Anda di halaman 1dari 18

i

APLIKASI METODE MAUDHU’I


DALAM FIQH AL-HADIS

Makalah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas individu pada mata kuliah:

Ulumul Hadis

Oleh:

Nurjanna

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PASCASARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2021
i

KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah milik Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat, dan taufik-Nya, serta atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah kuliah Ulumul Hadis pada Program Pascasarjana, Pendidikan Bahasa Arab
yang berjudul “Aplikasi Metode Maudhu’i dalam Fiqh al-Hadis”.

Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi
yang diturunkan padanya agama Islam sebagai agama yang mulia dan penyempurna agama
yang terdahulu.

Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan yang terdapat dalam makalah ini,
sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Akhir
kata, penulis memohon taufik dan keberkahan dari Allah SWT. Berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan seluruh pembaca.

Makassar , 05 Desember 2021


Penulis,

Nurjanna
NIM: 80400221024

i
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 3

C. Tujuan............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis................................ 4

B. Ciri-ciri metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis ……………............. 6

C. Langkah-langkah metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadist………… 6

D. Kelebihan dan kekurangan metode maudhu’i dalam fiqh al-hadist… 7

E. Aplikasi metode maudhi’i dalam fiqh al-hadist……………………... 8

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................... 14
,
B. Saran............................................................................................. .. 14
..
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai sumber ajaran kedua dalam Islam, hadist merupakan penjelas terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global)’aam (umum) dan yang muthlaq
(tanpa Batasan). Bahkan secara mandiri hadist juga berfungsi sebagai penetap
(Muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan dalam Al-Qur’an.1 Permasalahan
seputar hadist, selalu menarik untuk dikaji, baik yang menyangkut tentang sanad,
matan, maupun metodologi dalam memahami hadist itu sendiri.
Persoalan metodologi pemahaman hadis Nabi SAW merupakan persoalan
yang sangat signifikan untuk dikaji, meskipun kajian terhadap pemahaman hadis ini
tidak semasif seperti halnya pemahaman al-Qur’an. Salah satunya adalah mengungkap
pemahaman dan interpretasi yang benar mengenai kandungan matan hadist.2
Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama terhadap hadis dapat
diklasifikasikan menjadi dua (2) kelompok, yakni; Pertama, tekstualis yakni
pemahaman hadis secara tekstual tanpa mepertimbangkan proses Panjang sejarah
pengumpulan hadis dan proses pembentukan ajaran ortodoksi. Tipe pemikiran seperti
dalam wacana ilmu social dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang ahistoris; Kedua,
kontekstualis yakni pemahaman hadis yang berangkat dari asumsi hadis sebagai sumber
kedua ajaran Islam melalui kritik-historis terhadap sanad dan matan hadis dengan
mempertimbangkan asbab wurud hadis tersebut.3
Kalau ayat-ayat al-Qur'an ingin dipahami, diperlukan tafsir. Demikian halnya
jika kandungan hadist, diperlukan syarah hadis. Karena al-Qur’an dan hadis sama-
sama sebagai sumber ajaran Islam maka aplikasi metode syarah hadist hampir sama
dengan aplikasi metode tafsir. Kalau ayat-ayat Al-Quran ditafsir dengan berbagai
ragam metode, hadis-hadis Nabi pun dapat disyarah dengan berbagai metode. Dalam
kajian hadist, para ahli biasanya menggunakan beberapa metode, seperti metode tahlili
(analitis) metode maudhu’i (tematik) metode ijmali (global) metode kulli
(komprehensif) dan metode muqaran (komparatif). Namun secara umun metode yang
banyak dipakai adalah metode tahlili dan metode maudhu’i.4

1
Said Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, . 2001), h.24
2
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis; Ontologi,Aksiologi, dan Epistimologi
(Depok: Rajawali Pers, 2019), h. 135.
3
Ibid
4
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (cet. 13 ; Bandung : Mizan, 1996), h.86
1
2

