Anda di halaman 1dari 68

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

FIQIH Syarifuddin, M.Ag

THAHARAH (BERSUCI)

KELOMPOK I:

Aji Bayu Pangestu (11751100984)

Nurul Habibah (11751200933)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2019 M / 1441 H
KATA PENGANTAR

ُ‫ع َل ْي ُك ُْم َو َرحْ َم ُةُ ه‬


ُ‫للا َوبَ َركَات ُ ُه‬ َ ‫سالَ ُُم‬
َّ ‫ال‬

Alhamdulillah, puji dan syukur tim penyusun panjatkan kepada Allah SWT
atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini. Yang mana makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas
kelompok dalam mata kuliah Aqidah Akhlak. Tim Penyusun mengucapkan terima
kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini serta pihak-pihak lain yang terkait
dalam penyusunan makalah ini hingga dapat terselesaikan. Harapannya supaya
makalah ini dapat membantu dalam memahami materi dan dapat menjadi tolak
ukur dalam proses belajar.

Tim penyusun menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam


makalah ini. Oleh karena itu, segala saran dan demi perbaikan untuk kedepannya
akan disambut dengan senang hati. Semoga makalah ini bisa dengan mudah di
mengerti dan dapat di pahami maknanya. Tim penyusun memohon maaf bila ada
kesalahan dalam penulisan makalah ini, serta bila ada kata atau kalimat yang
kurang berkenan di hati pembaca.

Pekanbaru, 10 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................................. 2

BAB II: PEMBAHASAN


2.1 Thaharah .............................................................................................. 3
2.1.1 Pengertian Thaharah .............................................................. 3
2.1.2 Kedudukan Thaharah dalam Ibadah....................................... 4
2.1.3 Macam-macam Air dan Pembagiannya ................................. 6
2.1.4 Macam-macam Najis dan Tingkatannya .............................. 10
2.1.5 Larangan Bagi Orang yang Berhadas Besar ........................ 13
2.1.6 Adab Buang Air ................................................................... 14
2.2 Pembagian Thaharah ......................................................................... 16
2.2.1 Istinja’ .................................................................................. 16
2.2.1.1 Pengertian Istinja’ ........................................................ 16
2.2.1.2 Syarat-syarat Istinja’ .................................................... 17
2.2.2 Mandi ................................................................................... 19
2.2.2.1 Pengertian Mandi ......................................................... 19
2.2.2.2 Sebab-sebab yang Mewajibkan Mandi ........................ 20
2.2.2.3 Rukun-rukun Mandi ..................................................... 23
2.2.2.4 Sunah-sunah Mandi ...................................................... 25
2.2.2.5 Mandi Sunah ................................................................ 27
2.2.2.6 Beberapa Masalah yang Berkaitan dengan Mandi ....... 27
2.2.3 Wudhu .................................................................................. 29
2.2.3.1 Pengertian Wudhu ........................................................ 29
2.2.3.2 Syarat-syarat Sahnya Wudhu ....................................... 31
2.2.3.3 Fardu Wudhu................................................................ 31

ii
2.2.3.4 Sunah-sunah Wudhu .................................................... 32
2.2.3.5 Hal-hal yang Membatalkan Wudhu ............................. 34
2.2.4 Tayamum ........................................................................... 37
2.2.4.1 Pengertian Tayamum ................................................... 37
2.2.4.2 Syarat-syarat Sahnya Tayamum ................................... 40
2.2.4.3 Fardu Tayamum ........................................................... 41
2.2.4.4 Sunah-sunah Tayamum ................................................ 42
2.2.4.5 Hal-hal yang Membatalkan Tayamum ......................... 42
2.2.4.6 Fungsi Tayamum .......................................................... 43
2.3 Haid dan Nifas................................................................................... 44
2.3.1 Haid ..................................................................................... 44
2.3.2 Nifas .................................................................................... 49
2.3.3 Warna Darah Haid dan Nifas ............................................... 51
2.4 Siwak ................................................................................................. 52
2.4.1 Pengertian Siwak................................................................. 52
2.4.2 Hukum Siwak ...................................................................... 53
2.5 Mengusap Khuffain............................................................................ 54
2.5.1 Pengertian dan Dasar Hukum Mengusap Khuffain ............ 54
2.5.2 Ketentuan dalam Mengusap Khuffain ................................ 56
2.5.3 Sebab-sebab Batalnya Mengusap Khuffain ........................ 59

BAB III: PENUTUP


3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 60
3.2 Saran .................................................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA
DOKUMENTASI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah SWT itu bersih dan suci. Untuk menemuinya manusia harus terlebih
dahulu bersuci. Allah SWT mencintai sesuatu yang suci dan bersih. Dalam hukum
Islam bersuci dari segala seluk beluknya adalah termasuk sebagian dari ilmu dan
amalan yang penting karena diantara syarat-syarat sholat adalah wajib suci dari
hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis.

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang
kotor dan najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana
mensucikan diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah. Banyak sekali hikmah
yang terkandung dalam thaharah, kita sebagai muslim harus dan wajib mengatahui
cara-cara bersuci karna bersuci adalah dasar ibadah bagi ummat Islam.

Kalau kita melihat dan membaca dengan teliti hampir seluruh kitab-kitab
fiqih akan diawali dengan bab thaharah ini menunjukan kan kepada kita betapa
thaharah menjadi hal yang mendasar dan menjukkan kepada kita betapa
pentingnya masalah thaharah ini. Keseharian kita tidak terlepas dari hal-hal yang
kotor sehingga sebelum beribadah haruslah dimulai dengan bersuci baik dengan
cara berwudhu, mandi maupun bertayammum.

Namun, walaupun menjadi hal yang mendasar bagi umat Islam namun
masih banyak dari umat Islam yang tidak faham tentang thaharah, najis-najis dan
jenis-jenis air yang di gunakan untuk bersuci. Makalah ini di buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah fiqih sekaligus mudah-mudahan dapat membuat
teman-teman paham mengenai masalah-masalah thaharah. Karena thaharah
dengan ibadah adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan.

Serta bersuci merupakan syarat utama bagi manusia terutama umat muslim
untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Rabb-Nya. Banyak diantara kita
yang masih belum mengerti bagaimana caranya membersihkan suatu najis atau
hadas ketika kita dalam keadaan tertentu.

1
Menghadapi masalah kesucian dalam kehidupan seperti haid dan nifas serta
bagaimana cara mensucikannya. Cara yang benar tentang berwudhu, bertayamum,
istinja’, mandi wajib, dll pun menjadi prihal yang layak untuk di bahas dan
diterapkan dalam kehidupan. Karena pada dasarnya manusia akan melewati
beberapa fase itu.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1) Apa saja masalah-masalah dalam thaharah?
2) Apa yang dimaksud dengan istinja’, mandi, wudhu, dan tayamum?
3) Apakah itu haid dan nifas?
4) Apa yang dimaksud dengan siwak?
5) Bagaimana cara mengusap khuffain?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini yaitu:


1) Mengetahui apa saja masalah-masalah dalam thaharah.
2) Mengetahui maksud dari istinja’, mandi, wudhu, dan tayamum?
3) Mengetahui masalah haid dan nifas?
4) Mengetahui tentang siwak?
5) Mengetahui bagaimana cara mengusap khuffain?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Thaharah
2.1.1 Pengertian Thaharah

Thaharah berasal dari bahasa arab, yakni ‫ طهرة‬-‫ يطهر‬-‫ طهر‬yang artinya
bersuci. Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran1 atau
bersih dan suci dari kotoran atau najis yang dapat dilihat (najis hissi) dan najis
ma’nawi (yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan kemaksiatan.2 Sedangkan
menurut istilah atau terminologi, thaharah berarti menghilangkan hadas,
menghilangkan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna atau memiliki bentuk
serupa dengan kedua kegiatan tersebut.3

Najis adalah suatu benda kotor menurut syara’ (hukum agama). Sedangkan
Hadas adalah keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang menyebabkan ia
dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan
bersih dari hadas dan najis seperti sholat, tawaf, ‘itikaf, dan ibadah lainnya. Hadas
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadas besar dan hadas kecil.

Menghilangkan hadas besar yaitu dengan cara mandi wajib, sedangkan


menghilangkan hadas kecil yaitu dengan cara wudhu atau tayamum. Bersuci dari
hadas, baik hadas besar atau hadas kecil hanya pada bagian badan saja. Sedangkan
bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat, yaitu dengan cara
menghilangkan najis tersebut dengan menggunakan air yang suci dan
mensucikan.4

Tujuannya adalah untuk menghilangkan apa-apa saja yang menghalangi


sholat dan supaya merasa bersih ketika beribadah. Karena pada dasarnya bersuci
merupakan hal yang paling utama sebelum melakukan sholat dan ibadah-ibadah
lainnya yang memerlukan keadaan suci.

1
Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarah Al Muhadzab, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm 234.
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2010), hlm 202.
3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm 86.
4
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 36.

3
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakn bahwa thaharah memiliki
empat tahapan, yakni5:

 Mensucikan lahir dari hadas, najis-najis, dan kotoran-kotoran.


 Mensucikan anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan.
 Mensucikan hati dari akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifat buruk.
 Mensucikan hati dari selain Allah SWT.

Prof. Dr. Zakiyah Darajat membagi thaharah menjadi dua bagian, yakni
thaharah batin dan thaharah lahir. Bersuci batin adalah mensucikan diri dari dosa
dan kemaksiatan dengan cara sungguh-sungguh bertaubat dari segala dosa,
kemaksiatan, kemusrikan, dengki, curang, tipuan, takabur, ria, dan lainnya dengan
bertindak ikhlas. Bersuci lahir ialah bersih dari kotoran dan hadas. Kebersihan
dari kotoran yaitu seperti menghilangkan kotoran dari tempat ibadah, pakaian
yang di pakai, dll. Sedangkan kebersihan dari hadas dilakukan dengan mengambil
air wudhu dan mandi.6

2.1.2 Kedudukan Thaharah dalam Ibadah

Thaharah merupakan masalah yang sangat penting dalam agama, dan


merupakan pangkal pokok ibadah yang menjadi penyongsong bagi manusia dalam
menghubungkan dirinya dengan Tuhan.7 Kedudukan Thaharah dalam ibadah
menjadi sangat penting karena thaharah menjadi salah satu syarat sahnya ibadah
sesorang. Adapun dasar hukum Thaharah seperti yang terdapat dalam potongan
Surah Al-Baqarah ayat 222 berikut ini:

   


 

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

5
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Mukhtasar Minhajul Qasidin, (Jakarta: Darul Haq, 2012),
hlm 14.
6
Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm 10.
7
Moh. Rifa’i, Loc. Cit.

4
Dari potongan ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa untuk beribadah atau
mendekatkan diri kepada Allah haruslah diawali dengan mensucikan diri terlebih
dahulu, baik secara lahir maupun batin. Perhatikan juga Surah Al-Muddatsir ayat
4-5 berikut ini:

  


  
Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”
(QS. Al-Muddatsir: 4-5)

Sebagaimana ayat di atas, bahwa Allah SWT memerinthakan manusia untuk


membersihkan pakaian. Membersihkan pakaian dapat diartikan dengan
membersihkan pakaian lahir dan pakaian batin. Membersihkan pakaian lahir
adalah membersihkan diri dari hadas dan najis dengan cara berwudhu atau mandi.
Sedangkan membersihkan pakaian batin yaitu membersihkan diri dari kesyirikan
dan lain-lain. Jadi, kebersihan lahir dan batin harus dipadukan dan saling
berhubungan. Dan begitu pula berdasarkan hadits berikut ini, dari Ibnu Umar
bahwa nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

ُ ‫ص اَلة ً ِإ هَل ِب‬


(‫ط ُهور )رواه مسلم‬ ‫اَل يا ْقبا ُل ه‬
‫َّللاُ ا‬
Artinya: “Allah tidak akan menerima sholat (yang dikerjakan) tanpa bersuci
(sebelumnya).” (HR. Muslim)

Diantara faedah yang bisa kita ambil diantaranya adalah:

 Semua shalat baik yang fardhu maupun yang sunah sampai shalat jenazah
sekalipun tidak akan diterima jika dikerjakan dalam keadaan berhadats,
meskipun dia dalam keadaan lupa sampai dia bersuci. Demikian pula orang
yang sedang junub jika dia shalat sebelum mandi.
 Agungnya kedudukan shalat dimana Allah tidak akan menerimanya kecuali
dalam keadaan suci.
 Jika ia berhadats kemudian ingin berwudhu’ dengan air namun tidak
ditemukannya, maka dianjurkan untuk betayammum.

5
 Setiap ibadah pasti ada pembatalnya, maka wajib bagi setiap kaum muslim
untuk senantiasa memperhatikan ibadahnya, dan salah satu diantaranya
adalah dalam masalah sholat.
 Maksud tidak diterima dalam hadits diatas adalah tidak sah/tidak mendapat
pahala.
 Hadits ini menunjukkan bahwa thaharah/bersuci merupakan syarat sahnya
sholat.

2.1.3 Macam-macam Air dan Pembagiannya

Di negeri kita, alhamdulillah, air mudah dijumpai. Salah satu manfaat


terbesar dari air adalah untuk bersuci. Banyaknya jenis air yang ada menuntut kita
untuk memahami mana air yang bisa dipakai untuk bersuci dan yang tidak.
Dengan air seorang muslim menghilangkan junubnya, dengan air pula seorang
muslim berwudhu untuk menyempurnakan kesuciannya, sehinnga dia bisa
menghadap kepada Allah dalam ibadah yang agung seperti sholat, thawaf serta
membaca dan menyentuh mushaf AlQur’an yang mulia.

Air merupakan salah satu nikmat Allah SWT yang sangat besar nilainya
bagii kehidupan. Hampir seluruh makhluk di muka bumi membutuhkan air untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga sering kita mendengar orang
mengatakan air adalah sumber kehidupan. Allah telah memuliakan air, ketika ia
menjadikannya sebagai poros kehidupan di bumi, menjadikannya sebagai sesuatu
yang suci, menghubungkannya dengan berbagai macam ibadah. Dengan air pula
seorang muslim membersihkan dirinya dari najis yang ada di
tubuhnya,pakaiannya dan segala yang ia miliki. Sungguh Allah telah memuliakan
air untuk kebutuhan kita. Allah SWT berfirman:

  


  
  
  
   
    

6
Artinya: “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.
Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?.” (QS. Al-Anbiya: 30)

Adapun macam-macam air yang dapat dipergunakan untuk bersuci ada


tujuh macam, yaitu:8

1. Air Hujan
2. Air Sungai
3. Air Laut
4. Air dari mata air
5. Air sumur
6. Air salju
7. Air embun

Perhatikan ayat berikut ini:

  


  
   
  
 
Artinya: “Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira
dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit
air yang Amat bersih.” (QS. Al-Furqan: 48)

  


  
  
  
  

8
Labib Mz, Pedoman Sholat Lengkap, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001), hlm 11.

7
 
  
  
Artinya: “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh
dengannya telapak kaki(mu).” (QS. Al-Anfal: 11)

Dua ayat yang mulia ini menerangkan bahwasanya air yang turun dari langit
itu suci dan dapat menyucikan najis serta dapat menghilangkan hadats baik hadats
besar terlebih lagi hadats kecil. Air yang menyucikan ini tidak sebatas air yang
turun dari langit, tetapi juga air yang keluar dari permukaan bumi seperti air
sungai, air sumur, dan sebagainya.

