iyyah terbagi menjadi tiga;

1. Signifikasi sempurna (al-dilâlah al-lafzhiyyah al-muthâbaqah), yaitu lafaz yang


menunjukan makna dengan sempurna. Contoh; saya membeli rumah. Kata
„rumah‟ di sini, mencakup pintu, kamar, genteng, dan seluruh komponen yang
ada pada rumah.
2. Signifikasi inklusif (al-dilâlah al-lafzhiyyah al-tazhâmuniyyah), yaitu lafaz yang
menunjukan bagian dari makna, seperti kata „rumah‟ yang menunjukan bagian-
bagian tertentu dari rumah, seperti; dinding atau pintu. Misalnya ketika
seseorang diminta mengecat rumah. Kata „rumah‟ tidak menunjukkan
keseluruhan rumah, tetapi hanya menunjukkan sebagian, mengecat rumah
berarti hanya mengecat pintu atau dindingnya saja, tidak lantas mengecat
keseluruhan bagian penyusun rumah, seperti lantai, dinding, dan genteng.
3. Signifikasi kelaziman (al-dilâlah al-iltizâmiyyah), yaitu lafaz yang menunjukan
sesuatu yang lain, yang merupakan kelaziman yang tidak terpisahkan dari
makna itu, seperti signifikasi rumah atas kamar tidur. Misalnya dikatakan saya
tidur di rumah, berarti tidur di kamar tidur.

Referensi:

H. BAIHAQI A.K, ILMU MANTIK : TEKNIK DASAR BERPIKIR LOGIKA, DARUL


ULUM PRESS 2001

H SYUKRIADI SAMBAS, MSI, MANTIK KAIDAH BERPIKIR ISLAMI, PENERBIT


ROSDA

DRS. H. A. BASIQ DJALIL, S.H., M.A, LOGIKA (ILMU MANTIQ) EDISI REVISI

Anda mungkin juga menyukai