Pada dasarnya metode maudhu’i dapat digunakan dalam penyelesaian ikhtilaf


al-hadist. Dikatakan demikian karena ada kalanya hadist-hadist yang tampak
bertentangan tersebut hanya sebahagian dari hadist-hadist Rasulullah yang tentang
masalah tertentu, yang isi maknanya terkait erat dengan hadist-hadist lain Jika
jangkauan secara tidak utuh, yaitu dengan memperhatikan hadist lain yang memiliki
tema yang sama, maka akan ditemukan pemahaman yang tepat terhadap hadist yang
tampak bertentangan tersebut.
Pada perkembangannya metode maudhu’i dapat digunakan untuk
memberikan informasi yang utuh terkait dengan tema tertentu, seperti masalah isbal,
masalah ghibah, masalah membaca basmalah dalam sholat dan lain sebagainya.
Berangkat daripada latar belakang diatas, perlu sekiranya diadakan pendalaman
terkait metode maudhu’i (tematik) secara komprehensif dalam metodologi pemahaman
hadis, upaya demikian dimaksudkan agar pemahaman akan pembahasan ini sesuai
dengan prinsip fiqh al-Hadis, khususnya pada bahasan metodologi pemahaman
hadist.

2
3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan pembahasan

makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa definisi metode maudhu’i dalam Fiqh al-Hadis?

2. Apa Ciri-ciri metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis ?

3. Bagaimana Langkah-langkah metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadist ?

4. Apa Kelebihan dan kekurangan metode maudhu’i dalam fiqh al-hadist?

3. Bagaimana aplikasi metode maudhu’I dalam fiqh al-Hadis?

C. Tujuan

1. Mendeskripsikan pengertian metode maudhu’i dalam Fiqh al-Hadis.

2. Mendeskripsikan ciri-ciri metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis

3. Mendeskripsikan langkah-langkah metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadist

4. Mendeskripsikan Kelebihan dan kekurangan metode maudhu’i dalam fiqh al-

hadist

5. Mendeskripsikan aplikasi metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis.

3
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Metode Maudhu’i dalam Fiqh al-Hadis

Metode Maudhu’i terdiri dari dua kata, yaitu metode dan maudhu’i. Metode
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani meta yang berarti sesudah dan hodos yang
berarti jalan. Jadi metode ialah langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu
untuk mencapai pengetahuan yang benar, yaitu sesuai tata cara, teknik atau jalan yang
telah dirancang dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun, baik
pengetahuan humanistik dan historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.5 Kata
metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang
metode; uraian tentang metode6
Secara Bahasa maudhu’i berasal dari kata ‫ َم ْوض ُْوع‬yang merupakan isim maf’ul
dari kata ‫ و ض ع‬yang artinya masalah atau pokok permasalahan7. Juga berarti
menempatkan, menetapkan dalam suatu tempat.8
Menurut istilah Metode maudhu’i adalah suatu metode yang berusaha mencari
jawaban hadist tentang tema tertentu. Oleh sebeb itu, metode ini dinamakan juga metode
tematik, cara kerja metode ini adalah menghimpun seluruh hadist yang berhubungan
dengan tema, kemudian menganalisisnya dengan ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan
masalah yang dibahas, hingga melahirkan konsep yang utuh tentang tema tersebut.
Dengan kata lain, metode mawdhu’iy ialah metode memahami hadist dengan
menghimpun hadist-hadist yang terkait dengan sebuah tema tertentu, yang kemudian
dibahas dan dianalisis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. 9
Metode maudu'i hadis yaitu suatu metode yang menghimpun hadis-hadis sahih
yang topik pembahasannya sama. Dengan demikian, hal-hal yang syubhat dapat
dijelaskan dengan hal-hal yang muhkam. Hal-hal yang mutlaq dapat di batasi dengan
hal yang muqayyad (terikat) dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan
oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga makna yang dimaksud oleh subjek
tersebut menjadi jelas dan tidak bertentangan. Metode maudhu’i mencakup semua

5
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis………. h. 136.
6
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga,
edisi III.2005.

7
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir kamus Arab-Indonesia,(Surabaya: Pustaka progresif, 1997) h.1565
8
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, kamus kontenporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi karya
grafika,1998) h.2023
9
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis………. h. 154
4
5