Air yang turun dari langit dan tersimpan di bumi itu suci, dapat menyucikan
sekalipun berbeda-beda warna, rasa, dan baunya. Demikian pula air laut, suci dan
dapat menyucikan, bisa digunakan untuk wudhu dan mandi. Sehingga dapat
disimpulakn alat terpenting untuk bersuci ialah air. Ditinjau dari segi hukumnya,
air dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:9

a. Air mutlak; yaitu air suci yang dapat mensucikan (thahir muthahhir).
Artinya air yang masih sewajarnya dikatakan air atau air yang masih murni,
dapat digunakan untuk bersuci tanpa ada makruh padanya.10 Intinya adalah
jika air itu masih tetap dalam kondisi dan karakter awal sebagai air, tidak
berubah rasa, warna, dan bau maka hukum menggunakan air ini adalah suci
mensucikan tanpa ada keraguan padanya.

b. Air makhruh; yaitu air yang suci dan dapat mensucikan, akan tetapi
makhruh digunakan. Seperti air musyammas (air yang dipanaskan dengan
panas matahari) dalam tempat logam, besi atau tembaga selain emas dan

9
Moh. Rifa’i, Op. Cit. hlm 37.
10
Moh. Rifa’i, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2001), hlm 13.

8
perak. Hukum makhruh yang dimaksud ialah jika penggunaan air
musyammas untuk badan. Jika digunakan untuk tujuan lain seperti cuci
baju, menyiram bunga dan lain-lain maka hukumya tidak makhruh alias
boleh-boleh saja. Karena menurut dugaan menggunakan air musyammas
dapat menyebabkan penyakit kusta.11

c. Air suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (thahir ghairu
muthahhir); yaitu air yang boleh diminum, tetapi tidak sah untuk bersuci,
misalnya:12
 Air sedikit (kurang dari dua kullah) yang telah dipakai untuk bersuci
walaupun tidak berubah sifatnya. Air itu disebut air musta’mal.
 Air suci yang bercampur dengan benda suci, seperti air teh, air kopi,
air limun, air kelapa, dan sebagainya.

d. Air Mutanajis; yaitu air yang telah terkena najis sedang jumlahnya kurang
dari dua kullah.13 Air dua qulllah atau air yang banyak menurut kebiasaan
tidak menjadi najis hanya karena ada najis yang memasukinya kecuali jika
terjadi perubahan pada air tersebut meskipun sedikit. Maka air ini tidak suci
dan tidak mensucikan. Menurut pendapat yang shohih yaitu: jika jumlah air
yang tersisa tidak berubah sifatnya namun air tersebut kurang dari dua
qullah maka hukum air itu adalah najis. Jika air tersebut tidak berubah dan
mencapai dua qullah atau lebih, maka air tersebut suci.14

Sisa minuman yang ada di wadah minuman terbagi menjadi empat jenis,
yaitu:15

1) Sisa minuman manusia. Sisa minuman manusia itu suci, baik dari orang
Islam maupun kafir, atau orang yang sedang junub maupun wanita yang
tengah haid. Sedangkan yang dimaksud najis dalam firman Allah:
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm 90.
12
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 37.
13
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, dua kullah setara
dengan 270 liter.
14
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm 91-92.
15
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 59.

9
  

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS. At-


Taubah: 28)

Yang dimaksud najis adalah pada ayat di atas adalah najis maknawi,
bukan karena diri atau tubuh mereka yang najis. Jiwa musyrikin itu
dianggap kotor, karena menyekutukan Allah. Tidak dibenarkan
mengerjakan haji dan umrah. menurut Pendapat sebagian mufassirin yang
lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk
keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.

2) Sisa minuman binatang yang dagingnya halal dimakan. Sisa minuman


ini adalah suci, karena air liurnya berasal dari daging yang suci sehingga
hukumnya juga suci.
3) Sisa minuman kucing. Sisa minuman kucing adalah suci. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka’ab, istri Abu
Qatadah ra. Dia berkata, “Suatu hari Abu Qatadah menemuiku. Aku lantas
menuangkan air wudhu untuknya. Tiba-tiba seekor kucing meminumnya.
Ternyata ia justru mendekatkan air itu kepada kucing tersebut supaya ia bisa
minum hingga puas. Abu Qatadah pun melihatku memperhatikannya dan
menanyaiku, ‘Kamu heran, istriku?’ Saya menjawab, ‘Ya’. Maka dia
berkata, ‘Rasulullah SAW telah bersabda, ‘Dia tidak najis. Dia adalah
binatang yang gemar bermain-main di sekelilingmu’.” (HR Al-Khamsah
dan dishahihkan oleh Bukhari dan para perawi lainnya).
4) Sisa minuman anjing dan babi. Sisa minuman anjing dan babi sudah jelas
najis dan wajib untuk dijauhi.

2.1.4 Macam-macam Najis dan Tingkatannya

An-Najasat adalah bentuk jama’ dari kata an-Najasah, yaitu sesuatu yang
keluar dari dua saluran pembuangan manusia (qubul dan dubur).16 Najis adalah

16
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 337.

10
suatu benda kotor menurut syara’ (hukum agama). Menurut istlah syara’, najis
berarti sesuatu yang dapat mencegah sahnya sholat, seperti air kencing dan
sebagainya. Benda-benda najis itu meliputi:17

1. Darah dan nanah


2. Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang
3. Anjing dan babi
4. Segala sesuatu yang dari dubur dan qubul
5. Minuman keras seperti arak
6. Bagian atau anggota tubuh binatang yang terpotong dan sebagainya sewaktu
masih hidup

Najis dapat menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Najis Mughalladzah

Najis mugalladzah yaitu najis yang berat seperti anjing dan babi. Jilatan dari
kedua hewan ini harus dicuci sebanyak tujuh kali yang salah satunya dicampur
dengan tanah. Air liur anjing itu najis,jika ia menjilati sebuah bejana maka bejana
itu pun harus di cuci sebanyak tujuh kali yang salah satunya dengan menggunakan
tanah. Dalam hal ini najis terletak pada mulut dan air liur anjing. Cara ini
dilakukan berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

(‫ب فِ ْي ِه اولا اغ ِإذاا أا اح ِد ُك ْم )رواه مسلم‬ ‫ب أ ُ ْوَلا ُه هن ام هرات ا‬


ُ ‫س ْب اع يا ْغ ِس الهُ أ ا ْن ْال اك ْل‬ ِ ‫ِبالت ُّ ارا‬

ُ ‫ااء‬
‫ط ُه ْو ُر‬ ِ ‫ِإن‬

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wasallam bersabda: “Sucinya bejana kamu apabila dijilat airnya oleh anjing
adalah dengan dicuci tujuh kali, yang pertama dengan tanah.” (HR.Muslim)

Begitu juga dengan babi, keseluruhannya adalah najis sebagaimana firman


Allah SWT dalam QS. Al-An’am ayat 145 berikut ini:

17
Aliy As’ar, Terjemah Fathul mu’in, (Kudus: Menara kudus, 1980), hlm 71.

11
     
   
   
   
   
   
    
    
   

Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al-An’am: 145)

b. Najis Mutawassithah

Najis mutawassithah (sedang), yaitu najis yang berasal dari kotoran seperti
kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (selain bangkai
ikan, belalang, dan mayat manusia) dan najis-najis lain, selain yang tersebut
dalam najis ringan dan berat. Najis mutawassithah dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:18

1) Najis Ainiyah; yaitu najis yang berwujud. Cara mensucikan najis ini yaitu
terlebih dahulu dengan menghilangkan zat, rasa, dan bau serta warnanya,
kemudian menyiramnya dengan air sampai bersih.
2) Najis hukmiyah; yaitu najis yang tidak berwujud. Seperti bekas kencing
dan arak yang sudah kering. Cara mensucikannya cukup dengan
mengalirkan air pada bekas najis itu.

18
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 39.

12
c. Najis Mukhaffafah

Najis mukhafafah yaitu najis ringan, seperti kencing bayi laki-laki yang
belum berumur 2 tahun dan belum pernh makan sesuatu yang lain kecuali air susu
ibunya.19 Untuk membersihkannya tidak dicuci melainkan hanya diperciki air
saja. Adapun kencing bayi perempuan dihukumi najis dan harus di siram atau di
cuci hingga baunya hilang. Jika bayi memakan selain ASI seperti minum obat atau
madu, namun untuk tujuan tertentu, misalnya berobat maka, air kencingnya tetap
dipercikkan bukan di basuh atau di cuci. Cara ini dilakuakn berdasarkan sabda
Rasulullah SAW:

( ‫ )راوه ابو داود لنساىئوا‬.‫ش ِم ْن اب ْو ِل الغُ اَل ِم‬ ِ ‫ا ْل اج‬، ‫ِم ْن اب ْو ِل‬
ُّ ‫ار اي ِة اويُ ار‬
‫يُ ْغ ا‬
‫س ُل‬
Artinya:”Barang yang terkena air kencing anak perempuan harus dicuci, sedang
bila terkena air kencing anak laki-laki cukuplah dengan memercikkan air
padanya.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

Dari pembagian najis yang seperti dijelaskan di atas, terdapat beberapa najis
yang dimaafkan, seperti:

 Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, kutu, dll.
 Najis dalam jumlah yang sangat sedikit.
 Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang belum sembuh.
 Debu yang bercampur dengan najis dan hal lain yang sulit dihindarkan.

2.1.5 Larangan Bagi Orang yang Berhadas Besar

Orang yang sedang berhadas besar, maka diharamkan melakukan hal-hal


sebagai berikut:20
 Mengerjakan sholat
 Tawaf

19
Moh. Rifa’i, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2001), hlm 14.
20
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 40.

13
 Membaca dan menyentuh atau membawa Al-Qur’an
 Berdiam diri di Masjid
 Puasa, baik puasa fardu maupun puasa sunah
 Bagi wanita diharamkan bersetubuh dengan suaminya sehingga ia suci dari
haid dan nifas dan sesudah mandi
 Haram bagi suami menalak istri yang sedang haid atau nifas

Larangan bercampur antara suami dan istri selama istri sedang haid atau
nifas sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:

  


    
   
  
   
   
    
 
 
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah:
222)

2.1.6 Adab Buang Air

Islam senantiasa mengajarkan umatnya agar berperangai sopan dan berdoa


dalam segala aktivitasnya, tak terkecuali ketika hendak buang air. Adapun adab
buang air yang baik sebagaimana diajarkan oleh Islam adalah:21

21
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 68-71.

14
1) Tidak membawa sesuatu yang berisikan nama Allah SWT. Kecuali jika
dikhawatirkan akan hilang atau ia berupa dompet.
2) Menjauh dan menutupi diri. terutama saat buang air besar supaya suaranya
tidak terdengar dan baunya tidak tercium. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Jabir, “Kami bepergian bersama Rasulullah. Beliau hanya
mau buang air besar setelah jauh dan tak terlihat oleh orang lain.” (HR Ibnu
Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih ibnu Majah).
3) Mengeraskan basmalah dan ta’awudz. Dibaca ketika akan masuk ke dalam
toilet atau saat mengangkat pakaian bila buang air. Seperti Rasulullah ketika
hendak masuk tempat buang air, beliau membaca:

ِ ‫ث َو ْال َخبَا ِع‬


‫ث‬ ِ ‫عوذُ ِب َك ِمنَ ْال ُخ ْب‬
ُ َ ‫ اللَّ ُه َّم أ ِِن ْي أ‬،ِ‫بِس ِْم هللا‬
Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan
setan perempuan.” (HR Jamaah)

4) Tidak berbicara sama sekali. Entah itu zikir atau yang lainnya. Selain itu
tidak menjawab salam atau azan, kecuali sesuatu yang harus dilakukan,
seperti menunjukkan orang buta yang dikhawatirkan akan jatuh.
5) Memuliakan kiblat. Yaitu tidak menghadap kiblat dan tidak pula
membelakanginya. Apabila tetap menghadap kiblat dan di tempat terbuka,
maka haram hukumnya. Dan mubah jika menghadap kiblat di tempat
tertutup.
6) Mencari tempat yang halus dan rendah untuk menghindari najis.
7) Tidak buang air di atas lubang binatang untuk menghindari binatang-
binatang melata yang bisa mengganggu.
8) Tidak buang air di tempat berteduh, jalan, dan tempat berbincang-bincang
orang banyak.
9) Tidak kencing di tempat mandi, di air yang diam, dan di air yang mengalir.
Kecuali di tempat mandi ada saluran air kencing, maka kencing di tempat
tersebut tidak dilarang.
10) Tidak kencing berdiri. Hal ini disebabkan bertentangan dengan sopan santun
dan adat yang baik. Selain itu, percikan kencingnya juga bisa menyebar
kemana-mana.

15
11) Membersihkan najis yang ada di qubul dan dubur.
12) Tidak membersihkan kotoran dengan tangan kanan. Tindakan tersebut
bertujuan untuk menjauhkan dari hal-hal yang kotor. Hal ini sesuai dengan
hadits berikut:

َّ ‫َوإِذَا أَتَى ْالخ َََل َء فَ ََل َي َم‬


َّ ‫س ذَ َك َرهُ بِ َي ِمينِ ِه َو َل َيت َ َم‬
‫س ْح ِبيَ ِمينِه‬
Artinya: “Apabila kalian masuk toilet, janganlah menyentuh kemaluannya
dengan tangan kanannya, dan jangan cebok dengan tangan kanannya.” (HR.
Bukhari 194 dan Muslim 393).

13) Mengusap tangan dengan tanah sesudah membersihkan kotoran, atau


mencucinya dengan sabun, atau sesuatu yang sejenis. Hal ini bertujuan agar
hilang bau tak sedap yang menmpel pada tangan.
14) Menyiram kemaluan dengan air ketika buang air kecil untuk menghilangkan
was-was.
15) Mendahulukan kaki kiri ketika masuk dan mendahulukan kaki kanan ketika
saat akan keluar, lalu membaca ghufranaka (semoga Engkau
mengampuniku)

Berikut terdapat beberapa sunah fitrah yang terdapat dalam agama Islam,
diantaranya yaitu sebagai berikut:22

1) Khitan
2) Memotong rambut kemaluan dan mencukur bulu ketiak
3) Memotong kuku dan mencukur kumis
4) Memelihara jenggot hingga tebal
5) Memuliakan rambut yang panjang
6) Tidak mencabut uban
7) Menyemir uban dengan daun pacar.
8) Memakai minyak kasturi dan jenis wewangian lain.