kasus yang tidak terlihat adanya ikhtilāf di dalamnya ini dilakukan untuk menemukan
makna substansial dari setiap kasus hadis yang dibahas dan dianalisis.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa metode maudhu’i
adalah ilmu yang membahas tema-tema yang diliputi oleh hadis nabi, dan kemudian
disatukan baik makna ataupun tujuannya melalui pengumpulan hadis setema dari sumber
hadis asli, atau beberapa sumber, di mana peneliti melakukan analisis teks hadis yang
diterima dan membandingkannya dan mengkritiknya kemudian berusaha
menghubungkannya untuk sampai pada ma’na teks hadis nabi dari sisi praktisnya dalam
kenyataan masa kini.
Diantara hal yang penting dalam ilmu atau metode Maudhu’i ini adalah:
1. Ilmu ini membahas tema-tema yang dicakup oleh hadis nabi saja bukan yang lain.
2. Studi tematis ini dapat diteliti dalam satu tema melalui jalur riwayat dengan
mengumpulkan jalur-jalur lain, membandingkan redaksinya dan menganalisis
teksnya di mana studi tersebut dimulai dengan tema hadis dan berhenti dengan
menghubungkan tema hadis dalam realitas yang ada untuk menyatakan tujuan studi
tematis tersebut.
3. Asal dari studi tematis adalah berpegang pada hadis-hadis yang diterima, yang
shahih ataupun yang hasan, sedangkan hadis dhaif tidaklah diterima dan tidak pula
dapat dijadikan hujjah.
Diantara ulama kontemporer yang mengembangkan metode ini adalah Yusuf al-
Qardhawiy. Dalam konteks ini ia mengatakan bahwa untuk memahami hadist secara
benar kita harus menghimpun semua hadist shahih yang berkaitan dengan suatu tema
tertentu, kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam,
mengaitkan yang muthlaq dengan muqayyad, dan menafsirkan yang aam dengan yang
khas.10
Fiqh al-Hadis adalah terminologi bahasa Arab yang acapkali disebut dengan
fahm al-Hadis (pemahaman hadis). Dalam kajian linguistik Arab, kata fahm sinonim
dengan kata fiqh yang berarti memahami, mengerti atau mengetahui (‘alima, ‘arafa,
adraka). Adapun dalam kajian hadis, studi pemahaman hadis dikenal dengan istilah
“syarh”, sedangkan dalam studi al-Qur’an dikenal dengan istilah “tafsir” atau
“ta’wil”.11
Menurut Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, tidak ada perbedaan yang
signifikan antara syarh dan tafsir. Perbedaan terletak hanya pada istilah, tetapi makna

10
Buchari M, Metode Pemahaman Hadist,Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999) h.123
11
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis………. h. 138.
5
6

dan sistem kerjanya sama dimana keduanya melibatkan subjektivitas dalam memahami
teks, baik teks al-Qur’an maupun teks hadis. Kegiatan syarh dan tafsir menghasilkan
pemikiran keagamaan yang merupakan produk interpretatif atas hadis dan al-Qur’an
selalu bersifat relatif dan hypothetical-subjective. Karena keduanya dibangun diatas
standar penafsiran dan pensyarahan yang terbuka untuk diperdebatkan dan
mengandung subjektivitas dari pensyarah dan penafsir sendiri. Oleh karena itu,
metode-metode pemahaman yang dikenal dalam kajian tafsir dapat diaplikasikan pula
dalam ilmu hadist.
B. Ciri-ciri metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis
Berdasarkan pemaparan diatas tentang metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadis
dapat dipahami bahwa ciri-ciri metode Maudhu’i adalah sebagai berikut :
1. Menghimpun hadist-hadist yang membicarakan satu topik atau permasalahan
tertentu
2. Memahami makna dari masing-masing hadist
3. Memahami hadist secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan tematik.
Dengan metode maudhu’I pensyarah berupaya menghimpun hadist-hadist dari kitab-
kitab hadis yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya.
Kemudian membahas dan menganalisis kandungan hadist-hadist tersebut sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang mudah
difahami.
C. Langkah-langkah metode maudhu’i dalam fiqh al-Hadist
Langkah-langkah yang ditempuh dalam menerapkan metode maudhu’iy ini adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan tema yang akan dibahas
2. Menghimpun atau mengumpulkan data tentang hadist-hadist yang berkaitan dengan
tema baik yang secara langsung menyebut term tersebut maupun yang semakna
dengan menggunakan metode takhrij bi alfadz.
3. Melakukan kategorisasi atau klasifikasi hadist berdasarkan kandungan dari setiap
hadist.
4. Langkah selanjutnya adalah meneliti sanad hadist tersebut, meliputi tahapan berikut:
a. Melakukan I’tibar;
b. Mempelajari sejarah hidup (kualitas dan kapabilitas atau kapasitas masing-masing
periwayat yang menjadi sanad pada hadist-hadist tersebut;