2.2 Pembagian Thaharah

22
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 71-73.

16
2.2.1 Istinja’
2.2.1.1 Pengertian Istinja’

Istinja’ adalah bersuci setelah buang air besar atau buang air kecil. Istinja
hukumnya wajib bagi orang yang baru saja buang air besar maupun buang air
kecil, baik dengan air ataupun dengan benda selain air. Benda selain air yang
dapat digunakan untuk istinja ialah benda yang keras dan kesat seperti batu, kertas
atau daun-daun. Istinja’ dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga cara, yaitu:23

Membasuh tempat keluarnya najis dengan air sampai bersih.


Membersihkan najis dengan batu atau kertas sampai bersih. Sekurang-
kurangnya yaitu menggunakan tiga buah batu atau dengan tiga tepi dari
sebuah batu. Jika tidak ada batu, maka dapat menggunakan benda-benda
yang lain dengan syarat benda tersebut kesat dan keras, dan dapat
menyerap najis.
Dibersihkan terlebih dahulu dengan batu, kemudian baru dibasuhnya
dengan air.

Dilarang beristinja’ menggunakan tangan kanan, sebagaimana hadis


Rasulullah SAW dari Abu Qatadah ra, berikut ini:

َّ ‫ َواِذَا أَتَى ْالخ َََل َء فَ ََل َي َم‬،‫َاء‬


‫س ذَ َك َرهُ ِب َي ِم ْي ِن ِه َو َل‬ ِ ‫الان‬ ْ َّ‫ب أ َ َحد ُ ُك ْم فَ ََل َيتَنَف‬
ِٕ ْ ‫س ِف ْي‬ َ ‫أِذَا ش َِر‬

َّ ‫يَتَ َم‬
١٥٣ :‫ (بخارى‬.‫س ْح ِب َي ِم ْينِ ِه‬

Artinya: “Jika salah seorang dari kalian minum, janganlah ia bernafas dalam
gelas. Dan jika masuk kedalam kamar kecil, janganlah dia menyentuh
kemaluannya dengan tangan kanannnya dan jangan pula membersihkan dengan
tangan kanannya.” (HR Bukhari: 153)24

2.2.1.2 Syarat-syarat Istinja’

23
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 44.
24
Imam Zainuddin Ahmad Az-Zabidi, TAJRIDUSH SHARIH: Ringkasan Shahih Bukhari (1),
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), hlm 105.

17
Syarat-syarat istinja’ dengan batu atau benda yang keras yaitu:

Batu atau benda itu keras dan harus suci serta dapat membuang atau
membersihkan najis.
Batu atau benda itu tidak bernilai (dihormati), misalnya bukan bahan
makanan atau bukan batu masjid.
Sekurang-kurangnya dengan tiga kali sapuan dan sampai bersih.
Najis yang akan dibersihkan belum kering.
Najis tersebut belum pindah dari tempat keluarnya, misalnya pindah ke
kaki dan sebagainya.
Najis itu belum bercampur dengan benda lain, walaupun benda itu suci,
misalnya terpercik oleh air.

Perhatikan hadis Rasulullah SAW berikut ini:

‫ش ْىءٍ َحتَّى‬ َ ‫س ْل َمانَ قَا َل قِي َل لَهُ قَ ْد‬


َ ‫ ُك َّل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫علَّ َم ُك ْم نَ ِبيُّ ُك ْم‬ َ ‫ع ْن‬
َ

َ ‫ قَا َل فَقَا َل أ َ َج ْل لَ َق ْد نَ َهانَا أ َ ْن نَ ْست َ ْق ِب َل ْال ِق ْبلَةَ ِلغَائِطٍ أ َ ْو َب ْو ٍل أ َ ْو أ َ ْن نَ ْست َ ْن ِج‬.َ ‫ْال ِخ َرا َءة‬
‫ى‬

ْ ‫ِب َع‬
ٍ‫ظم‬ ‫يع أ َ ْو‬ َ ‫ار أَ ْو أ َ ْن نَ ْستَ ْن ِج‬
ٍ ‫ى ِب َر ِج‬ ٍ ‫ى ِبأَقَ َّل ِم ْن ثََلَث َ ِة أَ ْح َج‬ ِ ‫ِب ْال َي ِم‬
َ ‫ين أ َ ْو أ َ ْن نَ ْستَ ْن ِج‬

Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, “Apakah nabi kalian
mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang
kotoran?” Salman menjawab, “Iya. Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar maupun air kecil. Beliau
juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan. Beliau juga melarang kami
beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula kami dilarang beristinja’
dengan menggunakan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim, no. 262)

َ ُ‫صلَّى هللا‬
‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ َكانَ َر‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬
ُ ‫سو ُل َر‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ َر‬
َ ‫ض‬ َ

‫ار ِبإِدَ َاوةٍ ِم ْن َماءٍ فَيَ ْست َ ْن ِجي ِب َها‬


ِ ‫ص‬ ُ ‫ فَأَتْ َب َعهُ أَنَا َو‬،‫سلَّ َم يَأ ْ ِتي ْال َخَلَ َء‬
َ ‫غَلَ ٌم ِمنَ األ َ ْن‬ َ ‫) َو‬

18
Sesuai dengan Hadits dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Bahwa Rasulullah saw.
pernah memasuki kebun, diikuti olehku dan seorang anak muda yang membawa
kendi berisi air, maka beliau beristinja dengan air. (HR Bukhari Muslim)25

Alasan disunahkan mengawali istinja dengan batu dan dilanjutkan dengan


air padahal air saja dapat membersihkan tempat najis itu secara sempurna, yakni
penggunaan batu difungsikan agar tangan tidak terlalu banyak menyentuh najis.
Artinya, ketika seseorang beristinja langsung dengan air dan tangannya, berarti ia
menyiram najis itu dengan air dan tangannya akan menyentuh najis. Dengan
menggunakan batu, maka ‘ain najis akan dihilangkan dari tempat keluarnya, ia
hanya perlu membersihkan sedikit bekasan najis dengan gosokan tangannya saat
air disiramkan.

Jika seseorang ingin memilih salah satunya (antara batu dan air), maka air
lebih utama dari batu, karena air dapat menghilangkan ‘ain (benda) najis beserta
bekas yang menempel pada tempat yang akan disucikan, adapun batu hanya
menghilangkan ‘ain najis namun bekasnya tidak bisa dihilangkan.

2.2.2 Mandi
2.2.2.1 Pengertian Mandi

Menurut bahasa, mandi berarti : mengalirkan air pada apa saja. Sedang
menurut Syara’, artinya: mengalirkan air pada tubuh dengan niat tertentu. Mandi
telah disyariatkan agama, baik untuk kebersihan maupun menghilngkan hadast,
sebagai syarat suatu ibadah ataupun tidak. Mengenai disyariatkan mandi, hal itu
ditunjukkan oleh Al-kitab (Al-quran), As-Sunnah dan ijma’.26

Mandi yang dimaksud bukan mandi sebagaiman yang kita lakukan setiap
hari, pagi dan sore, tetapi mandi yang dituntun oleh aturan syari’at Islam. Oleh
karena itu, biasanya dikenal dengan “mandi besar”. Mandi besar ini dilakukan
dengan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sholat dianggap sah apabila kita suci dari hadas

25
Imam Zainuddin Ahmad Az-Zabidi, TAJRIDUSH SHARIH: Ringkasan Shahih Bukhari (1),
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), hlm 105.
26
Achmad Sunarto, Fiqih Islam Lengkap, (Bandung : Husaini, 1995), hlm 47-48.

19
besar maupun kecil. Cara menghilangkan hadas besar adalah dengan mandi wajib,
yaitu dengan membasuh air keseluruh tubuh mulai dari puncak kepala atau ujung
rambut hingga ujung kaki.27

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

 
  
  
   
    
   
   
    
  
  
  
  
   
   

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)

2.2.2.2 Sebab-sebab yang Mewajibkan Mandi

Adapun sebab-sebab yang mewajibkan mandi wajib adalah:

27
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 45.

20
1) Hubungan intim (Jinabah, termasuk jima’/bersetubuh) meskipun tidak
keluar sperma.28 Imam syafi’I berkata,pada hakekatnya, arti junub dalam
bahasa arab adalah bertemunya kelamin laki-laki dengan wanita, meskipun
tanpa disertai dengan keluarnya sperma. Hukumnya sudah jelas di dalam
Al-Qur’an, yaitu:
   

Artinya: “Dan jika kamu junub Maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah berikut ini:

‫ب‬ َّ ‫ع َم َر بْنَ ْالخ‬


ِ ‫َطا‬ ُ ‫ب أ َ َّن‬ َ ‫س ِعي ِد ب ِْن ْال ُم‬
ِ َّ‫سي‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫َحدَّثَنِي َي ْح َيى‬
ٍ ‫ع ْن َما ِلك َع ْن اب ِْن ِش َها‬
َ ‫ب‬

َّ ‫سلَّ َم َكانُوا يَقُولُونَ ِإذَا َم‬


‫س‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫شةَ زَ ْو َج النَّ ِبي‬ َ َ‫عثْ َمانَ بْن‬
َ ‫عفَّانَ َو‬
َ ِ‫عائ‬ ُ ‫َو‬

‫ب ْالغُ ْس ُل‬
َ ‫ان ْال ِختَانَ فَقَ ْد َو َج‬
ُ َ ‫ْال ِخت‬

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab dari
Sa'id bin Musayyab bahwa Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Aisyah
istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Apabila dua khitan saling
bersentuhan maka wajib mandi."( HR. Bukhari dan Muslim)

2) Keluar air sperma. Entah itu ketika tidur atau terjaga, baik itu seorang pria
maupun seorang wanita. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalil mereka
adalah hadits dari Abu Said bahwa Rasulullah bersabda:

‫اء ِم َن ا ْل َماء‬
ِ ‫ا ْل َم‬
Artinya: “Mandi menjadi wajib karena keluarnya mani.” (HR Muslim).

Berikut dikemukakan beberapa kasus fiqih yang berkenaan dengan masalah


keluarnya sperma:29
 Jika sperma keluar tanpa ada syahwat , tetapi karena sakit atau cuaca
dingin, maka kondisi ini tidak mewajibkan mandi besar.

28
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah,(Jakarta: Amzah, 2013), hlm 81.
29
Ibid., hlm 80-81.

21
 Jika seseorang mimpi basah namun tidak menemukan bekas seperma
pada pakaian atau tubuhnya, maka ia tidak diwajibkan mandi besar.
Dalam hadist, "Ummu Sulaim mengunjungi Nabi SAW, dia berkata;
'Wahai Rasulullah! Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah
seorang wanita wajib mandi bila dia bermimpi? ' Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: 'Ya, apabila dia melihat air (mani).'
 Apabila seorang bangun dari tidurnya, lalu ia mendapai cairan
dipakaian, tetapi ia tidak ingat bahwa ia telah mimpi basah, maka ia
wajib mandi jika ia yakin bahwa cairan tersebut adalah sperma yang
keluar disebabkan oleh mimpi.
 Jika seseorang merasakan dan sepermanya akan keluar, lalu ia
memegang kemaluannya dengan kuat hingga sperma tidak kelua, maka
ia tidak wajib mandi.30
 Jika seseorang melihat sperma pada pakaiannya, tetapi tidak
mengetahui kapan keluarnya, padahal ia sudah shalat, maka ia wajib
mengulangi semua shalatnya sejak waktu tidaknya yang terakhir.

3) Meninggal Dunia. Para ulama sepakat bahwa hukumnya fardhu kifayah


bagi orang yang hidup untuk memandikan mayat muslim. Hal ini
berdasarkan perintah Rasulullah dimana beliau memerintahkan memandikan
jenazah Zainab, putrinya.

َ ْ‫ َولَ تُخ َِم ُروا َرأ‬،ُ‫طوه‬


ُ‫ فَإِنَّه‬،ُ‫سه‬ ُ ِ‫ َولَ ت ُ َحن‬،‫ َو َك ِفنُوهُ فِي ث َ ْوبَي ِْن‬،‫ا ْغ ِسلُوهُ بِ َماءٍ َو ِسد ٍْر‬
‫ث َي ْو َم ال ِق َيا َم ِة ُملَ ِبيًا‬
ُ ‫يُ ْب َع‬

Artinya: “Mandikan dia dengan air dicampur daun bidara (agar keset), kafani
dia dengan dua lapis kain (yang dia kenakan untuk ihram), jangan diberi minyak
wangi, dan jangan ditutup kepalanya, karena dia akan dibangkitkan pada hari
kiamat sambil membaca talbiyah.” (HR. Bukhari 1265 dan Muslim 1206)

4) Berhentinya Haid dan Nifas.

30
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala, 2011), hlm 114.

22
ْ َ ‫ت أَت‬
‫ت‬ ْ َ‫شةَ قَال‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫عا ِئ‬ ُ ‫ع ْن‬
َ َ ‫ع ْر َوة‬ ٍ ‫ع ْن َح ِبي‬
َ ‫ب‬ ُ ‫ي ب ُْن هَا ِش ٍم َحدَّثَنَا ْاأل َ ْع َم‬
َ ‫ش‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ُّ ‫ع ِل‬

‫ضتُ فَقَا َل دَ ِعي‬ ْ َ‫سلَّ َم فَقَال‬


ْ ‫ت إِنِي ا ْست َ َح‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ِ‫اط َمةُ ِب ْنتُ أ َ ِبي ُح َبي ٍْش النَّب‬
َ ‫ي‬ ِ َ‫ف‬

‫ير‬
ِ ‫ص‬ِ ‫علَى ْال َح‬ َ َ‫ص ََلةٍ َوإِ ْن ق‬
َ ‫ط َر‬ َّ ‫ْض ِك ث ُ َّم ا ْغت َ ِس ِلي َوتَ َو‬
َ ‫ضئِي ِع ْندَ ُك ِل‬ َ ‫ص ََلة َ أَي‬
ِ ‫َّام َحي‬ َّ ‫ال‬

Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim Telah menceritakan
kepada kami Al-A'masy dari Habib dari Urwah dari Aisyah berkata; Fatimah
binti Hubaisy mendatangi Nabi SAW seraya berkata; "Saya seorang wanita yang
mustahadloh (wanita yang mengeluarkan darah lebih dari batas waktu haidl)."
Maka beliau bersabda: "Tinggalkan shalat di hari-hari haidmu, kemudian mandi
dan berwudhulah pada setiap kali shalat, mekipun darah tersebut masih menetes
di atas tikar.” (HR. Bukhari Muslim)31

5) Mualaf. Orang kafir yang baru masuk Islam diwajibkan mandi. Karena
Rasulullah SAW pernah memerintahkan Tsumamah al-Hanafi untuk mandi
ketika masuk Islam. Rasulullah menyuruh Tsumamah pergi ke kebun Abu
Thalhah untuk mandi. Dia pun mandi dan mengerjakan sholat dua rakaat.
Nabi pun bersabda, ‘Keislaman saudaramu benar-benar baik.’.32

6) Melahirkan, baik anak itu cukup umur ataupun tidak, seperti keguguran.33

2.2.2.3 Rukun-rukun Mandi

Mandi dikatakan cukup apabila mencakup hal-hal yang diwajibkan saja dan
mandi dikatakan sempurna apabila mencakup hal-hal yang diwajibkan,
disunnahkan dan mencakup hal-hal yang dianjurkan.34 Adapun rukun-rukun
mandi wajib ini dapat disebutkan sebagai berikut:35

31
Ibid., hlm 115-116.
32
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 91.
33
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm 47-49.
34
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah,(Jakarta: Amzah, 2013), hlm 93.
35
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 48.

23
1) Niat, yakni menyengaja untuk menghilangkan hadas besar. Niat ini
sekurang-kurangnya dilakukan ketika akan mengerjakan amalan atau ibadah
pada waktu pertama kali.
2) Membasuh badan.
3) Menghilangkan najis yang ada pada badan.
4) Meratakan air keseluruh tubuh,36 termasuk rambut dan kulit. Perhatikan
hadis berikut:

َ ‫ ا َِّن ت َ ْح‬: ‫سلَ ِم‬


‫ت‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬
َّ ِ‫س ْو ُل هللا‬
َ ُ‫ص َل هللا‬ ِ ‫ع ْن ا َ ِب ْي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
ْ ُ‫وا َ ْنق‬،
‫واال َبش ََر‬ َّ ‫فَا ْغ ِسلُواال‬، ً‫ش َع َرةٍ َجنَا َبت‬
َ ‫ش َع َر‬ َ ‫ُك ِل‬

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:


Bahwasannya di bawah tiap-tipa rambut ada jinabat, karenanya cucilah rambut
itu dan bersihkanlah kulit.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dan dilemahkannya)

Adapun tata cara mandi yaitu:37

1) Hendaknya seseorang membaca basmalah seraya meniatkan mandinya


untuk menghilangkan hadats besar.
2) Lalu membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali.
3) Lalu beristinja’ (membersihkan kemaluan) dan membasuh kemaluan, dubur,
dan bagian anggota tubuh di sekitar keduanya dari kotoran.
4) Lalu berwudhu seraya berniat menghilangkan hadas kecil tanpa membasuh
kedua kakinya, karena ia dobolehkan membasuh keduanya bersama
wudhunya atau menangguhkan membasuh keduanya hingga akhir
mandinya.
5) Lalu membenamkan kedua telapak tangannya ke dalam air.
6) Lalu mengurai-ngurai pangkal rambut kepalanya dengan kedua telapak
tangannya. Hal tersebut ditujukan untuk laki-laki. Sedangkan untuk

36
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm 49.
37
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 357-358.

24
perempuan yaitu cukup dengan menyiramkan air ke kepalanya sebanyak
tiga kali, lalu mengurutnya dan tidak perlu melepas gulungan rambutnya.
7) Lalu membasuh kepalanya dan kedua telinganya sebanyak tiga kali dengan
tiga kali cidukan.
8) Lalu menyiramkan air kebagian tubuh yang sebelah kanan mulai dari atas ke
bawah.
9) Lalu gantian yang sebelah kiri.
10) Pada saat menyiramkan air ke tubuh, maka yang perlu diperhatikan adalah
bagian tubuh yang tersembunyi yang sulit tersiram air, seperti pusar, bagian
bawah ketiak, di bawah kedua lutut, dll.

Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra, “Apabila Rasulullah hendak


mandi janabah, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya
sebelummemasukkan keduanya ke dalam tempat air, kemudian membasuh
kemaluannya dan berwudhu seperti wudhu untuk menuanikan sholat, kemudian
membasahi rambutnya dan menyiram kepalanya sebanyak tiga kali, selanjutnya
menyiramkan air ke seluruh tubuhnya.38

Mandi dalam keadaan telanjang hukumnya adalah diperbolehkan dengan


syarat auratnya tidak terlihat oleh orang lain. Akan tetapi lebih utama dalam hal
ini adalah mandi dengan menutup auratnya. Hendaknyalah mandi dengan
menutup aurat, karena ini lebih diutamakan. Jika kita malu menampakkan aurat
kita kepada manusia, seharusnya kita lebih malu menampakkan aurat kita kepada
Allah SWT. Adapun ketentuannya menutup aurat dalam mandi yaitu:

1. Bagi laki-laki hendaknya menutup auratnya ketika mandi dengan batasnya


adalah mulai dari atas pusar sampai bawah lutut.
2. Bagi wanita , bagian yang ditutupi ketika mandi junub yaitu mulai dari
bawah ketiaknya sampai ke kaki.

2.2.2.4 Sunah-sunah Mandi

38
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 104 dan ia menshahihkannya.

25
Bagi orang yang akan mandi, hendaknya ia mengikuti cara yang
dicontohkan oleh Rasulallah SAW pada saat beliau mandi, diataranya: 39

 Membasuh kedua tangan sebanyak 3 kali.


 Membasuh kemaluan.
 Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk shalat.
 Menyiramkan air kepada kepala tiga kali dengan menyela-nyela rambur
agar air membasahi hingga ke pangkal rambut.
 Menyiramkan air keseluruh tubuh dengan mendahuluan bagian kanan.

Hal ini berdasarkan hadis berikut:

‫ع ْن‬َ ‫ع ْن أ َ ِبي ِه‬ َ َ ‫ع ْر َوة‬ ُ ‫ي َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِو َيةَ َع ْن ِهش َِام ب ِْن‬ ِ ‫َحدَّثَنَا َي ْح َيى ب ُْن َي ْح َيى الت َّ ِم‬
ُّ ‫يم‬
‫س َل ِم ْن ْال َجنَا َب ِة َي ْبدَأ ُ فَ َي ْغ ِس ُل‬
َ َ ‫سلَّ َم ِإذَا ا ْغت‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ت َكانَ َر‬ ْ َ‫شةَ قَال‬
َ ‫عا ِئ‬ َ
ُ ‫ص ََلةِ ث ُ َّم َيأ ْ ُخذ‬ ُ ‫علَى ِش َما ِل ِه فَ َي ْغ ِس ُل فَ ْر َجهُ ث ُ َّم َيتَ َوضَّأ ُ ُو‬
َّ ‫ضو َءهُ ِلل‬ َ ‫َيدَ ْي ِه ث ُ َّم يُ ْف ِرغُ ِب َي ِمينِ ِه‬
‫ع َلى َرأْ ِس ِه‬
َ َ‫ش ْع ِر َحتَّى ِإذَا َرأَى أ َ ْن قَ ْد ا ْستَب َْرأ َ َحفَن‬ َّ ‫صو ِل ال‬ُ ُ ‫صا ِب َعهُ فِي أ‬
َ َ ‫ْال َما َء فَيُد ِْخ ُل أ‬
‫س َل‬
َ ‫غ‬َ ‫س ِد ِه ث ُ َّم‬
َ ‫سائِ ِر َج‬ َ ‫ع َلى‬َ ‫اض‬َ َ‫ت ث ُ َّم أَف‬ٍ ‫ث َحفَنَا‬ َ ‫ث َ ََل‬

Artinya :Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya
dari Aisyah dia berkata, "Dahulu apabila Rasulullah SAW mandi hadas karena
junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan. Beliau
menuangkan air dengan menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan
kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat.
Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut
sehingga rata. Hingga ketika selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali,
lalu beliau membasuh seluruh tubuh dan akhirnya membasuh kedua kaki.” (HR.
Bukhari Muslim)

Dan pada hadist lain, Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari
Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah, Ummul Mukminin; bahwa apabila
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi dari junub, beliau memulai dengan

39
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala, 2011), hlm 127-128.

26
membasuh kedua tangannya. Berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat.
Memasukkan jari-jarinya ke dalam air dan menyelah-nyelahinya ke pangkal
rambut, lalu beliau menuangkan air di atas kepalanya tiga gayung dengan kedua
tangannya, kemudian meratakan air ke seluruh kulitnya. (HR. Malik)

Dan pada hadis lain, Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari
Malik dari Hisyam bin Urwah dari Bapaknya Dari Aisyah Radliyallahu'anha,
apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mandi junub, maka beliau mulai
dengan mencuci kedua tangannya, kemudian berwudlu seperti untuk shalat,
kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air lalu membersihkan celah-celah
pangkal rambutnya dengan jari-jarinya, lantas menyiramkan air ke kepalanya
dengan cidukan tiga kali, kemudian menyiramkan air ke seluruh tubuhnya. (HR.
Nasa’i)

2.2.2.5 Mandi Sunah

Disamping mandi yang bersifat wajib, dalam agama Islam ada pula mandi
yang bersifat sunah atau anjuran. Mandi sunah adalah mandi yang mendatangkan
pujian dan pahala bila dikerjakan, namun tidak mendatangkan celaan atau dosa
jika ditinggalkan. seperti:40

1) Orang yang baru sembuh dari gila dan pingsan.


2) Untuk menghadiri sholat Jum’at.
3) Untuk menghadiri sholat-sholat Idul Fitri dan Idul Adha.
4) Untuk Sholat istisqa’ (minta hujan).
5) Habis memandikan mayat.
6) Waktu akan berihram.
7) Masuk negeri Mekkah.
8) Wuquf di Padang Arafah.
9) Bermalam di Muzdalifah.
10) Melempar Jumrah.
11) Akan thawaf dan sa’i.

40
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 50.

27
12) Akan masuk negeri Madinah.

2.2.2.6 Beberapa Masalah yang Berkaitan dengan Mandi

1) Sesungguhnya seseorang cukup mandi satu kali untuk dua hal, misalnya
mandi untuk haid dan junub, dengan syarat berniat untuk semua. Karena
sesungguhnya setiap amalan sesuai dengan niat, dan balasan bagi seseorang
itu sesuai dengan apa yang diniatkan.
2) Jika seseorang mandi junub, sedangkan ia belum berwudhu, maka mandi
yang dilakukakn sudah dianggap cukup.

‫شةَ أ َ َّن‬ َ ‫ع ْن‬


َ ‫عا ِئ‬ َ َ‫ع ْن أ َ ِبي ِإ ْس َحق‬
َ ‫ع ْن ْاألَس َْو ِد‬ َ ٌ‫سى َحدَّثَنَا ش َِريك‬
َ ‫َحدَّثَنَا ِإ ْس َم ِعي ُل ب ُْن ُمو‬

‫ِيث‬ َ ‫سلَّ َم َكانَ َل َيتَ َوضَّأ ُ َب ْعدَ ْالغُ ْس ِل قَا َل أَبُو ِعي‬
ٌ ‫سى َهذَا َحد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫النَّ ِب‬
َ ‫ي‬

َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ب النَّ ِبي‬ ْ َ ‫اح ٍد ِم ْن أ‬
ِ ‫ص َحا‬ َ ‫ص ِحي ٌح قَا َل أَبُو ِعي‬
ِ ‫سى َو َهذَا قَ ْو ُل َغي ِْر َو‬ َ ‫س ٌن‬
َ ‫َح‬

‫سلَّ َم َوالتَّابِعِينَ أ َ ْن َل َيتَ َوضَّأ َ بَ ْعدَ ْالغُ ْس ِل‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Musa berkata, telah
menceritakan kepada kami Syarik dari Abu Ishaq dari Al Aswad dari Aisyah
berkata, " Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak berwudlu setelah mandi."
Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hadits hasan shahih." Abu Isa
berkata; "Dan ini adalah pendapat tidak sedikit dari para sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan tabi'in, yaitu tidak berwudlu setelah
mandi." (HR. Turmizi)

3) Orang yang junub dan wanita haid dibolehkan menggunting kuku,


memotong rambut, pergi kepasar dan lain-lain, tanpa ada larangan sedikit
pun.
4) Tidak ada halangan bagi seseorang untuk memasuki kamar mandi selama
tidak melihat aurat orang lain atau sebaliknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-

28
laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, dan tidaklah (boleh) seorang
laki-laki bersatu dengan laki-laki lain dalam satu baju.(HR. Ahmad)
5) Mengeringkan anggota tubuh dengan handuk dan sejenisnya, baik setelah
mandi maupun wudhu.
6) Seorang laki-laki dibolehkan mandi dari sisa air yang sudah digunakan
perempuan untuk mandi, begitu juga sebaliknya, bahkan suami boleh mandi
dalam satu bejana dengan perempuan. Aisyah berkata; "Saya dan Rasulullah
SAW pernah mandi pada satu bejana sedang kami dalam keadaan junub
akan tetapi air tidak junub." (HR. Bukhari)
7) Dilarang mandi dalam keadaan telanjang (ditempat pemandian umum),
karena membuka aurat hukumnya haram. Mandi ditempat yang sunyi jauh
dari penglihatan orang banyak maka dibolehkan dengan telanjang.41

2.2.3 Wudhu
2.2.3.1 Pengertian Wudhu

Secara etimologi, wudhu berarti bersih atau indah. Sedangkan menurut


terminologi syara’ berarti membersihkan anggota-anggota wudhu dengan tujuan
untuk menghilangkan hadas kecil.42 Wudhu merupakan syarat sahnya sholat yang
dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan sholat.

Adapun arti wudhu dalam kamus bahasa Indonesia tertulis : menyucikan


diri (sebelum sembahyang) dengan membasuh muka, tangan, kepala, dan kaki.
Sedangkan dalam bahasa Arab kata wudhu’ merupakan turunan dari kata kerja
(fi;il) wadhu’ayadha’u yang artinya: bersih. Kemudian, ketika kata ini
menjadi istilah dalam fikih (hukum islam), arti kata wudhu’ adalah: perbuatan
mengambil wudhu, yaitu menggunakan air yang suci lagi menyucikan untuk
meratakannya pada anggota-anggota tubuh tettentu sebagaimana yang di jelaskan
dan di syari’atkan (ditetapkan) oleh Allah SWT. serta diajarkan oleh Rasulullah
SAW.

41
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala, 2011), hlm 130-132.
42
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 50.