6
7

c. Meneliti metode periwayatan masing-masing periwayat hadist bersangkutan,


yakni lambang tahammul wa ‘ada yang menghubungkan antara satu periwayat
dengan periwayat yang terdekat dalam sanad hadist yang bersangkutan;
d. Menyimpulkan hasil penelitian sanad-sanad hadist tersebut;
5. Setelah penelitian sanad dilakukan terhadap hadist tersebut dan terdapat sanad hadist
yang shahih, Langkah selanjutnya adalah meneliti matan hadist yang shahih
sanadnya. Penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Meneliti susunan lafal hadist yang semakna;
b. Meneliti kandungan matan
c. Menyimpulkan hasil penelitian
6. Apabila hasil penelitian matan adalah shahih, maka Langkah selanjutnya adalah
mencoba membahas dan merumuskan makna dari hadist-hadist tersebut, dengan
mencari syarahnya pada hadist lain dan korelasinya (munasabah) dengan hadist yang
lain.
7. Melengkapi pembahasan dengan hadist-hadist atau ayat-ayat pendukung dan data-
data lain yang relevan.
8. Mempelajari makna hadist dengan membandingkan berbagai penafsiran dari kitab-
kitab syarah, dengan tidak meninggalkan penafsiran kosa kata, frasa dan klausa.
9. Merumuskan hadist-hadist yang mengandung pengertian serupa, sehingga hadist
terkait bertemu pada satu muara, tanpa ada perbedaan dan kontradiksi, juga
“pemaksaan” makna kepada makna yang tidak tepat.
10. Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep (Grand Concept)
sebagai bentuk laporan hasil penelitian dan sebuah karya penelitian dan syarah
hadist.

D. Kelebihan dan kekurangan metode maudhu’i dalam fiqh al-hadist


Metode maudhu’i dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang
terdapat dalam masyarakat, karena metode ini memberikan kesempatan kepada
seseorang untuk berusaha memberikan jawaban bagi permasalahan tersebut yang
diambil dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Hadis, disamping memperhatikan
penemuan manusia. Sebagai hasilnya, banyak bermunculan karya ilmiah yang
membahas topik tertentu menurut perspektif al-Qur’an dan Hadis. Contohnya,
perempuan dalam pandangan Al-Qur’an dan hadis, dan lain-lain.

7
8

Kelebihan metode maudhu’i selain karena dapat menjawab tantangan zaman


dengan permasalahannya yang semakin kompleks dan rumit, metode ini juga
memiliki kelebihan yang lain, diantaranya :
1. Praktis dan Sistematis
Metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan
permasalahan yang timbul. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan
petunjuk al-Qur’an dan hadis dengan waktu yang lebih efektif dan efesien.
2. Dinamis
Metode tematik membuat tafsir Al-Qur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan
tuntutan zaman. Sehingga, masyarakat akan terasa bahwa al-Qur’an dan hadis
selalu aktual (updated), tak pernah ketinggalan zaman (outdated) dan mereka
tertarik untuk mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini
didapatkan dari metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang
pokok
3. Membuat Pemahaman Menjadi Utuh
Dengan ditetapkannya tema tertentu, maka pemahaman kita terhadap hadis Nabi
saw. menjadi utuh. Kita hanya perlu membahas segala aspek yang berkaitan
dengan tema tersebut tanpa perlu membahas hal-hal lain diluar tema yang
ditetapkan.
4. Penjelasan antar hadis dalam metode maudhu’i bersifat lebih integral dan
kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami.12

Adapun kekurangannya ialah metode ini terikat pada tema yang telah
ditetapkannya dan tidak membahas lebih jauh hal-hal diluar dari tema tersebut,
sehingga metode ini kurang tepat bagi orang yang menginginkan penjelasan yang
terperinci mengenai suatu hadis dari segala aspek.

E. Aplikasi metode maudhi’i dalam fiqh al-hadist

Dalam dunia bisnis, Nabi Saw. pernah bersabda tentang larangan menimbun
harta dagangan dengan merumuskan kode etik dan hukum dagang yang adil dan
humanis. Setidaknya ada tiga buah hadis yang dapat dipaparkan, yaitu:
1. Hadis pertama, diriwayatkan oleh Ahmad bersifat informatif