29
Perintah wajibnya wudhu yaitu sebagaimana firman Allah SWT yang
berbunyi:

 
   
 
  
 
 
   
   
    
    
  
  
  
  
 
    
   
  
  
  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)

Sedangkan perintah wudhu dalam hadis yaitu:

30
َ َ‫صَلَة َ ا َ َحد ُ ُك ْم ِإذَا أ َ ْحد‬
‫ث َحتَّى َيت َ َوضَّا َء‬ َ ‫لَ َي ْق َب ُل‬
َ ‫هللا‬
Artinya: “Allah tidak menerima shalat salah seorang di anataramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ternyata banyak sekali keutamaan dalam berwudhu, selain membersihkan

diri dari kotoran yang menempeal di anggota badan, wudhu juga berfungsi

membersihkan diri dari dosa-dosa kecil. Seperti yang dijelaskan dalam hadits

berikut:

َ ‫سلَّ َم قَال إِذَا تَ َوضَّأ‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلى هللا‬ ُ ‫ي هللاُ َع ْنه أ َ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِب ْي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫َو‬

‫ظ َر إِلَ ْي َها بِ َع ْي َن ْي ِه‬


َ ‫َط ْيئ َ ٍة َن‬ َ َ‫العَ ْبد ُ ال ُم ْس ِل ُم أَو ال ُمؤْ ِم ُن َفغ‬
ِ ‫س َل َو ْج َههُ خ ََر َج ِم ْن َو ْج ِه ِه ُك ُّل خ‬

ِ ‫ خ ََر َج ِم ْن يَدَ ْي ِه ُك ُّل خ‬،‫س َل يَدَ ْي ِه‬


َ‫َطيئ َ ٍة َكان‬ َ ‫ فَإِذَا‬،‫اء‬
َ ‫غ‬ ْ َ‫آخ ِر ق‬
ِ ‫ط ِر ال َم‬ ِ ‫اء أ َ ْو َم َع‬
ِ ‫َم َع ال َم‬

ْ ‫ خ ََر َج‬،‫س َل ِر ْجلَ ْي ِه‬


‫ت ُك ُّل‬ َ ‫ فَإِذَا‬،‫اء‬
َ ‫غ‬ ْ َ‫آخ ِر ق‬
ِ ‫ط ِر ال َم‬ ِ ‫اء أ َ ْو َم َع‬
ِ ‫شتْ َها َيدَاهُ َم َع ال َم‬ َ ‫َب‬
َ ‫ط‬

َ‫ َحتَّى َي ْخ ُر َج نَ ِقيًّا ِمن‬،‫اء‬ ْ َ‫آخ ِر ق‬


ِ ‫ط ِر ال َم‬ ِ ‫اء أ َ ْو َم َع‬
ِ ‫شتْ َها ِر ْج ََلهُ َم َع ال َم‬
َ ‫َطيئ َ ٍة َم‬
ِ ‫خ‬

ِ ‫الذُّنُو‬
)‫ب( َر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabdah,’’apabila seorang muslim (atau mukmin) berwudhu,
maka ketika membasuh wajah, semua dosa yang telah dilihat dengan kedua
matanya keluar dari wajahnya bersama tetesanya air atau bersama tetesan
terakhir, ketika membasuh kedua tangannya, setiap dosa yang disebabkan
pukulan tangannya keluar dari tangannya bersama tetesan air atau tetesan air
terakhir, ketika membasuh kedua kakinya,setiap dosa karena perjalanan kakinya
keluar bersama tetesan air atau tetesan air terakhir sehingga dia keluar dalam
keadaan bersih dan semua dosa.” (HR. Muslim)

2.2.3.2 Syarat-syarat Sahnya Wudhu

31
Wudhu baru dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:43

1) Islam.
2) Mumayyiz, artinya orang yang sudah dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk dari segi pekerjaan yang dikerjakannya.
3) Dilakukan dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan untuk
menghilangkan hadas.
4) Tidak ada najis pada anggota wudhu yang dapat mengubah air yang
digunakan untuk berwudhu.
5) Tidak ada suatu benda yang dapat menghalangi sampainya air wudhu pada
anggota wudhu.
6) Tidak sedang berhadas besar.
7) Melaksanakan wudhu sendiri, tidak boleh diwakilkan.
8) Wajib bersifat segera. Artinya, tidak ada tenggang waktu yang panjang
dalam membasuh nggota wudu yang satu dengan yang lain, sebelum kering.
Kecuali airnya kering karena terkena sinar matahari, ataupun panas badan.44

2.2.3.3 Fardu Wudhu

Tidaklah sah apabila seseorang yang meninggalkan salah satu rukun


(fardunya) wudhu. Adapun rukun-rukun wudhu itu adalah :

1) Niat untuk mengerjakan wudhu. Niat itu letaknya di dalam hati. Kalau
dibunyikan maka lafadz niat itu sebagai berikut.45

‫ضا ِللِ ت َ َعالَى‬ ِ َ‫ض ْو َء ِل َر ْفعِ ْال َحد‬


ْ َ‫ث اْل‬
ً ‫صغ َِر فَ ْر‬ ُ ‫ن ََويْتُ ْال ُو‬
Artinya : “Aku niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil, fardu karena
Allah Ta’ala”.

43
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 51.
44
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemahan Fiqih Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta: Dar al-Jawad,
1984), hlm 52.
45
Ust. Labib Mz, Rangkuman Shalat Lengkap, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2000), hlm 37.

32
2) Membasuh seluruh muka, yakni antara tempat tumbuh rambut kepala yang
wajar hingga ke bawah janggut dan secara melintang antara kedua belah
daun telinga.
3) Membasuh kedua tangan sampai siku-siku.
4) Membasuh kepala.46
5) Membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
6) Tertib (urut) artinya mendahulukan anggota wudhu yang seharusnya
didahulukan dan mengakhiri yang seharusnya diakhiri.

2.2.3.4 Sunah-sunah Wudhu

Adapun sunah-suna wudhu itu adalah sebagi berikut :

1) Membaca basmalah di awal berwudhu.


2) Membasuh telapak tangan sampai pergelangan tangan.
3) Berkumur-kumur dan membersihkan lubang hidung.
4) Mengusap seluruh kepala.
5) Mengusap dua buah telinga bagian luar dan dalam.
6) Mendahulukan anggota wudhu bagian yang kanan daripada yang kiri
7) Menyela-nyela jari tangan dan kaki.
8) Mengulangi basuhan atau usapan sampai tiga kali pada tiap-tiap anggota
wudhu yang diusap atau dibasuh, begitu juga berkumur.
9) Berurutan; artinya tidak lama berselang waktunya dalam mengerjakan
anggota wudhu yang satu dengan yang lainnya.
10) Tidak berkata-kata ketika mengerjakan wudhu.
11) Bersiwak (menggosok gigi).
12) Menghadap kiblat.
13) Membaca doa setelah mengerjakan wudhu, yaitu sebagai berikut:

46
Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, cara membasuh kepala ialah memulai dari
depan kepala (kening) lalu mengusapkannya sampai ke tengkuk. Sedangkan menurut mazhab
Syafi’i, cukup hanya mengusap kepala bagian depan, meski hanya sedikit.

33
‫ اَلله ُه َّم‬.ُ‫س ْولُه‬ ‫ا َ ْش َهدُا َ ْن َلا ِٰلهَ ا َِّل ه‬
َ ‫ َوا َ ْش َهد ُ ا َ َّن ُم َح َّمدًا‬.ُ‫َّللاُ َو ْحدَهُ َلش َِري َْك لَه‬
ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬

َ‫صا ِل ِحيْن‬ َ ‫ َو ْج َع ْلنِ ْى ِم ْن ِعبَاد‬، َ‫ط ِه ِريْن‬


َّ ‫ِك ال‬ َ َ‫ َو ْج َع ْلنِ ْي ِمنَ ْال ُمت‬، َ‫اجعَ ْلنِ ْى ِمنَاالت َّ َّوا ِبيْن‬
ْ

Artinya:“Saya bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah yang esa , tiada sekutu
bagi-Nya . Dan saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan
utusan-Nya . Ya Allah jadikanlah saya orang yang ahli taubat, dan jadikanlah
saya orang yang suci , dan jadikanlah saya dari golongan hamba-hamba Mu
yang shaleh.”47

Namun ada beberapa hal yang perlu kita ketahui selain sunnah dalam
waktu melaksanakan wudhu, yakni sunah berwudhu. Tersebut dalam kitab
“Wasa’il al-Syi’ah” dari Syeh Mufid, bahwa Rasulullah Saw bersabda “Hai Anas,
banyak-banyaklah bersuci, maka Allah akan memperpanjang umurmu. Jika kamu
bias senantiasa dalam wudhu pada malam dan siang hari, kerjakanlah, karena
jika kamu mati dalam keadaan wudhu, maka kamu syahid.”

Dari Nabi Saw : “Siapa yang berhadas dan tidak berwudhu, maka ia telah
memutuskan hubungannya denganku”. Imam Shadiq berkata, “Wudhu adalah
setengah iman.”

Riwayat-riwayat di atas dan lainnya menunjukkan bahwa wudhu


disamping merupakan sarana kepada yang lainnya, juga merupakan tujuan itu
sendiri dan mempunyai nilai lebih. Karena itu, seseorang boleh berwudhu sekadar
agar ia senantiasa dalam keadaan suci sepanjang hari. Atas dasar ini maka wudhu
adakalanya wajib untuk lainnya. Seperti : shalat lima waktu, tawaf wajib, dan
nazar. Dan adakalanya sunah karena wudhu itu sendiri atau karena lainnya,
seperti: salat sunnah dan tawaf sunah. Para fuqaha mengatakan bahwa wudu’ juga
sunah untuk:48

 Persiapa shalat sebelum masuk waktunya


 Masuk masjid

47
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 53.
48
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemahan Fiqih Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta: Dar al-Jawad,
1984), hlm 49.

34
 Masuk tempat-tempat suci
 Sa’I dalam haji
 Shalat Jenazah
 Ziarah Kubur
 Membaca al-Qur’an
 Do’a dan menunaikan hajat
 Sujud syukur
 Azan
 Suami istri dimalam pengantin
 Sebelum tidur
 Sebelum berkumpul dengan istri
 Aktifitas sehari – hari.

2.2.3.5 Hal-hal yang Membatalkan Wudhu

Hal-hal yang membatalkan wudhu yaitu:

1) Keluarnya sesuatu dari qubul dan dubur seperti kencing dan kotoran,
meskipun hanya berupa angin. Tentang batalnya wudhu karena kencing dan
kotoran adalah sesuatu yang sudah sangat diketahui dan disepakati dan
sudah jelas. Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu
Hurairah, bahwa Rosululloh SAW bersabda:

َ َ‫صَلَة َ ا َ َحد ُ ُك ْم ِإذَا أ َ ْحد‬


‫ث َحتَّى َيت َ َوضَّا َء‬ َ ‫لَ َي ْق َب ُل‬
َ ‫هللا‬
Artinya: “Allah tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu.”

Abu Hurairah menafsirkan kata “hadats”, di sini ada orang bertanya


kepadanya: “apa yang dimaksud dengan hadats”? Dia berkata: kentut yang
tidak ada suaranya dan kentut yang ada suaranya. Dalam riwayat Al-
Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim Al-Anshari, bahwa
dia mengadukan sesuatu kepada Rosululloh tentang seseorang yang ragu

35
merasakan sesuatu pada saat shalat yakni dia merasakan ada angin keluar
dari anusnya, maka Rosululloh SAW bersabda:

‫حا‬
ً ‫َي ِجدَ ِر ْي‬ ‫ص ْوتًا أ َ ْو‬
َ ‫ف َحتَّى َي ْس َم َع‬ َ ‫لَ َي ْنفَ ِت ْل أ َ ْو لَ َي ْن‬
ْ ‫ص ِر‬
Artinya: “Janganlah dia berhenti (berpaling) hingga dia mendengar bunyi
atau dia mencium bau”.

Maksudnya, dia masih tetap berada dalam keadaan suci dan dalam
wudhunya, karena itu adalah keyakinan, dan keyakinan tidak hilang
disebabkan keraguan, lain halnya jiak dia mendengar suara kentutnya atau
mencium baunya.

2) Hilangnya akal karena gila, pingsan, mabuk, atau tidur nyenyak.


Sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut:

‫ت‬ َّ ‫ ا َ ْل َعي ُْن ِو َكا ُءال‬: ‫سلَ ِم‬


ِ ‫فَ ِاذَا نَا َم‬،‫س ِه‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ع ْن ُم َعا ِويَةَ قَا َل‬
َّ ِ‫س ْو ُل هللا‬
َ ُ‫ص َل هللا‬ َ
ْ ‫ َو َم ْن نَام فَ ْل َيتَ َوضَّأ‬: َ‫ (رواه احمد والطبراني) َوزَ اد‬.‫ط َلقَ ْال ِو َكا ُء‬
ْ َ ‫َان ا ْست‬
ِ ‫ال َع ْين‬.
َ

Artinya: “Dari Muawiyah berkata, bahwasannya Rasulullah SAW telah


bersabda,’Mata itu pengikat dubur, maka apabila telah tidur dua mata,
terlepaslah pengikat itu.’” (HR. Ahmad dan Thabrani). Dan ia
menambahkan hadis itu, “Barang siapa tidur, hendaklah ia berwudhu.”49

3) Bersentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan yang bukan


muhrimnya tanpa ada penghalang atau penutup.50 Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 43.
4) Menyentuh kemaluan (qubul atau dubur) menggunakan telapak tangan atau
jari-jari serta tidak memakai penutup. Hal ini sesuai dengan hadis dari
Busrah binti Shafwan ra. bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:
49
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 54.
50
Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali. Bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang
bukan mahram, baik sengaja atau yang tidak, menjadikan wudhu menjadi batal. Menurut mazhab
Maliki, yang menjadikan batal wudhu hanya persentuhan yang disertai perasaan nikmat. Adapun
menurut mazhab Hanafi, persentuhan kulit antara laki-laki dan wanita, tidak membatalkan
wudhu.

36
(‫س ذَ َك َرهُ فَ ْل َيتَ َوضَّأ ْ )اخرجه الخمسه‬
َّ ‫َم ْن َم‬
Artinya: “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia
berwudhu.” (HR. Lima Ahli Hadis)

Yang dimaksud menyentuh kemnaluan, baik kemaluan sendiri


maupun orang lain, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang
tua, dubur maupun qubul, semua itu dinyatakan dapat membatalkan wudhu.

Yang dimaksud telapak tangan atau jari, semua yang termasuk bagian
telapak tangan yang tidak terlihat dari luar apabila keduanya ditemukan
(ditepukkan). Maka jika kedua tangan ditepukkan menjadi satu, maka
bagian dalam (telapak tangan yang berwarna putih) itulah yang disebut
tapak tangan. Maka tidak batal apabila seseorang menyentuh kemaluan
dengan kulit belakangnya.51

5) Murtad, misalnya mengatakan sesuatu perkataan yang menyebabkan


kufur.52 Jika seseorang mengatakan perkataan itu, niscaya wudhunya
dihukumi batal dan seluruh amal ibadahnya terhapus, hal ini berdasarkan
firman Allah SWT:

   


   
  
  

Artinya: “Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang
yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

51
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 55.
52
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 351.

37
6) Memakan daging unta, berdasarkan pertanyaan seorang sahabat kepada
Rasulullah SAW:

ٍ‫نَعَم‬ ِٕ ْ ‫ أَنَتَ َوضَّأ ُ ِم ْن لُ ُح ْو ِم‬:‫ قَا َل‬.‫ت‬


:‫البِ ِل؟ قَا َل‬ َ ‫ أ ِْن ِش ْٔى‬:‫أَنَت َ َو ضَّأ ُ ِم ْن لُ ُح ْو ِم ْالغَن َِم؟ قَا َل‬.
Artinya: “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging domba?”
Rasulullah SAW menjawab,”Jika kamu berkenan.” Sahabat tadi bertanya
kembali, “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging unta?”
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, benar.” (HR Muslim)

Akan tetapi mayoritas sahabat tidak berpendapat harusnya berwudhu


sehabis memakan daging unta, karena hadits yang memerintahkannya
dimansukh (dibatalkan ketentuan hukumnya), juga mayoritas sahabat tidak
berwudhu setelah memakan daging unta, termasuk Khulafa’rasyidin.53

2.2.4 Tayamum
2.2.4.1 Pengertian Tayamum

Pengertian tayamum secara etimologi yaitu menyengaja. Sedangkan secara


terminologi yaitu mendatangkan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan
sampai sikut dengan syarat dan rukun tertentu.54 Menurut pendapat lain, istilah
tayamum berarti mencari debu untuk mengusap wajah dan tangan supaya
diperbolehkan mengerjakan sholat atau ibadah-ibadah lainnya.55

Tayamum diperbolehkan pada tahun ke-6 Hijriyah, sebagai keringanan


(rukshah) yang diberikan kepada umat Islam. Tayamum merupakan pengganti
dari thaharah ketika seseorang tidak dapat mandi atau wudhu.56 Dalil yang
menjadi hukum dasar tayamum yaitu surah An-Nisa ayat 43, yaitu:
    
    
   

53
Ibid.
54
Abdul Mannan, Fiqih Lintas Madzhab, (Kediri: PP Al-Falah, 2007), hlm 53.
55
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 97.
56
Hidayat, Thaharah dan Shalat bagi Musafir, (Bandung: IMTIHA, 2009), hlm 16.

38
  
  
  
   
   


Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43)

Dan juga salah satu hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫سلَّ ْم جعلت لنااٲلرض كلها مسجدا وتربتها طهورا‬


َ ‫علَ ْٻ ِه و‬ ‫صلَى ٓ ه‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫قَال النَّ ِبى‬
Artinya: “Bumi dijadikan untuk-Ku sebagai mesjid dan debunya dapat
mensucikan”. (HR.Muslim)

Dari Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 telah jelas bahwa tayamum
merupakan pengganti wudhu atau mandi ketika seseorang dalam keadaan udzur,
baik seperti sedang sakit, sedang dalam perjalanan jauh ataupun tidak adanya air
ketika hendak berwudhu atau mandi.

Dalam hal ini tayamum berkedudukan hanya sebagai pengganti wudhu, oleh
karenanya tayamum tidak bisa dikiaskan dengan wudhu, sebab tayamum itu
adalah bersuci dalam keadaan darurat. Jika dimungkinkan masih bisa
melaksanakan wudhu maka tidak diperbolehkan untuk bertayamum.

Adapun orang-orang yang diperbolehkan bertayamum ialah:57

1) Orang sakit, yang mana menurut keterangan dokter bila anggota wudhunya
terkena air, maka akan bertambah sakit (sembuhnya lama).

57
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 55.

39
2) Dalam perjalanan dan sangat sulit mendapatkan air. Hal ini bisa disebabkan
karena sudah diusahakan untuk mencari air tetapi tidak mendapatkan air,
sedangkan waktu shalat sudah masuk atau karena sedang dalam perjalanan
(musafir). Ada beberapa kriteria musafir yang diperbolehkan bertayamum,
yaitu sebagai berikut:
 Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air, maka
ia boleh langsung bertayamum tanpa harus mencari air terlebih dahulu.
 Ia tidak yakin, ia menduga disana mungkin ada air, tetapi mungkin juga
tidak. Pada keadaan yang demikian, ia wajib lebih dulu mencari air di
tempat-tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
 Ia yakin ada air disekitar tempat itu. Akan tetapi menimbang situasi
pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis
dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia
diperbolehkan tayamum.
3) Tidak ada air sama sekali. Jika tidak ada air sama sekali, maka
diperbolehkan bertayamum sebagaimana di jelaskan pada dalil berikut:

‫فَلَ ْم ت َ ِجد ُوا َما ًء فَتَ َي َّم ُموا‬


Artinya: “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah. (QS.
Al-Maidah: 6)

َ ‫سلَّ َم ل َما َّ ا ْنفَتَ َل ِم ْن‬


‫ص ََل ِت ِه ِإذَا ِب َر ُج ٍل ُم ْعت َ ِز ٍل لَ ْم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ
َّ ‫أن النَ ِب‬
َ َ ‫ أ‬:‫ص ِلي َم َع ْالقَ ْو ِم؟ قَا َل‬
‫صا َب ْت ِني‬ َ ُ ‫أن ت‬ْ ‫َلن‬ ُ ُ‫ َما َم َن َع َك َيا ف‬:‫ قَا َل‬،‫ُصل َم َع ْالقَ ْو ِم‬ِ ‫ي‬
‫ص ِع ْيدِ؛ فَإِنَّهُ َي ْك ِفي َْك‬ َ ”:‫ قَا َل‬،‫” َجنَا َبةٌ َو َل َما َء‬
َّ ‫ع َلي َْك ِبال‬

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai


dari shalatnya, ternyata menemui seorang yang menyendiri tidak shalat
bersama orang-orang. Beliau bersabda: Apa yang mencegah kamu wahai
Fulan untuk shalat bersama orang-orang? Dia menjawab: Aku terkena
junub dan tidak ada air. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Hendaknya kamu menggunakan sha’îd (tayamum), karena itu
mencukupkanmu.” (HR. Bukhari no. 344)

40
Sedangkan bagi orang yang hanya menemukan sedikit air, tetapi air itu tidak
cukup untuk membersihkan seluruh tubuhnya, hendaklah ia membersihkan
sebagian dari anggota tubuhnya dengan air tersebut, kemudian ia bertayamum
untuk anggota tubuh lainnya yang tersisa.58

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

  


 
 
    
   
 
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. dan
Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-
orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun: 16)

2.2.4.2 Syarat-syarat Sahnya Tayamum

Tayamum dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Telah masuk waktu sholat. Tayammum disyari’atkan untuk orang terpaksa.


Sebelum masuk waktu sholat ia belum terpaksa, sebab sholat belum wajib
atasnya ketika itu. Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Dua orang laki-laki berada dalam sebuah perjalanan. Lalu tibalah waktu
shalat, sedangkan mereka tidak memiliki air. Kemudian bertayammum
dengan tanah yang suci lalu shalat. Beberapa saat kemudian, mereka
menemukan air. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi
shalat, sedangkan yang satunya tidak. Kemudian mereka mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu

58
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 360.

41
beliau berkata kepada orang yang tidak mengulang, ‘Engkau telah
melakukan sunnah dan shalatmu sudah mencukupi’. Dan berkata kepada
orang yang berwudhu dan mengulang shalatnya, ‘Engkau mendapatkan dua
kali.’”59
2) Sudah berusaha mencari air, tetapi tidak mendapatkannya, sedangkan waktu
sholat sudah masuk.
3) Menggunakan tanah (debu) yang bersih.

‫ورا ِإ َذا لَ ْم ن َِج ِد ْال َما َء‬ َ ‫ت ت ُ ْر َبت ُ َها لَنَا‬


ً ‫ط ُه‬ ْ َ‫َو ُج ِعل‬
Artinya: “Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi was sallam ) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu yang
digunakan untuk besuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air.”
(HR. Muslim, no. 522)

4) Anggota tubuh yang sakit akan bertambah parah sakitnya atau lama
sembuhnya jika terkena air.
5) Tidak ada air sama sekali.

2.2.4.3 Fardu Tayamum

Rukun atau fardunya tayamum itu ada empat, yaitu:

1) Niat, yaitu menyengaja melakukan tayamum untuk menghilangkan hadas.


2) Mengusap muka dan kedua tangan sampai siku dengan menggunakan debu
yang bersih dan suci.
3) Meratakan usapan keseluruh anggota-anggota tayamum dengan
menggunakan debu yang bersih dan suci.
4) Tertib, yaitu berurutan mengusapkan.

2.2.4.4 Sunah-sunah Tayamum

Sunah-sunah tayamum ada empat, yaitu:


59
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 327)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/536 no.
334), dan Sunan an-Nasa-i (I/213).

42
1) Membaca Basmallah.
2) Mendahulukan anggota yang kanan daripada yang kiri.
3) Menipiskan debu (jika debu telah di tangan/telapak tangan). Hal ini
sebagaimana riwayat dari Ammar bin Yasir ra, bahwa dia bertanya kepada
Umar bin Khattab ra, “Tidak ingatkah ketika kita dalam suatu perjalanan?
Saat engkau tak mengerjakan sholat dan aku bergulingan di atas tanah lalu
sholat? Kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi SAW dan beliau
bersabda:

‫س َح ِب ِه َما‬ َ ‫ي ِب َكفَّ ْي ِه ْاأل َ ْر‬


ُ ،‫ َونَ َف َخ فِ ْي ِه َما‬،‫ض‬
َ ‫ش َّم َم‬ ُّ ‫ب النَّ ِب‬ َ ‫ َف‬.‫أِنَّ َما َكانَ َي ْك ِفي َْك َه َكذَا‬
َ ‫ض َر‬

٣٣٨ :‫َو ْج َههُ َو َكفَّ ْي ِه (بخارى‬

Artinya: “Sebenarnya cukup kamu lakukan begini”, lalu beliau


memukulkan telapak tangannya ke tanah dan meniupnya, lalu
mengusapkannya ke muka dan kedua telapak tangannya.” (HR. Bukhari;
338)60

4) Membaca dua kalimat syahadat, setelah selesai tayamum, seperti halnya


setelah wudhu.

2.2.4.5 Hal-hal yang Membatalkan Tayamum

Hal-hal yang membatalkan tayamum ada tiga perkara, yaitu:


1) Segala sesuatu yang dapat membatalkan wudhu. Karena tayamum adalah
pengganti wudhu.
2) Melihat air sebelum melakukan sholat.
3) Murtad, yaitu mengingkari (keluar) dari ajaran agama Islam.

2.2.4.6 Fungsi Tayamum

60
Imam Zainuddin Ahmad Az-Zabidi, TAJRIDUSH SHARIH: Ringkasan Shahih Bukhari (1),
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), hlm 172.

43
Seseorang yang berhalangan wudhu, maka diperbolehkan baginya
bertayamum. Setiap satu tayamum hanya boleh untuk melakukan satu kali sholat
fardu, tetapi boleh digunakan untuk mengerjakan beberapa kali sholat sunah.61

Berdasarkan hal tersebut, maka jika orang yang bertayamum hendak


melakukan sholat fardu lagi, maka wajib baginya untuk melakukan tayamum
kembali, sekalipun tayamum yang pertama itu belum batal. Tayamum ini juga
dapat menggantikan mandi janabah (besar).

Tanah dapat menjadi ganti air dalam tayamum, karena tanah mempunyai
arti dalam kesucian, yaitu merupakan benda yang bersih, karean itu tanah juga
dijadikan sebagaislah satu pokok dasar untuk menghilangkan najis mughalladzah
atau najis yang berasal dari jilatan anjing atau babi.

Isi dunia ini tidak luput dari air dan tanah. Tanah menampung air yang turun
dari langit. Jika air tidak ada, maka tanah menjadi penggantinya. Kedua benda ini
saling bantu-membantu, air dapat menyuburkan tanaman, sedangkan tanah
mengandung dan memeliharanya.

Menurut falsafah hidup, segala sesuatu akan kembali ke bumi, manusia dan
binatang yang berasal dari air (mani) akan kembali ke tanah pula, yaitu asal
kejadiannya yang pertama kali. Bersuci dengan tayamum dapat menggantikan
mandi dan wudhu karena janabah. Hal ini merupakan pertanda bagi kita yang
hendak melakukan sholat atau ibadah lainnya walaupun tidak ada air, akan tetapi
kita tetap diwajibkan bersuci terlebih dahulu.

Dengan disyariatkannya tayamum sebagai sarana mensucikan diri dari


hadas, maka hal tersebut dapat menjadi suatu pertanda bahwa berwudhu dan
mandi karena janabah itu lebih banyak mengenai kesucian batin daripada kesucian
lahir. Kalau hanya sekedar kesucian lahir, apalah artinya tayamum yang hanya
menyapu-nyapukan tanah ke tangan dan ke wajah itu saja?

2.3 Haid dan Nifas

61
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 59.

44
2.3.1 Haid

Haid ialah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah balig, yang
mana keluarnya pada tiap-tiap bulan, sedikitnya satu hari satu malam dan
umumnya tujuh hari lamanya. Dalam munjid fi al lugah kata haid -tanpa
menjelaskan asal usul dan padanannya- berasal dari kata ḥaḍa-ḥaiḍan yang
diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis tertentu. 62 Secara syara‟,
haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan dalam keadaan sehat dan
tidak karena melahirkan atau sakit pada waktu tertentu.63 Perhatikan firman Allah
SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 222 berikut ini:

  


    
   
  
   
   
    
 
 

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu


adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah:
222)

Perhatikan potongan surah Al-Baqarah ayat 228 berikut ini!

62
Louis Ma‟luf, Al Munjid Fi Al Lughah, (Beirut: Dar al Masyriq, 1987), hlm. 164.
63
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2008), Hlm.524.

45
    
   
   
  

Artinya: “tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al-
Baqarah:228)

Menurut para mufassir, makna arhamihinna dalam ayat ini adalah haid atau
hamil, sehingga sifat asli haid adalah darah yang keluar dari rahim. Sedangkan
istihaḍah adalah darah yang keluar karena adanya pembuluh darah yang
terputus.64

Menurut para ulama, wanita mengeluarkan darah haid (datang bulan)


sekurang-kurangnya berusia 9 tahun (berdasarkan perkiraan tanggal qomariyah).
Batas waktu maksimal bagi wanita yang haid adalah 15 hari, sedangkan batas
minimalnya adalah sehari semalam. Adapun adat atau kebiasaan masa haid yang
terjadi di masyarakat adalah enam atau tujuh hari. Sekurang-kurangnya masa suci
antara dua haid adalah 15 hari, dan sebanyak-banyaknya masa suci adalah tak ada
batasnya.

Menstruasi merupakan salah satu ciri yang menandai masa peburtas


perempuan. Menstruasi pertama kali biasanya dialami oleh perempuan sekitar
usian sepuluh tahun, namun bisa juga lebih dini atau lebih lambat. Menstruasi
merupakan fitrah perempuan yang menandakan perempuan tersebut sehat dan
sistem reproduksinya berjalan dengan baik. Menurut ilmu kesehatan darah yang
keluar saat menstruasi merupakan darah akibat peluruhan dinding
rahim(endotrium). Darah tersebut mengalir dari rahim menuju leher rahim,
kemudian keluar melalui vagina.65

64
Fakhrur Razi, Tafsir al Kabir,(Beirut: Dar al Kutub al Alamiah, t.th) hlm. 62, menurut mufasir
lain seeperti Thabari dan Ibnu Katsir maknanya juga haid dan hamil.
65
Nur Najmi Laila, Buku Pintar Menstruasi, (Yogyakarta: Buku Biru, 2011) hlm 15.