12
Nilasari, Pengantar studi hadist tematik, jurnal UIN Sultan maulana Hasanuddin,
8
9

‫حدثنا يزيد أصبغ بن زيد حدثنا أبو بشر عن أبي الزاهرية عن كثير بن مرة الحضرمي عن ابن عمر عن‬
َ ‫ط َعا ًما أ َ ْربَ ِعيْنَ لَ ْيلَةً فَقَدْ بَ ِر‬
َ ‫ئ ِمنَ هللا ت َ َعالَى َوبَ ِر‬
‫ئ هللا ت َ َعالى مِ ْنهُ (رواه‬ َ ‫صلَّى هللا عليه وسلم َم ْن احتكر‬
َ ‫النبي‬
)‫احمد‬
Telah menceritakan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Ashbag
Bin Zaid dari Katsir Bin Murrah Al Hadlrami dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw:
Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 malam, maka hubungan dia
dengan Allah putus dan Allah pun memutuskan hubungan dengannya.” (H.R.
Ahmad)
2. Hadis kedua, diriwayatkan oleh Muslim, isinya bersifat pernyataan tegas,
menimbun makanan itu suatu tindakan yang salah:
‫حدثنا عبد هللا بن مسلمة بن قعنب حدثنا سليمان يعني ابن بالل عن يحي و هو ابن سعيد قال كان سعيد بن‬
‫المسيب يحدث أ ّن معمرا قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم من احتكر فهو خاطئ‬
)‫(رواه مسلم‬
Telah menceritakan kepada kami Abdullah Bin Maslamah Bin Qa’nab telah
,enceritakan kepada kami Sulaiman yaitu Ibnu Bilal dari Yahya yaitu Ibnu Sa’id dia
berkata Sa’id bin Musayyab menceritakan bahwa Ma’mar berkata “Rasulullah SAW
bersabda: Barang siapa menimbun barang, maka dia berdosa” (HR. Muslim)
3. Hadis ketiga, diriwayatkan oleh Ibn Majah dan al-Darimi yang isinya bersifat
hukuman bagi penimbun berupa kutukan:
‫َحدثنا نصر بن علي الجهضمي حدثنا أبو أحمد حدثنا اسرائيل عن علي بن سالم بن ثوبان عن علي بن زيد‬
‫بن جدعان عن سعيد بن المسيب عن عمر بن الخطاب قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم الجالب‬
.‫مرزوق والمحتكر ملعون‬
Telah menceritakan kepada kami Nashr Bin Ali Al Jahdlami telah menceritakan
kepada kami Abu Ahmad telah menceritakan kepada kami Isra’il dari Ali Bin Salim
Bin Tsauban dari Ali Bin Zaid Bin Jud’an dari Sa’id Bin Al Musayyab dari Umar
Ibnu al-Khattāb berkata, telah bersabda Rasulullah Saw.: “ Orang yang telah
mendistribusikan akan mendapatkan rizki (keuntungan), dan penimbun
mendapatkan laknat (Kerugian)”. (HR. Ibnu Majah dan Al-Darimi)
Dari hadis di atas bila dikaji menurut metode tematik, maka aplikasinya sebagai
berikut:
a. Langkah ke-1: Menentukan tema. Secara jelas temanya adalah penimbunan (al-
Ihtikar), dengan penyebutan kata kunci, yaitu: “‫( ”احتكر‬penimbunan) disebutkan
dua kali dan “‫( ”المحتكر‬penimbun) disebutkan sekali.
b. Langkah ke-2 dan ke-3: Bila dilihat dari segi sanad, bahwa hadis nomor pertama
dan kedua diriwayatkan oleh beberapa orang rawi melalui jalur Imam
Muslim dan Abu Dawud dan sanadnya sahih, ada yang mengatakan sanadnya
hasan melalui jalur lain, sehingga derajatnya menjadi sahih li gayrihi, karena
9
10