46
Haid merupakan suatu tanda yang menunjukkan batas umur bagi perempuan
menjadi balig. Balig artinya telah sampai umur. Orang yang sudah balig biasa
disebut dengan mukallaf. Adapun tanda-tanda orang yang sudah balig adalah:66

1) Menurut para psikologi/ilmu jiwa, seseorang dikatakan dewasa (balig)


apabila ia sudah berumur 16 atau 17 tahun bagi laki-laki dan 14 atau 15
tahun bagi wanita.
2) Menurut para ulama Islam orang dikatakan balig apabila ia telah datang haid
bagi perempuan walaupun belum sampai 15 tahun.
3) Telah bermimpi bersetubuh, baik laki-laki maupun perempuan.

Umumnya pendapat para psikologi dan ulama Islam ini tidak bertentangan.
Ada beberapa hal yang dilarang bagi perempuan haid, yakni sebagai berikut:67

 Sholat dan puasa. Hanya saja puasa wajib diqadha’ (diganti) setelah suci.
Sedangkan sholat tidak wajib diqadha’, berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:

‫ص ْم‬ َ ُ ‫ت ْال َم ْر أَة ُ لَ ْم ت‬


ُ َ ‫ص ِل َولَ ْم ت‬ َ ‫أَلَي‬
َ ‫ْس أِذَا َحا‬
ِ ‫ض‬
Artinya: “Bukankah apabila seorang wanita sedang haid, berarti ia tidak
sholat dan tidak berpuasa.” (HR. Bukhari, no. 304)

 Jima’ (berhubungan suami istri)


   
 
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
(QS. Al-Baqarah: 222)

 Sujud tilawah
 Menyentuh mushaf
 Masuk masjid

ٍ ِ‫َلأ ُ ِح ُّل ْال َم ْس ِجدَ ِل َحاى‬


ٍ ُ‫ض َو َل ِل ُجن‬
‫ب‬

66
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 61.
67
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2008), hlm 535-539.

47
Artinya: “Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang sedang haid
dan orang yang junub.” (HR. Abu Dawud, no. 232)

 Thawaf. Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW


bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan
Ihram untuk umrah :

" ‫افعلي ما يفعل الحاج غير أن ل تطوفي بالبيت حتى‬


‫"تطهري‬
Artinya: “lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja
jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”( HR. Muslim :4/
30)

 I‟tikaf
 Membaca al quran
 Thalak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam keadaan
haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Hendaklah
ditangguhkan hingga suci. Sebab talak (perceraian) dalam keadaan haid
terhadap wanita yang tidak hamil menyalahi firman Allah SWT :

  


 
 
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar).” (QS. Ath-Thalaaq: 1)

Dari beberapa larangan diatas tiga hal yang menjadi ikhtilaf para ulama
yaitu,
 Masuk Masjid
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat pertama
yan melarag perempuan haid memasuki masjid secara muthlak dan ini
adalah pendapat madzab maliki. Kedua, pendapat yang melarang melarang
perempuan haid memasuki masjid dan membolehkan jika sekedar lewat, dan

48
ini adalah pendapat syafii. Ketiga, pendapat yang membolehkan perempuan
haid memasuki masjid dan ini adalah pendapat ẓahiri.68

 Menyentuh Mushaf
Jumhur ulama mengakui kemu‟jizatan al Quran sehingga melarang
menyentuh al Quran bila tidak mempunyai wudhu, berhadas kecil saja
dilarang apalagi yang berhadas besar seperti haid. Sedangkan bagi Ẓahiri
tidak dilarang menyentuh mushaf walau tidak mempunyai wudhu.
Perbedaan ini disebebakan perbedaan memahami ayat dalam Qs. Al
Waaqi’ah:79 ini:
   


Artinnya: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS.


Al-Waaqi’ah: 79)

Menurut Daud al Ẓahiri al quran yang dimaksud oleh ayat diatas


bukanlah al quran yang sekarang kita lihat, tetapi al quran yang bukan
makhluk dan tersembunyi di lauh al mahfudh. Sedangkan mushaf yang kita
pegang saat ini adalah makhluk, sehingga tak perlu dalam keadaan suci tuk
menyentuhnya dan orang haid maupun junub juga tidak dilarang
menyentuhnya.69

 Membaca Al-Quran.

Para ulama yang mengharamkan perempuan haid membaca al quran


berpedoman pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmiżi dan Ibnu
Mājah dari Ibnu Umar, yang berbunnyi:

َ ‫لَتقرأ ِالئض‬
‫ول ِلنب شيئا من الق رآن‬
Artinya: “Janganlah perempuan yang haid dan orang junub membaca
sesuatupun dari al Quran.”

68
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid,(Indonesia: Dar Ihya‟ al Kutub al
‟Arabiyah, t.th), juz.1, hlm.35
69
Abu Muhammad bin Hazm, al Muhalla, (Beirut: Dar al Fikr, t.th) hlm 77.

49
Menurut sebagian yang lain hadits itu ḍa‟īf, sehingga tidak bisa
dijadikan landasan hukum. Ibnu Taimiyah berkata: melarang perempuan
haid membaca al Quran sama sekali bukanlah sunnah dari Nabi.

2.3.2 Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim perempuan setelah melahirkan,
walaupun bayi yang dilahirkan adalah bayi prematur. Tak ada batasan minimal
untuk nifas, dan tetap disebut nifas meski hanya sesaat. Karenanya, seorang
wanita yang melahirkan, lalu darahnya berhenti keluar sesaat sesudah melahirkan,
atau ia melahirkan tanpa mengeluarkan darah, berarti nifasnya telah selesai dan ia
berkewajiban melaksanakan kewajiban-kewajiban wanita-wanita yang suci,
seperti sholat dan puasa.70

Sedangkan batas maksimal nifas adalah 40 hari. Hal ini didasarkan pada
hadits yangh diriwayatkan dari Ummu Salamah:

َ‫ ت َ ْقعُدُ َب ْعدَ نِفَا ِس َها أ َ ْربَعِين‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ُ ‫علَى َع ْه ِد َر‬
َّ ‫سو ِل‬ َ ‫سا ُء‬ َ َ‫ت النُّف‬ ِ َ‫َكان‬
ً‫يَ ْو ًما أ َ ْو أ َ ْربَعِينَ لَ ْيلَة‬

Artinya: “Dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wanita


menunggu masa nifasnya selesai hingga 40 hari atau 40 malam.”71

Demikian juga keterangan dari Abu Abbas:

‫تمسك النفساء عن الصَلة أربعين يوما‬

Artinya: “Wanita nifas tidak boleh melaksanakan shalat selama 40 hari.”72

Menurut hadits ini, jika wanita yang sedang bernifas telah menjalani masa
nifasnya selama 40 hari, hendaklah ia mandi wajid dan menunaikan kewajiban

70
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 104.
71
HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani.
72
HR. Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa hlm 112.

50
ibadah seperti sholat dan puasa, meskipun belum suci, hanya saja wanita yang
belum suci dihukumi seperti sebagaimana layaknya wanita yang istihadhah.73

Menurut WHO, masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta


dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil
yang berlangsung selama kira-kira 6 minggu atau setelah persalinan sampai 42
hari persalinan. Hal ini juga diperkuat dalam ilmu kedokteran bahwa masa nifas
itu 40 hari dengan berbagai fase:

 Fase lochia rubra (berwarna merah segar) biasanya minggu pertama


 Fase lochia sanguinolenta (berwarna kecoklatan dan kekuningan) biasa
selama 2 minggu
 Fase lochi alba (lendir kuning berwarna putih kekuningan)

Bagi perempuan yang sedang haid atau nifas diharamkan melakukan sholat,
puasa, dan ibadah lainnya. Akan tetapi mereka wajib mengqada puasa yang
ditinggalkan selama masa haid atau nifas, dan tidak diwajibkan mengqada sholat
yang ditinggalkan.

Periode nifas merupakan salah satu periode kritis dalam proses kehidupan
seorang perempuan maupun bayi dan merupakan masa sulit, diperkirakan 60%
kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa
nifas terjadi dalam 25 jam pertama. Bagi pasangan dengan anak pertama, akan
menjadi pengalaman baru, baik bagi istri maupun suami, sehingga yang dirasakan
adalah kebingungan, khususnya istri yang akan merasakan perasaan cemas, takut,
dan bahagia.

Faktor yang hampir selalu menyebabkan depresi pasca melahirkan yaitu


kurangnya dukungan sosial. Namun masa transisi ini sering dianggap sementara
atau tidak penting sehingga perawatan postpartum menjadi aspek yang diabaikan
dari perawatan kesehatan wanita. Tidak ada kejadian hidup yang memiliki efek
luar biasa terhadap kondisi fisik, fungsional dan emosional seperti masa
postpartum.
73
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 371.

51
2.3.3 Warna Darah Haid dan Nifas

Ciri-ciri darah haid menurut Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

 Warnanya hitam
 Pekat
 Mencolok dikarenakan sangat panas
 Keluarnya darah tersebut untuk memberikan manfaat
 Baunya berbeda dengan darah- darah yang lain
 Warnanya sangat merah74

Ada tiga macam darah yang keluar dari kemaluan perempuan:

1) Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan dalam keadaan sehat
dan tidak karena melahirkan atau sakit yang terjadi pada waktu tertentu.
2) Nifas adalah darah yang keluar dari rahim dengan sebab melahirkan, baik
itu keuarnya itu bersamaan ketika melahirkan, setelahnya ataupun
sebelumnya dua atau tiga hari disertai rasa sakit.
3) Istihadhah adalah darah yang tidak biasa dan bukan bersifat alamiah dari
fisik perempuan, melainkan karena adanya pembuluh darah yang terputus.
Hukum perempuan istihaḍah ada tiga, yaitu:
 Seperti hukum perempuan suci dan tidak dikenai hukum perempuan
haid ataupun nifas.
 Disunahkan berwudhu setiap mau melaksanakan shalat
 Penghitungan siklus haid dan istihadahah dengan beberapa cara:
pertama, dengan membedakan sifat darah haid dan darah istihadhah.
kedua, dengan melihat kebiasaan haid yang sebelumnya. ketiga
dengan melihat kebiasaan haid perempuan pada umumnya.

Warna darah haid adalah merah hitam, dan ia keluar dari rahim wanita,
bukan dari anggota tubuh yang lain. Darah yang keluar dari rahim wanita dan
melebihi banyaknya masa haid dan nifas, maka disebut dengan darah istihadhah.

74
Fakhrur Razi, Tafsir al Kabir,(Beirut: Dar al Kutub al Alamiah, t.th) hlm 63.

52
Darah istihadhah biasa disebut juga dengan darah penyakit. Darah semacam ini
adakalanya terjadi sesudah masa haid. Perempuan yang mengeluarkan darah
istihadhah, maka ia tetap diwajibkan melakukan sholat, puasa dan ibadah-ibadah
yang lain.75

2.4 Siwak
2.4.1 Pengertian Siwak

Bersiwak artinya menggosok gigi dengan benda yang kesat dan harum.
Bersiwak termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan
oleh Rosulullah SAW. Rasulullah sangat gemar bersiwak, yakni menggosok
giginya baik dikala beliau sedang puasa maupun tidak. Juga dikala berwudhu dan
ketika hendak sholat. Dan tak luput pula beliau bersiwak dikala hendak masuk
rumah, menjumpai istrinya.76 Hal ini dejelaskan dalam haidts berikut:

ُّ ‫شيِءٍ َي ْبدَأ ُ النَّ ِب‬


‫ي ِإذَا‬ َ ِ ‫ي هللاُ َع ْن َها ِبأَي‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ ُ‫سأ َ ْلت‬
َ ِ‫عائ‬ َ : ‫ش َر ْي ٌح ب ُْن هَا ِن ِئ قَا َل‬
ُ ‫َر َوى‬
)‫اك (رواه مسلم‬ ِ ‫ ِبالس َِو‬: ‫ت‬ ْ ‫دَ َخ َل َب ِيتَهُ ؟ َقا َل‬

Artinya: “Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata : “Aku bertanya
kepada ‘Aisyah : “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab :”Bersiwak.” [Hadits
riwayat Muslim, Irwaul Ghalil no 72]

Bersiwak dapat mendatangkan keridhaan Allah SWT, sebagaimana sabda


Rasulullah:

)‫ب (رواه أحمد‬


ِ ‫لر‬ َ ‫ط َه َرة ٌ ِل ْلفَ ِم َم ْر‬
َّ ‫ضاة ٌ ِل‬ ْ ‫اك َم‬
َ ‫الس َِو‬
Artinya: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhaan bagi Rabb”.
[Hadits shahih riwayat Ahmad, Irwaul Ghalil no 66).” [Syarhul Mumti’ 1/120
dan Taisir ‘Alam 1/62]

75
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 63.
76
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 63.

53
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu bersemangat
melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukannya. Siwak adalah
nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena
itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika
memenuhi persyaratannya, yaitu:

 Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh
digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan email gigi.

 Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau
batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak

 Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak


sehingga bisa mengotori mulut.

Bersiwak ternyata memiliki banyak manfaat, selain dapat membuat mulut


menjadi lebih wangi, ia juga dapat menguatkan gusi dan menghilangkan penyakit
gigi.

2.4.2 Hukum Siwak

Mengingat pentingnya bersiwak, maka Rasulullah SAW bersabda:

ِ ‫لى أ ُ همتِي أل ا ام ْرت ُ ُه ْم باِلس اِو‬


‫اك ع‬ ‫ع ا‬ ُ ‫ض ْوءِِلا ْوَلا أ ا ْن أ ا‬
‫ش هق ا‬ ُ ‫ْندا ُك ِل ُو‬
Artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan
kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu.” [Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim, Irwaul Ghalil no 70]

Berdasarkan keterangan hadis di atas, maka jelaslah bahwa bersiwak


sangatlah dianjurkan. Ia disunahkan pada segenap hal, kecuali sesudah tergelincir
matahari bagi orang yang sedang puasa. Bersiwak setelah tergelincirnya matahari
bagi orang yang berpuasa hukumnya adalah makhruh. Hal tersebut dikarenakan

54
bau mulut orang yang berpuasa itu dinyatakan lebih harum dibandingkan dengan
minyak kasturi.77 Hal ini seperti jelaskan dalam hadis berikut ini:

ِ ‫ب ِع ْندَ هللاِ ِم ْن ِريْحِ ْال ِم‬


‫سك‬ ْ َ ‫صائِ ِم أ‬
ُ ‫ط َي‬ ُ ‫لَ ُخلُ ْو‬
َّ ‫ف فَ ِم ال‬
Artinya: “Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah
daripada bau misik.” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Para fuqaha telah membahas cara bersiwak ini. Mereka menyebutkan


bahwa di anjurkan bersiwak dengan cara melebar dan bukan dengan cara
memanjang agar tidak membuat daging giginya berdarah dan hedaknya memulai
siwakdari bagian ujung geraham dan memulainya dari sebelah kanan.