adanya mutabi‘ yang berpredikat sahih. Hadis pertama, meskipun sanadnya


hasan, tetapi sejalan dengan hadis kedua. Sedangkan hadis ketiga diriwayatkan
oleh Ibn Majah dan al-Darimi dengan kualitas sanad hasan. Ketiga hadis
tersebut tidak ada kontradiksi dan diungkapkan dengan bahasa yang jelas,
bahkan saling melengkapi dan memperkuat, sehingga memenuhi syarat untuk
dimaknai.
c. Langkah ke-4: melacak asbāb alwurud. Hadis tersebut ditemukan asbāb
alwurūd, bahwa di zaman Nabi Saw, ada dua sahabat (rawi hadis) saling tuding
melakukan perbuatan penimbunan (ihtikarr), Said tertuduh sebagai
pelaku penimbunan (muhtakir), tetapi Said mengelak, bahkan menuduh balik
Ma‘mar-lah yang melakukan praktik penimbunan. Sehingga muncul
perdebatan cukup sengit di antara berdua.
d. Langkah ke-5: Analisa linguistik, Abu Yusuf memberi arti Ihtikar yaitu
“Setiap yang diperlukan kepentingan umum dan menahannya”. Kalimat ini
adalah ‘am, tanpa ada kepastian subyek pelakunya laki-laki atau perempuan,
beragama Islam ataupun tidak, tanpa ada kategori kelas pengusaha, apakah kecil,
menengah atau konglomerat. Kata kedua, ‫ط َعام‬ َ (makanan) adalah kata
muthlaq, tanpa disebutkan secara spesifik (muqayyad) jenis makanan/barang
apa yang ditimbun, bisa beras, jagung, gandum, minyak atau jenis
bahan/barang yang lain, juga tanpa ada batasan (limit) berapa besar dan
jumlahnya. Secara tekstual, penimbunan tersebut mengindikasikan secara jelas
jika dilakukan selama 40 malam.
e. Langkah ke-6: Ada beberapa konsep ekonomis yang dapat ditangkap antara lain
tentang distribusi, pasar, supply and demand, stabilitas ekonomi, dan
sebagainya. Ide pokok (ihtikar) terkait erat dengan konsep ekonomi yang
menyangkut masalah distribusi, bukan masalah berapa waktu penimbunan.
Dalam ekonomi, dikenal dengan istilah “hukum pasar” yang menganut hukum
supply and demand (persediaan dan permintaan). Dalam prinsip ini, bila terjadi
ketidaklancaran dalam sistem distribusi (suatu barang), secara konvensi yang
dilihat adalah masalah distribusi, apakah ada keseimbangan antara persediaan
(supply) dengan permintaan (demand). Karena ketidak berimbangan antara
keduanya, bisa dipastikan akan memunculkan masalah pasar. Jika tidak, maka
dicari faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga menjadi jelas
persoalannya. Faktor-faktor terdekat anatara lain menyangkut tentang
a ) produksi dan distribusi b) keadilan ekonomi, c) konsep harga, d) konsep
stabilitas dan ketahanan pangan, e) kesejahteraan sosial, f) politik ekonomi, dan
mungkin juga lain yang dipandang relevan.
f. Langkah ke-7: Pemaknaan terhadap kandungan hadis dengan cara melihat
variabel dan indikatornya. Variabel terlihat dari hadis pertama adalah berupa
kata kunci (keyword) ‫طعَام‬ َ indikatornya adalah 40 hari. Secara tekstual
dipahami, menimbun pangan selama kurang dari 40 hari diperbolehkan (hadis
I) dan perbuatan ihtikar merupakan perbuatan yang salah (hadis II) dan orang
yang melancarkan distribusi dagangan (bahan makan) akan diberi rizki sedang
bagi penimbun adalah terkutuk (hadis III). Menurut ar-Ramli dalam kamusnya,
Ihtikar berarti: Menimbun sama artinya perbuatan aniaya dan buruk
pergaulan dan perbuatan, atau dapat diartikan sebagai ‫ احتباس‬:
(menahan/menyandra).

10
11

g. Langkah ke-8: pelacakan ayat-ayat yang terkait dengan perdagangan, apakah


itu sarih ataupun ghairu sarih yang membicarakan: prinsip-prinsip ekonomi,
etika-moral, dan aspek teologis, antara lain:
ْ ْ َّ َ ْ َ ْ ً َ ُُْ َْ َّ ُ ْ َ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ ُ َ َْ ْ ُ َ َ َْ ْ ُ ُ َْ ََ
‫اس ِبال ِاث ِم‬ ْ
ِ ‫ال الن‬
ِ ‫ام ِلتأكلوا ف ِريقا ِمن امو‬
ِ ‫اط ِل وتدلوا ِبه ْٓا ِالى الحك‬
ِ ‫ولا تأكلوْٓا اموالكم بينكم ِبالب‬
َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َْ َ
ࣖ ‫وانتم تعلمون‬
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah: 188)

َ ْ ُ ْ ُ ْ ُ ْ َ ْ َّ َ ‫ه‬ ُ َّ َّ ً َ ً ٰ َ ُ ‫َ ُ ُ ْ َّ َ َ َ ُ ُ ه‬
‫ي انتم ِب ٖه مؤ ِمنون‬
ْٓ ‫ذ‬
ِ ‫ال‬ ‫اّٰلل‬ ‫وا‬ ‫ق‬ ‫وكلوا ِِما رزقكم اّٰلل حللا ط ِيباۖوات‬

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.” (Q.S.Al-Maidah: 88)

ُ َ ْ ُ َ َّ َ َ َ ََ
ْ‫اه ُه ْم َو ُج ُن ْو ُب ُه ْم َو ُظ ُه ْو ُر ُه ْم ٰه َذا َما ك َن ْز ُت ْم ل َا ْن ُفسكم‬
ُ َ
‫ب‬ ‫ج‬ ‫ا‬ َ
‫ه‬ ‫ب‬ ‫ى‬ ٰ
‫و‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫ف‬ َ
‫م‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫ار‬ ‫ن‬ ‫ي‬ْ ‫ف‬ ‫ا‬ َ
‫ه‬ ْ
‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ى‬ ‫م‬
ْ ُ َ ْ َّ
ٰ ‫يح‬ ‫يوم‬
ِ ِ ْۗ ِ ِ ِ ِ
َ ْ ُ ْ َ ْ ُْ ُ َ ْ ُْ ُ َ
‫فذوقوا ما كنتم تك ِنزون‬

"Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu". (QS.At-Taubah :35)

h. Langkah ke-9: Pemaknaan secara kontekstual. Dalam Islam, mungkin juga


dalam agama-agama yang lain memiliki prinsip ajaran bahwa manusia hidup
itu harus saling tolong-menolong, memberi kemudahan-kemudahan
(profesional) dan tidak saling membuat kesempitan dan kesengsaraan
orang lain. Humanisme ini mengandung doktrin yang paling mendasar
bahwa kepemilikan itu bersifat nisbi, meskipun tak dibatasi kuantitasnya
selama kewajiban terhadap kepemilikan itu dipenuhi dan di dalamnya
mengandung hak orang lain. Maka setiap perilaku ekonomi harus
11
12

memperhatikan etik-moral, artinya tindakan ekonomi tidak sebebas-bebasnya


melakukan apa saja menurut keinginan dan interes subyeknya, tanpa
memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Mengenai tempo 40 hari yang
disebutkan dalam hadis itu, merupakan jangka waktu yang rasional dan
relevan untuk mengukur gejolak pasar. Logikanya, barang apa saja yang
ditimbun dan berakibat pada gejolak ekonomi (pasar) meskipun
penimbunannya hanya pendek (kurang dari 40 hari) tetap dilarang. Jika barang
itu yang ditimbun berupa kebutuhan dasar/pokok mayoritas orang, maka dapat
dikategorikan sabotase ekonomi yang mengarah pada tindakan subversif. Di
Negara kita Indonesia memegang prinsip bahwa kepentingan hajat orang
banyak lebih dahulukan daripada kepentingan minoritas orang. Meskipun
realitasnya tidak demikian, sehingga sering diterpa badai ekonomi yang
bertubi-tubi. Di kalangan ahli fiqh dalam mensikapi hal ini beragam
pandangan, seperti Abu Yusuf melihat keumuman teks hadis menyatakan
bahwa setiap tindakan ihtikār dilarang tidak terbatas bahan pangan, apalagi
bahan pangan tersebut sangat dibutuhkan masyarakat umum. Karena
penimbunan akan menimbulkan bahaya yang merata (darar), maka
hukumnya haram yang dapat dianalogikan (qiyās) sebagai perbuatan dhalim,
karena yang untung hanya pihak yang kuat (kapitalis), sedangkan pihak
konsumen menjadi berat dan kesulitan. Ihtikar. termasuk usaha spekulatif
mengandung arti membeli suatu komoditi dengan maksud akan menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi, hal ini mengakibatkan kenaikan harga. karena
berkurangnya barang dengan cara buatan. Kenaikan harga buatan ini oleh
Islam tidak dibenarkan, bahkan dikutuk (mal‘ūn).
Untuk mensikapi hal itu, maka pemerintah (Ulil Amri) melalui institusi hisbah
sebagai pengontrol dan pengawas berkewajiban dan bertanggung jawab
mengendalikan sistem produksi dan distribusi barang, terutama bahan pangan pokok
(basic need) dan kebutuhan primer lainnya, dengan tidak memberi ruang dan
kesempatan bagi pelakunya menerapkan sistem bebas (laissez faire), tapi harus
mengedepankan sistem terkendali yang berbasis etika dan moral yang melekat dan demi
kesejahteraan rakyat. Hadis di atas bila dilihat dari perspektif filsafat ilmu, secara
ontologis, kebenaran ajaran yang dikandung tidak cukup untuk diyakini pada level iman
saja, sedangkan pada dataran epistemologis institusi ekonomi (hisbah) berperan dalam
mengatur dan mengendalikan mekanisme pasar yang menyangkut produksi dan
distribusi, sehingga tindakan pengawasan, regulasi dan pencegahan (aksiologis)
12
13

terhadap perilaku pasar bisa dikendalikan, termasuk praktik ihtikār. Bila dilihat dari
kandungan hadis, muatan substansinya berskala makrouniversal yang tidak dibatasi
oleh dimensi ruang geografi dan waktu, karenanya mengandung tuntutan aktual
syar‘iyyah yang harus ditaati oleh seluruh pelaku ekonomi, khususnya para
praktisi/pelaku ekonomi Islam.

13
14

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode maudu'i hadis yaitu suatu metode yang menghimpun hadis-hadis sahih
yang topik pembahasannya sama. Dengan demikian, hal-hal yang syubhat dapat
dijelaskan dengan hal-hal yang muhkam. Hal-hal yang mutlaq dapat di batasi dengan
hal yang muqayyad (terikat) dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan
oleh hal-hal yang bermakna khusus, sehingga makna yang dimaksud oleh subjek
tersebut menjadi jelas dan tidak bertentangan
Adapun ciri-ciri metode Maudhu’i yaitu menghimpun hadist-hadist yang
membicarakan satu topik atau permasalahan tertentu, memahami makna dari masing-
masing hadist, memahami hadist secara komprehensif dengan menggunakan
pendekatan tematik.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam menerapkan metode maudhu’i yaitu
menentukan tema yang akan dibahas, menghimpun atau mengumpulkan data tentang
hadist-hadist yang berkaitan dengan tema, melakukan kategorisasi atau klasifikasi hadist
berdasarkan kandungan dari setiap, meneliti sanad hadist tersebut, meneliti matan hadist
yang shahih, membahas dan merumuskan makna dari hadist-hadist tersebut, melengkapi
pembahasan dengan hadist-hadist atau ayat-ayat pendukung dan data-data lain yang
relevan.mempelajari makna hadist,merumuskan hadist-hadist yang mengandung
pengertian serupa, menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar.
Keunggulan dari metode ini adalah kemampuannya dalam menemukan sebuah
konsep yang utuh dari persoalan atau tema yang diangkat dan menjawab problem yang
ada. Penataannnya yang sistematis membuat pembaca dapat menghemat waktu.
Sedangkan kekurangannya adalah pemilihan bahasan pada topik-topik tertentu
membuat pemahaman hadist terbatas. Contoh Aplikasi metode maudhi’i dalam fiqh al-
hadist misalnya membahas tema tentang “‫( ”احتكر‬penimbunan)
B. Saran
Akhirnya, tiada gading yang tak bisa retak. Artinya, makalah ini tentu jauh
dari sempurna, oleh karena itu perlu banyak masukan dan saran dari seluruh teman-
teman yang berkenan mengkritisi dan menanggapi makalah ini, demi
kesempurnaan makalah dan wawasan kita yang terus berkembang. Atas
masukannya, saya selaku pemakalah mengucapkan terimakasih yang setinggi-
tingginya, kepada Dosen Ulumul Hadis, serta teman-teman sekalian. Wallahu
A’lamu Bishshawwab.

14
15

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 1998, kamus kontenporer Arab-Indonesia,

Yogyakarta: Multi karya grafika

Buchari M, 1999, Metode Pemahaman Hadist,Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta:

Nuansa Madani,

Ilyas, Abustani & La Ode Ismail Ahmad, . 2019, Studi Hadis Ontologi, Epistemologi

dan Aksiologi, Cet. I; Depok:Rajawali Pers

Munawwir Ahmad Warson, 1997, Al-Munawwir kamus Arab-Indonesia, Surabaya:

Pustaka progresif

Munawwar, Said Agil Husain dan Abdul Mustaqim, 2001, Asbabul Wurud,

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Nilasari, Pengantar studi hadist tematik, jurnal UIN Sultan maulana Hasanuddin

Shihab, M. Quraish 1996, Membumikan Al-Qur’an, cet. 13 ; Bandung : Mizan,

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III..

15

Anda mungkin juga menyukai