Dianjurkan bersiwak dengan cara melebar, baik di bagian luar gigi ataupun
bagian dalamnya. Sedangkan membersihkan gigi dengan besi atau dengan kikir
maka hal itu sangat dilarang karena hanya akan melemahkan dan akan
membuatnya pecah. Sebab ia mengeraskan gigi sehingga lapisan kotoran akan
semakin banyak menempel di gigi.

2.5 Mengusap Khuffain


2.5.1 Pengertian dan Dasar Hukum Mengusap Khuffain

Khuff artinya sesuatu yang dipakai di kaki yang terbuat dari kulit atau
lainnya. Bentuk jama’nya adalah khifaf. Termasuk ke dalam khuf juga semua
yang dipakaikan di kaki yang terbuat dari wool atau lainnya. Mengusap dua khuff
itu merupakan rukhshah (keringanan) dalam berwudhu.

Kebolehan mengusap khuff dan benda-benda lainnya yang semakna


dengannya seperti kaos kaki, telah ditetapkan berdasarkan AL-Qur’an dan as-
Sunnah.78 Seperti firman Allah SWT yang telah disebutkan dalam Surah Al-
Maidah ayat 6. Di antara dalil bolehnya mengusap khuf adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Al A’masy dari Ibrahim dari Hammam ia berkata:

77
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 2014), hlm 64.
78
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 363.

55
ِ‫َّللا‬ ُ ‫علَى ُخفَّ ْي ِه فَ ِقي َل ت َ ْف َع ُل َهذَا فَقَا َل نَ َع ْم َرأَيْتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫ير ث ُ َّم تَ َوضَّأ َ َو َم‬
َ ‫س َح‬ ٌ ‫َبا َل َج ِر‬

‫علَى ُخفَّيْه‬ َ ‫سلَّ َم بَا َل ث ُ َّم ت َ َوضَّأ َ َو َم‬


َ ‫س َح‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ

Artinya: “Jarir pernah buang air kecil, lalu berwudhu’ dan mengusap kedua
khufnya, lalu ada yang berkata, “(Apakah) engkau melakukan hal ini?” Ia
menjawab, “Ya, aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam buang air
kecil, kemudian berwudhu dan mengusap dua khufnya.”

Al A’masy berkata: Ibrahim berkata, “Hadits ini membuat mereka aneh


karena masuk Islamnya Jarir setelah turun surah Al Maa’idah.”

Imam Nawawi berkata, “Maksudnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala


berfirman di surah Al Maa’idah, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (Terj. Al Ma’idah: 6) Kalau sekiranya masuk Islamnya Jarir lebih
dulu daripada turunnya surah Al Ma’idah, tentu mengandung kemungkinan bahwa
haditsnya tentang mengusap mengusap khuf adalah mansukh dengan ayat di surah
Al Ma’idah.

Oleh karena masuk Islamnya terakhir, maka dapat kita ketahui bahwa
haditsnya ini diamalkan, di sana diterangkan bahwa maksud ayat tersebut tidaklah
tertuju kepada pemakai khuf, sehingga As Sunnah menjadi pentakhshis ayat,
wallahu a’lam.” Imam Ahmad berkata, “Tidak ada (keraguan) dalam hatiku
terhadap (kebolehan) mengusap (dua khuf), di sana terdapat empat puluh hadits
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama,


mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap
khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa
ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan),
sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut
ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang

56
mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci
kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.

Demikian pula diperbolehkan mengusap jaurab (kaus kaki) karena ia seperti


khuf dalam hal butuhnya seseorang kepadanya, bahkan memakai kaus kaki lebih
sering dilakukan daripada khuf, sehingga boleh mengusapnya jika memang
menutupi. Masalah ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat. Mughirah bin
Syu’bah menuturkan, “Rasulullah berwudhu serta mengusap kaos kaki dan
sandal.” (HR Ahmad dan Tirmidzi dan ia mengatakan, “Hadits hasan shahih”79).

Seperti mengusap kaos kaki yang diperbolehkan, mengusap segala yang


menutupi kaki juga diizinkan, seperti kain pembalut dan sejenisnya. Kain yang
dipakai seseorang karena takut kedinginan, atau takut berjalan dengan kaki
telanjang, atau karena takut terluka. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “ pendapat yang
benar adalah pendapat yang menyatakan kebolehan mengusap kain pembalut.
Sebenarnya ini baik diusap daripada sepatu dan kaos kaki, sebab kain pembalut
biasanya dipakai untuk suatu keperluan dan jika melepaskannya dapat
menimbulkan bahaya.

2.5.2 Ketentuan dalam Mengusap Khuffain

Seseorang yang hendak mengusap khuff atau benda-benda lain yang


semakna dengannya ketika bersuci, maka disyaratkan:80

1) Kedua khuff (sepatu) dipakai dalam keadaan bersih. Hal ini berdasarkan
hadits Rasulullah yang ditujukan kepada al-Mughirah bin Syu’bah ketika
hendak membuka sepasang khuff yang dipakai oleh Rasulullah SAW untuk
membasuh kedua kaki beliau ketika berwudhu:

‫ع َل ْي ِه َما‬ َ ‫دَ ْع ُه َما فَإِنِي أ َ ْدخ َْلت ُ ُه َما‬


َ ‫طا ِه َرتَي ِْن فَ َم‬
َ ‫س َح‬

79
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 86.
80
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2019), hlm 365.

57
Artinya: Biarkanlah keduanya, karena aku memakainya dalam keadaan
suci.” Maka Beliau mengusap ke atasnya. (HR. Bukhari dan Muslim)81

2) Kedua khuff harus menutupi bagian kaki yang wajib dibasuh.


3) Kedua khuff tebal, sehingga kulit tidak terlihat dari balik keduanya.
4) Masa mengusap keduanya tidak boleh lebih dari sehari semalam bagi orang
yang bermukim serta tidak boleh lebih dari tiga hari tiga malam bagi
musafir berdasarkan keterangan yang diutarakan oleh Ali bin Abi Thalib
dari Rasulullah SAW.82
5) Tidak boleh mencopot keduanya setelah mengusapnya. Jika ia mencopot
keduanya, maka wajib atasnya membasuh kedua kakinya. Jika ia tidak
membasuhnya, maka wudhunya dihukimi batal.
6) Dalam mengusap perban, maka tidak disyaratkan harus suci terlebih dahulu
serta tidak ada batasan waktu, tetapi kain perbannya disyaratkan tidak boleh
melampaui tempat luka kecuali kain perban yang di pakai sebagai pengikat,
tidak boleh dicopot ketika lukanya belum sembuh. Jika kain perbannya
dicopot atau lukanya telah sembuh maka usapannya dihukumi batal dan
wajib membasuhnya.

Adapun cara mengusap khuffain yaitu:

1) Cara mengusap dua khuff yaitu dilakukan setelah mengerjakan


(membersihkan anggota wudhu secara urut dan tertib, baru yang terakhir
mengusap khuffain).
2) Membasahi kedua tangan, lalu diusapkan atau disapukan kebagian atas
khuff tanpa harus mengusap bagian bawahnya. Sebagaimana hadits dari
‘Ali bin Abi Tholib, SAW bersabda:

ُ ‫ف أ َ ْولَى ِب ْال َمسْحِ ِم ْن أ َ ْعَلَهُ َوقَ ْد َرأَيْتُ َر‬


‫سو َل‬ ِ ْ‫الرأ‬
ِ ‫ى لَ َكانَ أ َ ْسفَ ُل ْال ُخ‬ ُ ‫لَ ْو َكانَ الد‬
َّ ‫ِين ِب‬

َ ‫علَى‬
‫ظا ِه ِر ُخفَّ ْي ِه‬ َ ‫س ُح‬ َّ .
َ ‫ َي ْم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬

81
Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 202. Muslim, no. 274.
82
Diriwayatkan oleh Muslim, no. 276.

58
Artinya: “Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian
bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun
sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusap bagian atas khufnya.”83

Adapun waktu mengusap khuffain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Bagi yang bermukim (menetap) dalam negerinya boleh mengusap kedua


khuffnya sehari semalam. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

َ ‫سلَّ َم ث َ ََلثَةَ أَيَّ ٍام َولَيَا ِليَ ُه َّن ِل ْل ُم‬


ً‫سافِ ِر َويَ ْو ًما َولَ ْيلَة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َج َع َل َر‬
‫ِل ْل ُم ِق ِيم‬
Atinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan tiga hari tiga
malam untuk musafir, dan sehari-semalam untuk yang mukim.” (HR.
Muslim)

2) Bagi musafir yaitu selama tiga hari tiga malam. Sedang waktunya dihitung
mulai ia berhadas sehabis memakai dua khuff itu. Dari Shafwan bin ‘Assal,
ia berkata:

ً ‫سافَ ْرنَا َو َي ْوما‬


َ ‫ط ْه ٍر ثََلَثا ً ِإذَا‬ َ ‫علَى ْال ُخفَّي ِْن ِإذَا ن َْح ُن أ َ ْدخ َْلنَا ُه َما‬
ُ ‫علَى‬ َ ‫فَأ َ َم َرنَا أ َ ْن ن َْم‬
َ ‫س َح‬

‫َولَ ْيلَةً إِذَا أَقَ ْمنَا َولَ ن َْخلَ َع ُه َما ِم ْن غَائِطٍ َولَ بَ ْو ٍل َولَ ن َْو ٍم َولَ ن َْخلَعَ ُه َما إِلَّ ِم ْن َجنَابَ ٍة‬

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami


untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci
sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami
bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu
melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak
mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”

Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats.


Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan
Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir

83
HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

59
mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan
sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali.
Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.

Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada
pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia
berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada
pukul 12.00 mulai hitungann 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam
(pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.

2.5.3 Sebab-sebab Batalnya Mengusap Khuffain


Diantara hal-hal yang dapat membatalkan mengusap khuffain ada tiga,
yaitu:

1) Terbukanya khuff atau terlepas dengan sendirinya.


2) Habis batas waktunya.
3) Junub.84

Jadi, jika terjadi salah satu dari beberapa hal sebagaimana disebutkan di
atas, maka apabila berwudhu wajib membasuh kaki seperti biasa. Hikmah
mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi
setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk
melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika
mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi
didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk
mencuci kaki secara langsung.

84
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunah (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), hlm 88.

60
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Thaharah artinya bersuci. Baik bersuci dari hadas maupun najis. Tujuannnya
adalah supaya diterimanya amal ibadah seperti sholat, puasa, dan lain-lain yang
mengharuskan suci terlebih dahulu sebelum menjalaninya. Adapun sara bersuci
yang paling utama adalah air, dimana air di bagi menjadi empat bagian, yaitu:
 Air mutlak
 Air makhruh
 Air suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci
 Air mutanajis

Adapun najis yaitu sesuatu benda kotor menurut syara’ (hukum agama),
sehingga dapat mencegah sahnya sholat dan ibadah lainnya. Najis berdasarkan
tingkatannya yaitu:
 Najis Mughalladzah
 Najis Mutawassithah
 Najis Mukhaffafah

Hal-hal yang umum yang harus diketahui mengenai thaharah diantaranya


yaitu:
 Istinja’ adalah bersuci setelah buang air besar atau buang air kecil.
 Mandi adalah mengalirkan air pada tubuh dengan niat tertentu.
 Wudhu adalah membersihkan anggota-anggota wudhu dengan tujuan
untuk menghilangkan hadas kecil.
 Tayamum adalah pengganti wudhu jika tidak mendapatkan air untuk
bersuci. Tayamum yaitu mendatangkan debu yang suci ke wajah dan
kedua tangan sampai sikut dengan syarat dan rukun tertentu.
 Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah balig, yang
mana keluarnya pada tiap-tiap bulan, sedikitnya satu hari satu malam dan
umumnya tujuh hari lamanya.

61
 Nifas adalah darah yang keluar dari rahim perempuan setelah melahirkan,
walaupun bayi yang dilahirkan adalah bayi prematur.
 Bersiwak adalah menggosok gigi dengan benda yang kesat dan harum.
 Khuff artinya sesuatu yang dipakai di kaki yang terbuat dari kulit atau
lainnya. Mengusap khuffain yaitu mengusap sepatu yang diguankan ketika
berwudhu dan itu merupakan rukhshah (keringanan) dalam berwudhu.
3.2 Saran

Thaharah itu menjadi keutamaan dalam beribadah, karena mengharuskannya


bersuci sebelum beibadah. Adapun saran dari penulis kepada pembaca,
diantaranya adalah:

1) Mengetahui maksud dari thaharah dan memahami hukum-hukumnya.


2) Dapat mengetahui cara mengerjakan thaharah jika sedang berada dalam
suatu keadaan berhadas atau bernajis.
3) Tidak asal-asalan dalam berthaharah, tetapi harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4) Mengutamakan kebersihan dalam kehidupan, karena kebersihan merupakan
sebagian daripada iman.
5) Dan yang paling utama ialah dapat menerapkan thaharah dalam kehidupan
sehari-hari.

62
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim.

Az-Zabidi, Imam Zainuddin Ahmad. 2013. TAJRIDUSH SHARIH: Ringkasan


Shahih Bukhari (1). Yogyakarta: Mitra Pustaka.

An-Nawawi, Imam. 2009. Majmu’ Syarah Al Muhadzab. Jakarta: Pustaka Azzam.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Depok: Gema Insani.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira.

Rifa’i, Moh.. 2014. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra.

Darajat, Zakiyah. 1995. Ilmu Fiqih. Jakarta: Dana Bakti Wakaf.

Mz, Labib. 2001. Pedoman Sholat Lengkap. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Rifa’i, Moh.. 2001. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: Karya Toha
Putra.

As’ar, Aliy. 1980. Terjemah Fathul Mu’in. Kudus: Menara Kudus.

Sunarto, Achmad. 1995. Fiqih Islam Lengkap. Bandung: Husaini.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2013. Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah.

Sabiq, Sayid. 2011. Fikih Sunnah. Jakarta: Cakrawala.

Mughniyah, Muhammad Jawad. 1984. Fiqih Imam Ja’far Shadiq. Terjemahan.


Jakarta: Dar al-Jawad.

Mz, Labib. 2000. Rangkuman Shalat Lengkap. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Rasyid, Sulaiman. 1992. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2008. Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Faifi, Sulaiman. 2014. Ringkasan Fiqih Sunah. Jakarta: Beirut Publishing.

Al-Jaza’iri, Syaikh Abu Bakar Jabir. 2019. MINHAJUL MUSLIM: Konsep Hidup
Ideal dalam Islam. Penerjemah: Mustofa ‘Aini, Lc, Amir Hamzah
Fachrudin, Kholif Mutaqin. Jakarta: Darul Haq.
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai